• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

B. Asrama Sebagai Lingkungan Pendidikan

2. Macam-Macam Lingkungan Pendidikan Agama Islam

Lingkungan merupakan bagaian dari faktor-faktor dari belajar dan merupakan bagian dari kehidupan siswa, dalam lingkungan siswa berinteraksi, bergaul, dengan sesama teman maupaun dengan guru sebagai pembimbing, lingkungan juga merupakan temapt siswa meperaktekan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dari guru-guru maupaun dari berbagai sumber lainnya.

Lingkungan juga merupakan faktor eksternal siswa dalam belajar Muhbbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan pendekatan baru membagi lingkunagan menjadi dua macam38:

a. Lingkungan Sosial

lingkungan sosial merupakan lingkungan pergaulan antara manusia, pergaulan antara pendidikan dengan peserta didik serta orang-orang lainnya yang terlibat dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dan corak pergaulan antara orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, baik pihak peserta didik (siswa) maupun para pendidik (guru) dan pihak lainnya.39

Yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah keluarga, sekolah, masyarakat dan tetangga juga teman-taman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut.

1) Keluarga

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian, bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

38

Muhbib Syah, op. cit. h. 137-138

39

Demikian pula Islam memerintahkan agar para orang tua berlaku sebagai kepala dan pemimpin dalam keluarganya serta berkewajiban untuk memelihara keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah Swt:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....(QS Al-tahrim:6)

Pada umumnya pendidikan dalam keluarga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.

2) Sekolah

Sekolah sebagai institusi resmi di bawah kelolaan pemerintah, menyelengarakan kegiatan pendidikan secara berencana, sengaja, terarah, sistematis, oleh para pendidik profesional dengan programyang dituangkan ke dalam kurikulum untuk jangka waktu tertentu dan diikuti oleh para peserta didik setiap jenjang pendidikan tertentu.

Dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, terutama menyangkut pendidikan agama Islam, antara lain pada pasal 12 ayat (1a) bahwa: setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesui dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang se agama.40

40

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011) cet. ke-1, H. 152

Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari Al-Quran-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, sejarah dan kebudayaan Islam, serta penciptaan suasana lingkungan yang religius. PAI merupakan core (inti), sehingga bahan-bahan kajian yang termuat dalam pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Keterampilan/kejujuran (termasuk TIK), Muatan lokal, dan pengembangan diri, di samping harus mengembangkan kualitas IQ, EQ, CQ dan SQ juga harus dijiwai oleh ajaran nilai-nilai Islam (PAI).41

Untuk mencapai keberhasilan pendidikan agama, banyak sekolah mengembangkan lingkungan pendidikan di sekolah (educational environment) yang mendukung proses pendidikan agama yang memenuhi baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang tergambar pada sikap dan prilaku para siswa. Berdasarkan hasil penelitian puslitbang pendidikan Agama,

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan tercatat sekolah seperti SMU 6 Palembang, SMA 2 Bandung, Sekolah Adabiyah di padang dan lain yang mencoba melengkapi instrumen pendukung pendidikan di sekolah yang kondusif terhadap pendidikan agama. Educational environment dikembangkan di sekolah-sekolah tersebut seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di sekolah yang dapat mendukung ranah afektif dan psikomotorik. Namun, sekali lagi, keberadaan siswa di sekolah yang hanya meliputi sebagaian kecil dari keseluruhan interaksi sosial yang berpengaruh dalam proses sosialisasi dan internalisasi nilai pada anak, maka faktor lingkungan keluarga dan komunitas tidak dapat diabaykan dalam keseluruhan proses pendidikan membentuk watak dan pribadi pada anak didik.42

41

Ibid, h. 171 42

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan, (Jakarta, Rajawali pers, 2009) H. 151-152

3) Masyarakat

Tanggungjawab pendidikan bukan saja terletak pada keluarga atau sekolah saja dan masyarakat pun besar sekali pengaruhnya terhadap pendidikan anak-anak, terutama pendidikan agama islam.

Semua angota masyarakat memiliki tanggungjawab memerintahkan yang

ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Firman Allah Swt

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah... (QS. Ali Imran:110)

ۚ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar... (QS. Al-Taubah: 71)

b. Lingkungan Non sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar (studi time preference) seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (1980) berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya. Namun menurut penelitian beberapa ahli lerning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiap siagaan siswa (Dunn er al, 1986). Di antara siswa ada yang siap belajar pada pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah malam perbedaan antar waktu dan kesiapan belajar inilah yang menimbulkan perbedaan studi time preference antar seorang siswa dengan siswa lainnya.

Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.43

Dokumen terkait