BAB II TINJAUAN MENGENAI SENGKETA INTERNASIONAL
C. Macam-Macam Sengketa Internasional
Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum.
1. Sengketa Politik
Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara mendasarkan tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas dasar politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat hukum ini penyelesaiannya secara politik. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan hukum yang diambil.
44 Ibid.
Sebagai contoh yaitu sengketa Karang Scarborough antara China dan Filipina. Konflik ini dimulai pada April 2012, dipicu saat pihak berwenang Filipina memergoki 8 kapal penangkap ikan China di Karang Scarborough. Ketika angkatan laut Filipina akan menangkap para nelayan tersebut, tindakan ini dihalangi aksi kapal China lainnya.
Kedua negara mengklaim pulau kecil di laut China Selatan itu, yang terletak sekitar 230 kilometer dari Filipina dan lebih dari 1200 kilometer dari China.45 Akibat peristiwa tersebut, pemerintah Filipina memanggil Duta Besar China di Manila untuk menjelaskan insiden yang terjadi. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Hernandez mengatakan, mereka akan menyelesaikan masalah itu secara diplomatis.46 Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag Belanda, pada 12 Juli 2016 memutuskan, China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan. Pengadilan memutuskan bahwa tak ada dasar hukum apapun bagi China untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di lautan tersebut.47
2. Sengketa Hukum
Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat
45 Ayu Purwaningsih, Sengketa antara Cina dan Filipina, sebagaimana dimuat dalam http://www.dw.com/id/sengketa-antara-cina-dan-filipina/a-15945850 , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 22.00 WIB.
46 Denny Armandhanu, Filipina-China Bersitegang di Laut Sengketa, sebagaimana dimuat dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/303500-al-filipina-china-tegang-di-perairan-sengketa , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 22.15 WIB.
47 Ervan Hardoko, Mahkamah Arbitrase Internasional: China Tak Berhak Klaim Seluruh
Laut China Selatan, sebagaimana dimuat dalam
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17095071/mahkamah.arbitrase.internasional.chi na.tak.berhak.klaim.seluruh.laut.china.selatan , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 20.50 WIB.
dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional. Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara hukum punya sifat yang memaksa kedaulatan negara yang bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.48
Contoh sengketa hukum yaitu sengketa Kuil Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand. Kedua negara tersebut sama-sama mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan pada Juli 2008 kedua negara tersebut menempatkan tentaranya yang keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Kuil Preah Vihear. Perdebatan tentang wilayah kuil ini semakin memanas sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil seluas 4,6 km2 tersebut ke dalam daftar warisan sejarah dunia. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil ini sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menyatakan kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja, namun Thailand tidak menerima keputusan tersebut.49 Menyusul baku tembak yang terjadi antara tentara Thailand dan Kamboja di perbatasan kedua negara pada Februari 2011 , yang menewaskan 18 orang dan memaksa puluhan ribu warga lainnya mengungsi, pihak Kamboja berusaha mengklarifikasi putusan mengenai tanah di sekitar kuil. Kedua belah
48 Boer Mauna, Pengertian, Peranan dan Fungsi Hukum Internasional dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT. Alumni), 2003, hlm. 188-189.
49 Putralief Cyber, Sengketa Internasional Thailand dan Kamboja dan Cara
Penyelesaiannya, sebagaimana dimuat dalam
http://putralief-cyber.blogspot.co.id/2015/02/sengketa-internasional-thailand-dan.html , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 23.15 WIB.
pihak sepakat untuk menarik pasukan dari wilayah sengketa pada Desember 2011.50 Mahkamah Internasional kemudian pada tanggal 11 November 2015 memutuskan areal sekitar kuil Preah Vihear adalah milik Kamboja, dan Thailand harus menarik pasukannya dari daerah itu. Putusan Mahkamah Internasional ini sebenarnya hanya menafsirkan dan menegaskan putusan dalam kasus yang sama pada 1962. Kala itu, Thailand menilai putusan tersebut hanya menyangkut kepemilikan kuil, bukan kepemilikan areal di sekitar kuil tersebut.
„Sengketa‟ ini menimbulkan konflik antar dua negara. Karenanya, Kamboja meminta agar Mahkamah Internasional menafsirkan putusan pada 1962 itu. Dalam putusannya yang terbaru, Mahkamah menegaskan bahwa Kuil Preah Vihear merupakan tempat relijius dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat di region tersebut. Kuil itu bahkan sudah terdaftar sebagai salah satu tempat warisan dunia.51
Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik (political dispute). Profesor Wolfgang Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakteristik sengketa hukum adalah sebagai berikut:
50 Mahkamah PBB Putuskan Wilayah Sengketa, sebagaimana dimuat dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/11/131111_thailand_perebutancandi , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 23.25 WIB.
51 Ali, Sengketa Kuil Kamboja Kalahkan Thailand di Mahkamah Internasional, sebagaimana dimuat dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5283964a53cf7/sengketa-kuil--kamboja-kalahkan-thailand-di-mahkamah-internasional , diakses tanggal 15 Juli 2017, pukul 23.30 WIB.
1. Capable of being settled by the application of certain principles & rules of international law
2. Influence vital interest of State such as territorial integrity 3. Implementation of the existing international integrity to raise a
justice decision and support to progressive international relation
4. The dispute related with legal rights by claims to change the existing rule52
Menurut beliau, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun perbedaannya dapat terlihat pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
1. Sengketa hukum adalah perselisihan antarnegara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada atau yang sudah pasti.
2. Sengketa hukum adalah sengketa yang sifatnya memengaruhi kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu negara.
3. Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada, cukup untuk menghasilkan suatu putusan yang sesuai dengan keadilan antarnegara dengan perkembangan progresif hubungan internasional.
4. Sengketa hukum adalah sengketa yang berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.53
52 Sefriani, loc. cit.
53 Huala Adolf, op. cit. hlm. 4.
Pendapat lain dikemukakan oleh para sarjana dan ahli hukum internasional dari Inggris yang membentuk suatu kelompok studi mengenai penyelesaian sengketa tahun 1963. Kelompok studi yang diketuai oleh Sir Humprey Waldock ini menerbitkan laporannya yang sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber penting untuk studi tentang penyelesaian sengketa internasional.54
Pendapatnya ini dirumuskan sebagai berikut:
The legal of political character of dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights as, for example, in the Corfu Channel case, the dispute is evidently legal. If both are demanding the application of standarts or factors not rooted in the existing rules of international law as, for example in a dispute regarding disarmament, dispute is evidently political.55
Menurut kelompok studi ini penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum.
Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional misalnya soal perlucutan senjata maka sengketa tersebut adalah sengketa politik.
Pendapat selanjutnya adalah dari sekelompok sarjana yang merupakan gabungan sarjana Eropa (seperti De Visscher, Geamanu, Oppenheim) dan Amerika Serikat (seperti Hans Kelsen) Menurut
54 Ibid, hlm. 5.
55 Ibid.
Oppenheim-Kelsen, tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria objektif yang mendasari pembedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka, setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Sengketa tersebut biasanya terkait antarnegara yang berdaulat.56
Menurut Oppenheim-Kelsen:
All dispute have their political aspects by the very fact that they concern relation between sovereign States. Dispute which according to the distinction, are said to be a legal nature might involved highly important political interest of the States concerned, conversely, dispute reputed according to that distinction to be a political character more often than not concern the application of a principle or a norm of international law.57
Semua sengketa memiliki aspek politik sendiri dengan fakta bahwa mereka memperhatian hubungan antara negara-negara berdaulat.
Sengketa yang berdasarkan pembedaannya, dikatakan sebagai sifat hukum yang mungkin melibatkan kepentingan politik yang sangat penting bagi negara-negara yang bersangkutan, sebaliknya, reputasi sengketa sesuai dengan perbedaan tersebut menjadi karakter politik lebih sering daripada tidak memperhatikan penerapan prinsip atau norma hukum internasional.
Menurut Oppenheim dan Kelsen, pembedaan antara sengketa politis dan hukum tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria obyektif yang mendasarinya. Menurut mereka setiap sengketa memiliki aspek-aspek politis dan hukumnya. Sengketa-sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Sengketa-sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum mungkin saja tersangkut di dalamnya kepentingan poliitis yang tinggi dari negara-negara yang bersangkutan.
56 Ibid.
57 Sefriani, loc. cit.
Begitu pula sebaliknya. Sengketa-sengketa yang dianggap memiliki sifat politis, mungkin saja di dalamnya sebenarnya penerapan prinsip-prinsip atau aturan-aturan hukum internasional dimungkinkan.
Menilik pendapat ketiga pakar tersebut adalah tidak mudah untuk memisahkan secara tegas atau kaku antara sengketa hukum dengan sengketa politik. Meskipun demikian, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa semua sengketa yang dapat diselesaikan menggunakan prinsip-prinsip juga aturan-aturan hukum internasional, menyangkut hak-hak yang dijamin oleh hukum internasional merupakan sengketa hukum.58
Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Interpretation of a treaty
2. Any question of international law
3. The existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation
4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation.
Pasal 36 ayat (2) Statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak Statuta, dapat setiap saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima kewajiban yang sama, dalam sengketa hukum mengenai:
1. Penafsiran suatu perjanjian
2. Setiap persoalan hukum internasional
58 Ibid. hlm. 324
3. Adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional
4. Jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban internasional.
Terkait dengan sengketa internasional sangat menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi sengketa internasional adalah to manage, rather than to suppress or to resolve a dispute. 59
59 Ibid.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
E. PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN DAMAI
Bagi organisasi internasional seperti PBB ataupun organisasi regional, penyelesaian sengketa secara damai antara anggotanya merupakan tujuan dari organisasi.60 Gagasan mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai ketimbang penggunaan kekerasan sudah dimunculkan sejak lama sekali.
Namun demikian secara formal, usaha pembentukan lembaga, instrumen hukum, juga pengembangan teknis penyelesaiannya baru memperoleh pengakuan secara luas sejak dibentuknya PBB tahun 1945. Beberapa instrumen hukum tentang penyelesaian sengketa internasional selain Piagam PBB adalah sebagai berikut:
a. Confention for the pacific settlement of int disputes 1899 b. Confention for the pacific settlement of int disputes 1907
c. The Confention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919
d. The General Act for the Pacific Settlement of Int disputes 1928 e. Bandung Declaration 1955: settlement of all disputes by peaceful
means such as negotiations as well as other peaceful means of the parties own choice in conformity with the UN Charter
60 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit. hlm. 18.
f. The Declaration of the GA-UN No. 2625 (XXV) on Principles of International Law concerning friendly relations & Cooperations among States in accordance with the Charter of the UN 1970 g. Manila Declaration on the Peaceful Settlement of international
disputes 1982
h. Treaty of Amity & Cooperation in southeast Asia 1976.61
Di antara kesemuanya itu beberapa pasal yang sangat penting untuk dikemukakan di sini terkait dengan kewajiban negara dalam menghadapi sengketa internasional adalah:
a. Pasal 2 (3) Piagam PBB yang menyatakan bahwa:
All member shall settle their international dispute by peaceful means in such a manner that international peace & security, and justice, are not endangered
b. Art 2 (4) Piagam PBB yang menyatakan bahwa:
All member shall refrain in their int relations from the threat or use of force agains the territorial integrity or political independence of any State, or in other manner inconsistent with the purposes of the UN Charter
c. Pasal 33 Piagam PBB yang menyatakan bahwa:
The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintance of international peace & security, shall, first of all seek a solution by negotiations, enquiry, mediation, conciliation, judicial settlement, resort to regional agencies arrangement, or other means of their own choice
Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban negara untuk memilih satu prosedur tertentu. Namun demikian, kewajiban pihak-pihak bersengketa adalah menyelesaikan
61 Sefriani, op. cit. hlm. 325-326.
sengketanya secara damai. Kegagalan para pihak untuk memperoleh penyelesaian secepat mungkin mewajibkan mereka untuk tetap melanjutkan mencari upaya penyelesaian damai, berkonsultasi satu sama lain dengan cara-cara yang disepakati bersama. Negara harus senantiasa menahan diri dari segala tindakan yang dapat memperbesar masalah, mengancam perdamaian keamanan, serta mempersulit upaya penyelesaian damai.62
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.63 Cara ini sangat praktis dan efektif. Hal ini disebabkan karena cara penyelesaian dengan negosiasi ini para pihak dapat langsung berhubungan dan saling memberikan pengertian tentang apa yang dikehendaki, oleh karenanya kedua belah pihak dapat bertindak dengan bijaksana untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.64
Cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara pertama yang ditempuh manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.65
62 Ibid, hlm. 327.
63 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit. hlm. 7.
64 Ibid.
65 Huala Adolf, op. cit. hlm. 19-20.
Kelemahan utama penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan permasalahan antarnegara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi internasional. Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.66
2. Konsultasi
Jika suatu negara telah mengambil suatu kebijaksanaan yang kemungkinan kebijaksanaan itu mempunyai dampak negatif pada negara lain, perundingan/diskusi dengan negara yang terkena dampak kebijaksanaan tersebut adalah cara yang baik untuk menghindarkan timbulnya sengketa antara kedua belah pihak. Hal tersebut disebabkan bahwa negara yang membuat kebijaksanaan dapat mengadakan perbaikan atas kebijaksanaannya yang mungkin dapat merugikan kepentingan nasional dari kepentingan negara lain. Yang istimewa dari konsultasi adalah adanya suplai informasi sedini mungkin untuk mencegah timbulnya sengketa. Hal ini disebabkan karena pada tahap membuat kebijaksanaan
66 Ibid.
lebih mudah memodifikasi kebijaksanaan tersebut daripada adanya kritik internasional tentang tindakan negara tersebut yang dapat mengakibatkan adanya pressure/tekanan masyarakat internasional atas tindakan/kepentingan domestic negara tersebut.67
Konsultasi dalam kaitannya dengan pengaruh asing dapat dibedakan antara pemberitahuan (notification) dan memperhatikan lebih dulu kepentingan pihak lain. 68 Sebagai contoh pemberitahuan (notification) yaitu seandainya negara A akan membuat keputusan misalnya adanya proyek pembangkit tenaga listrik yang berdekatan dengan perbatasan negara dengan negara B, negara A dapat memberitahu pada negara B tentang rencana tersebut dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan dapat berpengaruh di negara B. Pemberitahuan tersebut akan memberi kesempatan pada negara B untuk memikirkan dampak yang ditimbulkan proyek tersebut pada negara B. Hal ini dapat menyebabkan negara B tidak merasa di faitaccompli. Dalam hal ini pemberitahuan awal negara A tersebut dapat mencegah timbulnya sengketa dengan negara B.
Sedangkan memperhatikan kepentingan pihak lain (obtaining the consent of the state) itu mungkin disebabkan kepentingan yang timbul dari hukum internasional. Kewajiban yang timbul dari hukum internasional ini mungkin karena hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional.69
67 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit. hlm. 7-8.
68 Mc Auslan J.P.W.B., Modern Legal Studies International Disputes Settlement, (London: Sweet and Maxwell Ltd), 1984, hlm. 2.
69 Sri Setianingsih Suwardi, op. cit. hlm. 8-9.
Konsultasi yang dilakukan secara sukarela ataupun secara wajib, konsultasi lebih mudah penerapannya daripada keputusan menurut hukum.
Keputusan menurut hukum harus mengikuti prosedur tertentu dan kadang-kadang dalam penerapannya dapat menimbulkan sengketa baru. Dalam konsultasi negara-negara yang mempunyai hubungan baik satu sama lain dan kemungkinan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan mengadakan koordinasi secara hukum atau administrasi untuk masalah bersama. Di pihak lain, konsultasi merupakan alat yang baik untuk memberi kesempatan pada pihak lain dalam masyarakat internasional berpartisipasi dalam proses pembentukan hukum nasional.70
3. Pencarian Fakta
Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun acapkali permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hak dan kewajiban tersebut.
Penyelesaian sengketa demikian, karenanya bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. 71
Karena para pihak pada intinya mempersengketakan perbedaan mengenai fakta maka untuk meluruskan perbedaan tersebut, campur tangan pihak lain dirasakan perlu untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta
70 Ibid.
71 Huala Adolf, op. cit. hlm. 20
pihak ketiga yang sifatnya kurang formal. Cara inilah yang disebut dengan pencarian fakta (inquiry atau fact-finding)72
Cara penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Di samping itu, organisasi-organisasi internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta ini.73
Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya ini adalah untuk:
a. Membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara
b. Mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional
c. Memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat Internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya pembentukan UNSCOM (United Nations Special Commission) yang dikirim ke wilayah Irak untuk memeriksa ada atau tidaknya senjata pemusnah massal. 74
Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu sengketa Internasional.
Tujuan kedua untuk memastikan suatu kewajiban internasional terlaksana
72 Ibid.
73 Ibid.
74 Dedbua, Penyelesaian Sengketa Internasional melalui pencarian fakta, sebagaimana dimuat dalam http://artikelddk.com/penyelesaian-sengketa-internasional-melalui-pencarian-fakta/ , diakses pada tanggal 30 Mei 2017, pukul 21.00
dengan baik. Sedangkan Tujuan ketiga merupakan unsur yang penting dalam proses pembuatan keputusan dalam organisasi internasional.75
Salah satu instrumen hukum internasional yang mengatur pencarian fakta ini adalah Pasal 9-36 the Hague Convention on The Pasific Settlement of Disputes tahun 1899 dan 1907. Pasal-pasal konvensi ini mengatur tentang cara-cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta dengan membentuk suatu komisi pencarian fakta. Menurut Pasal 9, tugas komisi pencarian fakta hanya menentukan fakta-fakta yang menyebabkan timbulnya sengketa. Pasal 35 menyebutkan bahwa laporan komisi bukan merupakan suatu keputusan. Fakta-fakta diperoleh dari sumber yang terdapat dalam dokumen inspeksi lokal, laporan para ahli, bukti-bukti lain, dan lainnya.
Hasil pencarian fakta ini dilaporkan kepada para pihak dalam suatu bentuk laporan. Namun demikian, laporan tersebut memuat argumen atau usulan penyelesaian sengketa. Peranan komisi dalam hal ini, hanya melaporkan keadaan fakta yang sebenarnya, tidak lebih dari itu.76
Tujuan pembentukan komisi seperti ini biasanya dimaksudkan untuk mencegah para pihak melakukan tindakn yang dapat menggagalkan upaya penyelesaian sengketa secara damai sewaktu komisi sedang aktif bertugas. Tujuannya adalah untuk meredakan sampai jangka waktu
Tujuan pembentukan komisi seperti ini biasanya dimaksudkan untuk mencegah para pihak melakukan tindakn yang dapat menggagalkan upaya penyelesaian sengketa secara damai sewaktu komisi sedang aktif bertugas. Tujuannya adalah untuk meredakan sampai jangka waktu