BAB II TINJAUAN PUSTAKA
5. Pola Makan
umum. Disamping itu, berkaitan dengan pola makan, beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara pola makan berdasarkan asupan energi, total protein, total lemak, total karbohidrat, protein hewani, dan karbohidrat sederhana yang dikonsumsi melebihi Angka Kecukupan Gizi (AKG)
terhadap kejadian metabolic syndrome (Sudarminingsih et al., 2007; Kasiman, 2011).
Di dunia, prevalensi metabolic syndrome cukup tinggi karena mencapai 10-25 % pada kelompok umur dewasa (IDF, 2006). Di Amerika Serikat, prevalensi metabolic syndrome sebanyak 22, 8 % terjadi pada pria dan 22, 6 % terjadi pada wanita. Di Eropa, prevelensi metabolic syndrome meningkat seiring umur. Pada pria didapatkan sebesar 13,2 % pada kelompok umur 30-39 tahun dan 42,7 % pada umur 60-69 tahun, sedangkan pada wanita didapatkan sebesar 10,3 % pada kelompok umur 30-39 tahun, dan 45,9 % pada kelompok umur 60 –
69 tahun (Dellios, 2005).
Di tingkat regional, beberapa daerah di Asia Tenggara juga menunjukan prevalensi metabolic syndrome yang cukup tinggi (Soewondo et al., 2006) seperti di Malaysia didapatkan prevalensi metabolic syndrome sebesar 49, 4 % pada umur > 20 tahun (Chan, 2005), di Thailand sebanyak 21,9% (Deerochanawong, 2000) serta Filipina dan Singapura > 20 % (Deerochanawong, 2000 ; Chan, 2005).
Di Indonesia, belum terdapat data prevalensi metabolic syndrome secara nasional, meskipun demikian di beberapa daerah telah menunjukan prevalensi
metabolic syndrome yang cukup tinggi : Surabaya sebanyak 34,0% (Pranoto et al., 2005), Semarang sebanyak 16,6 % (Suhartono et al., 2005), Depok sebanyak 25,3 % (Soewondo, 2005), Jakarta sebanyak 28,4 % (Soewondo et al., 2006), Bogor sebanyak 36, 2 % (Muherdiyantiningsih et al., 2008) dan Bali sebanyak 18,2 % (Dwipayana et al., 2011).
Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu kota di Indonesia, yang pada tahun 2007 masih bergabung dengan Kota Tangerang, diduga memiliki prevalensi metabolic syndrome yang cukup tinggi seiring dengan tingginya kejadian obesitas umum (21,8 %) diatas rata-rata rasional (20 %), obesitas sentral (22,4%) di atas rata-rata nasional (18,4%), perilaku konsumsi kurang buah sayur (97,3%) dan perilaku kurang aktivitas fisik (52,8%) (Depkes RI, 2007).
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah sebagai lembaga pendidikan kesehatan di wilayah Kota Tangerang Selatan seyogyanya turut berpartisipasi melakukan upaya kesehatan untuk menyelesaikan metabolic syndrome di Kota Tengerang Selatan, dimulai dari lingkungan sekitar kampus. Partisipasi ini sebagai bentuk pengamalan tridarma perguruan tinggi. Salah satu lingkungan sekitar kampus dan merupakan sarana yang tepat untuk upaya kesehatan adalah Klub Senam Jantung Sehat Kampus II
UIN Syarif Hidayatullah.
B. Rumusan Masalah
Pelaksanaan senam pada Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah berlangsung 3 kali dalam seminggu. Kegiatan senam rutin tersebut seharusnya dapat mencegah risiko penyakit degeneratif termasuk
metabolic syndrome (Ilanne-Parikka, 2010). Namun kenyataannya berbeda dengan apa yang diemukan oleh Mubarak (2005), dimana telah ditemukan 50 % Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah memiliki kadar kolesterol total > 200 mg/dl, yang berdampak pada risiko untuk
menderita metabolic syndrome (Kamso, 2007). Disamping itu, diketahui bahwa kadar kolesterol total dipengaruhi oleh pola makan (Ansar et al., 2011).
Pernyataan-pernyataan tersebut mengarah kepada dugaan cukup tingginya kejadian metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat UIN Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, untuk menjawab dugaan tersebut, perlu dilakukan penelitian terkait hubungan pola makan dengan metabolic syndrome dan gambaran aktivitas fisik Anggota Klub Senam Kampus II UIN Syarif Hidayatullah.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Pertanyaan Umum
Bagaimana hubungan pola makan dengan metabolic syndrome dan gambaran aktivitas fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
2. Pertanyaan Khusus
a. Bagaimana gambaran kejadian metabolic syndrome Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013? b. Bagaimana gambaran konsumsi kalori Anggota Klub Senam Jantung
Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
c. Bagaimana gambaran konsumsi karbohidrat Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
d. Bagaimana gambaran konsumsi lemak Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
e. Bagaimana gambaran konsumsi protein Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
f. Bagaimana gambaran aktivitas fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
g. Bagaimana hubungan konsumsi kalori dengan metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
h. Bagaimana hubungan konsumsi lemak dengan metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
i. Bagaimana hubungan konsumsi protein dengan metabolic syndrome
pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pola makan dengan metabolic syndrome dan gambaran aktivitas fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
a. Gambaran kejadian metabolic syndrome Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
b. Gambaran konsumsi kalori Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
c. Gambaran konsumsi karbohidrat Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
d. Gambaran konsumsi lemak Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
e. Gambaran konsumsi protein Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
f. Gambaran aktivitas fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
g. Hubungan konsumsi kalori dengan metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
h. Hubungan konsumsi lemak dengan metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
i. Hubungan konsumsi protein dengan metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi jumlah kasus metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat UIN Syarif Hidayatullah.
b. Menjadi dasar untuk mencegah dan menanggulangi kasus metabolic syndrome pada Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah.
2. Manfaat Akademis
a. Menambah pengetahuan dan mengembangkan keilmuan gizi, khususnya terkait epidemiologi gizi dan kesehatan.
F. Ruang Lingkup
Peneliti adalah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Penelitian ini berjudul “Hubungan Pola makan dengan
Metabolic Syndrome dan Gambaran Aktivitas Fisik Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2013” dengan sasaran adalah Anggota Klub Senam Jantung Sehat Kampus II UIN Syarif Hidayatullah tahun 2013. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah kasus metabolic syndrome pada Klub Senam Jantung Sehat UIN Syarif Hidayatullah, sehingga menjadi dasar untuk pencegahan dan penanggulangan metabolic syndrome di populasi tersebut. Penelitan ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013 di Kampus II UIN Syarif Hidayatullah. Penelitian ini berjenis penelitian epidemiologi analitik observasi, dengan desain penelitian cross sectional study, metode sampling menggunakan simple random sampling serta analisis data menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat uji chi square.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Metabolic Syndrome
1. Definisi Metabolic Syndrome
Metabolic syndrome merupakan sekumpulan faktor risiko yang saling berkaitan dan mengarah pada penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Sekumpulan faktor risiko tersebut antara lain obesitas abdominal/sentral, kenaikan kadar gula darah (hiperglikemik), kenaikan tekanan darah (hipertensi), kenaikan kadar trigliserida (hipertrigliseridemia), dan penurunan kadar kolesterol HDL (Alberti et al., 2009). Seseorang dikatakan menderita metabolic syndrome ketika didapatkan minimal 3 kriteria positif berisiko diantara 5 kriteria yang diukur, sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.1.
Kriteria Metabolic Syndrome
Faktor Risiko Obesitas abdominal (wilayah Asia) ≥ 90 cm pada laki-laki ≥ 80 cm pada perempuan Kadar trigliserida
≥ 150 mg/ dL (1,7 mmol/L) atau pengobatan khusus terhadap lipid abnormal
Penurunan kadar kolesterol HDL
< 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada laki-laki < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita
Atau sedang dalam pengobatan khusus lipid abnormal Tenakan darah Tekanan darah sistolik ≥130 atau diastolik ≥85 mmHg
atau sedang dalam pengobatan hipertensi. Gula darah
puasa (GDP)
GDP ≥ 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau sedang dalam pengobatan hiperglikemik.
2. Etiologi dan Pathogenesis Metabolic Syndrome
Etiologi metabolic syndrome belum diketahui secara pasti, namun kejadiannya meningkat seiring dengan meningkatnya kejadian obesitas dan gaya hidup yang buruk (Alberti et al., 2009). Disamping itu, kebanyakan penderita metabolic syndrome mengalami obesitas abdominal dan resistensi insulin. Kedua komponen tersebut berpengaruh terhadap perkembangan komponen metabolic syndrome lainnya (Alberti et al., 2009).
Obesitas abdominal berpengaruh terhadap insensifitas insulin dan hiperinsulinemia yang berdampak pada prognosis diabetes mellitus (DM) tipe II. Berawal dari penumpukan sel lemak viskeral yang meningkatkan asam lemak bebas dari hasil lipolisis yang berdampak pada penurunan sensifitas insulin. Di hati, peningkatan asam lemak bebas mendorong peningkatan glukoneogenesis yang mengakibatkan kadar gula dalam darah naik dan menurunkan ekstraksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Kemudian di otot, peningkatan asam lemak bebas berdampak pada
penurunan pemakaian glukosa dan di sel α pankreas berdampak pada penurunan sekresi insulin (Rohman, 2007).
Obesitas abdominal berpengaruh terhadap resistensi insulin. Hal ini berkaitan dengan sel lemak bebas hasil lipolisis yang mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF α, resistin dan leptin yang berhubungan dengan penurunan resistensi insulin. TNF α menyebabkan
resistensi insulin dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan ekspresi glucose transporter-4 (GLUT-4)
di sel lemak dan otot. Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini pada gilirannya akan menyebabkan perubahan metabolik, sehingga timbul hipertensi dan dislipidemia. Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya menurun, sehingga terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM tipe II (Rohman, 2007).
Hipertensi pada metabolic syndrome diduga terjadi akibat pengaruh hipersinsulinemia yang meningkatan reabsorsi sodium dan air, sehingga terjadi ekspansi volume intra-vaskular. Hiperinsulinemia juga meningkatkan aktifitas chanel Na-K ATP-ase, sehingga terjadi peningkatan natrium dan kalsium intrasel yang menyebabkan peningkatan kontraksi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan tekanan darah naik (Rohman, 2007).
Dislipidemia pada metabolic syndrome dipengaruhi oleh resistensi insulin. Resistensi insulin meningkatkan terjadinya lipolisis yang mengakibatkan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma, yang selanjutnya meningkatkan pengeluaran asam lemak bebas kedalam hati. Ciri spesifik dislipidemia yang dipengaruhi resistensi insulin adalah peningkatan trigliserida, penurunan HDL, peningkatan small dense LDL meskipun total LDL kadang normal (Rohman, 2007).
3. Patofisiologi Metabolic Syndrome
Kerusakan organ target terjadi akibat akumulasi dari masing-masing mekanisme komponen metabolic syndrome. Sebagai contoh, hipertensi pada
metabolic syndrome meninggalkan hipertropi ventrikular, penyakit arteri peripheral lanjut, dan disfungsi ginjal (Cuspidi et al., 2008). Selain itu, risiko
kumulatif metabolic syndrome menyebabkan disfungsi mikrovaskular yang hal ini mejelaskan lebih lanjut kondisi resistensi insulin dan hipertensi meningkat (Serne et al., 2007).
Metabolic syndrome merupakan penyebab penyakit jantung koroner melalui serangkaian mekanisme yaitu dengan menaikan trombogenesit pada sirkulasi darah, menaikan aktivator plasminogen tipe 1 dan tingkat adipokin yang menyebabkan disfungsi endothelial (di beberapa bagian) (Alessi, 2008). Metabolic syndrome juga mungkin menaikan risiko kardiovaskular dengan menaikan kekakuan arterial (Stehouwer et al., 2008).
4. Prognosis Metabolic Syndrome
Berdasarkan penelitian-penelitian, komplikasi dari metabolic syndrome
sangat luas. Beberapa komplikasi berkaitan dengan sistem kardiovaskular antara lain penyakit jantung koroner fibrilasi atrial, gagal jantung dan stenosis aorta dan struk iskemik (Obunai et al., 2007).
Kekacauan metabolik pada metabolic syndrome telah berdampak pada perkembangan penyakit perlemakan hati nonalkoholik (Kotronen dan Yki-Jarvinen, 2008). Asam lemak sendiri memainkan peranan penting dalam kejadian metabolic syndrome.
Kajian lainnya menyebutkan bahwa metabolic syndrome berdampak pada penurunan kognitif dan beberapa patofisiologi penyakit yaitu obstruktif sleep apnea, kanker payudara, kanker kolon, kanker kantung kemih, penyakit ginjal, dan kelenjar prostat (Hsing et al., 2007). Selain berdampak secara
fisiologis, metabolic syndrome juga berdampak secara psikologis seperti kondisi marah dan depresi (Goldbacher et al., 2007).
5. Pengukuran Komponen Metabolic Syndrome
1. Lingkar Perut
Pengukuran antropometri lingkar perut menggunakan pita meter. Adapun langkah-langkah pengukuran sebagai berikut :
1) Menetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah. 2) Menetapkan titk ujung lengkung tulang pangkal panggul.
3) Menetapkan titik tengah antara titik tulang rusuk terakhir, titik ujung lengkung tulang pangkal panggul dan ditandai titik tengah tersebut dengan alat tulis.
4) Responden berdiri tegak dan bernafas normal.
5) Menarik pita meter mulai dari titik tengah, kemudian secara sejajar hizontal melingkari pinggang dan perut kembali menuju titik tengah diawal pengukuran mendekati 0,1 cm.
6) Bila responden mempunyai perut gendut ke bawah, pita meter dilingkarkan mulai dari bagian yang paling buncit berakhir sampai pada titik tengah tersebut (Supariasa et al., 2002).
2. Tekanan Darah
Pengukuran klinis tekanan darah menggunakan stetoskop dan
spygmomanometer. Berikut penjelasan langkah-langkah pengukuran: 1) Responden duduk beristirahat setidaknya 5-15 menit sebelum
2) Manset dipasang pada lengan atas. Posisi lengan tidak tegang dengan telapak tangan terbuka ke atas. Ujung bawah mancet terletak kira-kira 1–2 cm di atas siku. Posisi pipa mancet terletak sejajar dengan lengan atas responden.
3) Pengukuran dilakukan pada posisi duduk meletakkan lengan kanan responden di atas meja, sehinga mancet yang sudah terpasang sejajar dengan jantung responden.
4) Mamometer dipompa sampai tekanan sekitar 180-200 mmHg. 5) Tekanan diturunkan secara perlahan-lahan.
6) Sambil tekanan diturunkan, dengan stetoskop didengarkan suara degup pada arteri brakhialis di fossa cubiti.
7) Degup pertama yang terdengar, adalah tekanan sistolik dan degup yang terakhir terdengar, adalah tekanan diastolik (Depkes RI, 2007).
3. Kadar Kolesterol HDL
Untuk mengetahui kandungan kolesterol dalam berbagai bahan makanan, dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode pengukuran baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari metode yang sederhana sampai metode yang kompleks.
Pengukuran kadar kolesterol HDL salah satunya menggunakan uji spektrofotometri. Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik dengan
menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube (Dawiesah, 1989).
4. Kadar Trigliserida
Pengukuran kadar trigliserida dapat dilakukan secara kuantitatif atapun kualitatif. Salah satu pengukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kadar trigliserida adalah menggunakan uji spektrofotometri. Bahan dan alat yang diperlukan antara lain : serum, tabung reaksi dan rak, dispenser 1,0 ml, mikropipet 0,01 (10 µl),
colorimeter dengan gelombang 500 nm (520-546) (Dawiesah, 1989).
5. Kadar Gula Darah
Kadar gula darah dalam penelitian ini menggunakan alat glucometer. Alat ini bekerja dengan cara membaca elektron yang dihasilkan dari proses pemecahan glukosa menjadi glukogon. Proses pemecahan ini dilakukan oleh enzim glukosa oksidase yang terdapat dalam strip
glucometer dengan cara oksidasi. Semakin banyak glukosa dalam darah yang teroksidasi menjadi glukagon maka semakin banyak elektron yang dihasilkan sehingga semakin tinggi nilai yang terbaca di alat (Nesco Multicheck, 2009).
Alat ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan memakai glucometer adalah waktu untuk mendapatkan hasil pemeriksaan lebih cepat, bentuk alat yang kecil sehingga mudah dibawa kemana mana, volume sampel yang dipakai sedikit. Adapun kelemahan
dari alat ini adalah karena range pada alat 20 mg/dl – 600 mg/dl maka hasil dibawah 20 mg/dl atau di atas 600 mg/dl hasil tidak keluar.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Metabolic Syndrome
1. Umur
Umur adalah lama waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan (Soetardjo, 2011). Jenis perhitungan umur terdiri dari umur kronologis, umur mental dan umur biologis. Adapun periodisasi biologis perkembangan manusia (Soetardjo, 2011) adalah sebagai berikut :
a. 0-1 tahun : masa bayi, dimana terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan mulai dari pertumbuhan fisik, pematangan struktur dan fungsi, perkembangan motorik, serta pembentukan hubungan emosional dengan ibu dan lingkungan sekitar.
b. 1-6 tahun : masa pra sekolah, dimana laju pertumbuhan menurun bila dibandingkan masa bayi.
c. 6-10 tahun : masa sekolah, dimana tumbuh perlahan dan menunjukan pematangan motorik kasar dan halus. Pada masa ini terbentuk sikap suka atau tidak suka terhadap makanan.
d. 10-20 tahun : masa pubertas, puncak dari tumbuh kembang baik secara fisiologis, psikologis dan sosial. Pada masa ini pola makan dipengaruhi oleh pola makan keluarga, pengaruh teman, nafsu makan, pengaruh
body image melalui media dan ketersedian pangan.
Banyak penelitian epidemiologi yang menunjukan bahwa penyakit CVD dan diabetes telah dimulai pada masa ini
(Worthington-roberts dan Williams, 2000 dalam Soetardjo, 2011). Hal ini disebabkan sebagian besar remaja mengalami obesitas akibat pola makan tidak teratur.
e. 20 – 64 tahun : masa dewasa, dimana pertumbuhan dan perkembangan prkatis tidak terjadi dan zat gizi diperlukan untuk pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit kronis. Pada umur ini beberapa orang menjadi lebih rentan terkena penyakit, terutama yang memiliki hipertensi, jantung atau berbadan gemuk baik karena keturunan atau pun akibat gaya hidup. Saat berada di umur ini harus waspada terhadap penyakit degeneratif (penyakit akibat bertambahnya umur) seperti jantung koroner, kolesterol, dan asam urat (Soetardjo, 2011).
f. 65 tahun ke atas : masa lanjut umur (Senium), dimana aktivitas fisik banyak berkurang, kebutuhan gizi berkurang dan kerusakan sel-sel banyak terjadi. Penurunan fungsi tubuh banyak terjadi sehingga risiko terserang penyakit semakin tinggi. Pada umur ini tingkat kesehatan cenderung sudah menurun, karenanya seseorang rentan terkena beberapa penyakit seperti artritis, osteoporosis, penyakit jantung, gangguan memori, stroke, pembesaran prostat dan juga kanker.
Beberapa penelitian menyebutkan prevalensi metabolic syndrome
meningkat sesuai dengan umur. Hal ini karena makin banyaknya faktor risiko jantung koroner dan makin besar kemungkinan mengalami resistensi insulin akibat dari gaya hidup yang kurang baik yaitu pola makan buruk dan aktivitas fisik kurang yang berlangsung lama (Dwipayana et al., 2011).
Disamping itu, pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian National Health and Nutrition Survey di Amerika Serikat (Ford, Giles, & Mokdad, 2004 dalam Wang, 2012).
Beberapa penelitan menyebutkan pada laki-laki, prevalensi metabolic syndrome meningkat pada umur 60 tahun sedangkan pada perempuan meningkat pada umur 50 tahun (Soewondo et al., 2006). Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan perubahan hormonal seperti wanita mengalami kehamilan dan menopause.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik dan pola makan seseorang terutama dimulai pada umur remaja. Pada umur ini laki-laki lebih memilih melakukan aktifitas fisik motorik kasar yaitu berolahraga sedang dan berat, sedangkan wanita lebih mengembangkan diri pada aktifitas motorik halus aktifitas fisik sedang dan ringan. Aktivitas fisik berat terhindar dari kelebihan energi yang menyebabkan penumpukan lemak (Soetardjo, 2011).
Pola makan cukup berbeda antara umur remaja laki-laki dengan perempuan. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh citra tubuh (body image), sehingga laki-laki cenderung menambah porsi makan sedangkan perempuan cenderung mengurangi porsi makananya untuk mendapatkan masing masing citra tubuh yang diidamkan (Soetardjo, 2011).
Obesitas sering dihibungkan dengan hiperinsulinemia, khususnya tipe android. Laki-laki obesitas cenderung mempunyai deposit lemak di daerah
atas tubuh khususnya pada tengkuk, leher, bahu, dan perut yang disebut obesitas tipe android. Pada perempuan obesitas dijumpai deposit lemak dengan area yang sama dengan laki-laki, meskipun mereka juga mempunyai batas area segmen bawah seperti pada bokong dan pinggul yang disebut obesitas tipe ginekoid .
Penelitian National Health and Nutrition Examination Survey di Amerika Serikat mengemukakan Prevalensi metabolic syndrome pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita (Ford, Giles, & Mokdad, 2004 dalam Wang, 2012). Pernyataan tersebut serupa dengan penelitian di Eropa (Delios, 2005) tapi berbeda dengan hasil penelitian di Makasar (Jafar, 2011), di Bali (Dwipayana et al., 2011) dan penelitan terhadap penduduk Amerika keturunan Arab (Jaber et al., 2004 dalam Wang 2012) yang menyatakan prevalensi metabolic syndrome pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria.
3. Etnis
Etnis mempengaruhi kejadian metabolic syndrome karena erat kaitannya dengan fenotip obesitas. Fenotip Obesitas pada beberapa kelompok etnis di negara sedang berkembang berbeda dengan orang kaukasian putih pada negara maju.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa orang Asia memiliki lemak tubuh yang lebih banyak, utamanya Asia Selatan, dibandingkan dengan orang kaukasian putih pada nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) yang sama (Dudeja, 2001; Deurenberg, 2000; Yajnik, 2002 dalam Wang, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada nilai IMT yang sama, imigran
India memiliki lemak abdominal total dan intraabdominal yang lebih besar secara signifikan dibandingkan orang Kaukasian putih di Amerika Serikat (Raji et al., 2001, dalam Wang, 2012).
Orang India memiliki kadar trigliserida hati yang lebih tinggi, yang dihubungkan dengan kadar insulin yang tinggi dan adiponektin yang rendah dibandingkan Orang Kaukasian Putih. Kadar trigliserida tersebut berpengaruh terhadap metabolic syndrome (Raji et al., 2001, dalam Wang, 2012).
Penelitian yang lain menyebutkan kebanyakan negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin dan Afrika Northern dan Timur Tengah pada umumnya mengalami perubahan diet berupa peningkatan konsumsi lemak terutama lemak dari hewani dan gula serta asupan sereal dan serat yang rendah (Wang, 2012). Ditambah lagi, adanya arus urbanisasi yang mengubah pola hidup ke arah yang buruk seperti perilaku merokok, perilaku konsumsi alkohol dan pola konsumsi yang tidak seimbang serta memiliki gaya hidup sedentari (sedentary life style) atau kurang aktivitas fisik (Misra
et al, 2001; Misra dan Khurana, 2008).
4. Obesitas
Obesitas adalah sebutan untuk orang gemuk dimana status gizinya berada pada nilai Indeks antropometri IMT > 27, BB/U, TB/U (Supariasa, 2002). Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama metabolic syndrome tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti perilaku kurang aktivitas fisik dan pola konsumsi yang tidak seimbang (Alberti et al., 2009).
Research Triangle Institute International menyatakan adanya hubungan prevalensi obesitas/berat badan lebih dengan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk nonton TV. Studi ini menunjukan bahwa aktivitas fisik yang kurang berpengaruh terhadap kejadian obesitas (Arief, 2008 dalam Wang, 2012).
Obeistas terbagi ke dalam 2 tipe yaitu obeistas tipe android dan obesitas tipe genekoid. Obesitas tipe android sering dialami oleh laki-laki dimana