PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM
PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga
Oleh Batara S 501108016
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA commit to user
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur kepada Allah S.W.T. atas segala kekuatan, kemudahan, dan anugerah hingga terwujudnya karya ini yang berjudul:“ Perbedaan Pengaruh Antara Isofluran dan Sevofluran Terhadap Kadar Magnesium Serum pada Pasien yang Menjalani Anestesi Umum”.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini,
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs. MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Hartono, dr, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S, selaku Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Universitas Sebelas Maret.
5. Dr. Hari Wujoso, dr, Sp.F., MM, selaku pembimbing statistik dan penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingan yang diberikan dalam rangka penyusunan tesis ini.
6. Dr. Soetrisno, dr, Sp.OG., (K), selaku penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingan yang diberikan dalam rangka penyusunan tesis ini.
7. Sugeng Budi Santosa dr, Sp.An., KMN selaku Kepala SMF Anestesi dan Terapi Intensif FK UNS/RSDM dan selaku pembimbing substansi, atas kesediaannya meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini dan yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
8. Purwoko, Sp.An., dr, KAKV, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter commit to user
memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
9. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS. 10. Kedua orang tua penulis, Bapak Tatag Dalwono dan Ibu Titik Yuliati serta orang tua mertua Bapak Wisnu Untoro dan Ibu Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan.
11. Istri tercinta dan tersayang, Maytia Pratiwisitha, yang tak pernah lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan perhatiannya, selama penulis menjalani pendidikan, serta anakku Sabrina Mutiara Pratiwi, yang menjadikan hidup lebih berwarna.
12. Kakak kandung yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
13. Teman-teman Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif yang memberikan perhatian dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Surakarta, Agustus 2015
Penulis
Batara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. i
LEMBAR PENGESAHAN ………... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………..……….. iii
DAFTAR ISI ……….. iv
DAFTAR TABEL ……….. vii
DAFTAR GAMBAR ………. viii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. ix
ABSTRAK ………. x
ABSTRACT ………. xi
BAB I. PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah………..………… 1
B. Rumusan Masalah ………... 4 C. Tujuan Penelitian ……… 1. Tujuan Umum ………... 2. Tujuan Khusus ……….. 4 4 4 D. Manfaat Penelitian ……….. 1. Manfaat Teoritis ……… 2. Manfaat Praktis ………. 3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga .…….. 5 5 5 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 6
A. Kajian Teori ……… 1. Anestesi Inhalasi ………... a. Farmakokinetik ………... 6 6 7 10
2. Isofluran ……… a. Definisi ……… b. Sifat Fisik dan Kimia ……….. c. Efek Pada Sistem Organ ………. d. Biotransformasi dan Toksisitas ……….. 3. Sevofluran ……….
a. Definisi ……… b. Sifat Fisik dan Kimia ……….. c. Efek Pada Sistem Organ ………. d. Biotransformasi dan Toksisitas ……….. 4. Magnesium ………
a. Definisi ……… b. Keseimbangan Magnesium Normal ……… c. Konsentrasi Magnesium Plasma ………. d. Peran Magnesium ……… e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium …... f. Toksisitas Magnesium ………. 5. Pengaruh Isofluran dan Sevofluran Terhadap
Magnesium Serum ……… 17 17 18 19 21 22 22 22 24 26 27 27 27 29 29 44 47 49 B. Kerangka Konsep ……… 54 C. Hipotesis ………. 55
BAB III METODE PENELITIAN ………. 56
A. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 56
B. Jenis Penelitian ……….. 56
C. Populasi dan Subjek Penelitian ………. 1. Populasi Target ……… 2. Subjek Penelitian ………. 3. Besar Subjek Penelitian ………... 56 56 56 57 D. Teknik Pengambilan Sampel ………. 58
E. Variabel Penelitian ……… 58
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……….. 1. Anestesi Umum ………... 2. Isofluran ……….……….. 3. Sevofluran ……… 4. Magnesium Serum ………... 59 59 60 61 61 G. Instrumen Penelitian ……….. 62 H. Perijinan Penelitian ……… 1. Ethical Clearance ……… 2. Ijin Subjek Penelitian ……….. 64 64 64 I. Alur Penelitian ………... 65 J. Langkah Penelitian ……… 66 K. Teknik Analisis ………. 67
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 69
A. Hasil Penelitian ……….. 1. Karakteristik Subjek Penelitian ………... 2. Uji Normalitas Data ………. 3. Uji Kesetaraan Data ………. 4. Analisis Bivariat ……….. 69 69 71 72 73 B. Pembahasan ………... 76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 79
A. Kesimpulan ……… 79
B. Saran ……….. 79
DAFTAR PUSTAKA ………... 81
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peran kanal ion sensitif anestesi ………. 16
Tabel 2. Efek fungsional anestesi inhalasi terhadap kanal ion ………… 17
Tabel 3. Koefisien partisi gas isofluran ……… 18
Tabel 4. Sifat fisik dan kimia isofluran ……… 19
Tabel 5. Nilai MAC isofluran ………... 19
Tabel 6. Koefisien partisi gas sevofluran ………. 23
Tabel 7. Sifat fisik dan kimias evofluran ………. 24
Tabel 8. Nilai MAC sevofluran ……… 24
Tabel 9. Manfaat magnesium ………... 43
Tabel 10. Penyebab hipomagnesemia ……… 46
Tabel 11. Gambaran klinis hipomagnesemia ………. 47
Tabel 12. Kadar dan toksisitas magnesium ……… 48
Tabel 13. Karakteristik subjek penelitian ………... 70
Tabel 14. Uji normalitas data kadar magnesium serum ………. 71
Tabel 15. Uji normalitas data perubahan kadar magnesium serum ……... 72
Tabel 16. Uji kesetaraan sebelum perlakuan (pretes) ……… 72
Tabel 17. Perbedaan kadar magnesium isofluran dan sevofluran ……… 73
Tabel 18. Data perubahan kadar magnesium isofluran dan sevofluran ... 74
Tabel 19. Uji Mann Whitney perubahan setelah pemberian isofluran dan sevofluran ……….…... 75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme anestesi umum pada reseptor GABAA…………. 13
Gambar 2. Proses transmisi sinapsis ………. 15
Gambar 3. Rumus molekul isofluran ……… 18
Gambar 4. Rumus molekul sevofluran ………. 22
Gambar 5. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum ……….. 28
Gambar 6. Keseimbangan magnesium dalam tubuh ………. 29
Gambar 7. Kerangka konsep ………. 54
Gambar 8. Alur penelitian ………. 65
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed consent ………. 86
Lampiran 2. Lsmpiran 3.
Lembar ethical clearance ……… Rekapitulasi hasil penelitian magnesium (isofluran) …….
87 88
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil penelitian magnesium (sevofluran) ….. 90
Lampiran 5. Hasil uji statistik ………. 92
ABSTRAK
Batara, S 501108016, 2015. Perbedaan Pengaruh Antara Isofluran dan Sevofluran Terhadap Kadar Magnesium Serum Pada Pasien yang Menjalani Anestesi Umum. Tesis. Pembimbing I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K)., Pembimbing II: Sugeng Budi Santoso, dr., Sp.An-KMN. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Minat Utama Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Pemberian anestesi umum diantaranya isofluran dan sevofluran dapat menimbulkan berbagai efek yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskuler, neuromeuskuler, dan homeostasis, termasuk perubahan kadar magnesium serum. Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan pengaruh antara isofluran sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan analisis bivariat yang melibatkan 32 pasien yang menjalani anestesi umum dan sesuai dengan kriteria penelitian. Subyek dibagi menjadi dua kelompok, 16 pasien dengan pemberian isofluran dan 16 pasien dengan pemberian sevofluran. Dari masing-masing kelompok diukur kadar magnesium serum sebelum dan 30 menit setelah pemberian agen anestesi umum lalu dibandingkan di antara kedua kelompok. Analisis bivariat dengan paired sample t-test dan Mann-Whitney U test digunakan untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium sebelum dan setelah pemberian agen serta perbedaan kadar magnesium antara kedua kelompok. Hasil: Analisis bivariat dengan paired sample t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi umum pada kelompok isofluran (p=0,000) dan pada kelompok sevofluran (p=0,000). Uji Mann-Whitney U test juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perubahan kadar magnesium antara kedua kelompok (p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada penurunan kadar magnesium serum antara pemberian isofluran dan sevofluran. Penurunan kadar magnesium serum pada kelompok isofluran lebih besar dibandingkan kelompok sevofluran. Kata kunci : Isofluran, sevofluran, kadar magnesium serum, anestesi umum
ABSTRACT
Batara, S 501108016, 2015. The Differences of Isoflurane and Sevoflurane
Effects on Serum Magnesium Levels in Patients Undergoing General Anesthesia. Thesis. Advisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K)., Advisor II: Sugeng Budi Santoso, dr., Sp.An-KMN. Magister Study Program of Family Medicine. Main interest: Biomedical Science. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Background : Administration of general anesthesia including isoflurane and
sevoflurane can cause a variety of effects related to cardiovascular function, neuromuscular, and homeostasis, including changes in serum magnesium levels.
Aims : To prove the differences of isoflurane and sevoflurane effects on serum
magnesium levels in patients undergoing general anesthesia.
Methods : This study is an observational analytic study using bivariate analysis
involving 32 patients who underwent general anesthesia and met the criteria of the study. The subjects were divided into two groups, 16 patients with the administration of isoflurane and 16 patients with the administrations of sevoflurane. From each group, serum magnesium levels were measured prior to and 30 minutes after administration of general anesthetic agents, then the levels were compared between the two groups. Bivariate analysis with paired sample t-test and Mann-Whitney U t-test was used to determine the differences in magnesium levels before and after administration of the agent as well as differences in magnesium levels between the two groups.
Results : Bivariate analysis with paired sample t-test shows significant
differences between serum magnesium levels before and after administration of general anesthetic agents in the isoflurane group (p = 0.000) and sevoflurane group (p = 0.000). Mann-Whitney U test also shows a significant difference of the serum magnesium level changes between the two groups (p = 0.000).
Conclusion: There is significant difference in serum magnesium levels decrease between isoflurane and sevoflurane administration. Decreased levels of serum magnesium in the isoflurane group is larger than sevoflurane group.
Keywords : Isoflurane, sevoflurane, serum magnesium level, general
anesthesia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anestesi umum saat ini telah banyak berkembang dan terlibat dalam berbagai perkembangan prosedur medis terbaru. Jumlah prosedur pembedahan terus meningkat dan membutuhkan keterlibatan peran dari anestesi umum. Anestesi umum juga telah banyak digunakan untuk prosedur diagnostik invasif minimal dan terapeutik yang memerlukan imobilisasi dan sedasi dalam pada pasien. Pada kondisi ini, penekanan terhadap efektivitas biaya, pemulihan segera, kepuasan pasien, dan minimalisasi efek samping sangatlah penting. Meskipun banyak laporan mengenai efek anestesi umum terhadap timbulnya depresi kardiopulmonal hingga kematian, pada kenyataannya, kejadian ini terus berkurang hingga mencapai 1 per 250.000 pasien sehat. Mengingat ada banyak efek samping dari anestesi umum, pemilihan agen inhalasi yang bekerja cepat dan memiliki sedikit efek samping harus dipertimbangkan dan terus diteliti (Campagna et al. 2003).
Anestesi umum inhalasi masih banyak digunakan saat ini karena kemudahan dalam pemberiannya yaitu secara inhalasi dan kemudahan dalam mengawasi efek samping yang dapat muncul. Metode pemberian yang unik dan tidak ditemui pada agen anestesi lain membuat agen ini memiliki keuntungan seperti lebih cepatnya agen berada dalam darah arteri karena alirannya langsung ke sirkulasi pulmonal (Morgan et al. 2013). Agen anestesi
inhalasi poten yang paling sering digunakan pada prosedur pembedahan dewasa adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen inhalasi yang paling sering digunakan pada anak-anak (Ebert et al. 2009). Sebelumnya, halotan dan enfluran disertai dengan nitrous oxide (N2O) merupakan agen anestesi utama, tetapi selama beberapa dekade terakhir isofluran, desfluran, dan sevofluran telah menggantikan posisi halotan dan enfluran karena terdapat banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa ketiga agen tersebut dimetabolisme secara lebih aman oleh hepar dan memiliki efek samping serta toksisitas yang lebih kecil. Hingga saat ini ketiga agen tersebut menjadi pilihan utama agen anestesi inhalasi (Saber at al. 2009).
Walaupun agen anestesi inhalasi utama saat ini dianggap paling aman untuk prosedur anestesi umum, agen yang dirasa memuaskan belum ada. Isofluran dan sevofluran memerlukan dosis secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan pasien (Deckardt et al. 2007). Dosis anestesi yang kurang atau terlalu dalam dapat menimbulkan efek pada kardiopulmonal, neuromuskular, dan gangguan homeostasis. Gangguan yang dapat muncul antaralain atrial fibrilasi, aritmia ventrikuler, takikardi, serta hipereksitasibilitas neuromuskular (Behne et al. 2003).
Beberapa gangguan pemberian agen inhalasi juga tidak lepas dari peranan ion-ion dalam tubuh. Terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa pemberian anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya,
Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa mekanisme. Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon
et al. 2009).
Magnesium merupakan kation terbanyak kedua dalam intraseluler dan kation terbanyak keempat dalam tubuh. Magnesium berperan penting secara fisiologis dalam berbagai fungsi tubuh. Peran ini berkaitan dengan dua kemampuan magnesium, yaitu kemampuannya membentuk kelasi dengan ligan anionik intraseluler yang penting, terutama ATP, dan kemampuannya berkompetisi dengan kalsium untuk mengikat reseptor pada protein dan membran. Magnesium juga penting dalam sintesis asam nukleat dan protein, serta bekerja spesifik pada organ seperti sistem neuromuskuler dan kardiovaskuler. Lebih dari 500 enzim pada tubuh membutuhkan peran dari magnesium (Swaminathan 2003). Hipomagnesemia atau defisiensi magnesium dalam serum yang salah satunya ditimbulkan oleh pemberian isofluran dan sevofluran, dapat menimbulkan berbagai efek dan komplikasi yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskuler, neuromuskuler, dan fungsi homeostasis (Seo et al. 2008). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui peranan pemberian isofluran dan sevofluran terhadap perubahan kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian agen inhalasi terhadap kadar magnesium serum terutama perbedaan kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi inhalasi, yaitu isofluran dan sevofluran, serta membandingkan kadar magnesium serum pada kedua kelompok tersebut.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis dan mengevaluasi perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis dan mengevaluasi pengaruh pemberian isofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
b. Untuk menganalisis dan mengevaluasi pengaruh pemberian sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
c. Untuk menganalisis dan mengevaluasi perbedaan antara kedua kelompok.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah dalam upaya menerangkan perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi klinisi untuk memilih agen anestesi inhalasi yang paling aman sehingga dapat memperkecil efek samping yang dapat timbul pada pasien selama dan setelah prosedur anestesi.
3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan pengaruh anestesi umum terhadap kadar magnesium.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan makna klinis magnesium terhadap tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi banyak digunakan dalam praktik anestesi umum karena kemudahan dalam pemberian dan kemudahan dalam mengawasi efeknya (tanda klinis dan konsentrasi tidal akhir). Agen anestesi utama yang sering digunakan saat ini adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen anestesi inhalasi yang paling banyak digunakan pada anak-anak (Ebert et al. 2009). Anestesi inhalasi biasanya diberikan sebagai maintenance anestesi umum tetapi juga dapat digunakan sebagai induksi, terutama pasien pediatri. Dosis anestesi inhalasi biasanya ditetapkan dalam MAC (minimum alveolar concentration) (Saifee et al. 2007). Pada konsentrasi yang berbeda, anestesi inhalasi dapat menginduksi efek berbeda yang penting secara klinis. Konsentrasi yang rendah dapat menginduksi amnesia, euforia, analgesia, hipnosis, eksitasi, dan hiperefleks. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan sedasi dalam, relaksasi otot, dan hilangnya respon motorik serta otonom terhadap stimulus noksius. Beberapa agen inhalasi dapat memberikan efek proteksi miokard sehingga mencegah timbulnya iskemia yang diperlukan oleh banyak pasien yang menjalani anestesi umum (Campagna et al. 2003).
a. Farmakokinetik (Saifee et al. 2007) 1) Penentu Kecepatan Onset dan Offset
Konsentrasi anestesi alveolar (FA) dapat berbeda secara signifikan dari konsentrasi anestesi inspirasi (FI). Laju peningkatan rasio kedua konsentrasi ini (FA/FI) menentukan kecepatan induksi anestesi umum. Dua proses yang berlawanan, hantaran anestesi menuju dan berasal dari alveoli menentukan nilai FA/FI saat waktu pemberian. Penentu uptake antaralain:
a) Koefisien partisi darah-gas. Daya larut yang rendah akan menyebabkan uptake anestesi yang lebih rendah menuju aliran darah, sehingga meningkatkan laju peningkatan FA/FI. Daya larut agen inhalasi biasanya meningkat pada kondisi hipotermia dan hiperlipidemia.
b) Konsentrasi anestesi inspirasi. Konsentrasi ini dipengaruhi oleh ukuran sirkuit, laju inflow fresh gas, dan absorbsi anestesi inhalasi oleh komponen sirkuit.
c) Ventilasi alveoli. Peningkatan ventilasi per menit, tanpa perubahan proses lain yang berefek pada hantaran atau uptake anestesi, meningkatkan FA/FI.
d) Efek konsentrasi. Saat FI meningkat, laju peningkatan FA/FI juga meningkat.
e) Efek gas kedua. Ini merupakan outcome langsung dari efek konsentrasi. Ketika nitrit oksida dan agen inhalasi poten
diberikan bersama, uptake nitrit oksida meningkatkan konsentrasi gas kedua (seperti isofluran) dan meningkatkan input gas kedua tambahan menuju alveoli melalui perubahan volume inspirasi.
f) Curah jantung. Peningkatan curah jantung (dan juga aliran darah pulmonal) akan meningkatkan uptake anestesi dan menurunkan laju peningkatan FA/FI. Penurunan curah jantung akan memberikan efek sebaliknya.
g) Gradien antara darah vena dan alveoli. Uptake anestesi dalam darah akan menurun saat gradien tekanan parsial anestesi antara alveoli dan darah menurun.
2) Distribusi dalam Jaringan
Tekanan parsial anestesi inhalasi dalam darah arteri biasanya mendekati tekanan alveoli. Tekanan parsial arteri dapat secara signifikan lebih kecil, namun, saat abnormalitas ventilasi-perfusi tampak nyata (seperti shunt), terutama dengan agen anestesi yang tidak mudah larut. Laju ekuilibrasi tekanan parsial anestesi antara darah dan sistem organ tertentu tergantung pada faktor berikut:
a) Aliran darah jaringan. Ekuilibrasi lebih cepat terjadi pada jaringan yang memperoleh perfusi lebih besar. Sistem organ dengan perfusi tinggi memperoleh sekitar 75% curah jantung, organ ini meliputi otak, ginjal, jantung, hepar, dan kelenjar
endokrin serta disebut sebagai kelompok kaya pembuluh darah. Sisa curah jantung menuju ke otot dan lemak.
b) Daya larut pada jaringan. Untuk tekanan parsial anestesi arterial yang diberikan, agen anestesi dengan daya larut jaringan tinggi lebih lambat untuk melakukan ekuilibrasi. Daya larut antar agen anestesi bervariasi.
c) Gradien antara darah arteri dan jaringan. Hingga ekuilibrasi tercapai antara tekanan parsial arteri dalam darah dan jaringan tertentu, gradien menyebabkan uptake anestesi oleh jaringan. Laju uptake akan menurun ketika gradien menurun.
3) Eliminasi
a) Ekshalasi merupakan jalur dominan eliminasi. Setelah penghentian agen, jaringan anestesi dan tekanan parsial alveoli menurun dengan proses yang berlawanan saat anestesi pertama diberikan.
b) Metabolisme. Agen anestesi inhalasi mengalami beberapa derajat metabolisme hepar yang berbeda (halotan 15%, enfluran 2-5%, sevofluran 1,5%, isofluran < 0,2%, desfluran < 0,2%). Ketika konsentrasi agen muncul, metabolisme dapat berefek pada konsentrasi alveoli karena saturasi enzim hepar. Setelah penghentian agen, metabolisme dapat berkontribusi dalam menurunkan konsentrasi alveoli, tetapi efek tidak signifikan secara klinis.
c) Anesthetic loss. Anestesi inhalasi dapat hilang secara perkutan atau melalui membran visceral, meskipun dapat diabaikan. b. Mekanisme Aksi
Anestesi mengubah aktivitas neuron dengan berinteraksi secara langsung dengan sejumlah kanal ion. Selama aktivasi, kanal mengubah eksitabilitas elektrik neuron dengan mengkontrol aliran depolarisasi (eksitasi) atau hiperpolarisasi (inhibisi). Anestesi umum secara utama beraksi dengan meningkatkan sinyal inhibisi atau menghambat sinyal eksitasi (Garcia et al. 2010).
Komponen anestesi spesifik bekerja dengan beberapa outcome yang diharapkan terjadi pada pasien (Villars et al. 2004), antaralain: Unconsciousness. Jaringan kesadaran dan kewaspadaan meliputi korteks cerebri, thalamus, dan formatio reticularis. Area ini memiliki densitas tinggi reseptor penting terhadap anestesi seperti reseptor
γ-aminobutyric acid subtipe A (GABAA), N-methyl-D-aspartate
(NMDA), dan asetilkolin (ACh).
Amnesia. Area yang memegang peran ini adalah hypocampus, amygdala, dan korteks prefrontalis. Blok memori implisit merupakan target anestesi. Jalur memori menggunakan reseptor NMDA dan non-NMDA yang berespon pada glutamat neurotransmiter dan interneuron serotonergik.
Imobilitas. Hilangnya respon motorik berkaitan dengan hilangnya refleks yang dimediasi oleh corda spinalis. Terjadi penurunan
transmisi ascenden menuju otak. Pada corda spinalis, neuron sensorik dan motorik merupakan target anestesi. Reflek spinal melibatkan reseptor GABAA, glutamat, baik NMDA serta
α-amino-5-methyl-3-hydroxy-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan kainite.
Analgesia. Impuls nosioseptif ditransmisikan dalam corda spinalis, sehingga target anestesi meliputi penumpulan impuls pada level ini. Blok impuls nosioseptif ascenden dapat terjadi pada level reseptor glutamat, GABA, atau μ dalam corda spinalis.
1) Mekanisme Aksi Pada Sistem Saraf a) Corda spinalis
Anestesi umum menurunkan transmisi informasi noxius ascenden dari corda spinalis menuju otak (Antognini et al. 2002). Sinyal ascenden dari corda spinalis mempengaruhi aksi hipnosis anestesi dalam otak, dimana sinyal descenden memodifikasi imobilisasi anestesi pada corda spinalis (Campagna et al. 2003).
b) Encephalon
Di bagian atas corda spinalis, agen inhalasi secara global menurunkan aliran darah dan metabolisme glukosa serta secara selektif mendepresi beberapa area supraspinal. Pemeriksaan tomografi menunjukkan bahwa thalamus dan formation reticularis mesencephalon lebih terdepresi dibandingkan area lainnya (Heinke et al. 2002).
Target anestesi inhalasi telah berfokus pada struktur dengan fungsi yang sensitif terhadap agen anestesi.
Reticular-activating system, thalamus, pons, amygdala, dan hypocampus
merupakan bagian yang terlibat dengan kognitif, memori, pembelajaran, fase tidur, dan perhatian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa nucleus tuberomamilaris, area hypocampus termodulasi GABA berkaitan dengan fase tidur pada aksi sedatif beberapa anestesi intravena dan juga inhalasi (Campagna et al. 2003).
2) Mekanisme Aksi Molekuler
Hipotesis yang berkembang menyatakan bahwa anestesi inhalasi mempertahankan aktivitas kanal post sinapsis inhibisi (reseptor GABAA dan glisin) dan menghambat aktivitas kanal sinapsis eksitasi (nicotinic acetylcholine, serotonin, dan reseptor glutamat). Aksi anestesi terhadap reseptor GABAA telah mengundang banyak perhatian (Narahashi et al. 2003).
a) Jalur Inhibisi Utama
GABA. Reseptor GABAA merupakan reseptor neurotransmiter inhibisi yang paling banyak ditemukan di otak. Pada konsentrasi yang efektif secara klinis, anestesi umum meningkatkan sensitivitas reseptor GABAA dan memperpanjang inhibisi oleh lepasnya GABAA. Hal ini menunjukkan inhibisi termediasi reseptor GABAA pada
eksitabilitas neuron postsinapsis. Potensi agen inhalasi mempertahankan fungsi reseptor GABAA in vitro berkorelasi dengan imobilitas MAC. Pengamatan ini mendukung peran utama reseptor GABAA dalam anestesi dan hingga saat ini menjadi mekanisme utama seluruh agen anestesi umum inhalasi (Garcia et al. 2010).
Gambar 1. Mekanisme anestesi umum pada reseptor GABAA (Campagna et al. 2003).
Glisin. Glisin merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada corda spinalis dan batang otak. Agen anestesi inhalasi yang mengikat reseptor glisin secara signifikan menyebabkan konduksi Cl- dan mendepresi fungsi saraf.
Inhibisi termediasi glisin disertai dengan inhibisi termediasi GABAA merupakan inhibisi pada corda spinalis dapat menjelaskan hilangnya refleks spinal di bawah anestesi (Villars et al. 2010).
b) Jalur Eksitasi Utama
NMDA. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi Na+ dan Ca2+. Di anatara tiga kelas reseptor glutamat (AMPA, NMDA, dan kainite), reseptor NMDA memiliki signifikansi paling fungsional dengan anestesi. Reseptor NMDA memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hypocampus. Agen anestesi terutama ketamin, nitrit oksida, dan xenon bekerja dengan menghambat reseptor NMDA sehingga dapat menghambat transmisi eksitasi sistem saraf (Dilger 2002).
Kanal ion K+. Kanal ion K+ background membentuk kelompok besar kanal leak K+ (TASK dan TREK) dimana aktivasinya akan menyebabkan potensial membran istirahat dan repolarisasi potensial aksi. Kanal ini terbuka oleh anestesi inhalasi dan menginduksi hiperpolarisasi serta mengurangi depolarisasi seluler (Lopes et al. 2003). commit to user
Asetilkolin. Reseptor ACh nikotinik merupakan kanal kation non spesifik yang dibedakan menjadi dua kelompok, subtipe muskulus yang ditemukan di otot skeletal dan subtipe neuronal yang ditemukan di SSP dan ganglion autonom. Baik reseptor ACh nikotinik dan muskarinik neuronal ditemukan di otak dan corda spinalis. Subtipe spesifik reseptor ACh neuronal diinhibi oleh anestesi inhalasi dan intravena (Perry et al. 2001).
Tabel 1. Peran kanal ion sensitif anestesi (Campagna et al. 2003) Kanal Ion Peran Seluler Peran Fisiologis Ligand-gated
Reseptor GABAA Meningkatkan
permeabilitas Cl-, hiperpolarisasi membran, inhibisi eksitabilitas Peningkatan aktivitas berkaitan dengan anxiolisis, sedasi, amnesia, dan myorelaksasi, aksi antikonvulsi Reseptor glisin Meningkatkan
permeabilitas Cl-, hiperpolarisasi membran, inhibisi eksitabilitas
Reflek spinal
Reseptor asetilkolin Permeabilitas tinggi terhadap kation monovalen dan kalsium, rilis
neurotransmiter
Berkaitan dengan memori dan nosisepsi.
Reseptor glutamat Neurotransmiter eksitasi cepat
NMDA Konduksi kation kalsium
dan magnesium
Persepsi, pembelajaran, memori, nosiosepsi
AMPA Konduksi kation kalsium
dan magnesium Persepsi, pembelajaran, memori Tipe lain Kanal kalium Kanal background non-voltage-gated
Modulasi eksitabilitas dan potensial resting sel
Peran tidak spesifik
Voltage-activated Pemulihan potensial aksi Konduksi saraf, potensial aksi jantung
Non-voltage dependet/ ATP-activated
Sensor glukosa pada sel beta pankreas
Tabel 2. Efek fungsional anestesi inhalasi terhadap kanal ion (Campagna
et al. 2003)
Kanal Ion Efek anestesi inhalasi
GABAA Peningkatan
Reseptor glisin Peningkatan
Reseptor asetilkolin nikotinik neuronal Inhibisi kuat Reseptor glutamat
NMDA AMPA
Inhibisi Inhibisi
Kanal kalium background Peningkatan
Kanal kalium voltage-activated Inhibisi Kanal kalium ATP-activated Peningkatan Kanal natriumvoltage-activated Inhibisi lemah Kanal kalsium voltage-activated Inhibisi lemah
2. Isofluran a. Definisi
Isofluran termasuk dalam golongan halogenated ether dan digunakan sebagai agen anestesi inhalasi. Agen ini biasa digunakan secara terpisah atau dikombinasikan dengan nitrit oksida, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Isofluran merupakan agen anestesi volatil yang termasuk dalam halogenated methylethyl ethers dengan kelompok difluoromethyl dan kelompok fluorinated ethyl. Pada isofluran, salah satu atom fluor pada kelompok ethyl diganti dengan chlor. Agen ini memiliki rumus molekul C3H2F5ClO dan berat molekul sebesar 184,5 (Saber et al. 2009, Morgan et al. 2013).
Gambar 3. Rumus molekul isofluran b. Sifat Fisik dan Kimia
Isofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Bau isofluran cukup menusuk dan tercium seperti bau eter yang apak. Isofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009).
Tabel 3. Koefisien partisi gas isofluran (Edmont et al. 2009) Jaringan Koefisien Partisi Gas (suhu 37° C)
Darah-gas 1,4 Otak-darah 1,6 Hepar-darah 1,8 Renal-darah 1,2 Otot-darah 2,9 Lemak-darah 45 Jantung-darah 2,2 commit to user
Tabel 4. Sifat fisik dan kimia isofluran (Saber et al. 2009)
Sifat Fisik dan Kimia Nilai
Titik didih (°C) 48,5
Tekanan vaporasi tersaturasi pada 32°C 32
Densitas gas (kg/m3) 1 MAC fluran dalam 25% oksigen dan 75% nitrogen pada suhu 0°C
1,35
Tabel 5. Nilai MAC (minimum alveolar concentration) isofluran (Ebert et al., 2009)
MAC Nilai
MAC dalam oksigen, 30-60 tahun pada suhu 37°C 1,17
MAC dalam 60-70% nitrit oksida 0,56
MAC > 65 tahun (%) 1,0
c. Efek pada Sistem Organ (Morgan et al. 2013) 1) Kardiovaskuler
Isofluran menyebabkan depresi jantung minimal invivo. Curah jantung dipertahankan dengan peningkatan denyut jantung karena pemeliharaan parsial dari baroreflek karotis. Stimulasi ringan -adrenergik meningkatkan aliran darah otot rangka, menurunkan resistensi vaskuler, dan tekanan darah arterial lebih rendah. Peningkatan konsentrasi isofluran yang cepat memicu peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah arterial, dan kadar norepinefrin dalam plasma. Isofluran nyaris tidak sepoten nitrogliserin atau adenosin sebagai dilator. Dilatasi arteri koroner yang normal secara teoritis mengalihkan aliran darah dari lesi
sidroma penyakit koroner ini menyebabkan iskemia myokardium regional selama episode takikardia atau penurunan tekanan perfusi. Walaupun hasil beberapa penelitian kebanyakan negatif, beberapa ahli anestesi tetap menghindari penggunaan isofluran pada pasien dengan penyakit arteri koroner.
2) Respirasi
Depresi pernafasan selama anestesi isofluran mirip dengan obat anestesi yang mudah menguap lainnya, kecuali takipnea jarang ditemukan. Efek yang saling berhubungan biasa ditemukan pada penurunan ventilasi permenit. Bahkan kadar rendah isofluran (0.1 MAC) mengurangi respon ventilasi normal terhadap terjadinya hipoksia dan hiperkapnia. Walaupun kecenderungan obat ini untuk mengiritasi reflek jalan nafas atas, isofluran dipertimbangkan sebagai bronkodilator yang baik, tetapi tidak sepoten halotan. 3) Cerebral
Pada konsentrasi yang lebih besar daripada 1 MAC, isofluran meningkatkan CBF dan tekanan intrakranial. Efek ini diperkirakan kurang diketahui pada isofluran dibanding dengan halotan dan dibalikkan dengan hiperventilasi. Sebaliknya pada halotan, hiperventilasi tidak harus dilakukan sebelum penggunaan isofluran untuk mencegah hipertensi intrakranial. Isofluran mengurangi kebutuhan oksigen metabolisme otak, dan pada 2 MAC meghasilkan EEG yang diam “silent”. Supresi EEG mungkin
menyediakan beberapa tingkat perlindungan otak selama episode iskemia cerebral.
4) Neuromuskuler. Isofluran merelaksasi otot skeletal.
5) Renal. Isofluran menurunkan aliran darah ginjal, kecepatan filtrasi glomerulus, dan jumlah urin yang dihasilkan.
6) Hepar
Aliran darah hepar total (aliran arteri dan vena porta) berkurang selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hepatik mungkin lebih baik dipertahankan dengan isofluran daripada dengan halotan, akan tetapi, perfusi arteri hepatika dan saturasi oksigen vena hepatika perlu dihemat. Pemeriksaan fungsi liver hanya terpengaruh secara minimal.
d. Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat. Walaupun kadar cairan flouride serum mungkin meningkat, nefrotoksisitas sangat jarang sekali ditemukan bahkan dengan keberadaan enzim penginduksi. Sedasi yang diperpanjang (>24 jam pada isofluran 0.1-0.6%) pada pasien yang sakit kritis menghasilkan peningkatan kadar flouride dalam plasma (15–50 mol/L) tanpa adanya bukti gangguan ginjal. Sama dengan hal itu, sampai 20 MAC-jam isoflurane memicu kadar flouride sampai melebihi 50 mol/L tanpa terdeteksi adanya gangguan fungsi ginjal. Metabolismenya yang
terbatas juga meminimalisasi risiko yang mungkin berupa disfungsi hepar yang signifikan (Morgan et al. 2013).
3. Sevofluran a. Definisi
Sevofluran termasuk dalam golongan halogenated ether dan digunakan sebagai agen anestesi inhalasi. Agen ini biasa digunakan secara terpisah atau dikombinasikan dengan nitrit oksida, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Sevofluran merupakan agen anestesi volatil yang masuk dalam kelompok polyfluorinated methyl isopropyl
ether. Agen ini memiliki rumus molekul C4H3F7O dan berat molekul
sebesar 200,1 (Saber et al. 2009, Morgan et al. 2013).
Gambar 4. Rumus molekul sevofluran b. Sifat Fisik dan Kimia
Sevofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Sevofluran memiliki bau yang paling tidak menusuk di antara ketiga agen inhalasi utama (isofluran, desfluran, dan sevofluran). Bau sevofluran tercium menyenangkan seperti bau kloroform. Sevofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui
mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009).
Peningkatan yang cepat dan tidak tajam pada konsentrasi obat anestesi di alveoli menyebabkan sevofluran sebagai pilihan yang paling bagus untuk induksi anestesi yang cepat dan lembut pada anak-anak dan pasien dewasa. Pada kenyataannya, induksi inhalasi dengan sevofluran 4-8% dalam 50% campuran nitrit oksida dan oksigen dapat dicapai kira-kira dalam 1-3 menit. Demikian juga, daya larut dalam darah yang rendah mengakibatkan penurunan konsentrasi obat anestesi di alveoli yang cepat yang tidak terus-menerus dan timbulnya lebih cepat dibandingkan isofluran (walalupun tidak dipindahkan lebih awal dari unit perawatan post anestesi) (Morgan et al. 2013).
Tabel 6. Koefisien partisi gas sevofluran (Edmont et al. 2009) Jaringan Koefisien Partisi Gas (suhu 37° C)
Darah-gas 0,65 Otak-darah 1,7 Hepar-darah 1,8 Renal-darah 1,2 Otot-darah 3,1 Lemak-darah 48 Jantung-darah 1,1 commit to user
Tabel 7. Sifat fisik dan kimia sevofluran (Saber et al. 2009)
Sifat Fisik dan Kimia Nilai
Titik didih (°C) 58,5
Tekanan vaporasi tersaturasi pada 32°C 21,3
Densitas gas (kg/m3) 1 MAC fluran dalam 25% oksigen dan 75% nitrogen pada suhu 0°C
1,45
Tabel 8. Nilai MAC (minimum alveolar concentration) sevofluran (Ebert et al. 2009)
MAC Nilai
MAC dalam oksigen, 30-60 tahun pada suhu 37°C 1,8
MAC dalam 60-70% nitrit oksida 0,66
MAC > 65 tahun (%) 1,45
c. Efek pada Sistem Organ (Morgan et al. 2013) 1) Kardiovaskuler
Sevofluran mendepresi ringan kontraktilitas miokardium. Resistensi vaskular sistemik dan penurunan tekanan darah arterial berkurang lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Oleh karena sevofluran menyebabkan sedikit, jika ada, peningkatan denyut jantung, curah jantung tidak dipertahankan sebaik dengan isofluran atau desfluran. Tidak ada bukti yang menghubungkan sevofluran dengan sindrom coroner. Sevofluran dapat memperpanjang interval QT, nilai penting klinisnya tidak diketahui.
2) Respirasi
Sevofluran mendepresi pernafasan dan menyebabkan bronkospasme sama seperti pada penggunaan isoflurane.
3) Cerebral
Sama dengan isofluran dan desfluran, sevofluran menyebabkan sedikit peningkatan CBF dan tekanan intrakranial pada normokarbia, walaupun beberapa penelitian menunjukkan penurunan aliran darah otak. Konsentrasi yang tinggi dari sevofluran (>1.5 MAC) dapat menganggu autoregulasi CBF, kemudian menyebabkan penurunan CBF selama hipotensi hemoragik. Efek pada autoregulasi ini nampak kurang dibahas dibandingkan isoflurane. Kebutuhan oksigen metabolisme otak menurun, dan dilaporkan terdapat kejang.
4) Neuromuskular
Sevofluran menghasilkan relaksasi otot yang cukup untuk intubasi pada anak-anak setelah induksi anestesi.
5) Ginjal
Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ginjal. Metabolismenya menjadi substansi dihubungkan dengan gangguan fungsi tubulus ginjal yang didiskusikan selanjutnya.
6) Hepar
Sevofluran menurunkan aliran darah vena porta, tetapi meningkatkan aliran darah arteri hepatika, sehingga
mempertahankan aliran darah total hepar dan pengangkutan oksigen.
d. Biotransformasi dan Toksisitas
Enzim mikrosomal pada hati P-450 (khususnya isoform 2E1) memetabolisme sevofluran dengan kecepatan seperempat kali (5%) dibanding halotane (20%), tetapi 10 atau 25 kali dibanding isofluran atau desfluran dan dapat diinduksi dengan preterapi etanol atau fenobarbital. Potensi nefrotoksik dari akibat peningkatan inorganik fluorida (F–) didiskusikan sebelumnya. Konsentrasi serum fluorida lebih dari 50 mol/L kira-kira pada 7% pasien yang menerima sevofluran, tetapi secara klinis disfungsi ginjal yang signifikan tidak dihubungkan dengan anestesia sevofluran. Secara keseluruhan kecepatan metabolisme sevofluran 5%, atau 10% dibanding isofluran. Namun, tidak ada hubungan puncak kadar fluorida setelah penggunaan sevofluran dan abnormalitas apapun yang menyangkut ginjal (Morgan
et al. 2013).
Alkali seperti barium hidroksida limun atau soda limun (tetapi bukan kalsium hidroksida) dapat mendegradasi sevofluran, memproduksi hasil akhir nefrotoksik yang telah terbukti (komponen A,
fluoromethyl-2,2-difluoro-1-[trifluoromethyl]vinyl ether). Akumulasi
dari komponen A meningkatkan peningkatan temperatur gas pernafasan, anestesi aliran rendah, penyerap barium hidroksida kering (baralyme), konsentrasi sevofluran yang tinggi, dan durasi anestesi
yang lama. Kebanyakan penelitian tidak menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal yang terdeteksi post operasi yang mengindikasikan toksisitas atau cedera. Namun, beberapa klinisi merkomendasikan aliran udara bersih paling tidak 2 l/menit untuk anestesi yang berlangsung lebih dari beberapa jam dan sevofluran tidak digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal sebelumnya (Morgan et al. 2013).
4. Magnesium a. Definisi
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Magnesium merupakan kation terpenting keempat didalam tubuh dan kedua terbesar di intraseluler setelah kalium (Jahnen-Descent et al. 2012).
b. Keseimbangan Magnesium Normal
Rata-rata intake magensium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d (240-370mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 1-2% magensium total berada dalam cairan ekstraseluler, 67% berada dalam tulang, 31% berada dalam intraseluler (Seo et al. 2008). Dari seluruh intake magnesium, hanya 30-40% yang diserap, terutama di usus halus bagian distal.
Gambar 5. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum. Dari total magnesium tubuh, 67% ditemukan dalam tulang dan jaringan keras, 31% ditemukan dalam sel, dan sekitar 2% ditemukan dalam serum (Seo et al. 2008).
Ekskresi utama magnesium melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. 25% dari total magnesium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% sisanya direabsorbsi di bagian tebal pada lengkung Henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Absorbsi magnesium pada intestinal distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume
expansion, hiperaldosteronisme, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik,
deplesi fosfat, dan alkohol (Akhtar et al. 2011). commit to user
Gambar 6. Keseimbangan magnesium dalam tubuh (Jahnen-Descent
et al. 2012)
c. Konsentrasi Magnesium Plasma
Magnesium (Mg2+) plasma selalu diregulasi antara 1,7 dan 2,1 mEq/L (0,7 – 1 mmol/dL atau 1,7 – 2,4 mg/dL). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal (absorbsi), tulang (penyimpanan), dan ginjal (ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi (Akhtar et al. 2011).
d. Peran Magnesium
Magnesium merupakan penanda penting yang berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak enzim pathway. Magnesium memodulasi dan mengontrol masuknya kalsium sel dan pelepasan kalsium dari membran sarkoplasma dan reticularendoplasma. Kontrol
transportasi kalsium ini bertanggung jawab untuk banyak berperan terhadap fisiologis, di antaranya yang mengendalikan aktivitas neuron, rangsangan jantung, transmisi neuromuskuler, kontraksi otot, tonus vasomotor, tekanan darah dan aliran darah perifer. Peran fisiologis magnesium seperti calcium channel blocker di otot polos, otot rangka, dan sistem konduksi. Peranan magnesium juga sebagai analgesik seperti pada blok reseptor NMDA (Akhtar et al. 2011).
Magnesium sangat kuat mempengaruhi fungsi transportasi ion membran sel jantung dan penting untuk mengaktivasi sekitar 300 sistem enzim, termasuk sebagian besar enzim yang dilibatkan dalam metabolisme energi. Adenosin trifosfat (ATP) menjadi fungsional apabila dikelasi menjadi magnesium. Ion ini merupakan pengatur sel yang penting untuk akses kalsium kedalam dan aksi kalsium didalam sel. Magnesium mengatur tingkat kalsium intraseluler dengan mengaktivasi pompa membran didalam sel yang mengekstrusi kalsium dan bersaing dengan kalsium memperebutkan saluran transmembran yang dengan begitu kalsium ekstraseluler memperoleh akses ke bagian dalam sel. Magnesium merupakan antagonis fisiologis alami dari kalsium. Pelepasan presinaptik asetilkolin tergantung kepada aksi magnesium. Magnesium dapat memberikan efek analgesik dengan beraksi sebagai reseptor antagonist N-methyl-D-aspartate (NMDA). Meskipun demikian, pemberian magnesium IV perioperatif (50 mg/kg IV yang dikuti oleh 15 mg/kg/jam) tidak memiliki efek
terhadap nyeri pasca operasi. Magnesium menghasilkan vasodilasi sistemik dan koroner, menghambat fungsi platelet dan mengurangi cedera reperfusi (Morgan et al. 2013).
1)
Magnesium merupakan oligoelemen yang memiliki pengaruh penting pada fungsi miokard dan sistem pembuluh darah perifer. Magnesium mempengaruhi tekanan darah dengan memodulasi tonus dan struktur pembuluh darah melalui efeknya pada berbagai reaksi biokimia yang mengendalikan kontraksi/dilatasi, pertumbuhan/ apoptosis, diferensiasi dan inflamasi pembuluh darah. Magnesium bertindak sebagai antagonis kanal kalsium, menstimulasi produksi prostasiklin dan nitrit oksida vasodilator. Magnesium juga merubah respon pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor (Akhtar et al. 2011).
Berbagai gangguan ritme, khususnya Torsade de points, ada hubungannya dengan hipomagnesemia. Magnesium intravena telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi berbagai tipe aritmia yang berbeda. Magnesium memiliki aksi elektrofisiologi yang luas pada sistem konduksi jantung meliputi pemanjangan waktu pemulihan sinus node dan penurunan automatisitas, konduksi AV node, konduksi antegrade dan retrograde pada jalur aksesoris, dan konduksi His-ventrikuler. Magnesium intravena juga dapat melakukan homogenisasi repolarisasi ventrikuler transmural.
Karena aksi elektrofisiologinya yang unik dan luas, magnesium intravena dilaporkan berguna dalam mencegah fibrilasi atrium dan aritmia ventrikel setelah operasi jantung dan toraks dalam menurunkan respon ventrikel pada fibrilasi atrium onset akut, termasuk pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White, dalam terapi aritmia supraventrikel dan aritimia ventrikel akibat digoksin, takikardi atrium multifokal, serta takikardi ventrikel polimorfik (Torsade de points) atau fibrilasi ventrikel akibat overdosis obat. Namun, magnesium intravena tidak berguna pada takikardi ventrikel monomorfik dan fibrilasi ventrikel yang tidak mempan terhadap syok. Studi RCT yang besar dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apakan magnesium intravena dapat memperbaiki
outcome pasien dalam kejadian aritmia yang berbeda-beda (Dina et al. 2014).
Magnesium direkomendasikan untuk takikardi ventrikel tanpa pulsasi atau fibrilasi yang menyerupai Torsade de points. Mekanisme aksi magnesium pada Torsade de points masih belum jelas tapi diduga untuk memperpendek potensial aksi melalui kanal potasium miokard. Direkomendasikan dosis sebesar 1 hingga 2 gram dilarutkan dalam 10 ml dekstrose 5% dan diberikan selama 5 hingga 20 menit. Pemberian yang cepat akan menimbulkan hipotensi, yang reversibel dengan pemberian kalsium (Nidhi et al. 2011).
Sifat antihipertensi magnesium berhubungan dengan sifat blokade kanal kalsium yang dimilikinya. Status magnesium memiliki efek langsung terhadap kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah dan regulasi penempatan seluler kation lain yang penting pada tekanan darah-rasio sodium : potasium seluler (Na:K) dan kalsium intraseluler (iCa2+). Sebagai hasilnya, magnesium nutrisional memiliki dampak langsung dan tak langsung pada tekanan darah pada kejadian hipertensi (Cunha et al. 2012).
Telah terbukti bahwa suplementasi magnesium pada pasien anak-anak yang menjalani operasi jantung akan mencegah timbulnya takikardi ektopik jungsional (Dina et al. 2014).
2) Hipertensi Pulmonal dan Magnesium (Akhtar et al. 2011)
Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata yang lebih dari 25 mmHg saat istirahat dan lebih dari 30 mmHg ketika beraktivitas. Magnesium merupakan vasodilator poten dengan demikian memiliki potensi untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal yang tinggi akibat hipertensi pulmonal persisten (PPHN). Strategi pencarian standar pada
Cochrane Neonatal Review Group (CNRG) digunakan untuk
mengetahui peran Mg. Dilakukan pencarian randomized maupun
quasi-randomized trial yang relevan pada COCHRANE
CENTRAL dan MEDLINE (1966 hingga 20 April 2007). Magnesium sulfat dapat mendilatasi konstriksi otot pada arteri
pulmonal. Namun, aksi ini tidak spesifik dan ketika diberikan melalui infus, malah akan bertindak pada otot lain di tubuh termasuk arteri lain. Ini berarti bahwa bahkan jika ditemukan efektif untuk hipertensi pulmonal, aksi yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lain bisa menimbulkan masalah. Review ini menemukan bahwa penggunaan magnesium sulfat untuk PPHN masih belum diuji dalam RCT. Untuk dapat membuktikan manfaatnya, maka diperlukan RCT.
3) Peran Dalam Obstetri (Douglas et al. 2013)
Mg berperan dalam manajemen preeklamsia dan eklamsia. Magnesium mencegah atau mengontrol kejang dengan memblok transmisi neuromuskuler dan menurunkan pelepasan asetilkolin pada terminal saraf motoris. Efek antihipertensinya dikarenakan sifatnya pada blokade kanal kalsium.
Eklamsi dan preeklamsi merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas selama kehamilan, kelahiran dan puerperium. Pencegahan timbulnya kejang pada preeklamsi dan kejang rekuren pada eklamsi merupakan aspek manajemen yang penting. Sejumlah antikonvulsan penting digunakan untuk mengontrol kejadian eklamsi dan untuk mencegah kejang di kemudian hari. Di Amerika Utara, magnesium sulfat parenteral merupakan drug of choice untuk pencegahan dan terapi kejang pada eklamsi. Magnesium sulfat tampaknya bertindak sebagai
vasodilator serebral (khususnya pada pembuluh darah dengan diameter kecil) pada pasien dengan preeklamsi. Dengan potensinya untuk meringankan iskemi serebral, vasodilatasi ini dapat membantu menjelaskan kenapa magnesium sulfat memiliki sifat anti kejang pada preeklamsi. Namun, aturan dosis dan efektivitasnya masih empiris, karena tidak ada RCT yang menunjukkan apakah magnesium sulfat berguna dan berapa level terapetiknya untuk dapat mencegah kejang, tapi nilai sebesar 3-6 mg% dianggap sebagai terapetik.
Pemberian magnesium pada pasien obstetri dengan risiko kelahiran preterm akan memberikan neuroproteksi pada bayi preterm sebagaimana terbukti pada banyak studi. Penggunaan magnesium untuk terapi kelahiran preterm masih belum seberapa terbukti. Magnesium sulfat kadang digunakan sebagai tokolitik untuk memperlambat kontraksi uterin selama kelahiran preterm. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak menghentikan kelahiran preterm dan dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi.
Karena magnesium sulfat merelaksasikan hampir sebagian besar otot, bayi yang terpapar magnesium melebihi periode waktu tertentu akan terlihat lemah ketika lahir. Efek ini biasanya akan menghilang ketika obat ini telah dibersihkan dari sistem sirkulasi bayi. Pemberian magnesium sulfat tidak boleh dilakukan pada
wanita dengan kondisi medis yang dapat memberat akibat efek samping di atas, termasuk wanita dengan miastenia gravis (gangguan otot) atau distrofi otot.
4) Peran Magnesium di ICU
Defisiensi magnesium sering terjadi pada penyakit kritis dan berhubungan dengan tingginya mortalitas dan outcome klinis yang buruk di ICU. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 100 pasien berusia 16 tahun dan dirawat di ICU bedah medis pada Rumah Sakit Universitas selama periode 2 tahun. Observasi dilakukan pada kadar magnesium serum total ketika masuk, sejumlah uji laboratorium terkait magnesium, kebutuhan akan ventilator, durasi ventilasi mekanis, lama waktu rawat inap/ICU, dan demografi pasien secara umum. Dapat disimpulkan bahwa berkembangnya hipomagnesemia selama dirawat di ICU berhubungan dengan prognosis yang mengkhawatirkan. Pengawasan kadar magnesium serum berdampak pada prognosis dan efek terapetiknya juga (David et al. 2011).
5) Magnesium dan Tetanus
Penyebab kematian tersering seseorang dengan tetanus berat tanpa ventilasi mekanis adalah gagal napas terkait spasme, sementara pada pasien dengan ventilasi adalah disfungsi otonom terkait tetanus. Sebuah randomized double blinded placebo
controlled study dilakukan untuk menemukan apakah infus
magnesium sulfat kontinyu akan menurunkan perlunya ventilasi mekanis dan apakah akan memperbaiki kontrol spasme otot dan instabilitas otonom. Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan ventilasi mekanis antara individu yang dirawat dengan magnesium dan plasebo (OR 0,71, 95% CI 0,36-1,40; p=0,324), tingkat
survival juga sama pada kedua kelompok. Namun, dibandingkan
dengan kelompok plasebo, pasien yang mendapat magnesium akan secara signifikan lebih sedikit memerlukan midazolam (7,1 mg/kg per hari (0,1-47,9) vs 1,4 mg/kg per hari (0,0-17,3); p=0,026) dan
pipecuronium (2,3 mg/kg per hari (0,0-33,0) vs 0,00 mg/kg per
hari (0,0-14,8); p=0,005) untuk mengontrol spasme otot dan takikardi yang terjadi. Individu yang mendapat magnesium akan 3,7 (1,4-15,9) kali lebih tidak membutukan verapamil untuk mengatasi instabilitas kardiovaskuler dibanding pada kelompok plasebo. Insidensi kejadian tidak diinginkan pada kedua kelomopok tidaklah berbeda. Dapat disimpulkan bahwa infus magnesium tidak menurunkan kebutuhan ventilasi mekanis pada orang dewasa dengan tetanus berat tapi memang menurunkan kebutuhan akan obat-obatan lain untuk mengontrol spasme otot dan instabilitas kardiovaskuler (Emily et al. 2010).
6) Magnesium dan Asma (Gautam et al. 2013)
Pada asma alergi didapatkan peningkatan stimulasi IgE yang menimbulkan pelepasan histamin. Histamin menyebabkan
bronkospasme melalui kontraksi otot polos yang diperantarai kalsium. Magnesium merupakan antagonis bronkospasme karena memiliki sifat blokade kanal kalsium.
Eksaserbasi asma bisa sering dan dengan derajat keparahan mulai ringan hingga status asmatikus. Penggunaan magnesium sulfat (MgSo4) merupakan satu dari sejumlah pilihan terapi yang bisa diberikan selama eksaserbasi akut. Di saat efektivitas magnesium sulfat intravena telah dibuktikan, masih sedikit yang diketahui mengenai magnesium sulfat inhalan. RCT didapatkan dari Cochrane Airways Group “Asthma and Wheeze”. Penelitian ini disuplemen dengan penelitian yang ditemukan dalam daftar referensi studi yang diterbitkan. Studi-studi ini ditemukan menggunakan teknik pencarian elektronik ekstensif, begitu juga tinjauan mengenai gray literature dan conference proceedings. Didapatkan enam penelitian yang melibatkan 296 pasien. Empat penelitian membandingkan antara nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis dengan β-agonis. Dua studi membandingkan MgSO4 dengan β-2 agonis saja. Tiga studi hanya melibatkan orang dewasa dan dua studi hanya melibatkan pasien pediatri. Tiga studi melibatkan pasien dengan asma berat. Secara keseluruhan, ada perbedaan signifikan pada fungsi paru antar pasien yang mendapat terapi nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis, namun lama rawat inap pada kedua kelompok tidak jauh beda. Analisis subgrup tidak
menunjukan perbedaan signifikan pada perbaikan fungsi paru antara orang dewasa dan anak, atau antara asma berat, ringan maupun sedang. Simpulan terkait terapi dengan nebulasi MgSO4 saja sulit dibuat karena masih sedikitnya penelitian di bidang ini. Nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis pada terapi eksaserbasi asma akut tampaknya memiliki manfaat terkait perbaikan fungsi paru dan terdapat kecenderungan pada waktu rawat inap yang lebih baik. Heterogenitas antar penelitian yang dilibatkan dalam tinjauan ini membuat tidak bisa menarik simpulan yang lebih definitif.
Lima randomised placebo controlled trials yang melibatkan total 182 pasien telah didapatkan. Mereka membandingkan magnesium sulfat intravena dengan plasebo dalam terapi pasien pediatri dengan serangan asma sedang hingga berat di IGD, dengan terapi tambahan berupa inhalasi β-2 agonis dan steroid sistemik. Magnesium sulfat intravena memberikan manfaat tambahan pada asma akut sedang hingga berat pada anak yang diterapi dengan bronkodilator dan steroid.
7) Magnesium dan Respon Intubasi Laringoskopik
Peran magnesium dalam menurunkan respon intubasi telah berkembang. Magnesium memiliki sifat vasodilatasi langsung pada arteri koroner dan magnesium juga dapat menghambat pelepasan katekolamin, sehingga menurunkan efek hemodinamik selama intubasi endotrakea. Magnesium juga merupakan antagonis
fisiologi dari kalsium, yang memainkan peran penting pada pelepasan katekolamin dalam responnya terhadap stimulasi simpatetik. Puri et al menemukan magnesium lebih baik dalam menurunkan respon tekanan pada intubasi endotrakeal begitu juga dalam menimbulkan perubahan ST yang lebih rendah pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang akan menjalani operasi CABG (Dina et al. 2014).
Sebuah studi dilakukan untuk menemukan dosis optimal magnesium yang menyebabkan penurunan respon kardiovaskuler setelah laringoskopi dan intubasi endotrakeal (Dina et al. 2014). Dalam sebuah RCT double blind, 120 pasien ASA I berusia 15-50 tahun, yang merupakan kandidat operasi elektif, dipilih dan diklasifikasikan dalam enam grup (masing-masing 20 pasien). Denyut nadi dan tekanan darah diukur dan direkam pada lima menit sebelum pemberian obat, berdasarkan kelompok yang berbeda. Pasien yang mendapat magnesium sulfat sama dalam semua grup dan denyut nadi serta tekanan darah diukur dan direkam sebelum intubasi dan juga pada 1, 3 dan 5 menit setelah intubasi (sebelum insisi). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tekanan daarah, denyut nadi, Train of Four (TOF), dan komplikasi antara kelompok yang mendapat magnesium tapi perbedaan signifikan pada parameter ini tampak antara magnesium dan lidokain (Dina et al. 2014, Nidhi et al. 2011).
Dapat disimpulkan bahwa preterapi dengan dosis magnesium berbeda memiliki efek penurunan yang aman pada respon kardiovaskuler yang lebih efektif daripada preterapi dengan lidokain (Dina et al. 2014).
8) Magnesium dalam Menurunkan Kebutuhan Analgesik
Terapi nyeri selama dan setelah operasi yang efektif merupakan komponen pemulihan penting karena berfungsi untuk menumpulkan refleks otonom, somatik, dan endokrin yang berpotensi timbulnya penurunan morbiditas perioperatif. Telah banyak diketahui untuk menerapkan pendekatan polifarmakologi pada terapi nyeri postoperasi, karena belum ada agen khusus yang diketahui menghambat nosisepsi tanpa menimbulkan efek samping (Mahendra et al. 2013).
Magnesium merupakan calcium channel blocker dan antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate non-kompetitif (NMDA). Magnesium sulfat telah terbukti sebagai ajuvan untuk analgesi intra dan postoperasi pada proses operasi yang berbeda termasuk ginekologi, ortopedi, toraks dan lain-lain. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa magnesium sulfat perioperatif akan menurunkan kebutuhan anestesi dan memperbaiki analgesi postoperatif. Namun, beberapa studi telah menyimpulkan bahwa magnesium memiliki efek yang terbatas bahkan sama sekali tidak ada (Christopher et al. 2010).
9) Intravenous Regional Anesthesia (IVRA) Menggunakan Lidokain dan Magnesium (Akhtar et al. 2011)
IVRA merupakan salah satu bentuk anestesi regional paling sederhana dengan keberhasilan yang tinggi. Namun, IVRA terbatas pada nyeri torniket dan IVRA tidak mampu menghasilkan analgesi postoperatif. Untuk memperbaiki kualitas blok, memperpanjang analgesi postdeflasi, dan menurunkan nyeri torniket, aditif berbeda telah digabungkan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang terbatas.
Mekanisme aksi magnesium sebagai ajuvan IVRA bersifat multifaktorial. Mekanisme aksi magnesium selain yang disebutkan di atas juga telah banyak diteliti. Studi melaporkan bahwa magnesium memiliki efek vasodilatasi yang dipicu oleh
endothelium-derived nitic oxide. Nitrit oksida menyebabkan
aktivasi guanil siklase dan meningkatkan siklik guanin monofosfat, yang memperantarai relaksasi otot polos vaskuler. Nitrit oksida juga merupakan inhibitor poten adesi netrofil pada endotel pembuluh darah.
Tabel 9. Manfaat magnesium (Douglas et al. 2013)
Sistem Manfaat Mekanisme
Respirasi Eksaserbasi akut asma Relaksasi otot polos bronkial Antagonis kalsium
Aktivasi adenylate cyclase ↓ pelepasan neurotransmitter terminal saraf motorik
Jantung Aritmia ventrikuler terinduksi digoksin
VT/VF/ Torsade de pointes yang refrakter terhadap terapi lain
Depresan miokard direk
Memperpanjang konduksi SA dan AV
↑ periode refraktori AV node
Neurologi Spinal cord injury Traumatic cord injury
↓ pelepasan Ach pada NMJ Antagonis kalsium
Gastrointestinal Antasid Agen netralisasi
Metabolik Reseksi feokromasitoma Osteoporosis
Calcium channel blocker
Supresi pelepasan katekolamin
Obstetrik Preeklamsia
Neuroproteksi fetal preterm
Antagonis kalsium Antagonis NMDA ↓ kadar ACE
Anestesi Analgesia
Mengurangi respon intubasi
Antagonis NMDA Lainnya Tetanus Pencegahan noise-related hearing loss Premenstrual syndrome Antagosis kalsium Antagonis NMDA
ACh: acetylcholine, NMJ: neuromuscular junction, ACE: angiotensin converting