• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI

B. Mahabbah Rabiah al-Adawiyah

Dalam pembahasan tasawuf, cinta itu disebut sebagai mahabbah. Kata

mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah

berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam.

Al Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seorang yang kasmaran pada sesuatu yang sedang dicintainya, cinta seorang tua kepada anaknya, cinta sahabat kepada sahabatnya, cinta suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjanya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seorang untuk mencintai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak. Yaitu cinta kepada Tuhan.26

Selain itu Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya orang yang kasmaran terhadap sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.

25

Shibt Ibnua al-Jauzi, Tarikh Mir’at az-Zaman, MS. Brit. Museum, fol. 257 a 26

Konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam al-Quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.

Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud cinta disini adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut :

1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap kepada-Nya. 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihinya.

3. Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.27

Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan oleh al Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, mahabbah itu ada tiga macam tingkatan, yaitu:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berzikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan dengan berdialog dengan Allah, senantia memuji-Nya.

2. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dari sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

27

Harun Nasution, Falsafat Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), cet. I, hal 70.

3. Cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu atau mengenali betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. 28

Ketiga tingkat Mahabbah tesebut tampak menunjukan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkat ini tampaknya cinta yang terakhirlah ingin dituju oleh mahabbah.

Dengan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan dengan sepenuh hati, sehingga yang sifat- sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang tidak dapat dilukiskan dengan suatu kata apapun, akan tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.29

Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa

pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut

(khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak

membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.Rabiah merupakan pencetus konsep mahabbah. Bagi Rabiah, beribadah kepada Allah itu karena memang ia cinta dan Allah itu layak untuk dicintai.

Menurut Rabiah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktifitasnya, bukan lagi karena takut akan siksa neraka ataupun berharap akan kenikmatan surga. Hal ini terungkap sebagaimana syair-syair yang diucapkannya . karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah.

28

Ibid., hal 70-71 29

Didalam jiwanya tidak ada lagi yang tersisa sebagai ruang kosong untuk diisi dengan rasa cinta maupun benci kepada selain Allah.30

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa

dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:

―Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada- Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.‖31

Begitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya

telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun.tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya

telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan

dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.32

Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih ―manusiawi‖.

Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer

30

Abdul Halim, Cinta Ilahi : Studi Perbandingan Antara al-Ghazali dan Rabiah al- Adawiyah, (Tesis S2, Kera Sama Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakara dengan Program Pascasarjana Universitas Indoesia, 1995), hal.72

31

Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman.hal 86 32

masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.

Ajaran cinta Ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.

BAB IV

Dokumen terkait