• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Tafsir Berdasarkan Metodenya

BAB II : LANDASAN TEORI

C. Tafsir

2. Macam-macam Tafsir Berdasarkan Metodenya

Metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspek dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, munasabah ayat, hingga sisi keterkaitan antara pemisah itu (wajh al-munasabah), dengan bantuan asbab an-nuzul riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw., sahabat dan tabi’in.

Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat perayat, dan surat persurat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan

kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusu lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur’an yang mulia ini.43

b). Metode Ijmali (Global)

Metode ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an secara global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai orang yang berpengelaman luas. Metode ini, sebagimana metode tahlili, dilakukan terhadap ayat perayat dan surat persurat sesuai dengan urutannya dalam mushaf sehingga nampak keterkaitan antara makna satu ayat dan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain.

Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Qur’an dengan kosa kata yang berada dalam al-Qur’an, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Qur’an, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung dalam kosa kata yang serupa dalam al-Qur’an, dan adanya keserasian antara bagian al-Qur’an yang satu dan bagian yang lain. Metode tafsir ini lebih jelas dan lebih mudah dipahami oleh pembaca.Ketika menggunakan metode ini, para mufassirmenjelaskan al-Qur’an dengan bantuan sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadits nabi, atau pendapat ulama sholeh.44

43Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hlm. 159

44Ibid.,Hlm. 160

c). Metode Muqarran (perbandingan/komparasi)

Metode muqarran adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan para mufassir.Langkah-langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:

1). Mengumpulkan sejumlah ayat al-Qur’an.

2). Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik dari kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi mengenainya, atau membandingkan kecenderungan tafsir mereka msaing-masing.

3). Menjelaskan siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh madzhab tertentu. Siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi golongan tertentu atau madzhab tertentu, siapa di antara mereka yang penafsirannya yang sangat di warnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fiqih, atau yang lainnya. Siapa di antara mereka yang penafisrannya didominasi oleh uraian-uraian yang sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan tidak didukung oleh argumentasi naqliah; Siapa di antara mereka yang penafisrannya yang dipengaruhi paham-paham Assya’riyyah, Mu’tazilah, atau paham-paham tasawuf, teori-teori filsafat, atau teori ilmiah.

Selain rumusan di atas, metode muqarran mempunyai pengertiannya lain yan lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbiacra tentang tema tertentu, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an

dengan hadits-hadits Nabi, termasuk hadits-hadits yang maknanya tekstual tampak kontradiktif dengan al-Qu’an atau membandingkan al-Qur’an dengan kajian-kajian lainnya.45

d). Metode Maudhu’i (tematik)

Tafsir maudhu’i menurut pendapat mayoritas ulama adalah

“Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama.” Yaitu semua ayat yang berkaitan tentang suatu tema tersebut dikaji dan dihimpun yang berkaitan. Pembahasan secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab an-nuzul, kosa kata dan lain sebagainya. Semua dijelaskan secara rinci dan tuntas serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur’an, hadits, maupun pemikiran rasional.

Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan yang setema. Mufassir akan menacri tema-tema yang ada ditengah masyarakat yang ada di dalam al-Qur’an ataupun dari yang lainnya. Tema-tema yang dipilih akan dikaji secara tuntas dari berbagai aspek sesuai dengan petunjuk dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkan.

Metode maudhu’i (tematik) sebagimana yang diutarakan oleh Syeikh Shaltut, merupakan sebuah metode yang dapat mengantarkan

45Ibid., Hlm. 63

manusia pada macam-macam petunujuk al-Qur’an.Harus diketahui oleh siapa saja bahwa tema-tema al-Qur’an bukanlah teori semata-mata yang tidak menyentuh persoalan manusia. 46

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis studi ini merupakan penelitian pustaka ( Library Research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah di tentukan oleh para ahli terlebih dahulu, mengikuti perkembangan penelitian

46Ibid., Hlm. 64

di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih, dengan memanfaatkan data yang sudah tersedia.47

Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-data diolah melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.

B. Metode Penelitian Tafsir

Metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan. Oleh karenanya, ketepatan dalam menggunakan metode penelitian merupakan syarat utama dalam mengumpulkan data.

Objek studi dalam kajian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, penulis mengunakan metode pendekatan penafsiran al-Qur’an dari segi tafsir tahlili. Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis mengunakan metode maudhu’i.

C. Sumber Data

Adapun yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana dapat diperoleh. Sumber data dari penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder.48

1. Sumber Data Primer ( Pokok)

47Lilis Suryani, Amtsal Dalam Al-Qur’an, ( Palembang: UIN Raden Fatah, 2016), Hlm.

25

48Ibid., Hlm. 25

Sumber data primer dalam penelitian ini terdiri atas kitab Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Karya M. Quraish Shihab.

2. Sumber Data Skunder ( Pendukung)

Sumber data skunder yang di maksud di sini adalah sumber-sumber lainnya yang berfungsi untuk melengkapi sumber-sumber data primer.

Sumber data skunder dalam penelitian ini antara lain:, buku-buku dan tafsir yang berkaitan. Serta informasi dari referensi lain yang memuat ulasan mengenai metode dakwah, baik dari buku, jurnal, majalah maupun surat kabar.

D. Teknik Analisis Data

Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat maka penulis menggunakan pendekatan tafsir Misbah. Tafsir al-Misbah adalah corak tafsir, mendekati corak penafsiran yang menyertakan kosa kata, asbab an-Nuzul dan munasabah ayat, walaupun dalam melakukan penafsiran ayat demi ayat, beliau selalu mendahulukan riwayat.

Di dalam corak tafsir al-Misbah berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan jalan:

1. Mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti

2. Menjabarkan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat bahasa yang indah dan menarik

3. Mufassir berusaha menghubungkan ayat-ayat yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penafsiran Ayat Dakwah Surat An-Nahl 125 Menurut Muhammad Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah

Dalam ajaran agama Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya. Dalam Islam, untuk saling mengingatkan dan mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran. Untuk bisa mencapai target yang diharapkan dalam berdakwah, tentunya setiap individu terkhususnya umat Islam harus mengetahui dan paham betul tentang penafsiran ayat tersebut, yang di jelaskan dalam Q.S. An-Nahl (16) : 125:

َيِه يِتَّلٱِب مُهۡلِد َٰج َو ِةَنَسَحۡلٱ ِةَظِع ۡوَمۡلٱ َو ِةَمۡك ِحۡلٱِب َكِ ب َر ِليِبَس ٰىَلِإ ُعۡدٱ ٱِب ُمَلۡعَأ َوُه َو ۦِهِليِبَس نَع َّلَض نَمِب مَل ۡعَأ َوُه َكَّب َر َّنِإ ُۚنَس ۡحَأ َنيِدَت ۡهُمۡل

١٢٥

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantalah mereka dengan yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk .”

1. Asbab an-Nuzul dan Munasabah Ayat

Pada ayat ini tidak terdapat asbab an-nuzul, hanya terdapat munasabah ayat dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang nabi Muhammad Saw. yang diperintahkan untuk mengikuti nabi Ibrahim as., dan pada surat an-Nahl ayat 125 diperintahkan lagi untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran bapak para nabi dan pengumandang Tauhid. Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad Saw., serulah, yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalanyang ditunjukan Tuhanmu, yakni ajaran Islam, dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantalah mereka, yakni siapa pun yang menolak atau meragukan ajaran Islam, dengan cara yang terbaik.

Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya, jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhaan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah Swt. karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari siapa pun yang menduga tahu tahu tentang siapa yang buruk jiwanya sehingga tersesat dari

jalan-Nya dan Dia-lah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.49

Pada ayat yang lain juga dijelaskan tentang kata dakwah yang terdapat pada surat ali-‘Imran ayat 104:

⧫◆⧫❑

⧫◼⬧⧫⧫◆

➔⧫❑⧫◆

⧫⬧☺⬧

◆➔❑⬧☺

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Pada ayat di atas dijelaskan bahwah kalaulah tidak semua anggota masyarakat dapat melaksanakan fungsi dakwah, hendaklah ada diantara kamu, wahai orang-orang yang beriman segolongan umat, yakni kelompok yang pandangan mengarah kepadanya untuk diteladani dan di dengar nasihatnya yang mengajak orang lain secara terus- menerus tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan, yakni petunjuk-petunjuk Ilahi menyuruh masyarakat kepada yang ma’ruf, yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat merekam selama hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiya, dan mencegah mereka dari yang munkar, yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat.

Mereka yang mengindahkan tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh martabat kedudukannya itulah orang-orang yang beruntung,

49M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan kesan dan keserasian al-Qur’an, V6.

(Jakarta : Lentera Hati, 2002). Hlm. 774

mendapatkan apa yang mereka dambakan dalam kehidupan dunia dan akhirat.50

2. Penafsiran Muhammad Quraish Shihab

Dalam kitab tafsir al-Hikmah dikemukakan sebagai berikut: tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihabmemberi makna bil-hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.

Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali yang menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggaris bawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung.

Thabathaba’i mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang meyatakan secara

50Ibid., Hlm. 209

singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.51

Pakar tafsir al-Biqa’i menggaris bawahi bahwa al-hakim, yakni yang memilikihikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

Kata al-mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasehat.

Mau’izhahadalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Sedang, kata jadilhum terambil dari kata jidal yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.

Ditemukan di atas bahwa mau’izhah hendaknya disampaikan dengan hasanah/baik, sedang perintah berjidal disifati dengan kata ahsan/yang terbaik, bukan sekedar yang baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu sifatpun. Ini berarti bahwa mau’izhah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang buruk.

51Ibid., Hlm. 774-776

Hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran bersadasar ilmu dan akal seperti tulis ar-Raghib, atau seperti tulis Ibn

‘Asyur, ia adalah segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Disisi lain, hikmah yang disampaikan itu adalah yang dimiliki oleh seorang hakim yang dilukiskan maknanya oleh al-Biqa’i seperti penulis nukil di atas, dan ini tentu saja akan disampaikan setepat mungkin, sehingga tanpa menyifatinya dengan satu sifat pun, otomatis dari namanya dan sifat penyandangnya dapat diketahui bahwa penyampaiannya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai.

Adapun mau’izhah, ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Disis lain, karena mau’izhahbiasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, mau’izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.

Sedang jidalterdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baikadalah yang disampaikan dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau

hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik dan dengan argumen yang benar lagi membungkam lawan.

Penyebutan urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi.

Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izhahdengan syarat hasanahkarena ia memang terdiri dari macam, dan yang ketiga adalahjidal yang terdiri dari tiga macam: buruk, baik, dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.

B. Metode-Metode Dakwah Perspektif Tafsir Al-Misbah

Dalam ajaran agama Islam, dakwah merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya. Dalam Islam, dakwah hukumnya wajib bagi setiap individu umat Islam, untuk saling mengingatkan dan mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran dan kesabaran. Untuk bisa mencapai target yang diharapkan dalam berdakwah, tentunya setiap individu umat Islam harus mengetahui dan paham betul metode-metode yang harus digunakan dalam berdakwah.

Metode-metode sebagai berikut : 1. Metode dakwah Hikmah

Kata hikmah mempunyai banyak pengertian. Dalam beberapa kamus kata hikmah diartikan: al-adl(keadilan), al-hilm(kesabaran dan ketabahan).Hikmah adalah perhatian situasi dan kondisi sasaran dakwah, materi yang dijelaskan tidak memberatkan orang yang dituju, tidak membebani jiwa yang hendak dituju. Dengan kata lain, dakwah bil-hikmah adalah dakwah yang memperhatikan konteks sasaran dakwah, mengajak

sesuai dengan kadar kemampuan mad’u yang pada gilirannya bisa membimbing mereka kejalan yang di ridhoi Allah, denga tanpa harus mengorbankan dan menapikan mad’u.

Dalam kitab tafsir Hikmah dikemukakan sebagai berikut: tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab memberi makna bil-hikmahantara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.

Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali yang menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Thahir Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung.

Thabathaba’i mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang meyatakan secara singkat bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar

ilmu dan akal. Dengan demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung kelemahan tidak juga kekaburan.52

Pakar tafsir al-Biqa’i menggaris bawahi bahwa al-hakim, yakni yang memiliki hikmah, harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

Hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran bersadasar ilmu dan akal seperti tulis ar-Raghib, atau seperti tulis Ibn

‘Asyur, ia adalah segala ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara bersinambung. Disisi lain, hikmah yang disampaikan itu adalah yang dimiliki oleh seorang hakim yang dilukiskan maknanya oleh al-Biqa’i seperti penulis nukil di atas, dan ini tentu saja akan disampaikan setepat mungkin, sehingga tanpa menyifatinya dengan satu sifat pun, otomatis dari namanya dan sifat penyandangnya dapat diketahui bahwa penyampaiannya pastilah dalam bentuk yang paling sesuai.

52Ibid., Hlm. 774-776

Selain ayat di atas Muhammad Quraish Shihab juga menafsirkan

“Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang dikehendaki.

Barang siapa yang dianugerahi al-Hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulu al-Bab yang dapat mengambil pelajaran.”

Dalam penafsiran ayat ini Muhammad Quraish Shihab menjelaskan hikmah terambil dari kata hakama, yang pada mulanya berarti menghalangi. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan pengetahuan dan kemampuan menerapkannya.Dari sini, hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta kemampuan menerapkan yang baik dan menghindari yang buruk.53Selanjutnya terdapat dalam surat al-Luqman ayat 12:

ۦِهِس ۡفَنِل ُرُك ۡشَي اَمَّنِإَف ۡرُك ۡشَي نَم َو َِّۚ ِللّ ۡرُك ۡشٱ ِنَأ َةَم ۡك ِحۡلٱ َن َٰمۡقُل اَنۡيَتاَء ۡدَقَل َو ديِمَح ٌّيِنَغ َ َّللّٱ َّنِإَف َرَفَك نَم َو ١٢

Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur, maka sesungguhnya Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji.”

Dalam ayat ini Muhammad Quraish Shihab menafsirkan kata al-hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau

53Ibid., Hlm.704

diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan mendatangkan kemaslahatan, kemudahan yang lebih besar.

Makna ini ditarik dari kata hakama yang berarti kendali karena kendali menghalangi seseorang untuk berbuat kejahatan agar mereka mampu berbuat baik dan sesuai perwujudan dari hikmah.54

Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang burukpun dinamai dengan hikmahdan pelakunya dinamai hakim. Seseorang yang memiliki hikmah harus yakin sepenuhnya dengan pengetahuan dan tindakan yang diambilnya sehingga dia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu-ragu atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.

2. Metode dakwah Mau’izhah Hasanah

Di dalam tafsir al-Misbah kata al-mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat.Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati

Di dalam tafsir al-Misbah kata al-mau’izhah terambil dari kata wa’azha yang berarti nasihat.Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati

Dokumen terkait