• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah motivasi psikologi industr

Dalam dokumen 5 Jenis Motivasi Kerja Karyawan yang Har (Halaman 54-68)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam suatu organisasi, motivasi dan disiplin kerja, termasuk hal yang paling penting demi kelancaran organisasi tersebut. Disiplin kerja merupakan alat untuk berkomunikasi untuk dapat mencapai sebuah tujuan bersama yang dipakai oleh atasan dengan bawahan maupun oleh sesama pegawai dalam suatu organisasi atau dalam lingkup sebuah kantor.

Ada kalanya pegawai atau karyawan melakukan pelanggaran untuk itu diperlukan disiplin kerja agar dapat memperbaiki perilaku-perilaku menyimpang dari pegawai atau karyawan tersebut.

Setelah terwujudnya motivasi kerja maka akan timbul disiplin kerja yang baik. Untuk mewujudkan keduanya, maka diperlukan adanya kerjasama antara atasan dan para pegawai bawahannya, agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif untuk mendukung kinerja para pegawai secara maksimal di dalam organisasi ataupun perusahaan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah yang kami buat adalah sebagai berikut : 1. Apa definisi motivasi kerja?

2. Bagaimana terjadinya proses motivasi? 3. Apa saja jenis-jenis motivasi menurut teori? 4. Apa defenisi dari disiplin kerja?

5. Bagaimana bentuk-bentuk disiplin kerja tersebut? 6. Bagaimana pendekatan-pendekatan disiplin kerja?

7. Bagaimana bentuk sanksi pelanggaran disiplin kerja dan pelaksanaan sanksi tersebut terhadap pelanggar disiplin kerja?

C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan

Tujuan dan manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:

1. Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi 2. Untuk menjawab rumusan masalah yang ada.

3. Salah satu sarana menambah wawasan bagi mahasiswa Psikologi khususnya dan diharapkan dapat juga membantu masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai motivasi dan disiplin kerja. D. Metode Pembahasan

Metode pembahasan yang digunakan dalam pembentukan makalah ini yaitu dengan menjabarkan secara rinci mengenai berbagai teori motivasi dan masalah disiplin kerja para pegawai. Dalam pembahasannya diawali dengan mencari data yang mendukung tentang motivasi dan disiplin kerja pegawai melalui kajian pustaka dan pencarian data di internet, kemudian setelah itu merumuskan data yang sudah didapat dan membahasnya sesuai dengan rumusan masalah yang ada.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS Motivasi

Motivasi adalah proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Dengan kebutuhan dimaksudkan suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran –keluaran tertentu menjadi menarik. Misalnya, rasa haus menyebabkan kita tertarik pada air segar. Proses motivasi

Kelompok kebutuhan yang belum dipuaskan ketegangan dorongan

Reduksi dari ketegangan tujuan yang telah melakukan serangkaian kegiatan tercapai (kebutuhan yang telah dipuaskan)

sekelompok kebutuhan yang belum dipuaskan menciptakan suatu ketegangan yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk melakukan serangkaian kegiatan untuk menemukan dan mencapai tujuan- tujuan khusus yang akan memuaskan sekelompok kebutuhan tadi yang berakibat berkurangnya ketegangan. Perilaku mencari merupakan perilakuyang aktif atau proaktif, mencari seseuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dapat pula merupakan perilaku yang lebih reaktif. Lingkungan yang menyodorkan sesuatu dapat memnuhi kebutuhan. Misalnya kalau kita lapar, kita mencari makanan. Pada waktu melakukan perilaku mencari secara aktif, motivasi ‘didorong keluar’. Pada waktu perilaku mencari bersifat lebih reaktif, motivasi ‘ditarik keluar’.

Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja

Kaitan motivasi kerja dengan unjuk kerja dapat diungkapkan sebagai berikut: unjuk kerja

(performance) adalah hasil dari interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), dan peluang (opportunities), dengan kata lain unjuk kerja dalah fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang (Robins,2000).

Unjuk kerja = f Motivasi kerja x Kemampuan x Peluang

Bila motivasi kerja rendah, maka unjuk kerjanya akan rendah pula meskipun kemampuannya ada dan baik, serta peluangnya pun tersedia. Motivasi kerja seseorang dapat lebih bercorak proaktif atau reaktif. Pada motivasi kerja yang proaktif oaring akan berusaha untuk meningkatkan kemampuan- kemampuannya sesuai denagn yang dituntut oleh pekerjaannya dan/atau akan berusaha untuk mencari, menemukan dan menciptakan peluang dimana ia dapat menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat berunjuk-kerja yang tinggi.

Teori-teori motivasi

Banyak teori motivasi yang telah dikembangkan. Dari teori-teori motivasi yang ada, ada yang lebih menekankan pada ‘apa’ yang memotivasi tenaga kerja, yaitu teori motivasi isi dan ada yang

memusatkan perhatiannya pada ‘bagaimana’ proses motivasi berlangsung, yaitu teori motivasi proses. Teori motivasi ini berkeyakinan tentang adanya kondisi internal dalam individu yag dinamakan

kebutuhan atau motif. Teori motivasi terbagi dua yaitu teori motivasi isi dan teori motivasi proses. Teori motivasi isi terdiri dari teori motivasi tata tingkat kebutuhan, teori eksistensi relasi

pertumbuhan, teoir dua factor, teori motivasi berprestasi,. Sedangkan teori motivasi proses terdiri dari teori pengukuhan, teori tujuan, teori expectancy, dan teori equity.

Teori Motivasi

a. Teori Tata Tingkat Kebutuhan

Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow mungkin merupakan teori motivasi kerja yang paling luas dikenal. Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang

berkesinambungan. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Proses berkeinginan secara nonstop memotivasi kita sejak lahir sampai meninggal. Maslow

selanjutnya mengajukan bahwa ada lima kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan faali (fisiologikal), rasa aman, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut disusun secara tata tingkat sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 9.5.

Menurut maslow, individu dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipuaskan, yang paling rendah, paling dasar dalam tata tingkat. Begitu tingkat kebutuhan ini dipuaskan, ia tidak akan lagi memotivasi

perilaku. Kebutuhan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi menjadi dominan. Dua tingkat kebutuhan dapat beroperasi pada waktu yang sama, tetapi kebutuhan pada tingkat lebih rendah yang dianggap menjadi motivator yang lebih kuat dari perilaku. Maslow juga menekankan bahwa makin tinggi tingkat kebutuhan, makin tidak penting ia untuk mempertahankan hidup (survival) dan makin lama

pemenuhannya dapat ditunda.

1. Kebutuhan fisiologikal (faali). Kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi fisiologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan akan udara segar (oksigen). Kebutuhan fisiologikal merupakan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.

2. Kebutuhan rasa aman. Kebutuhan ini masih sangat dekat dengan kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dilindungi dari bahaya dan ancaman fisik. Dalam pekerjaan, kita jumpai kebutuhan ini dalam bentuk ’rasa asing’ sewaktu menjadi tenaga kerja baru, atau sewaktu pindah ke kota baru.

3. Kebutuhan sosial. Kebutuhan ini mencakup memberi dan menerima persahabatan, cinta kasih, rasa memiliki (belonging). Setiap orang ingin menjadi anggota kelompok sosial, ingin mempunyai teman, kekasih. Dalam pekerjaan kita jumpai kelompok informal yang merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sosial seorang tenaga kerja.

4. Kebutuhan harga diri (esteem needs). Kebutuhan harga diri meliputi dua jenis:

a. yang mencakup faktor-faktor internal, seperti kebutuhan harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan kompetensi.

b. yang mencakup faktor-faktor eksternal kebutuhan yang mencakup reputasi seperti mencakup kebutuhan untuk dikenali dan diakui (recognition), dan status.

5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dirasakan dimiliki. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. Kebutuhan ini menekankan kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

Penelitian tidak secara jelas mendukung teori tata tingkat kebutuhan Maslow ini. Kreitner & Kinicki (1992) mengutip kesimpulan dari Pinder (1984:52):

” Maslow theory remains very popular among managers students of organizational behaviour, although there are still very few studies that can legitimately confirm (or refute) it. . . It may be that the dynamic implied by Maslow’s theory of needs are too complex to be operationalized and confirmend by scientific research. If this is the case, we may never be able to determine how valid the theory is, or – more precisely – which aspect of the theory are valid and which are not” .

Teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow ini tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif.

Dalam situasi dan kondisi situasi tertentu, kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat kebutuhan ini dapat menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan motivasi reaktif. Sistem nilai-nilai yang dimiliki individu dan corak rangsang lingkungan individu yang menentukan motivasi lebih bercorak proaktif atau reaktif. Misalnya, jika nilai “bekerja adalah mulia” merupakan nilai yang sangat

dipentingkan dalam sistem nilai pribadi sesorang, maka motivasi kerjanya cenderung bercorak proaktif. Sebaliknya jika nilai tertinggi dalam sistem nilainya adalah “taat kepada atasan”, maka motivasi kerjanya akan cenderung bercorak pasif. Pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh atasan.

Lingkungan kerja besar pula pengaruhnya terhadap corak motivasi kerja seseorang. Paksaan yang dirasakan oleh seseorang tenaga kerja untuk mementingkan ketaatan terhadap atasan dapat menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif coraknya. Sebaliknya lingkungan kerja dapat pula merangsang timbulnya motivasi kerja yang proaktif.

b. Teori Eksistensi-Relasi-Pertumbuhan

Teori motivasi ini yang dikenal sebagai motivasi ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, dikembangkan oleh Alderfer, dan merupakan satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow. Alderfer mengelompokkan kebutuahn ke dalam tiga kelompok: 1. Kebutuhan eksistensi ( existence needs ), merupakan kebutuhan akan substansi material seperti

keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan fisiologikal dan kebutuhan rasa aman dari Maslow.

2. Kebutuhan hubungan ( relatedness needs ), merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati hal-hal yang sama dengan kita. Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga, teman, dan rekan kerja. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan sosial dan bagian eksternal dari kebutuhan esteem

(penghargaan) dari Maslow .

3. Kebutuhan pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi diri, juga mencakup bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri dari Maslow.

Teori ERG menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan dan pertumbuhan terletak pada satu kesinambungan kekonkretan, dengan kebutuhan eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkret dan kebutuhan pertumbuhan sebagai kebutuhan paling kurang konkret (abstrak). Beberapa dasar pikiran dari teori ini ialah bahwa: (1) makin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkret dipuasi, makin besar keinginan/dorongan untuk memuaskan kebutuhan yang kokret/abstrak, dan (2) makin kurang lengkap satu kebutuhan dipuasi, makin besar keinginannya untuk memuaskannya.

Sesuai dengan teori maslow, teori Alderefr ini menganggap bahwa fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannyasesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dipuasi) juga penting. Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak dapat dipuasi, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala ini ia namakan frustration-regression.

Teori ERG dari Aldefer ini, sama seperti teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, tidak mencerminkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif. c. Teori Dua Faktor

Teori dua faktor juga dinamakan teori hygiene-motivasi dikembangkan oleh Herzberg. Dengan menggunakan metode insiden kritikal, ia mengumpulkan data dari 203 akuntan dan sarjana teknik. Ia tanyakan kepada mereka untuk mengingat kembali saat-saat mereka merasakan sangat senang atau sangat tidak senang dengan pekerjaan mereka, apa saja yang menentukan rasa demikian dan dampaknya terhadap unjuk-kerja dan rasa secara menyeluruh dari kesehatan.

Ia temukan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor –faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:

1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang dirasakan diberikan kepada seorang tenaga kerja;

2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya;

3. Pekerjaan itu sendiri, besar kecilnya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya; 4. Capaian (achievement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi;

5. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas unjuk- kerjanya.

Jika faktor-faktor tersebut tidak (dirasakan) ada, tenaga kerja, menurut Herzberg, merasa not satisfied (tidak lagi puas), yang berbeda dari dissatisfied (tidak puas).

Kelompok faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari pekerjaa, dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan, dan meliputi faktor-faktor:

kebujakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan;

2. Penyeliaan, derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima oleh tenaga kerja; 3. Gaji, derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan unjuk-kerjanya;

4. Hubungan antarpribadi, derajat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya;

5. Kondisi kerja, derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya Kelompok faktor ini dinamakan kelompok hygiene. Kalau faktor-faktor dirasakan kurang atau tidak diberikan, maka tenaga kerja akan merasa tidak puas (dissatisfied). Tenaga kerja akan banyak mengeluh. Jika faktor-faktor hygiene dirasakan ada atau diberikan, maka yang timbul bukanlah kepuasan kerja, tetapi menurut herzberg, not dissatisfied atau tidak lagi tidak puas.

Jika dibandingkan dengan teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow, maka kita dapati bahwa

kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor motivasi merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat-tingakat tinggi, yaitu: kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. Sedangkan kebutuhan- kebutuhan yang berkaitan dengan faktor-faktor hygiene merupakan kebutuhan-kebutuhan dari tingkat- tingkat yang rendah, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan sosial.

Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor motivator cenderung merupakan faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok faktor hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif.

d. Teori Motivasi Berprestasi ( achievement motivation)

Teori motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland. Sebenarnya lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland, karena ia tidak saja meneliti tentang kebutuhan untuk berprestasi, tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi / berhubungan. Penelitian paling banyak dilakukan terhadap kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan untuk berprestasi ( Need for Achievement).

Ada sementara orang yang memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan hasil sebelumnya. Dorongan ini disebut kebutuhan untuk berprestasi ( the achieveemnt need = nAch). McClelland menemukan bahwa mereka dengan dorongan prestasi yang tinggi dari orang lain dalam keinginan kuat mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Mereka mencari kesempatan-kesempatan dimana mereka memiliki tanggung jawab pribadi dalam menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah. Mereka yang memiliki kebutuhan akan berprestasi yang tinggi lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana mereka memiliki tanggung jawab, akan memperoleh balikan dan tugas pekerjaanya memiliki resiko yang sedang (moderate). Mereka bukan pemain judi, mereka tidak suka berhasil secara kebetulan. Tujuan-tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga bukan tujuan yang terlalu mudah dicapai. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah ( moderate).

Dalam penelitiannya, McClelland menemukan bahwa mereka yang memiliki nAch yang tinggi ialah para wirausaha yang berhasil. Sebaliknya ia tidak menemukan adanya manaje dengan kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi.

Kebutuhan untuk berkuasa (Need for Power).

Adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain. Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan –pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan, dan mereka berupaya

mempengaruhi orang lain. Hasil penelitian menunjukkan para eksekutif puncak, para manajer, memiliki kebutuha untuk berkuasa yang besar.

Kebutuhan untuk berafiliasi ( Need for Affiliation)

kebutuhan berafiliasi yang tinggi adalah orang-orang yang berusaha mendapatkan persahabatan. Mereka ingin disukai dan diterima oleh orang lain. Mereka lebih menyukai situasi-situasi kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan saling pengertian dalam derajat yang tinggi. Mereka akan berusaha untuk menghindari konflik.

McClelland menggunakan beberapa teori dari TematicApperception Test (TAT) untuk mengetahui tinggi rendahnya kebutuhan untuk berprestasi. Orang diminta untuk membuat cerita setelah diperlihatkan gambar TAT selama beberapa menit. Ada tiga pertanyyan dasar yang diajukan, yaitu : 1. Apa yang anda lihat pada gambar, 2. Apa yang telah terjadi sebelumnya, 3. Apa yang akan terjadi. Dari jawaban- jawaban dapat disimpulkan tinggi rendahnya kebutuhan utnuk berprestasi.

Di indonesia telah dikembangkan beberapa inventory yang khusus mengukur kebutuhan untuk berprestasi, yang digunakan dalam berbagai penelitian, terutama penelitian para wirausaha dari berbagai bidang kegiatan. Orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berkuasa, dan kebutuhan untuk berafiliasi yang tinggi sekaligus akan memiliki motivasi kerja yang proaktif. Sedangkan yang memiliki ketiga macam kebutuhan dalam derajat yang rendah akan memiliki corak motivasi kerja yang reaktif.

Teori Motivasi Proses a. Teori Pengukuhan

Teori pengukuhan berhubungan dengan teori belajar operant conditioning dari skinner. Teori ini mempunyai dua aturan pokok : aturan yang berhubungan dengan pemerolehan jawaban-jawaban yang benar, dan aturan pokok lainnya berhubungan dengan penghilangan jawaban-jawaban yang salah. Pemerolehan dari suatu perilaku menuntut adanya suatu pengukuhan sebelumnya. Pengukuhan dapat terjadi positif (pemberian ganjaran untuk satu jawaban yang diinginkan) atau negati ( menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang diinginkan telah diberikan), tetapi organisme harus membuat kaitannya antara aksi atau tindakannya dengan akibat-akibatnya.

Jika jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh organisme, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung jika jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar, pada awlnya dikukuhkan. Secara bertahap pengukuhan positif hanya diberikan jika perilaku yang mendekati jawaban yang benar makin mendekat, sehngga akhirnya jawaban khusus yang diinginkan saja yang dikukuhkan. Misalnya, sewaktu anak belajar bicara. Dalam usahanya mengucapkan kata, jika

kedengarannya sudah seperti kata yang harus ia ucapkan kita memujinya. Makin lama ia mengucapkan kata-kata dan kalimat yang benar, sehingga waktu ia sudah dapat mengucapkan kata-kata dengan jelas dan tepat dan berbicara dengan kalimat penndek yang tepat, kita hanya memujinya jika ia lwkukan demikian.

Pemerolehan tinmbul cepat jika pengyukuhan diberikan secara bersinambung. Artinya jawaban yang tepat diganjari setelah setiap kejadian. Namun dalam kehidupan sehari-hari pemberian pengukuhan pada umumnya berjalan secara tidak berkesinambung, secara ‘tersendat-sendat’ (patrial

reinforcement), dimana hanya presentase tertentu dari jawaban yang benar yang diganjari. Pengukuhan yang tersendat-sendat berakibat perolehan yang lebih lambat. Sebaliknya pengukuhan tersendat-sendat berakibat pula lambatnya penghilangan dari perilaku. Kadangkala pengukuhan tersendat-sendta diberikan dalam interval yang berlangsung secara teratur. Misalnya pembayaran gaji tenaga kerja( pengukuhan ) dilaksanakan dalam interval waktu yang berlangsung secara teratur, dengan jadwal periodik yang teratur ( secara bulanan, harian). Pengukuhan ini berlangsung tersendat- sendat karena dimaksudkan untuk menghargai unjuk-kerja tenaga kerja yang baik yang terjadi selama periode penggajian, tidak hanya untuk unjuk kerjanya pada hari pembayaran gaji.

Menurut aturan pokok teori ini jawaban-jawaban yang tidak dikukuhkan atau yang dihukum akan hilang. Untuk penghilangan jawaban yang salah tidak disarankan untuk menggunakan hukuman karena adanya akibat sampinga, yaitu kemungkinan timbulnya rasa ketakutan dan rasa permusuhan. Untuk

penghilangan jawaban yang salah disarankan untuk tidak menghiraukan jawaban-jawaban tersebut. Pembelajaran yang berlangsung berdasarkan pemberian pengukuhan yang berkesinambungan akan lebih cepat dapat hilang dibandingkan dengan pemberian pengukuhan yang tersendat-sendat. Siegel dan Lane memberikan contoh dari kebiasaan untuk melihat ke bis surat apakah ada surat untuk kita atau tidak (terutama jika kita berada ditempat yang baru, jauh dari kenalan dan keluarga). Meskipun tidak setiap hari kita meenerima surat (pengukuhan), kita tetap setiap hari melihat ke bis surat. Perilaku ini memerlukan waktu yang lama untuk hilang.

Siegel dan Lane (1982), mengutip Jablonske dan de Vries, memberi saran bagaimana manajemen dapat meningkatkan motivasi kerja tenaga kerja, yaitu dengan:

1. Menentukan apa jawaban yang diinginkan

2. Mengkomunikasikan denga jelas perilaku ini kepada tenaga kerja

3. Mengkomunikasikan dengan jelas ganjaran apa yang akan diterima tenaga kerja jika jawaban yang benar terjadi

4. Memberi ganjaran hanya jika jawaban yang benar yang dilaksanakan

5. Memberikan ganjaran kepada jawaban yang diinginkan pada saat yang paling memungkinkan, yang terdekat dengan kejadiannya

Pada dasranya teori pengukuhan ini didasarkan pada asumsi bahwa corak motivasi kerja adalah reaktif. Melalui proses pengukuhan tertentu, yang merupakan proses pembelajaran, sebagaimana disarankan oleh Jablonske dan de Vries, individu diajarkan untuk memiliki motivasi kerja yang lebih proaktif. b. teori penetapan tujuan ( goal setting theory)

Locke mengusulkan model kognitif, yang dinamakan teori tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat denga perilaku.

Dalam dokumen 5 Jenis Motivasi Kerja Karyawan yang Har (Halaman 54-68)

Dokumen terkait