• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Kajian Teori

4. Magnesium

Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Magnesium merupakan kation terpenting keempat didalam tubuh dan kedua terbesar di intraseluler setelah kalium (Jahnen-Descent et al. 2012).

b. Keseimbangan Magnesium Normal

Rata-rata intake magensium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d (240-370mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 1-2% magensium total berada dalam cairan ekstraseluler, 67% berada dalam tulang, 31% berada dalam intraseluler (Seo et al. 2008). Dari seluruh intake magnesium, hanya 30-40% yang diserap, terutama di usus halus bagian distal.

Gambar 5. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum. Dari total magnesium tubuh, 67% ditemukan dalam tulang dan jaringan keras, 31% ditemukan dalam sel, dan sekitar 2% ditemukan dalam serum (Seo et al. 2008).

Ekskresi utama magnesium melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. 25% dari total magnesium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% sisanya direabsorbsi di bagian tebal pada lengkung Henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Absorbsi magnesium pada intestinal distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume

expansion, hiperaldosteronisme, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik,

deplesi fosfat, dan alkohol (Akhtar et al. 2011). commit to user

Gambar 6. Keseimbangan magnesium dalam tubuh (Jahnen-Descent

et al. 2012)

c. Konsentrasi Magnesium Plasma

Magnesium (Mg2+) plasma selalu diregulasi antara 1,7 dan 2,1 mEq/L (0,7 – 1 mmol/dL atau 1,7 – 2,4 mg/dL). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal (absorbsi), tulang (penyimpanan), dan ginjal (ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi (Akhtar et al. 2011).

d. Peran Magnesium

Magnesium merupakan penanda penting yang berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak enzim pathway. Magnesium memodulasi dan mengontrol masuknya kalsium sel dan pelepasan kalsium dari membran sarkoplasma dan reticularendoplasma. Kontrol

transportasi kalsium ini bertanggung jawab untuk banyak berperan terhadap fisiologis, di antaranya yang mengendalikan aktivitas neuron, rangsangan jantung, transmisi neuromuskuler, kontraksi otot, tonus vasomotor, tekanan darah dan aliran darah perifer. Peran fisiologis magnesium seperti calcium channel blocker di otot polos, otot rangka, dan sistem konduksi. Peranan magnesium juga sebagai analgesik seperti pada blok reseptor NMDA (Akhtar et al. 2011).

Magnesium sangat kuat mempengaruhi fungsi transportasi ion membran sel jantung dan penting untuk mengaktivasi sekitar 300 sistem enzim, termasuk sebagian besar enzim yang dilibatkan dalam metabolisme energi. Adenosin trifosfat (ATP) menjadi fungsional apabila dikelasi menjadi magnesium. Ion ini merupakan pengatur sel yang penting untuk akses kalsium kedalam dan aksi kalsium didalam sel. Magnesium mengatur tingkat kalsium intraseluler dengan mengaktivasi pompa membran didalam sel yang mengekstrusi kalsium dan bersaing dengan kalsium memperebutkan saluran transmembran yang dengan begitu kalsium ekstraseluler memperoleh akses ke bagian dalam sel. Magnesium merupakan antagonis fisiologis alami dari kalsium. Pelepasan presinaptik asetilkolin tergantung kepada aksi magnesium. Magnesium dapat memberikan efek analgesik dengan beraksi sebagai reseptor antagonist N-methyl-D-aspartate (NMDA). Meskipun demikian, pemberian magnesium IV perioperatif (50 mg/kg IV yang dikuti oleh 15 mg/kg/jam) tidak memiliki efek

terhadap nyeri pasca operasi. Magnesium menghasilkan vasodilasi sistemik dan koroner, menghambat fungsi platelet dan mengurangi cedera reperfusi (Morgan et al. 2013).

1)

Magnesium merupakan oligoelemen yang memiliki pengaruh penting pada fungsi miokard dan sistem pembuluh darah perifer. Magnesium mempengaruhi tekanan darah dengan memodulasi tonus dan struktur pembuluh darah melalui efeknya pada berbagai reaksi biokimia yang mengendalikan kontraksi/dilatasi, pertumbuhan/ apoptosis, diferensiasi dan inflamasi pembuluh darah. Magnesium bertindak sebagai antagonis kanal kalsium, menstimulasi produksi prostasiklin dan nitrit oksida vasodilator. Magnesium juga merubah respon pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor (Akhtar et al. 2011).

Berbagai gangguan ritme, khususnya Torsade de points, ada hubungannya dengan hipomagnesemia. Magnesium intravena telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi berbagai tipe aritmia yang berbeda. Magnesium memiliki aksi elektrofisiologi yang luas pada sistem konduksi jantung meliputi pemanjangan waktu pemulihan sinus node dan penurunan automatisitas, konduksi AV node, konduksi antegrade dan retrograde pada jalur aksesoris, dan konduksi His-ventrikuler. Magnesium intravena juga dapat melakukan homogenisasi repolarisasi ventrikuler transmural.

Karena aksi elektrofisiologinya yang unik dan luas, magnesium intravena dilaporkan berguna dalam mencegah fibrilasi atrium dan aritmia ventrikel setelah operasi jantung dan toraks dalam menurunkan respon ventrikel pada fibrilasi atrium onset akut, termasuk pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White, dalam terapi aritmia supraventrikel dan aritimia ventrikel akibat digoksin, takikardi atrium multifokal, serta takikardi ventrikel polimorfik (Torsade de points) atau fibrilasi ventrikel akibat overdosis obat. Namun, magnesium intravena tidak berguna pada takikardi ventrikel monomorfik dan fibrilasi ventrikel yang tidak mempan terhadap syok. Studi RCT yang besar dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apakan magnesium intravena dapat memperbaiki

outcome pasien dalam kejadian aritmia yang berbeda-beda (Dina et al. 2014).

Magnesium direkomendasikan untuk takikardi ventrikel tanpa pulsasi atau fibrilasi yang menyerupai Torsade de points. Mekanisme aksi magnesium pada Torsade de points masih belum jelas tapi diduga untuk memperpendek potensial aksi melalui kanal potasium miokard. Direkomendasikan dosis sebesar 1 hingga 2 gram dilarutkan dalam 10 ml dekstrose 5% dan diberikan selama 5 hingga 20 menit. Pemberian yang cepat akan menimbulkan hipotensi, yang reversibel dengan pemberian kalsium (Nidhi et al. 2011).

Sifat antihipertensi magnesium berhubungan dengan sifat blokade kanal kalsium yang dimilikinya. Status magnesium memiliki efek langsung terhadap kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah dan regulasi penempatan seluler kation lain yang penting pada tekanan darah-rasio sodium : potasium seluler (Na:K) dan kalsium intraseluler (iCa2+). Sebagai hasilnya, magnesium nutrisional memiliki dampak langsung dan tak langsung pada tekanan darah pada kejadian hipertensi (Cunha et al. 2012).

Telah terbukti bahwa suplementasi magnesium pada pasien anak-anak yang menjalani operasi jantung akan mencegah timbulnya takikardi ektopik jungsional (Dina et al. 2014).

2) Hipertensi Pulmonal dan Magnesium (Akhtar et al. 2011)

Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata yang lebih dari 25 mmHg saat istirahat dan lebih dari 30 mmHg ketika beraktivitas. Magnesium merupakan vasodilator poten dengan demikian memiliki potensi untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal yang tinggi akibat hipertensi pulmonal persisten (PPHN). Strategi pencarian standar pada

Cochrane Neonatal Review Group (CNRG) digunakan untuk

mengetahui peran Mg. Dilakukan pencarian randomized maupun

quasi-randomized trial yang relevan pada COCHRANE

CENTRAL dan MEDLINE (1966 hingga 20 April 2007). Magnesium sulfat dapat mendilatasi konstriksi otot pada arteri

pulmonal. Namun, aksi ini tidak spesifik dan ketika diberikan melalui infus, malah akan bertindak pada otot lain di tubuh termasuk arteri lain. Ini berarti bahwa bahkan jika ditemukan efektif untuk hipertensi pulmonal, aksi yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lain bisa menimbulkan masalah. Review ini menemukan bahwa penggunaan magnesium sulfat untuk PPHN masih belum diuji dalam RCT. Untuk dapat membuktikan manfaatnya, maka diperlukan RCT.

3) Peran Dalam Obstetri (Douglas et al. 2013)

Mg berperan dalam manajemen preeklamsia dan eklamsia. Magnesium mencegah atau mengontrol kejang dengan memblok transmisi neuromuskuler dan menurunkan pelepasan asetilkolin pada terminal saraf motoris. Efek antihipertensinya dikarenakan sifatnya pada blokade kanal kalsium.

Eklamsi dan preeklamsi merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas selama kehamilan, kelahiran dan puerperium. Pencegahan timbulnya kejang pada preeklamsi dan kejang rekuren pada eklamsi merupakan aspek manajemen yang penting. Sejumlah antikonvulsan penting digunakan untuk mengontrol kejadian eklamsi dan untuk mencegah kejang di kemudian hari. Di Amerika Utara, magnesium sulfat parenteral merupakan drug of choice untuk pencegahan dan terapi kejang pada eklamsi. Magnesium sulfat tampaknya bertindak sebagai

vasodilator serebral (khususnya pada pembuluh darah dengan diameter kecil) pada pasien dengan preeklamsi. Dengan potensinya untuk meringankan iskemi serebral, vasodilatasi ini dapat membantu menjelaskan kenapa magnesium sulfat memiliki sifat anti kejang pada preeklamsi. Namun, aturan dosis dan efektivitasnya masih empiris, karena tidak ada RCT yang menunjukkan apakah magnesium sulfat berguna dan berapa level terapetiknya untuk dapat mencegah kejang, tapi nilai sebesar 3-6 mg% dianggap sebagai terapetik.

Pemberian magnesium pada pasien obstetri dengan risiko kelahiran preterm akan memberikan neuroproteksi pada bayi preterm sebagaimana terbukti pada banyak studi. Penggunaan magnesium untuk terapi kelahiran preterm masih belum seberapa terbukti. Magnesium sulfat kadang digunakan sebagai tokolitik untuk memperlambat kontraksi uterin selama kelahiran preterm. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak menghentikan kelahiran preterm dan dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi.

Karena magnesium sulfat merelaksasikan hampir sebagian besar otot, bayi yang terpapar magnesium melebihi periode waktu tertentu akan terlihat lemah ketika lahir. Efek ini biasanya akan menghilang ketika obat ini telah dibersihkan dari sistem sirkulasi bayi. Pemberian magnesium sulfat tidak boleh dilakukan pada

wanita dengan kondisi medis yang dapat memberat akibat efek samping di atas, termasuk wanita dengan miastenia gravis (gangguan otot) atau distrofi otot.

4) Peran Magnesium di ICU

Defisiensi magnesium sering terjadi pada penyakit kritis dan berhubungan dengan tingginya mortalitas dan outcome klinis yang buruk di ICU. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 100 pasien berusia 16 tahun dan dirawat di ICU bedah medis pada Rumah Sakit Universitas selama periode 2 tahun. Observasi dilakukan pada kadar magnesium serum total ketika masuk, sejumlah uji laboratorium terkait magnesium, kebutuhan akan ventilator, durasi ventilasi mekanis, lama waktu rawat inap/ICU, dan demografi pasien secara umum. Dapat disimpulkan bahwa berkembangnya hipomagnesemia selama dirawat di ICU berhubungan dengan prognosis yang mengkhawatirkan. Pengawasan kadar magnesium serum berdampak pada prognosis dan efek terapetiknya juga (David et al. 2011).

5) Magnesium dan Tetanus

Penyebab kematian tersering seseorang dengan tetanus berat tanpa ventilasi mekanis adalah gagal napas terkait spasme, sementara pada pasien dengan ventilasi adalah disfungsi otonom terkait tetanus. Sebuah randomized double blinded placebo

controlled study dilakukan untuk menemukan apakah infus

magnesium sulfat kontinyu akan menurunkan perlunya ventilasi mekanis dan apakah akan memperbaiki kontrol spasme otot dan instabilitas otonom. Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan ventilasi mekanis antara individu yang dirawat dengan magnesium dan plasebo (OR 0,71, 95% CI 0,36-1,40; p=0,324), tingkat

survival juga sama pada kedua kelompok. Namun, dibandingkan

dengan kelompok plasebo, pasien yang mendapat magnesium akan secara signifikan lebih sedikit memerlukan midazolam (7,1 mg/kg per hari (0,1-47,9) vs 1,4 mg/kg per hari (0,0-17,3); p=0,026) dan

pipecuronium (2,3 mg/kg per hari (0,0-33,0) vs 0,00 mg/kg per

hari (0,0-14,8); p=0,005) untuk mengontrol spasme otot dan takikardi yang terjadi. Individu yang mendapat magnesium akan 3,7 (1,4-15,9) kali lebih tidak membutukan verapamil untuk mengatasi instabilitas kardiovaskuler dibanding pada kelompok plasebo. Insidensi kejadian tidak diinginkan pada kedua kelomopok tidaklah berbeda. Dapat disimpulkan bahwa infus magnesium tidak menurunkan kebutuhan ventilasi mekanis pada orang dewasa dengan tetanus berat tapi memang menurunkan kebutuhan akan obat-obatan lain untuk mengontrol spasme otot dan instabilitas kardiovaskuler (Emily et al. 2010).

6) Magnesium dan Asma (Gautam et al. 2013)

Pada asma alergi didapatkan peningkatan stimulasi IgE yang menimbulkan pelepasan histamin. Histamin menyebabkan

bronkospasme melalui kontraksi otot polos yang diperantarai kalsium. Magnesium merupakan antagonis bronkospasme karena memiliki sifat blokade kanal kalsium.

Eksaserbasi asma bisa sering dan dengan derajat keparahan mulai ringan hingga status asmatikus. Penggunaan magnesium sulfat (MgSo4) merupakan satu dari sejumlah pilihan terapi yang bisa diberikan selama eksaserbasi akut. Di saat efektivitas magnesium sulfat intravena telah dibuktikan, masih sedikit yang diketahui mengenai magnesium sulfat inhalan. RCT didapatkan dari Cochrane Airways Group “Asthma and Wheeze”. Penelitian ini disuplemen dengan penelitian yang ditemukan dalam daftar referensi studi yang diterbitkan. Studi-studi ini ditemukan menggunakan teknik pencarian elektronik ekstensif, begitu juga tinjauan mengenai gray literature dan conference proceedings. Didapatkan enam penelitian yang melibatkan 296 pasien. Empat penelitian membandingkan antara nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis dengan β-agonis. Dua studi membandingkan MgSO4 dengan β-2 agonis saja. Tiga studi hanya melibatkan orang dewasa dan dua studi hanya melibatkan pasien pediatri. Tiga studi melibatkan pasien dengan asma berat. Secara keseluruhan, ada perbedaan signifikan pada fungsi paru antar pasien yang mendapat terapi nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis, namun lama rawat inap pada kedua kelompok tidak jauh beda. Analisis subgrup tidak

menunjukan perbedaan signifikan pada perbaikan fungsi paru antara orang dewasa dan anak, atau antara asma berat, ringan maupun sedang. Simpulan terkait terapi dengan nebulasi MgSO4 saja sulit dibuat karena masih sedikitnya penelitian di bidang ini. Nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis pada terapi eksaserbasi asma akut tampaknya memiliki manfaat terkait perbaikan fungsi paru dan terdapat kecenderungan pada waktu rawat inap yang lebih baik. Heterogenitas antar penelitian yang dilibatkan dalam tinjauan ini membuat tidak bisa menarik simpulan yang lebih definitif.

Lima randomised placebo controlled trials yang melibatkan total 182 pasien telah didapatkan. Mereka membandingkan magnesium sulfat intravena dengan plasebo dalam terapi pasien pediatri dengan serangan asma sedang hingga berat di IGD, dengan terapi tambahan berupa inhalasi β-2 agonis dan steroid sistemik. Magnesium sulfat intravena memberikan manfaat tambahan pada asma akut sedang hingga berat pada anak yang diterapi dengan bronkodilator dan steroid.

7) Magnesium dan Respon Intubasi Laringoskopik

Peran magnesium dalam menurunkan respon intubasi telah berkembang. Magnesium memiliki sifat vasodilatasi langsung pada arteri koroner dan magnesium juga dapat menghambat pelepasan katekolamin, sehingga menurunkan efek hemodinamik selama intubasi endotrakea. Magnesium juga merupakan antagonis

fisiologi dari kalsium, yang memainkan peran penting pada pelepasan katekolamin dalam responnya terhadap stimulasi simpatetik. Puri et al menemukan magnesium lebih baik dalam menurunkan respon tekanan pada intubasi endotrakeal begitu juga dalam menimbulkan perubahan ST yang lebih rendah pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang akan menjalani operasi CABG (Dina et al. 2014).

Sebuah studi dilakukan untuk menemukan dosis optimal magnesium yang menyebabkan penurunan respon kardiovaskuler setelah laringoskopi dan intubasi endotrakeal (Dina et al. 2014). Dalam sebuah RCT double blind, 120 pasien ASA I berusia 15-50 tahun, yang merupakan kandidat operasi elektif, dipilih dan diklasifikasikan dalam enam grup (masing-masing 20 pasien). Denyut nadi dan tekanan darah diukur dan direkam pada lima menit sebelum pemberian obat, berdasarkan kelompok yang berbeda. Pasien yang mendapat magnesium sulfat sama dalam semua grup dan denyut nadi serta tekanan darah diukur dan direkam sebelum intubasi dan juga pada 1, 3 dan 5 menit setelah intubasi (sebelum insisi). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tekanan daarah, denyut nadi, Train of Four (TOF), dan komplikasi antara kelompok yang mendapat magnesium tapi perbedaan signifikan pada parameter ini tampak antara magnesium dan lidokain (Dina et al. 2014, Nidhi et al. 2011).

Dapat disimpulkan bahwa preterapi dengan dosis magnesium berbeda memiliki efek penurunan yang aman pada respon kardiovaskuler yang lebih efektif daripada preterapi dengan lidokain (Dina et al. 2014).

8) Magnesium dalam Menurunkan Kebutuhan Analgesik

Terapi nyeri selama dan setelah operasi yang efektif merupakan komponen pemulihan penting karena berfungsi untuk menumpulkan refleks otonom, somatik, dan endokrin yang berpotensi timbulnya penurunan morbiditas perioperatif. Telah banyak diketahui untuk menerapkan pendekatan polifarmakologi pada terapi nyeri postoperasi, karena belum ada agen khusus yang diketahui menghambat nosisepsi tanpa menimbulkan efek samping (Mahendra et al. 2013).

Magnesium merupakan calcium channel blocker dan antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate non-kompetitif (NMDA). Magnesium sulfat telah terbukti sebagai ajuvan untuk analgesi intra dan postoperasi pada proses operasi yang berbeda termasuk ginekologi, ortopedi, toraks dan lain-lain. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa magnesium sulfat perioperatif akan menurunkan kebutuhan anestesi dan memperbaiki analgesi postoperatif. Namun, beberapa studi telah menyimpulkan bahwa magnesium memiliki efek yang terbatas bahkan sama sekali tidak ada (Christopher et al. 2010).

9) Intravenous Regional Anesthesia (IVRA) Menggunakan Lidokain dan Magnesium (Akhtar et al. 2011)

IVRA merupakan salah satu bentuk anestesi regional paling sederhana dengan keberhasilan yang tinggi. Namun, IVRA terbatas pada nyeri torniket dan IVRA tidak mampu menghasilkan analgesi postoperatif. Untuk memperbaiki kualitas blok, memperpanjang analgesi postdeflasi, dan menurunkan nyeri torniket, aditif berbeda telah digabungkan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang terbatas.

Mekanisme aksi magnesium sebagai ajuvan IVRA bersifat multifaktorial. Mekanisme aksi magnesium selain yang disebutkan di atas juga telah banyak diteliti. Studi melaporkan bahwa magnesium memiliki efek vasodilatasi yang dipicu oleh

endothelium-derived nitic oxide. Nitrit oksida menyebabkan

aktivasi guanil siklase dan meningkatkan siklik guanin monofosfat, yang memperantarai relaksasi otot polos vaskuler. Nitrit oksida juga merupakan inhibitor poten adesi netrofil pada endotel pembuluh darah.

Tabel 9. Manfaat magnesium (Douglas et al. 2013)

Sistem Manfaat Mekanisme

Respirasi Eksaserbasi akut asma Relaksasi otot polos bronkial Antagonis kalsium

Aktivasi adenylate cyclase ↓ pelepasan neurotransmitter terminal saraf motorik

Jantung Aritmia ventrikuler terinduksi digoksin

VT/VF/ Torsade de pointes yang refrakter terhadap terapi lain

Depresan miokard direk

Memperpanjang konduksi SA dan AV

↑ periode refraktori AV node

Neurologi Spinal cord injury Traumatic cord injury

↓ pelepasan Ach pada NMJ Antagonis kalsium

Gastrointestinal Antasid Agen netralisasi

Metabolik Reseksi feokromasitoma Osteoporosis

Calcium channel blocker

Supresi pelepasan katekolamin

Obstetrik Preeklamsia

Neuroproteksi fetal preterm

Antagonis kalsium Antagonis NMDA ↓ kadar ACE

Anestesi Analgesia

Mengurangi respon intubasi

Antagonis NMDA Lainnya Tetanus Pencegahan noise-related hearing loss Premenstrual syndrome Antagosis kalsium Antagonis NMDA

ACh: acetylcholine, NMJ: neuromuscular junction, ACE: angiotensin converting

e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium Serum

Defisiensi magnesium disebabkan oleh multifaktorial. Defisiensi magnesium ditemukan pada 7-11% pasien rawat inap dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit lainnya seperti potasium dan fosfat pada 40% kasus dan sisanya sodium dan kalsium. Absorbsi magnesium dan kalsium saling berhubungan, maka defisiensi keduanya sering ditemukan bersama-sama. Hipokalsemia meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH). Hipomagnesemia mengganggu pelepasan PTH yang dipicu hipokalsemia, dapat dikoreksi dalam beberapa menit dengan infus magnesium. Magnesium juga diperlukan untuk sensitivitas jaringan target terhadap PTH dan metabolit vitamin D. Selain interaksi dengan kalsium, magnesium memiliki efek yang besar pada regulasi pergerakan sodium dan potasium transmembran. Hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D menstimulasi penyerapan kembali (reabsorbsi) magnesium di ginjal dan usus halus, dimana insulin dapat menurunkan ekskresi magnesium di ginjal dan meningkatkan pengambilan tingkat sel (David et al. 2011).

Definisi hipomagnesemia adalah suatu keadaan dimana kadar magnesium plasma kurang dari 0,7 mmol/L dan disebabkan terutama oleh asupan diet yang inadekuat dan atau ekskresi dari ginjal dan sistem gastrointestinal. Gejala klinis secara signifikan terlihat pada keadaan dimana kadar magnesium serum dibawah 0,5 mmol/L yang

sering kali berhubungan dengan diare, muntah-muntah, penggunaan diuretik kuat dan thiazide, ACE inhibitor, cisplatin, aminoglikosida, atau penggunaan obat-obat nefrotoksik, dan beberapa kelainan endokrin seperti penyakit paratiroid, hiperaldosteronisme, dan kronik alkoholisme. Diabetes mellitus sangat kuat berhubungan dengan hipomagnesemia, kemungkinan karena peningkatan ekskresi urin. Hipomagnesemia juga dapat terjadi pada pasien-pasien perioperatif dan sering ditemukan pada pasien yang menjalani prosedur operasi kardiotorak atau operasi abdominal mayor dan toroidektomi (Akhtar et

al. 2011).

Defisiensi magnesium sering berdampak pada gangguan jantung dan neuromuskular. Gejala klinis termasuk mual muntah, kelemahan otot, kejang, fasikulasi otot, dan perubahan pada gambaran EKG seperti perpanjangan PR interval, QT interval, penyusutan gelombang T, aritmia seperti Torsades de pointes. Hipomagnesemia juga sering kali berhubungan dengan gangguan elektrolit sebagai hipokalemia dan hipokalsemia (David et al. 2011).

Tabel 10. Penyebab hipomagnesemia (Swaminathan 2003)

Penyebab Contoh

Redistribusi magnesium Refeeding dan terapi insulin Hungry bone syndrome

Koreksi asidosis Transfusi darah massif Katekolamin eksesif

Gastrointestinal Intake yang berkurang (defisiensi nutrisi) Absorbsi yang berkurang (diare kronik, sindroma malabsorbsi)

Renal loss Penurunan reabsorbsi sodium Infus salin

Diuretik

Penyakit ginjal Post renal obstruction Post renal transplantation

Dialisis

Gagal ginjal akut

Endokrin Hiperparatiroid Hiperkalsemia maligna Hiperaldosteronisme Hipertiroidisme Diabetes mellitus Alkoholisme

Obat-obatan Diuretik, sitotoksik, antibiotik

(aminoglikosida, OAT), imunosupresan, β

adrenergic agonist,

Tabel 11. Gambaran klinis hipomagnesemia (Swaminathan 2003) Gambaran klinis

Gangguan elektrolit Hipokalemia

Hipokalsemia Neuromuskular dan SSP Spasme carpopedal

Muscle cramp

Muscle weakness, fasikulasi, tremor Vertigo

Nistagmus Depresi, psikosis

Kardiovaskuler Atrial takikardi, fibrilasi

Aritmia supraventrikuler Aritmia ventrikuler

Torsade de pointes

Sensitivitas digoksin

Komplikasi defisiensi magnesium Perubahan homeostasis glukosa Aterosklerosis Hipertensi Infark miokard Osteoporosis Lainnya Migrain Asma f. Toksisitas Magnesium

Toksisitas magnesium sangat jarang terjadi kecuali pada kasus tertentu dimana gagal ginjal mencegah eksresi urin (misal, pada situasi dimana obat mengandung magnesium diberikan pada pasien dengan disfungsi ginjal). Gejala seperti depresi SSP, paralisis otot skelet, dan pada kasus ekstrim berupa koma dan kematian. Seiring meningkatnya magnesium plasma melebihi 4 meq/L, refleks tendon dalam adalah

yang pertama kali menurun dan kemudian menghilang seiring kadar plasma mendekati 10 meq/L. Pada level ini dapat terjadi paralisis respiratorik. Henti jantung juga dapat disebabkan oleh kadar magnesium plasma yang rendah. Konsentrasi magnesium serum lebih dari 12 meq/L juga bisa berakibat fatal.

Antidotum toksisitas magnesium adalah kalsium glukonat (10% dalam 10 mL larutan selama 10 menit) melalui injeksi intravena perlahan. Pasien akan memerlukan monitoring EKG selama dan setelah injeksi karena berpotensi timbul aritmia. Resusitasi dan ventilator harus tersedia selama dan sesudah pemberian magnesium sulfat dan kalsium glukonat (Akhtar et al. 2011).

Tabel 4. Kadar dan toksisitas magnesium (Douglas et al. 2013) Kadar magnesium serum

Dokumen terkait