• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang digunakan sebagai piranti untuk mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir manusia. Pada hakikatnya, peribahasa merupakan pengejawantahan dari penggunaan bahasa yang memiliki suatu kekhasan tertentu, yakni mampu menunjukkan identitas antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Hal tersebut sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Sibarani (2004:61) yang menyatakan bahwa setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa (termasuk bahasa yang dipakai dalam peribahasa) dapat menentukan sifat atau ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, Depdikbud (1993:755) mendefinisikan peribahasa sebagai ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas dan padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku yang menjadi salah satu gudang kebijaksanaan lokal (local wisdom) bagi suatu masyarakat.

Adapun perumpamaan merupakan salah satu bagian dari peribahasa. Kridalaksana (2009:193) mendefinisikan bahwa perumpamaan merupakan peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud (sesuatu yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu yang diungkapkan). Ditambahkan olehnya bahwa dalam pembentukan sebuah perumpamaan dapat memakai kata

(2)

perumpamaan merupakan salah satu cakupan dari peribahasa yang khusus berisikan tentang perbandingan satu hal dengan hal lain yang dapat menggunakan kata pembanding atau tidak menggunakan kata pembanding.

Salah satu hal yang menarik dari peribahasa dan perumpamaan adalah penggunaan nama hewan di dalamnya. Dunia hewan sebagai salah satu entitas makhluk hidup memiliki suatu kedekatan tersendiri dengan kehidupan manusia. Hubungan yang terjadi antara manusia dengan hewan membuat seseorang dapat mengenali lebih dekat kebiasaan-kebiasaan dari masing-masing hewan. Kövecses (2002:124) menyatakan bahwa banyak dari perilaku manusia yang dipahami melalui penyerupaan atas perilaku hewan. Dari pernyataan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa hewan merupakan suatu piranti khusus yang digunakan untuk memahami aspek-aspek kehidupan manusia.

Fenomena lain dari keunikan penggunaan nama hewan dalam peribahasa adalah adanya hasil penelitian oleh Krikmann (2007) dalam (Ho-Abdullah, 2011:126) yang menyimpulkan bahwa penggunaan nama hewan dapat ditemui dalam peribahasa dari semua bahasa di dunia ini. Krikmann (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa tanpa melihat perbedaan kondisi geografis, bahasa, dan budaya, penggunaan nama hewan yang paling kerap ditemukan dalam peribahasa adalah hewan yang dapat diternak dan hewan yang jinak. Senada dengan hal tersebut, dalam perumpamaan juga didapati penggunaan nama hewan sebagai sarana perbandingan atau pengibaratan antara satu hal dengan hal lain.

Kedekatan hubungan hewan secara verbal juga dapat ditemukan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab, yang dalam istilah bahasa Arab

(3)

disebut لاثملأا „al-amṡāl‟. Berikut adalah ditampilkan contoh keberagaman jenis hewan yang muncul di dalamnya.

(1) ابهذ هتقّوط ول و بلك بلكلا

alkalbu kalbun wa lau ṭawwaqtahū żahaban

anjing itu anjing meskipun dikalungi emas

„anjing itu tetap berupa anjing sekalipun engkau beri kalung emas‟ (Ma‟lūf, 2002:1006)

(4) رمحلا هنعترسح ىكذملا ىرج اذا

iżā jarā al-mużakkī ḥasarat „anhu al-ḥumuru

apabila telah berlari kuda pacuan kalah darinya beberapa keledai „apabila kuda pacuan sudah berlari, maka semua keledai akan merasa kalah‟ (Ma‟lūf, 2002:977)

(2) ةلمن نم عمجأ

ajma‟u min namlatin

banyak mengumpulkan semut

„lebih pandai menghimpun daripada semut‟ (Ma‟lūf, 2002:977) (3) رسن نم رصبأ

abṣaru min nisrin

banyak melihat burung elang

„lebih tajam penglihatannya daripada burung elang‟ (Ma‟lūf, 2002:973)

(5) ىرابحلا نم حلسأ

aslaḥu min al- ḥubārā

banyak mengeluarkan kotoran burung hubara

„lebih banyak tahinya daripada burung ḥubarā‟ (Ma‟lūf, 2002:992) (6) قلبلأا نم رهشأ

asyharu min al-ablaqi

banyak terkenal kuda ablaq

„lebih tersohor daripada kuda ablaq‟ (Ma‟lūf, 2002:995) (7) ةكم مامحنمنمآ

āmana min ḥamāmi makkata

banyak tentram burung merpati Makkah

(4)

Dari beberapa contoh di atas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa, (1) sejalan dengan penelitian Krikmann, amṡāl juga menggunakan nama hewan di dalamnya, (2) amṡāl memiliki keberagaman penyebutan nama hewan, (3) terdapat nama-nama hewan yang hanya dapat ditunjukkan dengan menggunakan leksikon dalam bahasa Arab. Penjelasan dari kesimpulan awal tersebut ditunjukkan oleh

amṡāl (1) di atas yang menggunakan nama hewan kalbun „anjing‟, amṡāl (2) yang

menggunakan nama namlatun „semut‟, amṡāl (3) yang menggunakan nama nisrun „burung elang‟, amṡāl (4) yang menggunakan nama ḥumurun „keledai (pl)‟ dan

al-mużakkī „kuda pacuan‟, amṡāl (5) yang menggunakan nama ḥubārā „burung hubara‟, amṡāl (6) yang menggunakan nama ablaq „kuda ablaq‟, dan amṡāl (7)

yang menggunakan nama ḥamāmu makkata „burung merpati Makkah‟.

Keberagaman penggunaan nama-nama hewan dalam al-amṡāl di atas tidak serta merta hanya digunakan begitu saja, tetapi penggunaan nama hewan tersebut erat hubungannya dengan keadaan geografis serta sosial-budaya masyarakat penggunaanya. Fenomena tersebut dikarenakan peribahasa telah dikenal sebagai sebuah rangkaian kata-kata yang mengandung kearifan lokal, seperti isu sosial, budaya, etika, serta filosofi suatu masyarakat penggunanya. Penyebutan nama hewan anjing, semut, dan keledai mungkin telah digunakan dalam sebagian perumpamaan dan peribahasa bahasa di dunia (Ho-Abdullah, 2011:126). Akan tetapi, penyebutan hewan burung ḥubara, kuda ablaq, dan burung dara Makkah dimungkinkan hanya terjadi dalam bahasa Arab. Hal tersebut dikarenakan adanya suatu keterkaitan emosional tersendiri dengan masyarakat pengguna bahasa

(5)

tersebut serta keadaan geografis dari wilayah di mana perumpamaan dan peribahasa tersebut muncul.

Fenomena di atas berbanding lurus dengan pernyataan Danandjaja (1994:21-28) yang menyatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk foklor yang merupakan intisari dari pengalaman suatu masyarakat penutur bahasa. Sebagai bagian dari peribahasa, perumpamaan juga di dalamnya merupakan intisari dari pengalaman hidup masyarakatnya yang tercermin dalam perbandingan-perbandingan antara satu hal dengan hal yang lain. Oleh karena itu, hal yang hendak ditunjukkan dari pernyataan tersebut adalah adanya hubungan atau relasi antara bahasa dengan latar belakang pengalaman masyarakat penutur suatu bahasa. Evidensi lain dari kekhasan penggunaan nama hewan yang tercermin dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab adalah seperti contoh di bawah ini:

(8) رئبلا لوح ماح ريعبلا لجأ ءاج اذإ

iżā jāa ajalu al-ba‟īri ḥāma ḥaulal bi‟ri

jika telah datang kematian unta berputar-putar sekeliling sumur „jika ajal unta tersebebut telah tiba, ia berputar-putar sekeliling sumur‟ (Ma‟lūf, 2002:975)

(9) ىلمج لاو اذه ىف يتقان لا

lā nāqatī fī hāżā wa lā jamalī

tidak ada unta (ku) di dalam ini tidak ada unta (ku)

„di sini tidak ada untaku, baik yang betina maupun jantan‟ (Ma‟lūf, 2002:1011) (10) ّرتجي هفوج نم لمجلا

al-jamalu min jaufihi yajtarru

unta itu memamah biak dari perutnya

(6)

Perumpamaan dan peribahasa di atas menggunakan beberapa leksikon dalam penyebutan nama hewan „unta‟, yakni (8) ريعبلا „al-ba‟īru‟ (9) ةقانلا

„an-nāqatu‟ (10) لمجلا „al-jamalu‟. Dalam budaya masyarakat Arab, leksikon-leksikon

tersebut memiliki komponen makna yang berbeda (Anis, 1972:63). Dalam bahasa Indonesia, penyebutan leksikon tersebut hanya dikenal kata unta saja, adapun dalam bahasa Inggris disebut camel. Leksikon-leksikon tersebut tidak dapat ditemukan dalam perumpamaan dan peribahasa Indonesia karena masyarakat Indonesia tidak mempunyai kedekatan yang khusus terhadap unta serta bukan hewan yang dianggap penting dalam budaya masyarakat Indonesia. Begitu juga dalam perumpamaan dan peribahasa Inggris, leksikon-leksikon tersebut juga tidak akan ditemukan. Oleh karena itu, contoh-contoh tersebut di atas juga menunjukkan bukti adanya hal-hal lain di luar aspek kebahasaan yang berkaitan dengan penggunaan nama hewan dalam sebuah perumpamaan dan peribahasa.

Dalam kaitannya dengan aspek makna, peribahasa merupakan representasi dari penggunaan makna figuratif (Pateda, 2001:108). Abrams (2009:118-121) mengungkapkan bahwa makna figuratif dapat terdiri atas, simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams, 2009:118). Penyimpangan makna dalam kaitannya dengan makna figuratif tersebut dapat menggunakan berbagai macam hal, dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan nama hewan.

(7)

Beberapa persoalan yang timbul dari penggunaan nama hewan tersebut adalah interpretasi dari masing-masing penggunaan nama hewan dalam perumpaman dan peribahasa tersebut. Lakoff dan Turner (1989:193-194) menyatakan bahwa interpretasi terhadap citraan nama hewan dapat dilihat melalui penggunaan metafora yang disandarkan pada budaya masyarakat terkait. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa interpretasi atas penggunaan suatu nama hewan berkaitan erat dengan masyarakat pengguna suatu bahasa yang terbingkai dalam metafora yang dalam hal ini merupakan salah satu pengejawantahan atas pemanfaatan makna figuratif.

Di antara interpretasi penggunaan nama hewan yang disimpulkan oleh Lakoff dan Turner (1989:194) tersebut adalah singa diidentikkan sebagai hewan yang berani dan mulia; rubah sebagai hewan yang cerdik; serigala sebagai hewan yang kejam dan pembunuh; gorila sebagai hewan yang cenderung gaduh dan buas. Persoalan yang timbul dari interpretasi tersebut adalah apakah interpretasi tersebut berlaku juga dalam perumpamaan dan peribahasa Arab, mengingat bahwa penentuan interpretasi berkaitan erat dengan aspek budaya dari penuturnya. Hal lain yang muncul dari makna figuratif nama hewan adalah acuan dari penggunaan nama hewan tersebut, mengingat makna figuratif merupakan makna yang tidak sebenarnya atau makna kiasan. Adapun acuan yang dimaksud adalah unsur-unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa (Kridalaksana, 2009:208). Berikut adalah contoh gambaran kondisi makna figuratif penggunaan nama hewan:

(11) حون بارغ نم أطبأ

abṭau min gurābi nūhin

banyak lambat burung gagak Nuh

(8)

Contoh (11) di atas menunjukkan adanya penggunaan nama burung gagak Nuh. Secara literal, burung gagak merupakan salah satu spesies burung dari jenis omnivora. Akan tetapi, penggunaan nama burung gagak pada contoh (11) tidak dihubungkan lagi dengan makna literal tersebut, namun hendak dihubungkan dengan orang yang tidak cekatan atau bersikap lamban. Oleh karena itu, makna figuratif pada peribahasa (11) tersebut hendak digunakan untuk menggambarkan pada sebuah perilaku tidak baik, yakni tidak cekatan. Munculnya makna figuratif tersebut diilhami dari adanya sejarah, yakni kisah nabi Nuh yang membuat sebuah kapal sebagai tempat berlindung di saat sebelum terjadinya banjir dan topan. Ia mengumpulkan seluruh manusia dan binatang untuk naik ke atas kapal tersebut. Akan tetapi, burung gagak merupakan binatang yang datang paling akhir. Dengan adanya latar sejarah tersebut, maka hal yang menjadi acuan dari burung gagak dalam peribahasa (11) tersebut adalah penggambaran seseorang yang berperilaku tidak cekatan atau lamban dalam mengerjakan suatu hal.

Tindak lanjut dari interpretasi serta penelusuran terhadap acuan yang muncul dari nama hewan dalam peribahasa tersebut akan mengundang pada suatu fungsi tertentu, yakni fungsi penggunaan peribahasa. Hal tersebut mengingat Meider (2004:3) yang menyatakan bahwa dalam sebuah peribahasa terkandung nilai-nilai kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan tradisional suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, melalui interpretasi dan penelusuran terhadap hal yang diacu dari penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa diasumsikan akan mampu menemukan fungsi penggunaan

(9)

perumpamaan dan peribahasa sebagai salah satu piranti komunikasi antar manusia.

Dari pemaparan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian terkait dengan penggunaan nama hewan, interpretasi penggunaan nama hewan, penelusuran acuan dari penggunaan makna figuratif nama hewan serta fungsi penggunaan perumpamaan dan peribahasa yang di dalamnya terdapat penggunaan nama-nama hewan. Selain itu perlu juga dipaparkan secara singkat keadaan geografis, biogeografis, serta sosial-budaya masyarakat Arab sebagai pemahaman awal atas penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa Arab.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja nama-nama hewan yang digunakan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab dan mengapa nama-nama hewan tersebut digunakan?

2. Bagaimana interpretasi dan makna yang muncul dari penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab?

3. Bagaimana fungsi dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang menggunakan nama-nama hewan di dalamnya?

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memaparkan, mengklasifikasikan, dan menunjukkan nama-nama hewan yang digunakan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab serta menjelaskan hal-hal lain yang menyebabkan penggunaan nama-nama hewan tersebut, seperti keadaan geografis, biogeografis, serta sosial-budaya masyarakat Arab.

2. Menjelaskan interpretasi dan acuan-acuan apa saja yang muncul dari penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab.

3. Menjelaskan fungsi dari perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang menggunakan nama-nama hewan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat yang besar, baik dari ranah teoretis maupun praktis. Dalam ranah teoretis, pertama, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dalam khazanah kajian semantik kognitif, terlebih dengan data utama bahasa Arab. Kedua, penelitian ini kiranya bermanfaat untuk membuka cakrawala serta memotivasi tumbuhnya kajian-kajian yang serupa sehingga mampu digunakan sebagai media untuk mengembangkan disiplin ilmu linguistik dengan objek bahasa Arab.

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai pegangan hidup atau pengontrol sikap dan perilaku sehari-hari mengingat peribahasa merupakan

(11)

suatu fakta kebahasaan yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal, seperti kedermawaan, keberanian, kebaikan, persaudaraan, dan sebagainya. Selain itu, penelitian ini juga dapat membantu masyarakat secara umum untuk lebih mengetahui dan memahami perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang di dalamnya menggunakan nama-nama hewan sebagai wahana pembelajaran dan sumber pengetahuan. Hal tersebut sangat berguna untuk mengatasi atau menghindari kemungkinan adanya salah tafsir dan perbedaan persepsi saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan penutur bahasa Arab.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian tentang makna figuratif penggunaan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Abrams (2009:118-121) telah mengungkapkan bahwa makna figuratif dapat terdiri atas, simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi. Akan tetapi, yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini hanya simile (perbandingan) dan metafora saja. Hal tersebut karena simile (perbandingan) dan metafora merupakan gaya bahasa yang paling banyak dimanfaatkan dalam makna figuratif pengunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Pada dasarnya, simile dan metafora diciptakan berdasarkan atas adanya persamaan (similarity) antara dua satuan atau dua term, dalam hal ini term yang pertama adalah nama hewan yang selanjutnya bertindak sebagai pembanding sedangkan term yang kedua adalah hal lain yang diacu dari penggunaan nama hewan itu sendiri yang selanjutnya bertindak sebagai pebanding. Adapun

(12)

perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang akan diteliti diambil dari buku yang berjudul “Farā‟id al-Adāb” karya Ma‟lūf (2002) yang telah dipersatukan olehnya dalam kamus “al-Munjid”. Oleh karena itu, jika dimungkinkan terdapat perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab yang tidak termaktub dalam buku tersebut, maka tidak menjadi bahasan dalam penelitian ini.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan tentang pengunaan nama hewan dan ungkapan figuratif ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumya, baik dalam bentuk buku, jurnal maupun penelitian. Berikut disajikan penelitian yang mempunyai relevansi terhadap penelitian ini:

“„Farm‟ Animal Metaphors in Malay and Arabic Figuratif Expressions:

Implications for Language Learning” karya Rashid dkk (2012) dalam International Journal of Applied Linguistics & English Literature. Jurnal tersebut

meneliti tentang metafora hewan yang digunakan dalam ungkapan figuratif dalam bahasa Malaysia dan Arab. Ungkapan figuratif yang digunakan sebagai data adalah peribahasa dan idiom dalam bahasa Malaysia dan Arab yang menggunakan nama hewan tertentu, yakni sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Analisis menekankan pada aspek konotasi yang timbul dari penggunaan nama hewan. Hasil analisis menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan konotasi yang timbul dari penggunaan nama hewan tersebut. Perbedaan tersebut sebagai akibat dari perbedaan budaya antara dua negara tersebut. Hasil dari penelitian tersebut dapat digunakan sebagai masukan dalam pembelajaran bahasa, terlebih dalam

(13)

kasus metafora dalam ungkapan figuratif bagi penutur asing dari kedua bahasa tersebut.

Rohman (2009) dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Bentuk dan Makna dalam Peribahasa Arab”. Pembahasan Rohman dalam tesisnya tersebut lebih fokus dan mendalam pada analisis bentuk daripada analisis makna karena analisis makna dalam tesis tersebut hanya sampai pada penunjukan alat yang dimanfaatkan sebagai metafora, yakni dapat melalui ranah perdagangan, pertanian dan perkebunan, peternakan atau kehewanan, peperangan, dan alam semesta. Ranah-ranah tersebut dilihat dari penggunaan unsur-unsur leksikal dalam peribahasa Arab. Adapun analisis bentuk dalam tesis tersebut telah dilakukan secara lebih mendalam. Analisis bentuk tersebut menyimpulkan bahwa peribahasa Arab tersebut dapat terbentuk dari beberapa tataran kebahasan, yakni frase, klausa, dan kalimat. Masing-masing tataran kebahasaan tersebut mempunyai variasi dalam pembentukan peribahasa Arab.

Marfu‟ah (2006) dalam bentuk tesis dalam judul “Penerjemahan Peribahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia Serta Implikasinya Bagi Pembelajar (Studi Analitis Buku Peribahasa Arab Terjemahan Muh. Abdai Rathomy)”. Penelitian tersebut lebih menyoroti sistem penerjemahan sehingga dalam penelitian tersebut dilakukan untuk, (1) mengetahui karakteristik bagaimana sang penerjemah (Rathomy) menerjemahkan peribahasa-peribahasa tersebut ke dalam bahasa Indonesia, (2) mengetahui tema yang terkandung dalam peribahasa, (3) mengetahui bagaimana mencari padanan peribahasa Arab di dalam bahasa

(14)

Indonesia, (4) mengetahui impliasinya bagi pembelajar, khususnya pembelajar terjemah.

Rathomy (1982) yang telah menulis buku dengan judul “Peribahasa Bahasa Arab”. Buku tersebut merupakan hasil penerjemahan dari kitab “Farāidul

„Adāb” karya Louis Ma‟lūf. Rathomy dalam buku tersebut telah melakukan

penerjemahan peribahasa-peribahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Buku tersebut dapat dikatakan sebagai oase di tengah padang pasir bagi pengkaji peribahasa, terlebih peribahasa Arab. Hal tersebut dikarenakan kehadiran buku tersebut merupakan usaha awal yang baik dalam rangka penerjemahan peribahasa dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia meskipun penerjemahan yang dilakukan belum sampai pada pembongkaran atas makna interpretasi dari peribahasa-peribahasa Arab tersebut.

“Mahfuzhat, Bunga Rampai Peribahasa Arab”, karya Syaifuddin dan Ubaey (2011). Buku tersebut merupakan buku yang banyak diajarkan di dalam dunia pesantren. Isi dari buku tersebut tidak sepenuhnya berisikan peribahasa Arab, namun juga terdapat di dalamnya adagium, ayat al-Qur‟an, hadiṡ, bait-bait hikmah, serta nasihat-nasihat ulama dan para pujanga Arab yang telah disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Kandungan isi dari buku tersebut tentang hal-hal universal yang positif, ajaran-ajaran serta nilai luhur kemanusiaan dan keagungan sang pencipta. Sebagian besar bentuk kalimat yang ada di dalamnya digunakan untuk mengajarkan tatanan, gaya bahasa, dan susunan-susunan kalimat (uslūb) yang indah sehingga banyak ditemukan ungkapan metaforis di dalamnya.

(15)

“Analisis Kognitif Semantik Peribahasa Melayu Bersumberkan Anjing

(Canis Familiaris)” karya Ho-Abdullah (2011) dalam GEMA Online Journal of Language Studies. Jurnal tersebut meneliti terkait dengan adanya pemanfaatan

metafora dan metonimi yang menggunakan kata anjing dalam peribahasa Melayu. Semantik kognitif yang digunakan sebagai teori dalam penelitian tersebut berfungsi untuk menggali latar belakang budaya berdasarkan pengalaman yang dialami oleh suatu masyarakat penutur bahasa sehingga mampu mencerminkan kebudayaan yang dimilikinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa binatang anjing dalam peribahasa Melayu diidentikkan sebagai citraan bagi orang yang lemah, hina, jahat, serta tidak berilmu. Penulis memaparkan bahwa hal tersebut berbeda dengan pengidentikan pada bahasa Inggris yang mencitrakan binatang anjing sebagai orang yang taat dan setia.

Efawati (2013) dalam bentuk tesis yang berjudul “Figuratif dalam Bahasa Madura (Analisis Semantik)”. Tesis tersebut membahas tentang makna figuratif dalam peribahasa Madura. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa peribahasa Madura memanfaatkan beberapa cara dalam penyampaian makna figuratifnya, yakni metafora, simile, dan personifikasi. Penggunaan makna figuratif tersebut memiliki relasi hubungan dari budaya lokal masyarakat Madura, seperti carok, karapan sapi, dan tanèyan lanjhâng.

Arianto (2013) yang melakukan penelitian tentang metafora dalam tesisnya yang berjudul “Metafora dalam Pusi Imam Syafi‟i”. Penelitian tersebut merumuskan bahwa puisi sebagai hasil rekaman dan interpretasi pengalaman manusia banyak diungkapkan dengan menggunakan bahasa kiasan, salah satunya

(16)

menggunakan sarana metafora. Dari 130 syair puisi dalam “Diwān al-Imām

asy-Syafi‟ī” terdapat beberapa jenis metafora yang digunakan. Berdasarkan unsur

pembandingnya terdapat metafora yang berupa berupa metafora keadaan (being), metafora kosmos (cosmos), metafora tenaga (energy), metafora permukaan bumi (terrestrial), metafora benda mati (object), metafora tumbuhan (living), dan metafora binatang (animate). Berdasarkan bentuk kebahasaan, unsur pembanding dalam metafora tersebut berupa kata, frasa, dan klausa. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara metafora yang digunakan dalam puisi tersebut dengan budaya Arab. Perbedaan budaya membawa suatu konsep pemaknaan yang berbeda pada suatu kata. Akan tetapi, tidak jarang juga memiliki konsep pemaknaan yang sama dikarenakan adanya kegiatan-kegiatan seperti pertukaran pelajar atau pengetahuan-pengetahuan dari pihak luar yang masuk ke dalam dunia Arab. Oleh karena itu, dengan adanya hubungan antara metafora dengan budaya Arab, unsur pembanding yang sering muncul adalah menggunakan beberapa hal yang familiar dengan kehidupan sehari-hari bangsa Arab, seperti api, air, cahaya, matahari, dan lain sebagainya.

Annas (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Metafora dalam Kumpulan Puisi Leaves of Grass Karya Walt Whitman”. Penelitian tersebut merupakan penelitian yang terkait dengan penggunaan makna figuratif, yakni metafora. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap metafora dalam puisi tersebut terdiri dari tenor, vehicle dan ground. Adapun yang paling banyak digunakan adalah vehicle. Berdasarkan medan semantiknya, metafora dalam puisi tersebut terdiri atas metafora being, cosmos, energy, substance, terrestrial,

(17)

objective, living, animate, dan human. Penggunaan metafora dalam puisi-puisi

tersebut muncul berdasarkan pada inspirasi yang berasal dari pengalaman, perasaan, dan suasana hati yang dimiliki Walt Whitman pada masa kehidupannya. Metafora yang digunakan olehnya juga dipengaruhi oleh kisah-kisah spiritual bangsa India. Penggunaan metafora yang terdapat pada kumpulan pusi tersebut memiliki bebrapa fungsi, yakni menyatakan pujian, kebahagian, kesedihan, rasa takut, ungkapan rasa syukur, nasihat, serta menyatakan hujatan.

Sari (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora pada Lagu-lagu Spiritual Negro (The Negro Spirituals)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metafora yang digunakan dalam lagu-lagu tersebut memiliki ciri khusus, yaitu kaum Black American (BA) sering menggunakan vehicle manusia (human

metaphor). Pemakain vehicle manusia ini terkait dengan pemahaman antrophormic yaitu bahwa Tuhan, setan, dan malaikat dimengerti dalam bentuk

manusia. Ciri khsuus yang lain yaitu kaum BA sering menggunakan vehicle setan untuk menyebut kaum White American (WA) yang merupakan master atau majikan mereka. Berdasarkan medan semantik terdapat 8 jenis metafora, yakni metafora being, cosmos, energy, terrestrial, objective, tumbuhan, binatang serta manusia. Metafora yang sering digunakan adalah metafora manusia. Penelitian tersebut juga menunjukkan hubungan antara penciptaan metafora pada lagu-lagu spiritual dengan budaya kaum BA. Terkait dengan fungsi, metafora-metafora yang muncul berfungsi untuk mengungkapkan perasaan para budak BA, yang meliputi kesedihan, kemarahan, ketaatan kepada Tuhan, keputusasaan serta metafora yang berfungsi untuk menunjukkan harapan.

(18)

Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian terkait dengan penggunaan nama-nama hewan dalam perupamaan dan peribahasa bahasa Arab perlu dilakukan lebih lanjut. Dilihat dari segi objek penelitian, penelitian ini memiliki kekhasan khusus, yakni bertemakan nama hewan (zoology). Nama hewan yang akan diteliti adalah semua nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab sehingga akan mampu menampilkan nama-nama hewan apa saja yang menjadi ciri khas di dalam penggunaannya. Selain itu, sumber data yang digunakan dalam peribahasa ini menyatu dalam kamus al-Munjid yang memiliki wilayah pendistribusian yang sangat luas sehingga penelitiannya pun menjadi hal yang menarik dan penting adanya.

1.7 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini akan dikemukakan secara komprehensif dasar-dasar teoretis yang berhubungan dengan penelitian terkait.

1.7.1 Semantik Kognitif

Semantik merupakan suatu disiplin keilmuan yang mempelajari tentang makna dari suatu lambang kebahasaan. Semantik sebagai bagian dari teori ilmu bahasa (linguistik) telah mengalami berbagai perkembangan di dalamnya, salah satunya adalah munculnya aliran semantik kognitif. Semantik kognitif merupakan salah satu perkembangan dalam bidang semantik yang dimulai dari tahun 1980-an (Geeraert, 2010:182). Teori tersebut merupakan teori yang muncul untuk mematahkan teori semantik kebenaran (truth-conditional semantics). Hal tersebut tampak pada pernyataan Sweetser (1990:4) yang menyatakan bahwa “By viewing

(19)

meaning as the relationship between words and the world, truth-conditional semantics eliminates cognitive organization from the linguistic system”.

Geeraert (2010:182) mendefinisikan semantik sebagai suatu disiplin keilmuan yang mempelajari makna sebagai bagian dari bingkai kognisi manusia secara luas. Adapun Saeed (1999:299) menyatakan bahwa semantik kognitif adalah pendekatan dalam semantik yang memandang makna bahasa sebagai bagian dari persoalan mental. Oleh karena itu, dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan bahwa semantik kognitif memandang makna sebagai hasil kognisi manusia sehingga penelitiannya pun lebih diarahkan pada bagaimana kognisi manusia dalam mengkonseptualisasikan makna. Tindak lanjut dari definisi tersebut hendak memposisikan semantik kognitif sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk mengungkap dan mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk kebahasaan yang didalamnya diperlukan suatu kerja kognisi dalam menganalisis maknanya. Honeck (1997:1) mengatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang kompleks sehingga memerlukan sentuhan cognitive

science untuk memahami atau menganalisisnya lebih dalam.

1.7.2 Perumpamaan dan Peribahasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi peribahasa merupakan kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengkiaskan maksud tertentu seperti keadaan seseorang atau yang mengenai kelakuan atau perbuatan tentang diri orang lain serta di dalamnya berisi ungkapan atau kalimat ringkas dan padat yang berupa perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku (KBBI, 2008:1055). Adapun Kridalaksana,

(20)

salah satu pakar ahli dalam ilmu bahasa mendefinisikan peribahasa sebagai kalimat atau penggalam kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup (Kridalaksana, 2009:189). Ditambahkan oleh Kridalaksana bahwa peribahasa mencakup di dalamnya terdapat bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan pameo.

Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud (sesuatu hal yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu hal diungkapkan) yang dapat menggunakan kata pembanding seperti, ibarat, bagai,

macam, dan lainnya atau tidak menggunakan kata-kata pembanding tersebut.

Dicontohkan olehnya perumpamaan misalnya, seperti katak dalam tempurung, dan ibarat bunga: sedap dipandang, layu dibuang.

Honeck (1997:71) mengungkapkan bahwa istilah peribahasa seringkali dikacaukan dengan idiom. Secara konseptual dua istilah tersebut memiliki perbedaan namun keduanya memiliki suatu titik kemiripan yang hampir sama, yakni secara semantis keduanya mengalami penyimpangan makna dari unsur-unsur pembentuknya. Penyimpangan makna pada idiom tidak dapat secara langsung ditelusur dari makna masing-masing kata yang menjadi unsur-unsur pembentuknya. Akan tetapi, penyimpangan makna pada peribahasa dapat ditelusur melalui skema metaforikal, yakni dengan menelusur unsur pembanding (vehicle), unsur pebanding (tenor), dan kesamaan antara unsur pembanding dan unsur pebanding (ground) (Honect, 1997:71-23).

(21)

Peribahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah proverb, yang merupakan turunan dari bahasa Latin proverbium yang mengandung arti kata-kata konkrit dan sederhana yang dikenal secara berulang-ulang untuk mengungkapkan suatu kebenaran berdasarkan logika umum sebagai metafora yaitu pengungkapan berupa perbandingan analogis untuk mengungkapkan gambaran tentang perilaku seseorang atau sesuatu yang dianggap kurang cocok dalam lingkungan masyarakat. Peribahasa menggambarkan hukum dasar dari tingkah laku dan umumnya berlaku sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Peribahasa merupakan motto sebagai cambuk atau pengingat bagi manusia yang melakukan perbuatan yang dianggap melanggar adat ataupun budaya di lingkungannya. Ilmu yang mempelajari peribahasa disebut paremiology (www.aip-iap.org/en).

Adapun dalam bahasa Arab dikenal kata maṡal atau al-amṡāl. Kata tersebut merupakan padanan yang mendekati istilah perumpamaan dan peribahasa dalam istilah linguistik Arab. Pakar linguistik Arab, Zulhaim (1982:21) memberikan contoh istilah tersebut dalam beberapa bahasa yang masih tergolong dalam rumpun semitik. Dalam bahasa Arab, peribahasa disebut „maṡal‟. Dalam bahasa Ibriyah disebut „masal‟. Dalam bahasa Aramiah disebut „matlā‟. Dalam bahasa Habsyiah disebut „mesel‟ dan dalam bahasa Akadiah disebut „meslum‟. Menurut Zulhaim bahwa maṡal memiliki pengertian al- miṡlu wan naẓīru (persamaan atau keserupaan). Terkait dengan bentuk kebahasaan, peribahasa Arab dapat terbentuk dari satuan kebahasaan yang berupa frasa, klausa, dan kalimat.

(22)

1.7.3 Makna Figuratif

Makna figuratif merupakan kandungan makna yang terdapat dalam suatu ungkapan figuratif (figurative expression), seperti halnya dalam peribahasa. Makna kiasan (figurative meaning, transferred meaning) merupakan pemakaian satuan kebahasaan dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh adalah „mahkota wanita‟. Satuan kebahasaan yang berupa frasa tersebut tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata namun frasa tersebut dimaknai sebagai „rambut wanita‟. Abrams (2009:118) mengatakan bahwa “figurative language is a deviation from what

speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect”. „Bahasa

figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus‟.

Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (2009:118-121) dapat muncul dalam bentuk simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Grothe (2008:9) mengatakan bahwa secara etimologi metafora berasal dari bahasa Yunani „meta‟ berarti „over‟, „beyond‟ dan „pherein‟ yang berarti „to transfer‟. Wahab (1986:11) mendefinisikan bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh

(23)

lambang maupun makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan tersebut. Adapun Kridalaksana (2009:152) dalam Kamus Linguistik menjelaskan bahwa metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan, misalnya „kaki gunung‟ dan „catatan kaki‟ yang dianalogikan dengan kaki manusia. Oleh karena itu, dari etimologi dan defnisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa metafora memiliki suatu peran untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari makna aslinya dengan cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada sesuatu hal yang lain (transfer makna).

Teori metafora linguistik berpandangan bahwa suatu metafora harus terdiri dari tiga elemen dasar, yaitu tenor, vehicle, dan ground. Berikut adalah penjelasan Taylor (2003:135) terkait tiga elemen dasar metafora tersebut:

1. Tenor atau target domain (pebanding) adalah konsep atau obyek yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, atau dibandingkan. Target domain juga disebut sebagai reseptor.

2. Vehicle atau source domain (pembanding) adalah konsep yang mendeskripsikan atau mengkiaskan atau melambangkan tenor atau

target domain. Source domain juga disebut sebagai „pendonor‟. Dalam

arti ini vehicle atau source domain adalah lambang atau kiasan itu sendiri.

3. Ground (sense atau persamaan) adalah relasi persamaan antara tenor atau target domain dan vehicle atau source domain. Relasi persamaan ini dapat berupa persamaan obyektif seperti bentuk, sifat, atau

(24)

kombinasi di antaranya, persamaan emotif, persaman konsep, fungsi dan persamaan sosial budaya.

Konsep metafora di atas sering disandingkan dengan simile karena adanya konsep perbandingan antara satu hal dengan hal lain. Metafora dan simile merupakan dua bentuk gaya bahasa kiasan perbandingan atau perumpamaan namun keduanya memiliki perbedaan. Simile berasal dari bahasa Latin „similis‟ yang berarti „like‟ atau „seperti‟. Simile didefinisikan sebagai bahasa kiasan yang membandingkan suatu hal dengan hal lain (suatu benda dengan benda lain) dengan mempergunakan kata-kata pembanding, di antaranya seperti, sebagai,

bagai, bak, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya

(Grothe, 2008:12-13).

Menurut Rose (1958:14) metafora berbeda dengan simile karena kedua hal tersebut memiliki formula yang berbeda. Simile memiliki formula “A is like B”, sedangkan metafora memiliki formula “A is B” sehingga formula simile akan menunjukkan bahwa “A is not B” karena A hanya seperti B, sedangkan formula metafora adalah A adalah B. Oleh karena itu, pada metafora, B dapat menggantikan A sedangkan pada simile B tidak dapat menggantikan A. Hal inilah yang menunjukkan bahwa metafora berbeda dengan simile.

Adapun kaitannya dengan metonimi, metonimi merupakan suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian makna yang sangat dekat (Keraf, 1992:141-142). Kata metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta yang berarti „menunjukkan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dalam lingkup yang lebih luas,

(25)

sinekdoke merupakan bagian dari metonimi (Lakoff dan Johnson, 1980:36; Keraf, 1992:142). Sinekdoke didefinisikan sebagai penyebutan sebagian dengan maksud untuk keseluruhan. Sinekdoke sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pars prototo dan totum proparte. Pars prototo merupakan pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Adapun totum proparte merupakan pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian (Keraf, 1992:142).

Parera (2004:121) mengatakan bahwa dalam metonimia terdapat suatu hubungan kedekatan antarmakna. Hal tersebut berbeda dengan dengan metafora yang mengungkapkan adanya hubungan kesamaan antarmakna. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metonimia digunakan untuk melihat makna dari segi kedekatan antarmakna sedangkan metafora digunakan untuk melihat makna dari segi kesamaan antarmakna. Lebih lanjut Parera (2004:121-122) mengelompokkan metonimi bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.

Senada dengan pemaparan makna figuratif di atas, peribahasa dilihat dari sifatnya merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang di dalamnya sarat akan penggunaan makna figuratif, sebagai contoh peribahasa seperti air jatuh di daun

talas. Peribahasa tersebut mengandung makna kias yang hendak menggambarkan

seseorang yang tidak berpendirian teguh. Makna kias dari peribahasa tersebut dapat ditelusur melalui skema metaforika, yakni menemukan kesamaan antara unsur pembanding dengan unsur pebandingnya. Peribahasa tersebut

(26)

menyerupakan air yang jatuh di atas daun talas seperti halnya seseorang yang tidak berpendirian teguh. Keadaan air di atas daun talas tersebut tidak ada yang dapat tertahan dan segera dengan mudah jatuh ke tanah. Begitupun juga dengan seseorang yang berpendirian tidak teguh akan mempunyai keserupaan keadaan sebagaimana air tersebut, yakni tidak mempunyai kekuatan yang teguh atau tidak memiliki suatu keyakinan atas sesuatu hal. Begitupun juga dengan peribahasa ada

gula ada semut. Kata „gula‟ dan „semut‟ dalam peribahasa tersebut

mengambarkan kejadian atau fenomena yang dapat saling melingkapi antara satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu yang sifatnya baik dan serasi. Oleh karena itu, peribahasa tersebut mengandung kiasan bahwa di mana ada tempat yang menghasilkan keuntungan, maka akan dihampiri banyak orang. 1.7.4 GCMT (Great Change Metaphor Theory)

GCMT merupakan pandangan lain dari teori metafora yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. GCMT merupakan perkembangan dari teori metafora konseptual yang memandang bahwa metafora memiliki dua ranah konseptual dimana salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan dengan domain lain. Dua ranah tersebut adalah target domain, yakni hal yang dijelaskan atau dimengerti dengan source domain dan source domain, yaitu hal yang menjelaskan target domain (Kövesces, 2002:4). Metafora konseptual tersebut merupakan metafora kognitif yang dikembangkan oleh para pakar linguis kognitif ketika terbit buku Metaphor We Live By yang ditulis oleh Lakoff dan Johnson (1980). Dalam buku karangannya tersebut, Lakoff dan Johnson (1980:4-7) mengajukan hipotesis bahwa metafora digunakan untuk menayangkan peta

(27)

kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding, sehingga menyebabkan pembanding terikat dalam pengalaman fisik spasial melalui ranah pebanding. Hasilnya adalah adanya skema-skema yang menengahi di antara tingkat konseptual dan inderawi dalam ranah pebanding menjadi aktif, begitu juga dalam ranah pembandingnya. Dalam pandangan ini, satu skema metaforis merupakan satu representasi mental yang mengikat struktur konseptual (intelektual) dari ranah abstrak ke dalam ranah inderawi yang lebih fisikal. Satu konseptual metafora yang dicontohkannya adalah ARGUMENT IS WAR. Metafora tersebut merupakan suatu usaha pemetaan antara ranah sumber, yakni „argument‟ dan ranah sasaran, yakni „war‟. Ranah sumber selalu bersifat fisik atau konkret, sedangkan ranah sasaran terlihat lebih abstrak. Metafora konseptual ARGUMENT IS WAR tersebut hendak memberikan gambaran WAR yang dinilai lebih abstrak dibandingkan dengan ARGUMENT yang dinilai lebih kongkrit dan terkonsep. Konsep perang (war) melalui metafora tersebut bukan berarti adu fisik, namun lebih mengarah pada adu verbal (argument).

Terkait dengan GCMT, pada dasarnya GCMT sendiri tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar metafora Lakoff dan Johnson di atas. Selain hadirnya ranah pembanding dan ranah pebanding, skema yang ditawarkan oleh GCMT sebagai suatu pendekatan terhadap peribahasa adalah dengan memasukkan adanya konsep moral, budaya, serta konteks pemakaiannya dalam mengkonseptualisasikan metafora (Honect, 1997:147). Oleh karena itu, secara terperinci konsep peribahasa dalam ranah GCMT dapat dipetakan dalam empat konsep di bawah ini, yaitu:

(28)

1. The great chain of being

Lakoff dan Turner (1989:166) meyakini bahwa dalam konsep the great

chain of being setiap makhluk hidup memiliki suatu hierarki tertentu. Hal tersebut

mencakup manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, serta sifat-sifat yang mengikuti dari bentuk-bentuk tersebut, seperti cara pikir, perilaku, naluri, fungsi biologis serta atribut-atribut fisik lainnya. Bentuk atau benda yang menempati hierarki tertinggi pasti menjadi model untuk tingkat yang lebih rendahnya, bukan sebaliknya. Sebagai contoh adalah perilaku atau sifat manusia yang diserupakan dengan hewan, bukan perilaku atau sifat hewan yang diserupakan dengan manusia. Dalam peribahasa Arab misalnya dicontohkan asyja‟u min laiṡin „lebih berani daripada singa‟ (Ma‟lūf, 2002:1010). Dalam hierarki rantaian makhluk hidup, hewan lebih rendah daripada manusia. Oleh karena itu, sifat yang dimiliki oleh manusia, dalam konteks peribahasa tersebut adalah keberanian dijadikan suatu model tertentu yang bersumber dari hewan singa. Sehingga menurut konsep

the great chain of being hal tersebut tidak dapat dirubah bahwa „singa adalah

manusia yang pemberani‟ namun konsep yang dibentuk harus „manusia yang pemberani adalah singa‟.

2. The nature of things

Dalam konsep the nature of things tersebut (Lakoff dan Turner, 1989:169-170) menjelaskan bahwa berbagai bentuk rangkaian makhluk hidup atau benda memiliki suatu esensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Esensi tersebut itulah yang menentukan bagaimana makhluk hidup atau suatu benda berperilaku atau difungsikan. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada suatu

(29)

benda akan menentukan bagaimana cara benda tersebut berperilaku. Sebagai contoh adalah „serigala‟. Serigala merupakan hewan karnivora dan liar. Atribut-atribut itulah yang kiranya akan menentukan perilaku-perilaku dari serigala, yakni dapat memburu binatang lain, ganas, menakutkan, dan lain segalanya.

3. The generic is specific

Konsep the generic is specific merupakan suatu konsep dimana metafora berusaha memetakan bahwa sesuatu yang dianggap spesifik tersebut merupakan representasi dari sesuatu yang bersifat umum dalam rangka untuk dijadikan sebagai ranah sumber (Lakoff dan Turner, 1998:162-165). Oleh karena itu, maka ranah target hanya akan dapat diketahui dengan memahami aspek-aspek yang ada di dalam ranah sumbernya. Misalnya adalah peribahasa Arab asyharu min al-ablaqi „lebih terkenal daripada kuda ablaq‟ (Ma‟lūf, 2002:995). Kuda ablaq dalam peribahasa tersebut ditetapkan sebagai ranah sumber karena di dalamnya mengandung suatu konsep yang sifatnya spesifik, yakni yang kuda yang memiliki kulit belang, bercak-bercak, atau berbintik yang terdiri dari dua warna, yakni hitam dan putih. Konsep yang ada dalam kuda tersebut hendak digunakan sebagai perantara pemahaman atas ranah sumbernya, yakni menggambarkan keadaan seseorang yang dianggap terkenal atau termasyhur.

4. The communicative maxim of quantity

The communicative maxim of quantity hendak menjelaskan bahwa

(30)

maka diharapkan pada pembicara atau penulis untuk memberikan seinformatif mungkin keterangan-keterangan yang diperlukan untuk tujuan tertentu dan tidak memberikan keterangan yang berlebihan dari apa yang diperlukan (Lakoff dan Turner, 1989:171). Oleh karena itu, penggunaan peribahasa dalam suatu tuturan atau tulisan hendaknya juga mentaati asas sebagaimana prinsip the communicative maxim of quantity tersebut.

Dari empat konsep terkait di atas, maka pendekatan GCMT terhadap interpretasi peribahasa dapat digambarkan melalui diagram di bawah ini.

Disalin dari figure 4.2 Diagram of the great chain metaphor theory (Honeck, 1997:152) 1.6.4.1 Jenis-jenis metafora

Pembagian jenis metafora menurut Wahab (1990:126-129) menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua kategori pembagian metafora, yakni metafora universal dan metafora kultural. Metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama bagi sebagain besar budaya di dunia, baik

CONTEXT KNOWLEDGE  Conceptual Metaphor  Folk Theories  Moral Precepts  Frame Semantics  Great Chain  Nature of Things  Etc PROVERB Specific schema Generic schema PROVERB Generic is specific metaphor PRAGMATIC PRINCIPLES Instantiation Interpretation

(31)

lambang kias maupun makna yang dimaksudkan. Adapun yang dimaksud dengan metafora kultural adalah metafora yang antara lambang dan maknanya dalam medan semantik yang terbatas pada satu budaya saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa metafora universal didasarkan pada keyakinan bahwa semua bahasa memiliki sejumlah sifat yang sama dan mampu menampilkan contoh skema organisasi yang sifatnya mendasar, sedangkan metafora kultural adalah berdasarkan keyakinan pada kenyataan bahwa penutur satu bahasa mempunyai pengalaman fisik dan pengalaman kultural yang tidak dimiliki oleh penutur dari budaya yang berbeda. Dengan demikian, kriteria yang dipakai untuk menentukan metafora yang terikat pada budaya juga terbatas pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur suatu bahasa. Senada dengan pandangan terkait metafora kultural tersebut, Kövesces (2005:1) menyatakan bahwa “a set of shared understandings that characterize

smaller or larger groups of people”

Hal tersebut juga berlaku untuk metafora bahasa Arab. Metafora bahasa Arab sangat terikat dengan budaya Arab. Kriteria yang dipakai untuk menentukan metafora ini terikat pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dari penutur asli bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bahasa mencerminkan konseptualisasi dan penafsiran manusia terhadap dunianya. Pandangan kolektif suatu masyarakat terhadap kehidupan di sekitarnya akan membawa dalam satu konvensi komunikasi tersendiri.

Terkait dengan jenis, Haley (1980:139-154) dalam buku Linguistics

(32)

medan semantik pembandingnya. Pembagian tersebut juga termaktub dalam Wahab (1990:127-128), yakni:

1. Metafora ke-adaan (being) yaitu metafora yang meliputi hal-hal abstrak, seperti kebenaran dan kasih.

2. Metafora kosmos (cosmos) yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos, misalnya bulan dan matahari. Prediksi benda-benda kosmos ini adalah menempati ruang, berada di sebuah ruang.

3. Metafora tenaga (energetic) yaitu metafora dengan medan makna semantik hal-hal yang memiliki kekuatan angin, cahaya, api, dengan prediksi dapat bergerak.

4. Metafora substansi (substance) yaitu metafora yang meliputi macam-macam gas dengan prediksinya dapat memberi kelembaban, bau, tekanan, dan sebaliknya

5. Metafora permukaan bumi (terrestrial) metafora yang meliputi hal-hal yang terikat atau terbentang di permukaan bumi, misalnya sungai, hutan, gunung, laut, dan sebagainya.

6. Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda yang tidak bernyawa, misalnya meja, buku, kursi, gelas dan sebagainya. 7. Metafora gravitas (gravity) adalah metafora yang berhubungan dengan

segala sesuatu yang jatuh karena pengaruh gravitasi bumi atau berat badan, seperti tenggelam, jatuh, dan sebagainya.

8. Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk yang dapat berfikir dan memiliki akal.

(33)

9. Metafora binatang (animate) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan sebagainya seperti kuda, burung, kucing, harimau, dan sebagainya.

10. Metafora tumbuhan (living) yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, padi dan sebagainya. 1.7.5 Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

Dalam kehidupan manusia, baik dalam posisi sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial, keberadaan bahasa merupakan suatu hal yang amat sangat penting dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian? Pertama, dalam posisi sebagai makhluk hidup, bahasa ditempatkan sebagai sarana untuk mengungkapan segala perasaan yang terlintas dalam benak manusia, baik perasaan gembira, senang, susah, sedih, gelisah, ataupun perasaan-perasaan lainnya yang dialami serta untuk mengungkapkan kehendak, ide-ide atau gagasan-gagasan yang muncul dalam pikirannya. Dengan kata lain, melalui sarana bahasa manusia dalam tataran sebagai makhluk hidup menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kedua, sebagai makhluk sosial, tentu manusia akan melakukan kontak atau hubungan dengan anggota-anggota masyarakat yang lain. dan alat yang paling efektif untuk mengkomunikasikan segala perasaan, kehendak, keinginan gagasan ataupun pikiran-pikiran seseorang kepada anggota masyarakat yang lain adalah bahasa. Melalui wadah kebahasaanlah segala bentuk komunikasi sosial maupun aktivitas kerjasama antaranggota masyarakat dapat terrealisasi dengan baik dan lancar. Dengan demikian, kehadiran bahasa benar-benar sangat diperlukan dalam

(34)

kehidupan seseorang baik kehidupan yang bersifat individu maupun sebagai makhluk sosial. Pateda (1987:4) menyatakan bahwa bahasa menempati posisi yang fundamental sebagai alat untuk mengadakan interaksi dan bekerja sama dengan anggota masyarakat yang lain. Tanpa bahasa dapat dipastikan bahwa segala bentuk komunikasi di dunia ini tidak akan berjalan dengan efektif, bahkan akan „berhenti‟. Manurut Poedjosoedarmo (2001:171) komunikasi adalah proses menyampaikan maksud. Komunikasi juga bisa diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara individu melalui simbol, tanda, atau tingkah laku umum (Chaer dan Agustina, 1995:7).

Di samping itu, melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat diidentifikasi, dibentuk dan dikembangkan serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Alisyahbana (1979) dalam Sibarani (2004:61) bahwa bahasa termasuk bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, setiap pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa menentukan sifat atau ciri-ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa. Dalam kajian sosiolinguistik, kita ketahui bahwa pengenalan identitas seseorang dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam yang digunakan dalam percakapan terutama percakapan dengan orang atau kelompok lain (Sumarsono, 2004:146). Sejalan dengan pemikiran Alisyahbana, Jabiri (1991:15) mengemukakan bahwa bahasa selain fungsi utamanya sebagai alat komunikasi dan sarana berfikir, juga merupakan wadah yang membatasi dan mempengaruhi ruang lingkup cara pandang dan pemikiran penutur dan penggunanya.

(35)

Seorang tokoh linguistik dan antropologi Amerika, Franz Boas (1858-1945) mengemukakan bahwa bahasa merupakan cerminan dari kehidupan mental penuturnya. Pandangan Boaz tersebut kemudian dikuatkan kembali oleh para generasinya yaitu Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) dengan hipotesisnya yang terkenal yaitu “Sapir-Whorf Hipotesis”. Hipotesis ini menghasilkan dua pemikiran penting yaitu teori relativitas yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan akan mempersepsikan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan semua perbedaan persepsi ini akan tampak (terkodekan) dalam bahasa. Kedua adalah teori determinisme yang menyatakan bahwa di samping persepsi kita terhadap dunia yang akan mempengaruhi bahasa kita, bahasa kita juga dapat dipengaruhi cara berpikir kita, jadi ada semacam hubungan timbal balik yang sama kuat antara pikiran dengan bahasa, bahkan menurut teori ini, bahasa merupakan kerangka dari sebuah pemikiran sehingga seseorang akan sangat sulit untuk berpikir di luar kerangka itu (Thomas dan Warering, 2007:37-38).

Hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan ialah bahwa bahasa, sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya bagi kebudayaan yang menjadi wadahnya. Hal ini penting untuk diketahui bahwa bahasa berbeda dalam suatu kebudayaan tertentu, sehingga mengerti suatu bahasa tertentu memerlukan sedikit banyak pengertian tentang kebudayaannya. Artinya, bahwa makna suatu bahasa dapat dipahami berdasarkan konteks budayanya bahkan dengan memahami kebudayaannya dengan tepat juga akan memeperlancar suatu bentuk komunikasi, begitu pula sebaliknya (Sibarani, 2004:88). Oleh karena itu,

(36)

Gumperz dan Hymes dalam Purwoko (2008:6) mempertegas kembali mengenai hubungan antara bahasa dan budaya, yaitu bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya pendukungnya dan dari para penutur yang menggunakannya sebagai media komunikasi. Maka dari itu, pengertian „komunikasi‟ selalu dimaksudkan pula untuk menandai ide atau penggunaan bahasa oleh para penuturnya ketika mereka sedang bicara.

Oleh karena itu, dari pemaparan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembahasan terkait dengan makna figuratif nama hewan dalam peribahasa Arab menitikberatkan pada teori metafora Lakoff dan Johnson (1980) yang kemudian disempurnakan dengan great chain metaphor theory (Lakoff dan Johnson (1989) sebagai salah perspektif lain dalam pengkajian peribahasa melalui anjungan semantik kognitif.

1.8 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Alwasilah (2005:51-52) menjelaskan bahwa tujuan dari linguistik deskriptif adalah mendeskripsikan fakta-fakta penggunaan bahasa apa adanya secara sinkronik dan tidak melibatkan perkembangan secara diakronik. Selain itu, deskriptif menyarankan yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga dihasilkan perian bahasa yang sama dengan potret atau berupa paparan yang apa adanya (Sudaryanto, 1986:62). Sedangkan istilah kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang temuan-temuan datanya tidak diperoleh dengan

(37)

menggunakan prosedur statistik atau alat kuantifikasi lain. Penelitian kualitatif diyakini dapat meneliti beberapa penelitian, yakni kehidupan sosial, karya sastra, sains, dan lain sebagainya (Alwasilah, 2005:51:52).

Dalam melakukan suatu penelitian bahasa, ada tiga tahapan strategi secara berurutan yang harus dilalui oleh seorang peneliti, yaitu tahap penyediaan data, analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5). Berikut dipaparkan rincian metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini.

1.8.1 Tahap Penjaringan Data

Tahap penjaringan data merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya peneliti dalam menyediakan data yang secukupnya untuk suatu kepentingan analisis (Sudaryanto, 1993:5-6). Untuk mendapatkan data yang dimaksud, peneliti melakukan pengamatan yang mendalam terhadap penggunaan perumpamaan dan peribahasa dalam Ma‟lūf (2002) yang berjudul “Farāidul

„Adāb”. Buku tersebut digunakan sebagai sumber data yang utama dalam proses

penjaringan data. Data yang diperoleh dari sumber data tersebut menunjukkan adanya variasi data yang mendukung penelitian ini sehingga tidak diperlukan sumber data yang lainnya. Adapun pengamatan seperti yang dimaksud di atas menurut Sudaryanto (1993:133) disepadankan dengan metode simak, yakni melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa. Metode simak tersebut diikuti dengan sebuah teknik, yakni teknik simak bebas libat cakap. Teknik tersebut dimaksudkan karena peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut dalam menentukan pembentukan dan pemunculan data, kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan di luar

(38)

dirinya (Kesuma, 2007:44). Teknik lanjutan yang dilakukan peneliti untuk memperoleh data adalah dengan mencatat, mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan calon data. Realisasi dari metode dan teknik yang digunakan sebagai upaya penjaringan data tersebut adalah diperolehnya data yang berupa perumpamaan dan peribahasa Arab, baik yang berbentuk frasa, klausa, maupun kalimat yang mengandung nama hewan di dalamnya yang selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan teori-teori yang disampaikan di dalam landasan teori. 1.8.2 Tahap Analisis Data

Tahap analisis data pada penelitian ini akan dilakukan sejalan dengan prinsip atau karakteristik penelitian kualitatif, yakni analisis didasarkan pada analisis induktif. Analisis induktif ini dimaksudkan bahwa analisis pada penelitian tidak akan membuktikan apakah suatu hipotesis itu benar atau salah, melainkan menyusun simpulan yang berdasarkan objek dan teori (Sutopo, 2006:105). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode padan merupakan metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto, 1993:13; Kesuma, 2007:47). Sebagai upaya dalam mencari penggunaan nama hewan, peneliti akan memanfaatkan kemampuan bahasa Arab serta intuisi kebahasaan yang dimiliki oleh peneliti sehingga penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa Arab dapat diketahui. Setelah nama-nama hewan tersebut diketahui kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelas hewan menurut keilmuan biologi. Pada tahap selanjutnya, yakni proses analisis secara mendalam dilakukan dengan metode interpretasi atau penafsiran. Hal

(39)

tersebut dilakukan untuk menggali lebih dalam kaitan antara penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa Arab dengan sesuatu hal lain yang melingkupinya, seperti sosial budaya masyarakat Arab. Sebagai pendukung metode interpretasi peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber penutur asli bahasa Arab. Wawancara yang dimaksud dibatasi apabila data yang berupa perumpamaan dan peribahasa telah dapat diketahui interpretasinya. Selain itu, proses analisis data juga didukung dengan pembacaan atas buku-buku yang mengkaji tentang budaya Arab sehingga interpretasi dari penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab dapat diketahui aspek semantik kognitifnya secara tepat.

1.8.3 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Tahap penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dalam penelitian ini. Tahap ini dilakukan setelah semua data dianalisis sesuai dengan teori dan metode yang relevan. Penyajian hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan cara deskriptif berdasarkan kerangka analisis dan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Deskripsi disajikan melalui kata-kata biasa disertai dengan contoh-contoh yang relevan sehingga menghasilkan informasi yang detail dan lengkap (Sudaryanto, 1993:145; Kesuma, 2007:71). Adapun terkait dengan perepresentasian data nama hewan dalam bab II, perepresentasian nama hewan menggunakan asas ketercakupan, yakni akan ditampilkan berdasarkan leksikon-leksikon yang digunakan. Oleh karena itu, apabila terdapat beberapa perumpamaan dan peribahasa yang menggunakan leksikon nama hewan yang

(40)

sama, maka akan ditampilkan satu perumpamaan atau peribahasa saja sebagai representasi dari penggunaan leksikon nama hewan tersebut.

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas enam bab. Bab I merupakan bagian pendahuluan yang akan menguraikan tentang latar belakang masalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan analisis rumusan masalah pertama, yakni menganalisis nama-nama hewan yang digunakan atau muncul di dalam perumpamaan dan peribahasa Arab dan menjelaskan penyebab dari penggunaan nama-nama hewan tersebut. Bab III merupakan analisis rumusan masalah dua, yakni menganalisis interpretasi dan makna yang muncul dari penggunaan nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Bab V merupakan analisis rumusan masalah ketiga, yakni menganalisis fungsi dari perumpamaan dan peribahasa yang menggunakan nama-nama hewan dalam perumpamaan dan peribahasa bahasa Arab. Bab V merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berfungsi mengatur dan mengendalikan kegiatan bagian pelayanan keperawatan sesuai dengan visi dan misi Rumah Sakit Roemani menuju terwujudnya pelayanan keperawatan yang prima.

Secara garis besar Bidang P2P Dinas Kesehatan Provinsi Lampung telah berhasil melaksanakan tugas pokok, fungsi dan misi yang diembannya dalam pencapaian

Konsep nilai waktu dari uang (time value of money) pada dasarnya menjelaskan bahwa uang dalam jumlah yang sama yang diterima hari ini nilainya lebih besar dari nilainya di masa

menunjukkan teknik aplikasi dengan penyemprotan di Kabupaten Sampang terlihat bahwa lebih rendah bila dibandingkan dengan metode umpan dimana mortalitas pada rayap tanah

Aturan-aturan telah menjadi landasan bagi KJRI Davao City dalam mengeluarkan kebijakan dan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat keturunan Indonesia di

TRANSAKSI AKUN YANG TERKAIT SKEMA KECURANGAN Pembelian Persediaan Persediaan, Utang Dagang - Nilai pembelian yang kurang saji. - Keterlambatan dalam mencatat penjualan -

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

- Tim konsultan memberikan petunjuk teknis dan perintah kepada kontraktor pelaksana dan senantiasa memberikan informasi kepada Pengguna Jasa tentang rencana