• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna figuratif merupakan kandungan makna yang terdapat dalam suatu ungkapan figuratif (figurative expression), seperti halnya dalam peribahasa. Makna kiasan (figurative meaning, transferred meaning) merupakan pemakaian satuan kebahasaan dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh adalah „mahkota wanita‟. Satuan kebahasaan yang berupa frasa tersebut tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata namun frasa tersebut dimaknai sebagai „rambut wanita‟. Abrams (2009:118) mengatakan bahwa “figurative language is a deviation from what

speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect”. „Bahasa

figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus‟.

Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (2009:118-121) dapat muncul dalam bentuk simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Grothe (2008:9) mengatakan bahwa secara etimologi metafora berasal dari bahasa Yunani „meta‟ berarti „over‟, „beyond‟ dan „pherein‟ yang berarti „to transfer‟. Wahab (1986:11) mendefinisikan bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh

lambang maupun makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan tersebut. Adapun Kridalaksana (2009:152) dalam Kamus Linguistik menjelaskan bahwa metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan, misalnya „kaki gunung‟ dan „catatan kaki‟ yang dianalogikan dengan kaki manusia. Oleh karena itu, dari etimologi dan defnisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metafora memiliki suatu peran untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari makna aslinya dengan cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada sesuatu hal yang lain (transfer makna).

Teori metafora linguistik berpandangan bahwa suatu metafora harus terdiri dari tiga elemen dasar, yaitu tenor, vehicle, dan ground. Berikut adalah penjelasan Taylor (2003:135) terkait tiga elemen dasar metafora tersebut:

1. Tenor atau target domain (pebanding) adalah konsep atau obyek yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, atau dibandingkan. Target domain juga disebut sebagai reseptor.

2. Vehicle atau source domain (pembanding) adalah konsep yang mendeskripsikan atau mengkiaskan atau melambangkan tenor atau

target domain. Source domain juga disebut sebagai „pendonor‟. Dalam

arti ini vehicle atau source domain adalah lambang atau kiasan itu sendiri.

3. Ground (sense atau persamaan) adalah relasi persamaan antara tenor atau target domain dan vehicle atau source domain. Relasi persamaan ini dapat berupa persamaan obyektif seperti bentuk, sifat, atau

kombinasi di antaranya, persamaan emotif, persaman konsep, fungsi dan persamaan sosial budaya.

Konsep metafora di atas sering disandingkan dengan simile karena adanya konsep perbandingan antara satu hal dengan hal lain. Metafora dan simile merupakan dua bentuk gaya bahasa kiasan perbandingan atau perumpamaan namun keduanya memiliki perbedaan. Simile berasal dari bahasa Latin „similis‟ yang berarti „like‟ atau „seperti‟. Simile didefinisikan sebagai bahasa kiasan yang membandingkan suatu hal dengan hal lain (suatu benda dengan benda lain) dengan mempergunakan kata-kata pembanding, di antaranya seperti, sebagai,

bagai, bak, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya

(Grothe, 2008:12-13).

Menurut Rose (1958:14) metafora berbeda dengan simile karena kedua hal tersebut memiliki formula yang berbeda. Simile memiliki formula “A is like B”, sedangkan metafora memiliki formula “A is B” sehingga formula simile akan menunjukkan bahwa “A is not B” karena A hanya seperti B, sedangkan formula metafora adalah A adalah B. Oleh karena itu, pada metafora, B dapat menggantikan A sedangkan pada simile B tidak dapat menggantikan A. Hal inilah yang menunjukkan bahwa metafora berbeda dengan simile.

Adapun kaitannya dengan metonimi, metonimi merupakan suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian makna yang sangat dekat (Keraf, 1992:141-142). Kata metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta yang berarti „menunjukkan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dalam lingkup yang lebih luas,

sinekdoke merupakan bagian dari metonimi (Lakoff dan Johnson, 1980:36; Keraf, 1992:142). Sinekdoke didefinisikan sebagai penyebutan sebagian dengan maksud untuk keseluruhan. Sinekdoke sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pars prototo dan totum proparte. Pars prototo merupakan pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Adapun totum proparte merupakan pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Keraf, 1992:142).

Parera (2004:121) mengatakan bahwa dalam metonimia terdapat suatu hubungan kedekatan antarmakna. Hal tersebut berbeda dengan dengan metafora yang mengungkapkan adanya hubungan kesamaan antarmakna. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metonimia digunakan untuk melihat makna dari segi kedekatan antarmakna sedangkan metafora digunakan untuk melihat makna dari segi kesamaan antarmakna. Lebih lanjut Parera (2004:121-122) mengelompokkan metonimi bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.

Senada dengan pemaparan makna figuratif di atas, peribahasa dilihat dari sifatnya merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang di dalamnya sarat akan penggunaan makna figuratif, sebagai contoh peribahasa seperti air jatuh di daun

talas. Peribahasa tersebut mengandung makna kias yang hendak menggambarkan

seseorang yang tidak berpendirian teguh. Makna kias dari peribahasa tersebut dapat ditelusur melalui skema metaforika, yakni menemukan kesamaan antara unsur pembanding dengan unsur pebandingnya. Peribahasa tersebut

menyerupakan air yang jatuh di atas daun talas seperti halnya seseorang yang tidak berpendirian teguh. Keadaan air di atas daun talas tersebut tidak ada yang dapat tertahan dan segera dengan mudah jatuh ke tanah. Begitupun juga dengan seseorang yang berpendirian tidak teguh akan mempunyai keserupaan keadaan sebagaimana air tersebut, yakni tidak mempunyai kekuatan yang teguh atau tidak memiliki suatu keyakinan atas sesuatu hal. Begitupun juga dengan peribahasa ada

gula ada semut. Kata „gula‟ dan „semut‟ dalam peribahasa tersebut

mengambarkan kejadian atau fenomena yang dapat saling melingkapi antara satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu yang sifatnya baik dan serasi. Oleh karena itu, peribahasa tersebut mengandung kiasan bahwa di mana ada tempat yang menghasilkan keuntungan, maka akan dihampiri banyak orang. 1.7.4 GCMT (Great Change Metaphor Theory)

GCMT merupakan pandangan lain dari teori metafora yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. GCMT merupakan perkembangan dari teori metafora konseptual yang memandang bahwa metafora memiliki dua ranah konseptual dimana salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan dengan domain lain. Dua ranah tersebut adalah target domain, yakni hal yang dijelaskan atau dimengerti dengan source domain dan source domain, yaitu hal yang menjelaskan target domain (Kövesces, 2002:4). Metafora konseptual tersebut merupakan metafora kognitif yang dikembangkan oleh para pakar linguis kognitif ketika terbit buku Metaphor We Live By yang ditulis oleh Lakoff dan Johnson (1980). Dalam buku karangannya tersebut, Lakoff dan Johnson (1980:4-7) mengajukan hipotesis bahwa metafora digunakan untuk menayangkan peta

kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding, sehingga menyebabkan pembanding terikat dalam pengalaman fisik spasial melalui ranah pebanding. Hasilnya adalah adanya skema-skema yang menengahi di antara tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif, begitu juga dalam ranah pembandingnya. Dalam pandangan ini, satu skema metaforis merupakan satu representasi mental yang mengikat struktur konseptual (intelektual) dari ranah abstrak ke dalam ranah inderawi yang lebih fisikal. Satu konseptual metafora yang dicontohkannya adalah ARGUMENT IS WAR. Metafora tersebut merupakan suatu usaha pemetaan antara ranah sumber, yakni „argument‟ dan ranah sasaran, yakni „war‟. Ranah sumber selalu bersifat fisik atau konkret, sedangkan ranah sasaran terlihat lebih abstrak. Metafora konseptual ARGUMENT IS WAR tersebut hendak memberikan gambaran WAR yang dinilai lebih abstrak dibandingkan dengan ARGUMENT yang dinilai lebih kongkrit dan terkonsep. Konsep perang (war) melalui metafora tersebut bukan berarti adu fisik, namun lebih mengarah pada adu verbal (argument).

Terkait dengan GCMT, pada dasarnya GCMT sendiri tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar metafora Lakoff dan Johnson di atas. Selain hadirnya ranah pembanding dan ranah pebanding, skema yang ditawarkan oleh GCMT sebagai suatu pendekatan terhadap peribahasa adalah dengan memasukkan adanya konsep moral, budaya, serta konteks pemakaiannya dalam mengkonseptualisasikan metafora (Honect, 1997:147). Oleh karena itu, secara terperinci konsep peribahasa dalam ranah GCMT dapat dipetakan dalam empat konsep di bawah ini, yaitu:

1. The great chain of being

Lakoff dan Turner (1989:166) meyakini bahwa dalam konsep the great

chain of being setiap makhluk hidup memiliki suatu hierarki tertentu. Hal tersebut

mencakup manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, serta sifat-sifat yang mengikuti dari bentuk-bentuk tersebut, seperti cara pikir, perilaku, naluri, fungsi biologis serta atribut-atribut fisik lainnya. Bentuk atau benda yang menempati hierarki tertinggi pasti menjadi model untuk tingkat yang lebih rendahnya, bukan sebaliknya. Sebagai contoh adalah perilaku atau sifat manusia yang diserupakan dengan hewan, bukan perilaku atau sifat hewan yang diserupakan dengan manusia. Dalam peribahasa Arab misalnya dicontohkan asyja‟u min laiṡin „lebih berani daripada singa‟ (Ma‟lūf, 2002:1010). Dalam hierarki rantaian makhluk hidup, hewan lebih rendah daripada manusia. Oleh karena itu, sifat yang dimiliki oleh manusia, dalam konteks peribahasa tersebut adalah keberanian dijadikan suatu model tertentu yang bersumber dari hewan singa. Sehingga menurut konsep

the great chain of being hal tersebut tidak dapat dirubah bahwa „singa adalah

manusia yang pemberani‟ namun konsep yang dibentuk harus „manusia yang pemberani adalah singa‟.

2. The nature of things

Dalam konsep the nature of things tersebut (Lakoff dan Turner, 1989:169-170) menjelaskan bahwa berbagai bentuk rangkaian makhluk hidup atau benda memiliki suatu esensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Esensi tersebut itulah yang menentukan bagaimana makhluk hidup atau suatu benda berperilaku atau difungsikan. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada suatu

benda akan menentukan bagaimana cara benda tersebut berperilaku. Sebagai contoh adalah „serigala‟. Serigala merupakan hewan karnivora dan liar. Atribut-atribut itulah yang kiranya akan menentukan perilaku-perilaku dari serigala, yakni dapat memburu binatang lain, ganas, menakutkan, dan lain segalanya.

3. The generic is specific

Konsep the generic is specific merupakan suatu konsep dimana metafora berusaha memetakan bahwa sesuatu yang dianggap spesifik tersebut merupakan representasi dari sesuatu yang bersifat umum dalam rangka untuk dijadikan sebagai ranah sumber (Lakoff dan Turner, 1998:162-165). Oleh karena itu, maka ranah target hanya akan dapat diketahui dengan memahami aspek-aspek yang ada di dalam ranah sumbernya. Misalnya adalah peribahasa Arab asyharu min al-ablaqi „lebih terkenal daripada kuda ablaq‟ (Ma‟lūf, 2002:995). Kuda ablaq dalam peribahasa tersebut ditetapkan sebagai ranah sumber karena di dalamnya mengandung suatu konsep yang sifatnya spesifik, yakni yang kuda yang memiliki kulit belang, bercak-bercak, atau berbintik yang terdiri dari dua warna, yakni hitam dan putih. Konsep yang ada dalam kuda tersebut hendak digunakan sebagai perantara pemahaman atas ranah sumbernya, yakni menggambarkan keadaan seseorang yang dianggap terkenal atau termasyhur.

4. The communicative maxim of quantity

The communicative maxim of quantity hendak menjelaskan bahwa

maka diharapkan pada pembicara atau penulis untuk memberikan seinformatif mungkin keterangan-keterangan yang diperlukan untuk tujuan tertentu dan tidak memberikan keterangan yang berlebihan dari apa yang diperlukan (Lakoff dan Turner, 1989:171). Oleh karena itu, penggunaan peribahasa dalam suatu tuturan atau tulisan hendaknya juga mentaati asas sebagaimana prinsip the communicative maxim of quantity tersebut.

Dari empat konsep terkait di atas, maka pendekatan GCMT terhadap interpretasi peribahasa dapat digambarkan melalui diagram di bawah ini.

Disalin dari figure 4.2 Diagram of the great chain metaphor theory (Honeck, 1997:152) 1.6.4.1 Jenis-jenis metafora

Pembagian jenis metafora menurut Wahab (1990:126-129) menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua kategori pembagian metafora, yakni metafora universal dan metafora kultural. Metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagain besar budaya di dunia, baik

CONTEXT KNOWLEDGE  Conceptual Metaphor  Folk Theories  Moral Precepts  Frame Semantics  Great Chain  Nature of Things  Etc PROVERB Specific schema Generic schema PROVERB Generic is specific metaphor PRAGMATIC PRINCIPLES Instantiation Interpretation

lambang kias maupun makna yang dimaksudkan. Adapun yang dimaksud dengan metafora kultural adalah metafora yang antara lambang dan maknanya dalam medan semantik yang terbatas pada satu budaya saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa metafora universal didasarkan pada keyakinan bahwa semua bahasa memiliki sejumlah sifat yang sama dan mampu menampilkan contoh skema organisasi yang sifatnya mendasar, sedangkan metafora kultural adalah berdasarkan keyakinan pada kenyataan bahwa penutur satu bahasa mempunyai pengalaman fisik dan pengalaman kultural yang tidak dimiliki oleh penutur dari budaya yang berbeda. Dengan demikian, kriteria yang dipakai untuk menentukan metafora yang terikat pada budaya juga terbatas pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur suatu bahasa. Senada dengan pandangan terkait metafora kultural tersebut, Kövesces (2005:1) menyatakan bahwa “a set of shared understandings that characterize

smaller or larger groups of people”

Hal tersebut juga berlaku untuk metafora bahasa Arab. Metafora bahasa Arab sangat terikat dengan budaya Arab. Kriteria yang dipakai untuk menentukan metafora ini terikat pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dari penutur asli bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa mencerminkan konseptualisasi dan penafsiran manusia terhadap dunianya. Pandangan kolektif suatu masyarakat terhadap kehidupan di sekitarnya akan membawa dalam satu konvensi komunikasi tersendiri.

Terkait dengan jenis, Haley (1980:139-154) dalam buku Linguistics

medan semantik pembandingnya. Pembagian tersebut juga termaktub dalam Wahab (1990:127-128), yakni:

1. Metafora ke-adaan (being) yaitu metafora yang meliputi hal-hal abstrak, seperti kebenaran dan kasih.

2. Metafora kosmos (cosmos) yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos, misalnya bulan dan matahari. Prediksi benda-benda kosmos ini adalah menempati ruang, berada di sebuah ruang.

3. Metafora tenaga (energetic) yaitu metafora dengan medan makna semantik hal-hal yang memiliki kekuatan angin, cahaya, api, dengan prediksi dapat bergerak.

4. Metafora substansi (substance) yaitu metafora yang meliputi macam-macam gas dengan prediksinya dapat memberi kelembaban, bau, tekanan, dan sebaliknya

5. Metafora permukaan bumi (terrestrial) metafora yang meliputi hal-hal yang terikat atau terbentang di permukaan bumi, misalnya sungai, hutan, gunung, laut, dan sebagainya.

6. Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda yang tidak bernyawa, misalnya meja, buku, kursi, gelas dan sebagainya. 7. Metafora gravitas (gravity) adalah metafora yang berhubungan dengan

segala sesuatu yang jatuh karena pengaruh gravitasi bumi atau berat badan, seperti tenggelam, jatuh, dan sebagainya.

8. Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk yang dapat berfikir dan memiliki akal.

9. Metafora binatang (animate) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan sebagainya seperti kuda, burung, kucing, harimau, dan sebagainya.

10. Metafora tumbuhan (living) yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, padi dan sebagainya. 1.7.5 Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

Dalam kehidupan manusia, baik dalam posisi sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial, keberadaan bahasa merupakan suatu hal yang amat sangat penting dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian? Pertama, dalam posisi sebagai makhluk hidup, bahasa ditempatkan sebagai sarana untuk mengungkapan segala perasaan yang terlintas dalam benak manusia, baik perasaan gembira, senang, susah, sedih, gelisah, ataupun perasaan-perasaan lainnya yang dialami serta untuk mengungkapkan kehendak, ide-ide atau gagasan-gagasan yang muncul dalam pikirannya. Dengan kata lain, melalui sarana bahasa manusia dalam tataran sebagai makhluk hidup menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kedua, sebagai makhluk sosial, tentu manusia akan melakukan kontak atau hubungan dengan anggota-anggota masyarakat yang lain. dan alat yang paling efektif untuk mengkomunikasikan segala perasaan, kehendak, keinginan gagasan ataupun pikiran-pikiran seseorang kepada anggota masyarakat yang lain adalah bahasa. Melalui wadah kebahasaanlah segala bentuk komunikasi sosial maupun aktivitas kerjasama antaranggota masyarakat dapat terrealisasi dengan baik dan lancar. Dengan demikian, kehadiran bahasa benar-benar sangat diperlukan dalam

kehidupan seseorang baik kehidupan yang bersifat individu maupun sebagai makhluk sosial. Pateda (1987:4) menyatakan bahwa bahasa menempati posisi yang fundamental sebagai alat untuk mengadakan interaksi dan bekerja sama dengan anggota masyarakat yang lain. Tanpa bahasa dapat dipastikan bahwa segala bentuk komunikasi di dunia ini tidak akan berjalan dengan efektif, bahkan akan „berhenti‟. Manurut Poedjosoedarmo (2001:171) komunikasi adalah proses menyampaikan maksud. Komunikasi juga bisa diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara individu melalui simbol, tanda, atau tingkah laku umum (Chaer dan Agustina, 1995:7).

Di samping itu, melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat diidentifikasi, dibentuk dan dikembangkan serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Alisyahbana (1979) dalam Sibarani (2004:61) bahwa bahasa termasuk bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa menentukan sifat atau ciri-ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Dalam kajian sosiolinguistik, kita ketahui bahwa pengenalan identitas seseorang dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam yang digunakan dalam percakapan terutama percakapan dengan orang atau kelompok lain (Sumarsono, 2004:146). Sejalan dengan pemikiran Alisyahbana, Jabiri (1991:15) mengemukakan bahwa bahasa selain fungsi utamanya sebagai alat komunikasi dan sarana berfikir, juga merupakan wadah yang membatasi dan mempengaruhi ruang lingkup cara pandang dan pemikiran penutur dan penggunanya.

Seorang tokoh linguistik dan antropologi Amerika, Franz Boas (1858-1945) mengemukakan bahwa bahasa merupakan cerminan dari kehidupan mental penuturnya. Pandangan Boaz tersebut kemudian dikuatkan kembali oleh para generasinya yaitu Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) dengan hipotesisnya yang terkenal yaitu “Sapir-Whorf Hipotesis”. Hipotesis ini menghasilkan dua pemikiran penting yaitu teori relativitas yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan akan mempersepsikan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan semua perbedaan persepsi ini akan tampak (terkodekan) dalam bahasa. Kedua adalah teori determinisme yang menyatakan bahwa di samping persepsi kita terhadap dunia yang akan mempengaruhi bahasa kita, bahasa kita juga dapat dipengaruhi cara berpikir kita, jadi ada semacam hubungan timbal balik yang sama kuat antara pikiran dengan bahasa, bahkan menurut teori ini, bahasa merupakan kerangka dari sebuah pemikiran sehingga seseorang akan sangat sulit untuk berpikir di luar kerangka itu (Thomas dan Warering, 2007:37-38).

Hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan ialah bahwa bahasa, sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya bagi kebudayaan yang menjadi wadahnya. Hal ini penting untuk diketahui bahwa bahasa berbeda dalam suatu kebudayaan tertentu, sehingga mengerti suatu bahasa tertentu memerlukan sedikit banyak pengertian tentang kebudayaannya. Artinya, bahwa makna suatu bahasa dapat dipahami berdasarkan konteks budayanya bahkan dengan memahami kebudayaannya dengan tepat juga akan memeperlancar suatu bentuk komunikasi, begitu pula sebaliknya (Sibarani, 2004:88). Oleh karena itu,

Gumperz dan Hymes dalam Purwoko (2008:6) mempertegas kembali mengenai hubungan antara bahasa dan budaya, yaitu bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya pendukungnya dan dari para penutur yang menggunakannya sebagai media komunikasi. Maka dari itu, pengertian „komunikasi‟ selalu dimaksudkan pula untuk menandai ide atau penggunaan bahasa oleh para penuturnya ketika mereka sedang bicara.

Oleh karena itu, dari pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembahasan terkait dengan makna figuratif nama hewan dalam peribahasa Arab menitikberatkan pada teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) yang kemudian disempurnakan dengan great chain metaphor theory (Lakoff dan Johnson (1989) sebagai salah perspektif lain dalam pengkajian peribahasa melalui anjungan semantik kognitif.

Dokumen terkait