• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang mempersiapkan diri dalam keahlian tertentu dalam tingkat pendidikan tinggi (Somawiharja, 1998). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (1994), istilah mahasiswa diartikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan menurut tim penyusun Peraturan Akademik Universitas Sanata Dharma (1994), mahasiswa didefinisikan sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar pada universitas. Direktorat Kemahasiswaan Ditjen PT dan Departemen P dan K (dalam Chia, 2003), mendefinisikan mahasiswa sebagai

golongan pemuda dengan rentang umur 18 – 30 tahun, yang secara resmi terdaftar di salah satu perguruan tinggi dan aktif dalam perguruan tinggi yang bersangkutan.

Mahasiswa dituntut untuk dapat bekerja sama dengan orang lain secara proaktif. Tidak hanya dengan antar mahasiswa, tapi juga bekerjasama dengan para dosen yang tentu saja berasal dari berbagai macam suku dan ras. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah sikap yang telah mereka anut sejak masa anak-anak, dan menilai kembali sikap yang lain berdasarkan informasi yang baru.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa mahasiswa adalah peserta didik dengan rentang umur 18 – 30 tahun yang secara resmi terdaftar di salah satu perguruan tinggi atau universitas tertentu untuk mempersiapkan diri dalam keahlian tertentu.

2. Mahasiswa Cina di Yogyakarta

Masyarakat Cina di Indonesia adalah keturunan asing yang terbesar jumlahnya (Samsinar, 1997). Hal ini diperkuat oleh Suryadinata (dalam Samsinar, 1997) yang menyebutkan bahwa pada tahun 1980 jumlah orang Cina di Indonesia berkisar 4,2 juta jiwa, yaitu sekitar 2,8 % dari penduduk Indonesia.

Hariyono (dalam Samsinar, 1997) membagi etnis Cina di Indonesia menjadi orang Cina totok dan orang Cina keturunan. Kedua hal ini dimasukkan ke dalam kelompok etnis Cina karena adanya ciri-ciri khas yang membedakan mereka dengan orang-orang etnis Indonesia. Kaum totok lebih

diwakili oleh generasi tua, yaitu mereka yang dilahirkan di luar Indonesia atau di dalam Indonesia tetapi berorientasi budaya ke negara asal, yaitu daratan Cina. Sedangkan penduduk keturunan Cina lebih diwakili oleh generasi muda, yaitu orang-orang Cina yang lahir dan besar di daerah setempat serta berorientasi pada budaya setempat (Tan, dalam Samsinar, 1997). Menurut Hariyono (dalam Samsinar, 1997), orang Cina totok adalah orang-orang Cina yang baru menetap di Indonesia selama 1 atau 2 generasi. Sedangkan orang Cina keturunan adalah orang Cina yang telah lama menetap di Indonesia selama 3 generasi atau lebih. Perbedaan lama menetap ini berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut. Masyarakat Cina totok lebih kuat memegang tradisi Cina yang berasal dari nenek moyangnya, sehingga segala perbuatannya juga memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan Cina keturunan yang sudah banyak meninggalkan tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat Cina keturunan di Indonesia dalam hal tertentu kurang menunjukkan ciri khasnya sebagai orang Cina, namun pada hal-hal lainnya ciri khas sebagai orang Cina juga sering tampak seperti pada perbedaan-perbedaan fisik masih banyak terlihat misalnya: warna kulit yang lebih putih, bentuk muka yang tipikal, dan bentuk mata yang lebih kecil (sipit).

Sikap mental orang Cina terutama berlandaskan pada ajaran Konfusionisme atau Kong Fu Tse yang menekankan sikap hubungan dalam keluarga, negara, dan bangsa berdasarkan kesadaran akan kedudukan orang Cina yang lebih maju, superior, dan lebih tinggi (Hidayat, dalam Helmi, 1991). Konfusionisme menekankan akan tradisi sebagai jawaban untuk

mengatur manusia terhadap masalah-masalah sosial. Tradisi mempunyai pengaruh dan norma-norma yang kuat, sehingga dengan menghayatinya orang dapat hidup dengan baik (Soekisman, 1975). Pandangan ini menyebabkan orang Cina tidak mudah melepaskan diri dari adat istiadat dan kebiasaan sosialnya. Satu hal yang dipertahankan mati-matian yaitu hubungan kebudayaan dengan negeri leluhurnya, dan untuk mempertahankan hal itu, maka diseluruh pelosok dunia pasti terdapat ”Pecinan” (Soekisman, 1975). Eksklusivisme etnik Cina tersebut menciptakan ikatan kesukuan yang makin kuat, sehingga meningkatkan solidaritas sosial yang tinggi di antara anggota kelompoknya.

Pola pikir orang Cina sangat dipengaruhi oleh ajaran Taoisme yang ditulis dalam kitab Tao Teh Ching. Kitab Tao Teh Ching berisi tentang kumpulan ajaran mengenai eksistensi manusia di dunia dilihat dari posisi tertentu. Taoisme menekankan pada kesederhanaan hukum alam, jalan tengah (hukum keseimbangan yang mengatasi dua dikotomi yang berjauhan), dan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Manusia seharusnya mengikuti gerakan

Tao (hukum alam). Misalnya manusia seharusnya mamiliki sifat air yang selalu memiliki tempat terendah dan terlemah dari semua benda, tetapi dapat menembus batu yang sangat keras.

Orang Cina memiliki optimisme yang tinggi sehingga memberi kesan bahwa orang Cina memiliki sifat ulet, tapi di sisi lain dianggap sebagai orang yang keras, angkuh, bahkan superior. Peraturan-peraturan dalam menjalankan usahanya sangat jelas sehingga menimbulkan kesan bahwa orang Cina itu

ketat atau disiplin. Materialisme orang Cina untuk meningkatkan standart hidup bukan untuk memperkaya diri tetapi memperkaya kaum kerabat (Adicondro, dalam Helmi, 1991). Konsep ideal tentang keluarga dalam masyarakat Cina adalah ”lima generasi dalam satu atap” yang berarti bahwa orang Cina sangat mementingkan keluarga besar. Nama baik keluarga harus dijaga sebaik-baiknya. Seorang anak harus patuh dan hormat terhadap orang tuanya dalam segala hal. Orang tua mempunyai otoritas untuk mengatur kehidupan anak-anaknya.

Perbedaan status antara pria dan wanita juga terdapat dalam masyarakat Cina. Menurut Hidayat (dalam Helmi, 1991), pria Cina lebih berkuasa dan bebas dibandingkan dengan wanita Cina. Hubungan tradisional yang terdapat dalam kehidupan keluarga Cina lebih menekankan pada hubungan antara pria dengan pria. Misalnya saja hubungan antara ayah dengan anak, atau hubungan antara pria yang lebih tua dan pria yang lebih muda. Lan dan Lien (dalam Helmi, 1991) mengatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemujaan terhadap para leluhurnya, pria mempunyai peranan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita, bahkan anak wanita dilarang memimpin sembahyang kepada Thian (Tuhan). Pria Cina juga mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, hal ini tampak dalam pewarisan nama marga menurut garis keturunan laki-laki. Seorang wanita yang telah menikah harus bisa memberikan keturunan anak laki-laki karena anak laki-laki dianggap lebih berharga dibandingkan anak perempuan.

Orang Cina telah berada di Yogyakarta sejak tahun 1756 (Wibowo, 2001). Jumlah orang Cina di Yogyakarta tidak besar, sekitar 2%–3% saja dari seluruh penduduk di Yogyakarta. Orang Cina jarang terlihat berkelompok di jalan-jalan, mal-mal, pasar, restoran, atau toko-toko. Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang non-Cina, dan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Mereka menggunakan bahasa yang sama dan berbaur satu sama lain. Orang Cina di Yogyakarta secara umum memiliki gaya hidup yang sederhana (low profile) atau biasa-biasa saja. Setidak-tidaknya hal tersebut dapat dilihat dari rumah, mobil, dan properti yang mereka miliki, juga dari busananya, menu makan sehari-hari, serta dari bagaimana mereka mengisi waktu luang atau mencari hiburan (Wibowo, 2001).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa mahasiswa Cina di Yogyakarta adalah orang Cina asli yang bukan berasal dari perkawinan campur antara orang Cina dan orang non-Cina, telah menetap di Indonesia selama 3 generasi atau lebih, menjadi peserta didik dengan rentang umur 18 – 30 tahun, yang secara resmi terdaftar di salah satu perguruan tinggi atau universitas tertentu di Yogyakarta untuk mempersiapkan diri dalam keahlian tertentu.

C. Prasangka Rasial Mahasiswa Cina Terhadap Mahasiswa Non-Cina Di

Dokumen terkait