• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)

Dalam dokumen jiptummpp gdl mohammadar 50354 4 babiii (Halaman 33-40)

B. Prospek Kewenangan MPR sebagai Lembaga Legislatif di Indonesia

2. Revitalisasi Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)

Kewenangan MPR RI setelah terjadinya peristiwa reformasi pada tahun 1998 memang dirasakan mengalami penurunan dari sebelumnya. Sebelumnya kewenangan MPR sangatlah aktif dan produktif dalam ketatanegaraan seperti di ketahui bahwa kewenangan MPR sebelum amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan Undang-Undang Dasar

2. Menetapkan GBHN

3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

4. Mengambil sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden

5. Mengubah Undang-Undang Dasar

Kemudian diperjelas dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR disebutkan lebih luas tugas dan wewenang Majelis, antara lain :

a. Membuat peraturan-peraturan yang tidak dapat dibatalkan oleh

lembaga negara yang lain, termasuk menetapkan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.

b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap

putusan-putusan Majelis.

c. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai

d. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan/atau Undang-Undang Dasar.

e. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.

f. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota

Majelis.

g. Memberikan keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah

janji angota96.

Keaktifan MPR tersebut sebagai lembaga tinggi negara yang kemudian membawa kepada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh MPR. Pada masa tersebut MPR sangatlah berjaya dengan menguasai UUD dan seluruh lembaga negara yang ada dibawahnya. Kemudian terjadilah peristiwa reformasi dengan agenda Amandemen UUD 1945 yang salahsatu dampaknya adalah terkikisnya kewenangan MPR dan juga turunnya kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya.

Amandemen UUD Republik Indonesia 1945 berdampak besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama pada kewenangan lembaga MPR. Kewenangan MPR tidak lagi sama seperti sebelum amandemen. Kewenangan yang ada hanya sebagai berikut :

96 Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT Asdi Mahastya, halaman 107

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal 3 ayat 2 Perubahan ke 3 UUD1945), adalah tugas formal MPR dengan sebuah upacara untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden yang menang dalam proses pemilihan umum. Ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan ketiga UUD 1945 yang mewajibkan melakukan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Melantik dalam hal ini bukanlah sebuah wewenang tapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan bila presiden dan wakil presiden telah terpilih.

b. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal 1 aturan tambahan perubahan keempat UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan peninjauan materi dan status hukum TAP MPRS dan MPR merupakan tugas yang sifatnya sementara. Pasal 1 aturan tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan

Rakyat tahun 2003”97. Dalam aturan ini jelas bahwa setelah putusan

pada sidang MPR tahun 2003 telah diambil maka tugas ini akan berakhir dengan sendirinya.

Menjadi sebuah dilema ketika tugas dan wewenang MPR selaku lembaga tinggi negara justru malah tidak dijelaskan secara jelas. Sedangkan yang bisa ditemui mengenai wewenang MPR RI dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 perubahan ketiga UUD RI 1945).

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 3 perubahan ketiga UUD RI 1945).

3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya

Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. (Pasal 8

ayat 3 perubahan keempat UUD RI 1945)98.

Perubahan kewenangan MPR tersebut sebenarnya memang sudah bagus pada masanya karena bertujuan untuk mengurangi kekuasaan penuh atas suatu negara oleh sebuah badan/lembaga. Dan dilakukannya amandemen UUD adalah sebagai bentuk pemisahan kekuasaan antar lembaga negara yang

mempunyai kekuasaan (separation of power). Tapi pemisahan tersebut

harusnya diatur lebih jelas lagi, selain dalam hal kewenangan MPR yang dipermasalahkan. Sebenarnya hadirnya DPD sebagai kamar baru di parlemen

98 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945,

yang merupakan bentuk representasi dari daerah juga perlu dipertimbangkan kedudukan dan kewenangannya pula. Bila dianalisa secara kasat mata dengan fakta yang terjadi di lapangan adalah kekuatan penuh dimiliki oleh DPR sebagai

lembaga legislatif sedangkan untuk DPD dan MPR hanya bersifat suporting

saja.

MPR setelah perubahan secara keanggotaan sudah ideal karena terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat. Tapi secara

fungsinya harus ditingkatkan kembali. Karena MPR bukanlah sebuah joint

session seperti yang ada di Amerika. MPR adalah bagian dari lembaga legislatif negara Indonesia yang kedudukannya sama atau setara dengan lembaga legislatif lainnya. Maka dari itu perlu untuk melakukan revitalisasi atau pemugaran kembali kewenangan MPR sebagai sebuah lembaga legislatif. Hal ini bertujuan agar MPR secara jelas mampu melaksanakan fungsinya sesuai dengan hakikat dari lembaga permusyawaratan.

Kewenangan MPR terkait fungsi legislasi yang perlu ditekankan adalah dalam hal perumusan atau perubahan UUD 1945, MPR mempunyai inisiatif aktif dalam mengambil tindakan berkaitan dengan itu semua. Selain itu dalam fungsi legislasi yang lainnya MPR haruslah terlibat langsung dalam penyusunan RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional) sebagai bentuk tugas pengganti dari kewenangan untuk menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) pada masa sebelum UUD 1945. Selain itu keterlibatan MPR dalam penyusunan RPJPN tersebut juga sebagai kontrol dari lembaga perwakilan rakyat. Dalam pelaksanaannya MPR juga bisa mengkritisi dari pelaksanaan

RPJPN tersebut melalui sidang umum yang dilaksanakan bersama lembaga negara lainnya. Sikap saling mengawasi antar lembaga legislatif dengan

eksekutif inilah yang kemudian mencerminkan implementasi dari check and

balances.

Apabila kewenangan-kewenangan tersebut diberikan kepada MPR maka tidak mungkin lagi MPR menjadi sebuah lembaga yang tugas dan

fungsinya hanya sebagai lembaga ceremonial saja. Produktifitas dan kontribusi

MPR sebagai lembaga tinggi negara akan bisa terlihat secara aktif. Karena pada dasarnya MPR adalah lembaga legislatif yang sah menurut UUD 1945 dan secara tugas, fungsi maupun kewenangannya juga tidak terlepas dari fungsi legislasi. Selain itu MPR yang mempunyai kewenangan aktif ini akan mempengaruhi pula bagi kinerja anggota DPR dan DPD. Untuk bisa bersinergi dalam membangun kesejahteraan rakyat melalui sebuah peraturan perundang-undangan. Menghadirkan MPR untuk sebuah kewenangan dalam penyusunan

RPJPN merupakan sebuah solusi tepat bagi keberlangsungan sistem check and

balances antar lembaga negara. Dalam teori trias politica keberadaan MPR sebagai sebuah kekuasaan legislatif adalah mutlak untuk berkontribusi bagi negara dan bekerjasama dengan kekuasaan negara lainnya seperti eksekutif maupun yudikatif.

Trias politica yang menghendaki dalam sebuah negara terdapat tiga kekuasaan yang saling bersinergi yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan tujuan ideal bagi negara agar tidak menjadikan kekuasaan tersebut hanya terpusat pada satu lembaga saja. Dan disini MPR sebagai bagian

dari kekuasaan legislatif dengan bersama DPR dan DPD haruslah tidak dihilangkan kekuasaannya. Penguatan MPR dengan merevitalisasi kewenangannya lantas tidak membuat MPR kembali seperti sebelum amandemen UUD 1945 tetapi hanya menguatkan kembali kewenangan-kewenangan potensial MPR sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya sama dengan DPR dan DPD. Sehingga anggapan di lapangan yang menyatakan bahwa MPR ibarat macan ompong yang tidak punya taring kembali menjadi kuat dengan merevitalisasi kewenangan-kewenangan potensialnya.

Kewenangan potensial MPR dalam ketatanegaraan Indonesia sebagai bentuk bagian dari fungsi legislasi adalah ikut terlibatnya MPR dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang sebelumnya merupakan produk dari DPR dan Presiden dikembalikan kepada lembaga negara yang berhak untuk membuatnya yaitu lembaga negara yang berada pada kekuasaan legislatif. Undang-undang yang dibuat langsung oleh lembaga legislatif DPR, DPD, dan MPR merupakan produk langsung dari keinginan rakyat. Seperti halnya yang ada di Amerika segala bentuk peraturan

perundang-undangan merupakan hasil dari senate dan house of refresentatives tanpa ada

campur tangan dari presiden.MPR adalah lembaga ideal yang pantas untuk ikut

terlibat dalam kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Hal ini karena MPR sebagai bagian dari lembaga legislatif bersama dengan DPR dan DPD harus mempunyai porsi kekuatan yang sama. MPR sebagai sebuah lembaga tinggi negara yang berdiri sebagai kamar sendiri harus diperkokoh dengan kewenangan-kewenangan yang strategis selain perumusan dan

perubahan UUD 1945, tetapi juga terlibat langsung dalam upaya-upaya menangapi persoalan kenegaraan yang ada melalui peraturan perundang-undangan. Dengan direvitalisasikannya kewenangan MPR sebagai lembaga tinggi negara maka akan mengakibatkan beberapa konsekuensi bagi berjalannya sistem ketatanegaraan yang ada. Termasuk juga dampak terhadap saling bersinggungannya antar lembaga yang mempunyai kekuasaan legislatif. Gejolak akan terjadi diantara kekuasaan legislatif yang ada seperti pada awal reformasi. Tetapi gejolak dalam sebuah pemerintahan adalah hal yang wajar untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama sebuah negara. Perjalanan sistem

ketatanegaraan Indonesia akan bisa secara jelas seperti doktrin trias politica

sebagai bentuk pemisahan kekuasaan (separation of power). Kekuasaan

eksekutif tidak akan ikut mencampuri dari tugas yang dimiliki oleh kekuasaan legislatif begitupun sebaliknya tetapi ketiga kekuasaan ini akan terus bersinergi untuk bekerja sama dan saling berhubungan sebagai sebuah badan atau lembaga negara yang kedudukannya sejajar.

Dalam dokumen jiptummpp gdl mohammadar 50354 4 babiii (Halaman 33-40)

Dokumen terkait