• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJ IAN TEORI DA N KERANGKA PIKIR

A. Kajian Te ori

2. Makna dalam Pe ne rjemahan

a. De finisi Makna dalam Pe ne rjemahan

Dalam penelitian ini, kesepadanan makna merupakan hal penting yang menjadi dasar analisis data. Dikatakan demikian karena nantinya analisa yang dilakukan bukan hanya bagaimana seorang penerjemah mengalihkan makna suatu kata atau kalimat, namun meluas pada pengalihan pesan dalam makna tersebut. Oleh karena itu, penulis akan memberikan pengertian makna terlebih dahulu dan kesepadanan makna pada poin yang berikutnya.

“1. maksud pembicara; 2. pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; 3. hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; 4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa.” (Kridalaksana: 2008).

Setiap satuan komunikasi yang dilakukan melalui media apapun pasti mengandung suatu makna. Nida dan Taber (1982) menyebutkan bahwa sebuah kata bisa mempunyai beberapa arti dan kata-kata yang berbeda bisa memiliki keterkaitan makna dalam suatu satuan komponen makna tertentu.

Satuan komponen makna yang dimaksud adalah komponen umum (common comp on en ts), komponen diagnostis (diag no stic co mp onents), dan komponen tambahan (su pplementary co mp onents). Nida dan Taber (1982) menyebutkan bahwa komponen umum atau common comp on en ts merupakan

“those wh ich are sh ared b y all the mean ing s of a wo rd ”. Sebagai

contohnya, makna yang berbeda dari kata field dalam They h ad the flag

ceremon y in the field , The farmers p la nt their seed in th e no rth ern field, dan The warrior died g racefully in a ba ttle field mempunyai komponen umum

yang sama yaitu an a rea.

Komponen diagnostis mempunyai pengertian sebagai “komponen makna yang gunanya memisahkan satu makna dari makna yang lain, baik makna-makna itu kepunyaan satu kata atau beberapa kata.” (Kridalaksana: 2008). Sepadan dengan pengertian di atas, Nida dan Taber (1982) juga mengungkapkan bahwa komponen ini membedakan makna satu dengan

yang lainnya. Dalam contoh di atas, masing-masing makna dibedakan oleh komponen fla g ceremony, farm, dan war.

Nida dan Taber (1982) menjelaskan bahwa komponen ini memberikan kesan terhadap suatu makna secara fleksibel tanpa merubah makna yang ada. Dalam kamusnya, Kridalaksana (2008) menunjukan komponen tambahan sebagai “komponen makna yang khusus mewakili makna suatu unsur tetapi yang tidak bertujuan memisahkannya dari makna lain”. Makna kata h it dalam Ha rry hit Bob mengandung komponen kesan inten tio na lity bahwa hal itu dilakukan dengan sengaja, sedangkan dalam The ba ll hit Bob tidak akan ditemukan kesan bahwa ‘Bola itu mengenai Bob dengan sengaja’. Komponen in ten tion ality inilah yang dimaksud dengan komponen tambahan dalam makna.

b. Jenis Makna dalam Pe ne rjemahan

Selanjutnya akan dijelaskan pula mengenai jenis-jenis makna yang harus dikenali oleh seorang penerjemah sebelum dan selama melakukan proses penerjemahan. Nababan (1999) dalam bukunya merumuskan 5 jenis makna yang terkait dalam penerjemahan.

1. Makna Leksikal

Kridalaksana (2008) menjelaskan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain. Sebagai contohnya, kata-kata ru n, up , ag ainst mempunyai makna leksikal ‘berlari’, ‘keatas’, dan ‘bertentangan’ (Wojowasito, 1974).

Biasa juga disebut sebagai makna kata yang tercantum dalam kamus. Dengan kata lain makna ini merupakan makna yang lepas dari penggunaan maupun konteksnya.

2. Makna Gramatikal

Makna gramatikal ditemukan dalam hubungan antara unsur- unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar, misalnya hubungan antara satu kata dengan kata lain dalam frase atau klausa (Kridalaksana, 2008). Makna kata pa rk adalah ‘taman’ jika posisinya dalam kalimat adalah sebagai objek, seperti dalam contoh We walk ed

throu gh the p ark. Sementara itu, jika kata pa rk menempati posisi

predikat kalimat seperti dalam We park the car, maka makna yang ditemukan adalah ‘memarkir’.

3. Makna Kontekstual atau Situasional

Sesuai dengan istilah yang dipakai, makna ini terhubung erat dengan konteks atau situasi penggunaan suatu kata baik saat berdiri sendiri maupun dalam kalimat. Kridalaksana (2008) mendefinisikan makna ini sebagai “hubungan antara ujaran dan situasi di mana ujaran itu dipakai”. Ujaran Great tidak selalu bermakna ‘bagus’ atau ‘hebat’, namun ujaran ini juga bisa berarti ‘keluhan’ ketika diucapkan oleh seorang siswa yang mendapatkan tugas tambahan dari gurunya. Penerjemah harus mengenali betul konteks dan situasi sebuah kata berada.

4. Makna Tekstual

Makna ini akan ditentukan oleh register sebuah teks. Seperti halnya konteks maupun situasi, isi atau tema dari suatu teks juga berperan penting dalam menentukan makna sebuah kata. Contoh sederhananya bisa dilihat sebagai berikut.

Left click on table a nd choose Table Autoformat. Mo ve th e curso r up o r do wn to cho ose the ta ble style you wan t.

Dalam teks di atas, ‘table’ merupakan istilah dalam program komputer. 5. Makna Sosiokultural

Makna sosiokultural adalah makna yang berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat pengguna bahasa. Makna ini bisa muncul dari suatu istilah budaya bahasa sumber yang mungkin ada padanannya ataupu tidak dalam bahasa sasaran. Seorang penerjemah harus sangat berhati-hati dalam menerjemahkan istilah-istilah seperti

b itch, d amn, karena tidak selamanya kata-kata tersebut mengandung

makna negatif. Dalam suatu komunitas pengguna bahasa Inggris di Irlandia, ujaran Where’s yo ur bitch ? adalah biasa dilontarkan antar teman sebaya untuk merujuk pada ‘Dimana pacarmu (perempuan)?’. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa perbedaan makna sebuah kata atau kalimat disebabkan perbedaan struktur posisi gramatikal, konteks kalimat, dan juga register. Teks kedokteran menggunakan bahasa kedokteran, teks hukum menggunakan bahasa hukum, dan sebagainya (Hatim dan Mason, 1997).

c. Ke sepadanan Makna dalam Penerje mahan

Kesepadanan makna merupakan masalah umum yang ada dalam penerjemahan. Tidak ada dua bahasa yang memiliki padanan makna yang sama persis untuk setiap unit bahasanya. Seorang penerjemah akan dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya memiliki kemampuan menganalisa suatu teks bahasa sumber dan mengalihkan pesan dan mencari padanan yang paling dekat dalam bahasa sumber. Berikut jenis padanan dalam terdapat dalam suatu teks seperti yang diungkapkan oleh Baker (1992)

1) Padanan pada Tataran Kata

Sebagai unit terkecil dari bahasa yang mempunyai makna, kata merupakan titik awal kajian dalam rangka memahami keseluruhan makna dalam suatu teks bahasa sumber. Baker menjelaskan ketaksepadanan makna pada tataran kata menjadi 11 jenis, yaitu (a) konsep khusus, (b) konsep BSu tidak tersedia dalam BSa, (c) konsep BSu yang sangat kompleks secara semantik, (d) perbedaan persepsi BSu dan BSa terhadap suatu konsep, (e) BSa tidak mempunyai unsur atasan, (f) BSa tidak mempunyai unsur bawahan atau hiponim, (g) perbedaan persepsi BSu dan BSa terhadap konsep interpersonal dan fisik, (h) perbedaan dalam hal makna ekspresif, (i) perbedaan bentuk kata, (j) perbedaan dalam hal tujuan, dan (k) perbedaan tingkat penggunaan bentuk-bentuk tertentu.

2) Padanan di atas Tataran Kata

Yang dimaksud dengan tataran di atas kata adalah frasa, kalimat, dan paragraf. Suatu kata mempunyai kecenderungan untuk berkolokasi dengan kata lain sehingga menghasilkan frasa. Seringkali penerjemah berhadapan dengan ungkapan idiomatik pada suatu teks. Maka dari itu ia perlu menguasai strategi untuk mengidentifikasikan dan menginterpretasikan ungkapan idiomatik dalam bahasa sumber dengan tepat untuk memperoleh padanan yang tepat dan paling dekat dalam bahasa sasaran.

3) Padanan Gramatikal

Pembahasan tentang padanan gramatikal dikaitkan dengan tata bahasa yang dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi morfologis dan dimensi sintaksis. Sama seperti kata maupun frasa, tidak ada satu bahasa yang memiliki padanan gramatikal yang sama persis dengan bahasa lain. Bahasa Inggris, misalnya, mempunyai perubahan bentuk tunggal atau jamak yang akan mempengaruhi bentuk kata baik dalam tataran frasa, klausa, ataupun kalimat. Sedangkan bahasa Indonesia juga membedakan konsep tunggal atau jamak, namun tidak secara morfologis.

3 . Style

Permasalahan pernejemahan slang yang akan dibahas dalam makalah ini sangat erat berkaitan dengan style yang digunakan oleh penutur slang. Dalam kajian teori sebelumnya disebutkan bahwa register yang muncul berpengaruh

pada konteks situasi yang melatarbelakangi suatu teks dan cerita yang ada di dalamnya. Fromkin et.al (2003) menyebutkan bahwa register bisa juga disebut sebagai style; suatu “situational dialects” yang melibatkan cara seseorang menggunakan bahasa dalam situasi tertentu, misalnya, berbicara dengan teman, percakapan pada saat wawancara pekerjaan, melakukan presentasi dalam kelas, berbicara dengan anak kecil, ataupun berbicara dengan orang tua. Bisa ditambahkan bahwa suatu register atau style memainkan peranan penting dalam membentuk kesatuan dan mempertahankan keutuhan cerita dalam suatu teks. Untuk menunjukan konsistensi penggunaan istilah, dalam makalah ini, selanjutnya, akan digunakan istilah style untuk merujuk pada suatu “situational dialect”.

Suatu style pastilah mengandung muatan budaya di dalamnya. Jika kita menilik sebentar, kembali ke persoalan penerjemahan, bisa ditemukan banyak contoh bahwa dalam kasus penerjemahan, suatu istilah yang mengandung muatan budaya sulit untuk diberikan padanan dalam level on e-to-on e correspo nd en ce. Istilah-istilah seperti Halloween, kilt, ataupun Thanksgiving tidak bisa begitu saja diberikan padanan dalam level one-to -one correspo ndence dalam bahasa lain karena muatan budaya yang terkandung di dalamnya. Kecuali sebuah istilah ataupun bentuk suatu budaya mempunyai padanan dalam budaya lain, maka penerjemahan yang dilakukan pun tidak bisa dalam level o ne-to-o ne co rrespo nd en ce. Mengarah pada bentuk yang lebih besar lagi dari sebuah wujud

budaya adalah, salah satunya, pada style tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi. Cook (1989) menyebutkan bahwa, oleh karena penggunaannya

dalam rangka berkomunikasi, style dipengaruhi oleh jenis pembicaraan, pendengar sasaran, dan tujuan pembicaraan. Pernyataan ini sepadan dengan konsep ‘situational dialect’ yang diberikan oleh Fromkin; bahwa dalam masing-masing bentuk pembicaraan yang berbeda, pendengar sasaran dan tujuan yang ingin dicapai pun berbeda pula.

Selanjutnya, Fromkin et.al menyatakan bahwa hampir setiap orang mempunyai in formal ataupun formal style yang digunakan dalam kebutuhannya berkomunikasi. Meskipun sama sama mempunyai aturan dalam penggunaannya,

in formal style mempunyai aturan yang lebih longgar daripada formal style dengan grammar rules-nya. Hal ini menyebabkan suatu informal style menjadi lebih unp redictable. Sebagai contoh8, seseorang bisa berkata dalam wujud informal You

ru nn in g the maratho n? daripada Are you run ning th e ma ra th on ? dengan makna

yang sama namun dalam style yang berbeda. Penerjemahan kedua tuturan tersebut juga haruslah sepadan dengan style yang digunakan. Kamu iku t lari maratho n? atau Kau iku t lari maratho n, ya? bisa dipilih sebagai terjemahan info rmal style dari You runn ing the marathon daripada Apak ah Anda ik ut lari ma ra tho n?. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi pergeseran style dalam terjemahan yang diberikan; karena, jika suatu style berubah, maka kesatuan makna dalam suatu tuturan akan berubah pula.

Sebagai salah satu penanda in formal style dalam suatu komunitas, slang merupakan inti permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Oleh karena sifatnya yang kontemporer, berubah-ubah sesuai dengan suatu waktu atau masa

8 D ikutip dari Fromkin et.al (2003, 473)

(Fromkin, 2003), slang menimbulkan kasus tersendiri bagi penerjemah untuk mempunyai pemikiran secara kontemporer serta mampu merepresentasikannya secara praktis ketika menerjemahkan suatu istilah slang yang digunakan dalam komunikasi. Sebagai bahasa sasaran yang dipakai dalam pembahasan makalah ini, bahasa Indonesia juga mempunyai perbedaan penggunaan style tuturan. Seperti pada padanan makna yo u (formal) dan you (informal) menjadi Anda dan

Kau /Kamu.

4 . Sla ng

a. De finisi Sla ng

Menurut Kridalaksana (2008), slang merupakan

ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti: berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa penggunaan slan g terbatas pada komunikasi dalam kelompok masyarakat tertentu. Jika suatu sla ng dari suatu kelompok digunakan untuk ataupun oleh kelompok lain (dengan catatan bahwa kelompok tersebut tidak menanyakan ataupun mengetahui artinya), bisa dipastikan bahwa tidak akan terjadi komunikasi yang baik. Hal ini didukung dengan definisi dalam Duden-Oxford (dalam Kusmaull, 1995) bahwa sla ng merupakan tuturan yang “especially colloqu ial a nd

expressive; often used o nly by p articular grou ps”. Selain mendukung

dalam kelompok tertentu, disebutkan pula bahwa slan g merupakan bahasa ‘tak resmi’ (Kridalaksa na) atau co llo qu ia l (Duden-Oxford).

Slan g dianggap sebagai bahasa ‘tak resmi’ karena penggunaannya

dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya menghindari kesan formal untuk lebih mengungkapkan ekspresi penutur secara bebas (expressive). Dengan kata lain, sla ng tidak bisa digunakan dalam setting formal, karena dalam situasi formal, seseorang hendaknya mengikuti suatu aturan-aturan tertentu. Definisi dalam Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English (1963) mendukung pernyataan tersebut dengan menyebutkan bahwa slan g merupakan words, ph ra ses, meanin gs of words, etc.

co mmo nly used in talk bu t n ot suitab le for go od writin g or forma l occasion s. Disebutkan pula bahwa penggunaan slan g terbatas pada tuturan

dan tidak umum dalam bentuk tulisan. Hal ini sangat mungkin terjadi jika pernyataan ini bertolak pada definisi yang menyebutkan bahwa sla ng merupakan bahasa yang bersifat expressive dan co lloquial. Seseorang akan lebih mudah untuk mengekspresikan maksudnya secara bebas dalam bentuk langsung secara oral dan ekspresi penutur pun lebih bisa terungkapkan ketika masing-masing orang yang berkomunikasi bisa mendengar atau berhadapan secara langsung. Sedangkan dalam bentuk tulisan, hal tersebut akan lebih sukar untuk dilakukan.

Definisi lain mengenai slang diungkapkan oleh Fromkin et.al (2003) bahwa slang merupakan Words an d phrases used in ca su al sp eech,

st-ch ang ing . Fromkin menekankan bahwa tuturan sla ng mempunyai sifat

yang cepat berubah-ubah. Faktor penggunaan bahasa yang bebas dalam setting informal lah yang memungkinkan hal ini terjadi. Sesuai dengan pengertian dari bahasa sebagai suatu budaya, tuturan slang merupakan hasil ciptaan manusia yang hidup dalam suatu budaya dan dalam perkembangannya manusia bisa mencipta, merubah, ataupun menggunakannya kembali dalam kehidupannya. Allan dan Burridge (2006) menyebutnya sebagai bahasa dalam bentuk contemp orary type. Istilah TV yang dulunya adalah slang sekarang merupakan kosakata umum yang dipakai untuk menyebut television . Perubahan ini bisa terjadi karena pada dasarnya sudah menjadi sifat dari bahasa sebagai media komunikasi adalah untuk menyampaikan pesan dari satu orang ke orang lain; masing-masing diharapkan untuk bisa saling mengerti maksud yang disampaikan. Hal ini didukung oleh Greenough et al (dalam Moentaha, 2008) yang merumuskan slang sebagai a pecu lia r k in d o f vagabond langua ge, always

han ging on th e o utskirts of legitimate speech b ut co ntinually straying a nd forcing its wa y into the mo st respectab le co mp any.

Dari definisi-definisi slang di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa

slan g mempunyai lima ciri khusus, yaitu (1) digunakan dalam percakapan,

(2) bersifat informal, (3) bersifat temporal, (4) mengandung muatan ekspresif penutur, dan (5) berlaku dalam kelompok atau komunitas masyarakat tertentu.

Berkaitan dengan karakteristik slan g yang mengandung muatan ekspresif penutur seperti yang disebutkan dalam definisi di atas, Partridge (dalam Crystal, 1995) merumuskan bahwa ada 15 alasan yang digunakan oleh seseorang ketika menggunakan tuturan slang dalam speech act-nya. Kelimabelas alasan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1 ) In sh eer hig h spirits, in playfulness or wa ggin ess. 2 ) As a n exercise either in wit and in genu ity o r in h umo ur. 3 ) To b e ‘different’, to b e n ovel

4 ) To b e picturesqu e

5 ) To escap e from clichés, or to be brief a nd con cise. 6 ) To enrich the lan gua ge

7 ) To len d an a ir of solidity, co ncreteness, to th e ab stract; of ea rthin ess to the id ea listic; o f immediacy a nd a pp ositeness to th e remote.

8 ) To lessen th e sting of, o r on th e o th er ha nd to g ive a dd ition al po in t to, a refusal, a rejectio n, a recan ta tio n.

9 ) To redu ce, p erha ps also to disperse, th e so lemn ity, the po mpo sity, the excessive serio usness of a conversa tio n.

10)To speak o r write do wn to a n inferior, or to amuse a sup erior pu blic; o r merely to b e on a colloq uial level with either o ne’s au dience or o ne’s subject matter.

11)For ea se of so cial intercou rse.

12)To induce eith er frien dliness or intimacy o f a deep o r a d urab le kind .

13)To b e ‘in a swim’ o r to estab lish con ta ct.

14)Hence, to sh ow or prove tha t someone is not ‘in th e swim’. 15)To b e secret-n ot un derstoo d by those aro und one

Secara singkat, tuturan slan g merupakan bahasa informal yang mengandung makna tertentu yang (seringkali) lepas dari makna literalnya dan seringkali juga merupakan istilah yang sama sekali baru yang hanya berlaku dalam suatu komunitas tertentu yang masing-masing anggotanya memiliki sha red experience. Komunitas yang dimaksud bisa saja merupakan anggota suatu perkumpulan tertentu, para remaja pada kisaran

usia tertentu, sesama murid sekolah di daerah tertentu, atau bahkan para

professio na l crimina ls (Allan dan Burridge, 2006) P enggunaan tuturan ini

mencerminkan rasa solidaritas dalam suatu komunitas yang menggunakannnya.

Perlu diketahui bahwa oleh karena sifatnya yang berubah-ubah, suatu tuturan slang pada suatu masa bisa saja menjadi bahasa standar yang digunakan bebas di semua lapisan masyarakat pada masa berikutnya, dan mungkin saja bisa kembali lagi menjadi tuturan sla ng . Sedangkan mengenai bentuk dari tuturan slan g sendiri bisa beragam mulai dari tataran kata (scum), frasa (head th e b all), ataupun kalimat (He lost his b ottle)

b. Tuturan Slang s ebagai Ciri Suatu Budaya

Perlu dipahami bahwa setiap bahasa mempunyai keunikannya sendiri-sendiri. Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan Taber bahwa ea ch

la ng ua ge po ssesses certain d istin ctive cha racteristic which g ive it a sp ecial cha ra cter. Each la ngu ag e is rich in vocabu lary for the areas o f cu ltura l focus, (1982: 3). Dari pernyataan tersebut bisa kita lihat bahwa,

selain mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dari bahasa lain, setiap bahasa juga memiliki kekayaan kata-kata yang mengandung dan sesuai dengan unsur budaya-nya masing-masing.

Deddy Mulyana (2006) dalam bukunya Komunikasi Antar Budaya mengatakan bahwa “ … bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan

bergantung pada berbagai penafsiran. “. Secara implisit, bisa didapatkan pengertian bahwa penggunaan bahasa akan tergantung pada komunitas pengguna bahasa tersebut. Suatu kata yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda oleh 2 orang dari komunitas yang berbeda. Kata ember, misalnya, pada tuturan Ember-n ya satu b erap a, Pak ? yang diucapkan di komunitas pedagang barang plastik mempunyai makna barang dari plastik yang biasanya digunakan sebagai tempat air. Sedangkan dalam tuturan Lu tu

emb er, ya yang diucapkan di komunitas anak muda perkotaan di Jakarta,

kata emb er bermakna orang yang terlalu banyak bicara. Kata ember dalam contoh yang kedua merupakan kata slan g yang dalam perkembangannya pada suatu komunitas tertentu mengalami perubahan makna.

Sedangkan beberapa kata seperti lou sy, b lo od y, stuff, crap adalah contoh kata-kata sla ng yang digunakan dalam komunitas masyarakat Inggris secara umum. Dalam suatu komunitas sekolah di Summerhill (salah satu b oa rd ing scho ol di Suffolk, Inggris) seorang murid akan berkata ‘bloody fo ol’ kepada gurunya dan tidak akan mendapat hukuman kerena berkata tidak sopan. Hal ini bisa terjadi karena dalam komunitas sekolah tersebut guru dan murid adalah equ al. Ungkapan bloo dy foo l diucapkan semata untuk menggoda dan menunjukan keakraban mereka terhadap seorang guru di Summerhill (dikutip dari Kusmaull, 1995).

Kedua fenomena bahasa dalam contoh di atas sangat erat berkaitan dengan sosiolinguistik sebagai bidang yang mengkaji bahasa dalam

dimensi kemasyarakatan. Bussman (1996) menyatakan sosiolinguistik sebagai

Scientific d iscip lin e developed fro m the coo pera tio n of linguistics and sociology tha t investiga tes th e socia l meaning of la ng uage system an d of language use, and the co mmo n set of con ditions of lingu istic an d so cial stru cture.

Terlihat dengan jelas bahwa sla ng merupakan fenomena dalam bidang sosiolinguistik karena ciri-ciri yang dimilikinya. S la ng memiliki bentuk dalam satuan unit linguistik tertentu, digunakan dalam suatu komunitas dengan pola tertentu beserta makna yang terkandung di dalamnya untuk tujuan tertentu pula. Seperti yang disebutkan oleh Valero-Garces (2000), pendekatan sosiolinguistik merupakan salah satu yang bisa digunakan dalam mengkaji mengenai masalah penerjemahan, karena

Dokumen terkait