• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR RI) di era Reformasi/Amandemen UUD 1945

Dalam dokumen jiptummpp gdl mohammadar 50354 4 babiii (Halaman 27-33)

B. Prospek Kewenangan MPR sebagai Lembaga Legislatif di Indonesia

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR RI) di era Reformasi/Amandemen UUD 1945

Peristiwa bersejarah bangsa Indonesia yang merupakan awal balik dari perjuangan untuk melakukan perubahan pada kehidupan bangsa Indonesia terjadi pada rentan tahun 1998an dengan sebutan reformasi. Gejolak masa itu dianggap mempunyai andil dalam pergolakan sistem ketatanegaraan yang ada. Terutama tentang lembaga negara sebagai representasi kedaulatan rakyat atau pada masanya disebut sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh di dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Lembaga negara keberadaannya masih di pertahankan sampai saat ini yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat atau disingkat MPR mempunyai makna sebagai tempat rakyat Indonesia untuk berkumpul, bermusyawarah dan bermufakat, sebagaimana hal ini cerminan dari sikap bangsa Indonesia dalam mengaplikasikan sila keempat Pancasila. Lembaga MPR adalah wadah bagi perwakilan rakyat untuk bermusyawarah dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara. Alasan sederhana mengapa lembaga ini harus ada adalah sebagai berikut :

Pertama, dari aspek wilayah, luasnya wilayah negara Indonesia yang

terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil sangat tidak memungkinkan terjadinya intervensi langsung oleh rakyat dalam hal pelaksanaan pemerintahan negara, sehingga diperlukan wakil-wakil yang merupakan bagian dari rakyat

yang akan mewakili kepentingan rakyat tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan dalam negara. Mekanisme atau proses penentuan wakil-wakil atau pemimpin rakyat tersebut dilakukan melalui mekanisme

pemilihan umum. Kedua, Dari aspek jumlah penduduk, Indonesia yang

memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak terdiri dari berjuta-juta jiwa tidak mungkin untuk dikumpulkan disuatu waktu dan tempat tertentu untuk ikut serta secara langsung menentukan kebijakan pemerintahan, sehingga dibutuhkan orang-orang tertentu yang bisa mewakili kepentingan mereka dalam proses tersebut93.

Zaman reformasi terdapat alasan untuk mengurangi kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dilatarbelakangi dari keberadaan MPR pada masa orde baru yang sangat dominan. Kekuasaan tidak terbatas oleh MPR disalahgunakan oleh sebuah rezim untuk melanggengkan suatu kekuasaan pemerintahannya. Hal ini dipengaruhi oleh strategi politik penguasa yang mampu mendominasi partai politik yang ada di lembaga MPR. Sehingga menimbulkan banyak praktek pemerintahan yang tidak baik seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dari kondisi yang demikianlah kemudian muncul desakan untuk reformasi Indonesia.

Reformasi yang di gagas oleh kaum mahasiswa selain untuk meruntuhkan rezim penguasa juga mengagendakan beberapa hal penting terutama berkaitan dengan amandemen UUD Republik Indonesia 1945.

93 Siti hasanah, Penguatan Tradisi Musyawarah Mufakat dalam Sistem Kekuasaan Negara: Studi Tentang Lembaga MPR di Masa Kini dan Akan Datang. Halaman 163

Pembaharuan UUD 1945 diharapkan benar-benar menjadi The big law atau the supreme law of the land dalam sistem hukum Indonesia. Faktor utama yang menentukan pembaharuan UUD adalah keadaan masyarakat. Dorongan

demokrasi, pelaksanan Negara kesejahteraan (welfarestaat), perubahan pola

dan sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu dan teknologi dapat

menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan UUD94. Aktor

pemerintahan yang berperan langsung dalam amandemen UUD 1945 adalah MPR sebagai sebuah lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan langsung terhadap UUD. Selain amandemen UUD 1945 adapun tuntutan lainnya adalah sebagai berikut :

1. Penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI)

2. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia

(HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

3. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah

(otonomi daerah)

4. Mewujudkan kebebasan pers

5. Mewujudkan kehidupan demokrasi

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR, selain merupakan perwujudan tuntutan reformasi, juga sejalan dengan pidato Ir. Soekarno, Ketua Panitia Penyusun

94 Bagir Manan, 2003. Teori dan Politik Hukum Konstitusi, FH UII Pres, Yogyakarta, halaman 30.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Pada kesempatan itu ia menyatakan antara lain, “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa

barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat

Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”95.

Perubahan UUD tersebut dilakukan sebanyak 4 kali. Pada amandemen ketiga dan empat perubahan mendasar terjadi pada kedudukan dan wewenang MPR. Semenjak dirubahnya Pasal 1 ayat (2) dan tidak dimasukkan lagi penjelasan UUD 1945 sebagai bagian dari UUD 1945, maka sejak saat itu kedudukan MPR tidak lagi disebut lembaga tertinggi negara dan hanya disebut sebagai lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lain. MPR hanya sebagai nama genus lembaga

legislatif atau rumah legislatif yang terdiri dari dua kamar (bicameral) yang

ditempati oleh DPD dan DPR.

MPR setelah perubahan tersebut menjadi sebuah lembaga negara yang tugas dan wewenangnya hanya bersifat kasuistis dan seremonial, sehingga keberadaannya sangat kontroversial. Selain kewenangan yang terbatas tersebut mengenai kedudukannya juga tidak jelas dalam struktur ketatanegaraannya. Bila mengacu kepada sistem ketatanegaraan Amerika maka seharusnya MPR

adalah lembaga negara yang bersifat sementara atau ad hoc seperti kongres

95 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2014, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekertariat Jendral MPR RI: Jakarta, Halaman 8

yang merupakan joint session dari senate dan house of refresentative. Tetapi Indonesia bukanlah negara bagian dari Amerika yang semuanya harus mengikuti negara tersebut. Letak MPR sebagai sebuah lembaga negara yang tetap dipertahankan keadaanya merupakan sebuah keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh Indonesia.

Harapan dengan tetap mempertahankan MPR adalah karena lembaga ini merupakan sebuah perwujudan dari roh negara yang menganut demokrasi pancasila. Mengedepankan musyawarah mufakat sebagai sebuah tradisi yang sudah berkembang sejak lama di Indonesia. Tapi dewasa ini semangat untuk musyawarah mufakat tersebut nampaknya sulit untuk ditemui dalam praktek bernegara yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Kebanyakan sekarang adalah dengan mekanisme voting sebagai sebuah cara untuk menentukan pilihan bersama. Begitupun yang terjadi dengan MPR yang sangat disayangkan adalah kewenangannya tak lagi sama seperti dulu.

MPR setelah reformasi hanya menjadi sebatas simbol negara yang tugasnya hanya bersifat kasuistis. Inilah yang kemudian sedikit demi sedikit akan melunturkan makna demokrasi yang ada di Indonesia. Karena jiwa musyawarah dan mufakat yang menjadi ikon demokrasi ala Indonesia yang terwakili dalam mekanisme pengambilan keputusan kebijakan di Lembaga MPR menjadi hilang. Kondisi ini memperburuk kondisi politik Indonesia yang disebabkan karena hilangnya esensi dasar musyawarah dan mufakat tergantikan oleh prinsip-prinsip demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia yang tercermin dalam idiologi Pancasila. Kondisi ini harus

dipulihkan kembali dengan cara menguatkan kembali esensi demokrasi Indonsia dan diterapkan secara menyeluruh dalam struktur pemerintahan negara dari tingkat pusat sampai ketingkat terendah yaitu pemerintahan desa. Menumbuhkan kembali peran MPR sebagai lembaga negara adalah hal yang penting agar nantinya lembaga ini mempunyai peran yang aktif bagi perjalanan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

MPR yang mempunyai kedudukan kuat sebagai sebuah lembaga negara

atau badan resmi sebagaimana bila mengacu pada teori trias politica berada

pada kekuasaan legislatif haruslah mempunyai kewenangan yang sama dengan lembaga legislatif lainnya termasuk DPD juga harus mempunyai porsi kewenangan yang tepat. Dalam ketatanegaraan Amerika kekuasaan legislatif

secara penuh hanya dimiliki oleh senate dan house of refresentatives tanpa ada

campur tangan dari pihak presiden sebagai kekuasaan eksekutif. Nampaknya bila negara Indonesia konsisten dalam ketatanegaraan sesuai dengan kajian teori yang ada harusnya lembaga legislatif mempunyai kekuasaan penuh terhadap pembuatan Undang-Undang. Lembaga legislatif Indonesia yang terdiri dari DPR, DPD, dan MPR layak untuk mempunyai porsi yang sama terkait dengan

implementasi dari kekuasaan legislatif sebagaimana trias politica Indonesia

yang menghendaki separation of power (pemisahan kekuasaan).

Kekuasaan legislatif sepenuhnya harus diadakan sesuai dengan hakikat dari kekuasaan tersebut dan tidak menghilangkan fungsinya sebagai sebuah lembaga pembuat peraturan perundang-undangan. Sehingga nantinya akan nampak jelas bahwa lembaga legislatif yang ada memang kekuasaannya

berkaitan dengan pembuatan Undang-Undang (rule making of law) bukan sebagai lembaga kosong yang tugas dan fungsinya tidak produktif untuk kemajuan ketatanegaraan bangsa dan negara.

2. Revitalisasi Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Dalam dokumen jiptummpp gdl mohammadar 50354 4 babiii (Halaman 27-33)

Dokumen terkait