• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Agung Republik Indonesia3Putusan Mahkamah Agung Nomor 582 K/Pdt.Sus/2009 jo

Putusan Mahkamah Agung Nomor 9 PK/Pdt.Sus/2010, terkait

upaya hukum terhadap Putusan KPPU No. 09/KPPU-L/2008 (tender give away haji);

4 Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/Pdt.Sus/2010, terkait

upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU No. 23/KPPU-L/2008 (tender pekerjaan perbaikan dan pengembangan distribusi PDAM Tirta Siak Pekanbaru);

5 Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 788 K/Pdt.Sus/2011,

terkait upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU No.08/ KPPU-L/2010 (tender paket pekerjaan pembukaan areal dan pra konstruksi);

6 Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 K/Pdt.Sus/2012, terkait

dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU No. 19/KPPU-L/2009 (tender pekerjaan subsidi pengoperasian kapal perintis); 7 Putusan Mahkamah Agung Nomor 332 K/Pdt.Sus-KPPU/2013,

terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan KPPU No. 02/ KPPU-L/2011 (Tender Pembangunan Jalan Tenggarong–Samboja). 15.Berdasarkan uraian tersebut, dalil-dalil dari Para Pemohon Keberatan

tentang tidak adanya pertimbangan hukum mengenai hukuman denda sanat mengada-ada. Sehingga dengan demikian sudah seharusnya Majelis Hakim menolak dalil-dalil Para Pemohon Keberatan sebagaimana yang termuat dalam memori Keberatan.

D. PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UU NO. 5 TAHUN 19999

1. Bahwa Termohon Keberatan menolak dengan tegas dalil-dalil Pemohon Keberatan sebagaimana pada halaman 19 – 23 memori keberatannya yang pada pada intinya adanya penafsiran yang berbeda terkait dengan definisi perjanjian;

2. Bahwa istilah istilah perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh masyarakat. Prof. Wirjono menafsirkan perjanjian sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian Putusan No. 175/Pdt.G/2014/PN.Mdn

Halaman 93

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

itu. 1Sedangkan Prof. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah

suatu peristiwa, dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.2

3. Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain dari perjanjian, dikenal pula istilah perikatan. Namun, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merumuskan apa itu suatu perikatan. Oleh karenanya doktrin berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan perikatan yaitu suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menutut sesuatu hal (prestasi) dari pihak lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. 3Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu perikatan ada yang lahir karena perjanjian dan ada yang dilahirkan karena undang-undang;

4. Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa 3 macam. Pertama kewajiban untuk memberikan sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu;

5. Dalam sistem hukum perjanjian, maka dianut sistem terbuka, artinya para pihak mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat. Pertama, sepakat mereka untuk mengikatkan diri. Kedua, kecakapan untuk membuat suatu

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

perjanjian. Ketiga, suatu hal tertentu, dan keempat, suatu sebab

(causa) yang halal;

6. Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian secara umum. Disamping itu suatu undang-undang khusus dapat saja mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang- undang yang khusus tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur secara khusus apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam undang-undang ini;

7. Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU No. 5 Tahun 1999, perjanjian didefinisikan sebagai

“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”

8. Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh UU No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis;

9. Bahwa perjanjian tertulis dan tidak tertulis diakui dan digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persiangan usaha;

10. Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan;

Putusan No. 175/Pdt.G/2014/PN.Mdn Halaman 95

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

11. Bahwa dalam perkara a quo (vide C.29 dan C40), perjanjian

tersebut adalah perjanjian formal yang ditandatangani oleh Para Pemohon Keberatan dan mengikat kepada pihak yang menandatangi tersebut. Sehingga dengan demikian, perjanjian tersebut adalah perjanjian yang termasuk dalam definisi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999, dan perjanjian tersebut memenuhi unsur pelanggaran Pasal 5 (1) sebagaimana tertuang dalam Putusan KPPU a quo, halaman 215-216

2 Unsur membuat perjanjian ;

2.1Bahwa menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis;

2.2Bahwa menurut Pedoman Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999, unsur membuat perjanjian tersebut dapat berupa:

a. Kesepakatan menaikan atau menurunkan harga;

b. Kesepakatan memakai suatu formula standar sebagai dasar perhitungan harga;

c. Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang dipersaingkan dengan suatu produk tertentu; d. Kesepakatan meniadakan diskon atau membuat

keseragaman diskon;

e. Kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen;

f. Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi;

g. Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan;

h. Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak dipenuhi;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dokumen terkait