Pemerintah daerah, pada era otonomi dewasa ini, senantiasa ingin bertanggung jawab dengan keadaan di wilayahnya. Rasa tanggung jawab sering diekspresikan melalui pembinaan, pengarahan, dan tuntutan dalam beberapa aspek kegiatan. Pimpinan di daerah berlomba-lomba ingin memeroleh prestasi baik, kesan baik, dan dinilai baik oleh masyarakat. Harapan pimpinan di daerah ditindaklanjuti oleh satuan kerja di bawahnya untuk memenuhi tuntutan pimpinan. Satuan kerja di bawahnya dengan berbagai cara dan usaha mengharapkan jajaran di bawahnya lagi mendukung dan melaksanakan program-program yang dicanangkan dengan target berhasil dengan baik. Dinas pendidikan di kabupaten sebagai salah satu satuan kerja melakukan pembinaan, pengarahan, dan tuntutan kepada jajaran di bawahnya, yakni sekolah-sekolah. Indikator keberhasilan pendidikan pada dewasa ini yang digunakan sebagai acuan oleh pihak Diknas apabila sukses dalam menempuh ujian nasional. Pola berpikir seperti ini memengaruhi kepala sekolah, kemudian dari kepala sekolah memengaruhi guru-guru, dan selanjutnya memengaruhi peserta didik. Keadaan seperti ini sebagai penanda bahwa telah terjadi hegemoni terstruktur, dari pimpinan daerah kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada pimpinan di sekolah, dari pimpinan sekolah kepada guru, dan dari guru kepada peserta didik.
Dalam kajian pendidikan kritis disebutkan bahwa ada kaitan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan, justru karena adanya kekuasaan terjadilah proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran dan kemampuan kemandirian
atau memberikan kekuasaan kepada dirinya untuk menjadi individu. Proses individuasi hanya terjadi melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya.
Jenis kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) kekuasaan yang transformatif dan (2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif. Di dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan. Orientasi kekuasaan di sini bersifat legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekadar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai proses sistem banking (Tilaar, 2003).
Tilaar (2003) menyatakan bahwa pendidikan dalam arti luas ternyata mempunyai suatu kekuatan yang menggerakkan kebutuhan yang diminta oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Tidak jarang kekuasaan menyusupi kegiatan-kegiatan pendidikan di dalam berbagai bentuknya. Kekuasaan tersebut dapat berwujud objektif atau terang-terangan, dapat pula berwujud subjektif atau secara
tidak disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan, yang dikenal sebagai ”hidden curriculum.”
Pandangan Neo Marxis dan kelompok kritis pengikut Mazhab Frankfurt dalam mendefinisikan masyarakat kaitannya dengan pendidikan menimbulkan implikasi tertentu. Jika masyarakat dilihat sebagai bentuk paksaan atau opresi dan hegemoni dari kelas dan ideologi dominan, penguasa, dan pemilik modal, maka pendidikan dijadikan sebagai instrumen mereka. Pendidikan tidak bisa ke luar dari jeratan paksaan atau opresi dan hegemoni kelompok dominan tersebut. Dalam praktik sering terjadi opresi dan hegemoni itu tidak masuk dalam kurikulum secara formal. Namun, jika dicermati kurikulum yang sesungguhnya nyata, menggambarkan opresi dan hegemoni kelompok dominan tersebut. Di sinilah sebenarnya berlaku kurikulum terselubung ”hidden curriculum” yang jika tanpa kesadaran penuh, tidak akan terbaca sebagai praktik dominasi dan hegemoni dari kelompok dominan (Maliki, 2010).
Guru dalam mengimplementasikan kurikulum di sekolah telah melakukan kegiatan mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran mengikuti segala sesuatu yang telah digariskan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia. Tuntutan tersebut tidak merupakan tuntutan formal tetapi juga perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal. Hal ini berarti bahwa dominasi pemerintah melalui Diknas setempat yang melakukan
pembinaan, pengarahan dengan tuntutan dan target tertentu merupakan keharusan. Namun, ketika tuntutan yang ditargetkan tidak sesuai dengan kurikulum yang sesungguhnya, kemudian pengimplementasian kurikulum menyimpang dari yang seharusnya, maka telah terjadi dominasi kekuasaan atau hegemoni struktural. Keadaan ini terjadi pada SMA RSBI di Provinsi Bali. Kontra hegemoni yang dilakukan pihak sekolah hanyalah dalam batas wacana karena ketidak berdayaannya. Kenyataannya dalam aktivitas di sekolah mengikuti kebijakan yang disarankan oleh struktur yang lebih di atas dan mengharapkan peningkatan kesejahteraan.
7.3 Pembahasan
Setiap aktivitas senantiasa ada dampak yang ditimbulkan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kegiatan pengelolaan pembelajaran kimia yang dilaksanakan pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar memberikan dampak kepada seluruh komponen yang berperan pada proses tersebut. Apabila pengelolaan pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan, akan memberikan dampak positif, tetapi jika pengelolaan pembelajaran tidak sesuai dengan standar, maka akan memberikan dampak negatif. Pada pengelolaan pembelajaran kimia dalam hal ini ada aspek-aspek yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar dan ada aspek-aspek yang dilaksanakan belum sesuai dengan standar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mulyasa (2006:93) bahwa implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu
tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap.
Tugas utama guru dalam kaitannya dengan dokumen kurikulum adalah membuat rencana pembelajaran yang akan dijadikan pedoman pelaksanaan pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik. Pengembangan rencana pembelajaran menuntut pemikiran, pengambilan keputusan, petimbangan guru, serta memerlukan usaha intelektual, pengetahuan teoretis, pengalaman yang ditunjang oleh sejumlah aktivitas, seperti memperkirakan, mempertimbangkan, menata, dan memvisualisasikan. Guru profesional harus mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang baik, logis, dan sistematis. Rencana pembelajaran di samping untuk melaksanakan pembelajaran, persiapan tersebut mengemban profesional accountability sehingga guru dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Rencana pembelajaran mencerminkan apa yang akan dilakukan guru dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, bagaimana melakukannya, dan mengapa melakukan itu. Oleh karena itu, rencana pembelajaran memiliki kedudukan yang esensial dalam pembelajaran yang efektif karena akan membantu membuat disiplin kerja yang baik, suasana yang lebih menarik, pembelajaran yang diorganisasikan dengan baik, relevan, dan akurat (Mulyasa, 2008: 158--159). Jadi, perencanaan pembelajaran yang berkualitas cenderung berdampak pada peningkatan kualitas guru, baik dari wawasan berpikir, maupun kualitas kerja yang dilakukan.
Dampak yang berhubungan dengan proses pembelajaran cenderung bermuara lebih besar pada peserta didik. Mulyasa (2008:187) mengemukakan bahwa proses pembelajaran pada hakikatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Namun, dalam pelaksanaannya sering kali tanpa disadari masih banyak kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan justru menghambat aktivitas dan kreativitas peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pembelajaran di kelas yang umumnya lebih menekankan pada ranah kognitif, ketika kemampuan mental yang dipelajari sebagian besar berpusat pada pengetahuan dan ingatan. Pembelajaran yang demikian biasanya menuntut peserta didik untuk menerima dan menghafal apa-apa yang dianggap penting oleh guru. Guru pada umumnya kurang menyenangi situasi ketika para peserta didik bertanya mengenai hal-hal yang berada di luar konteks pembicaraan. Kondisi yang demikian, jelas mematikan aktivitas dan kreativitas para peserta didik sehingga harus dihindari dalam pembelajaran. Jadi, berdasarkan pemaparan tersebut jelas bahwa ketika proses pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan harapan kurikulum maka kompetensi tidak tercapai secara menyeluruh karena pengalaman belajar peserta didik tidak lengkap sehingga kualitas kompetensi lulusan tidak optimal.
Untuk mengetahui apakah kompetensi yang diharapkan sudah tercapai atau belum dalam proses pembelajaran maka dilakukan penilaian pembelajaran, baik dalam proses maupun hasil belajar. Dampak penilaian berpengaruh pada guru dan peserta didik. Penilaian yang berkualitas baik berpengaruh positif pada
profesionalitas guru dan kualitas kompetensi peserta didik demikian juga sebaliknya. Guru diharapkan memahami berbagai hal yang berkaitan dengan penilaian agar dalam pelaksanaannya tidak hanya menekankan pada aspek tertentu, terutama aspek pengetahuan (intelektual). Mulyasa (2008:213) menyatakan bahwa kebanyakan guru menilai peserta didik dalam perubahan perilaku pengetahuan karena tidak memiliki pemahaman serta kurangnya pengalaman dan kemampuan dalam melakukan penilaian mengenai aspek keterampilan dan sikap. Hal ini terjadi karena kebanyakan petunjuk atau pedoman penilaian hasil belajar hanya merujuk pada penilaian perilaku kognitif tingkat rendah. Ketika guru hanya berpatokan dari pedoman yang ada dan kurang termotivasi untuk mengembangkan diri sesuai dengan profesinya, maka kinerja yang dilakukan tidak optimal.
Manfaat penilaian seperti yang dikemukakan oleh Kunandar (2007), yaitu untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi sehingga termotivasi untuk meningkatkan dan memperbaiki proses dan hasil belajarnya. Di samping itu, juga penilaian bermanfaat untuk memantau dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial. Bagi guru penilaian digunakan untuk umpan balik dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan. Jadi, proses dan hasil penilaian sangat berpengaruh pada peningkatan profesionalitas guru dalam melakukan tugas-tugas pendidikan.
Di dalam konteks pengelolaan, pengawasan dimaksudkan untuk memantau kinerja seseorang dalam melaksanakan tugasnya agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pengawasan pembelajaran menjadi sangat diperlukan dalam rangka peningkatan disiplin guru, peningkatan mutu pembelajaran, dan peningkatan profesionalitas semua pihak yang terlibat. Di dalam kehidupan sehari-hari, di mana pun manusia berada dibutuhkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi setiap kegiatan dan perilakunya. Namun, peraturan-peraturan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak disertai pengawasan dan sanksi bagi para pelanggarnya.
Keteraturan adalah ciri utama organisasi dan disiplin adalah salah satu metode untuk memelihara keteraturan tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap disiplin pegawai atau pendidik adalah (1) besar kecilnya kompensasi, (2) ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan/lembaga, (3) ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan, (4) keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan, (5) ada tidaknya pengawasan pimpinan, (6) ada tidaknya perhatian kepada para karyawan, dan (7) diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin (Sutrisno, 2011). Jadi, pengawasan sebagai salah satu faktor yang memegang peran penting dalam peningkatan disiplin guru dan sekaligus memengaruhi kinerjanya.
Penjelasan tentang makna-makna yang diuraikan dalam beberapa paragraf di atas sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Barthes. Barthes menyatakan bahwa makna teks tidak hanya ditemukan berdasarkan maksud-maksud manusia, tetapi harus dilihat sebagai serangkaian praktik signifikasi (Barker, 2008:19).
Barthes menggunakan teori signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant (bentuk/penanda) menjadi ekspresi dan signifie (makna/petanda) menjadi content (isi). Barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dan isi harus ada relasi tertentu sehingga terbentuk tanda. Konsep relasi membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru sehingga ada lebih dari satu penanda dengan isi yang sama.
Setiap tanda selalu memeroleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum disebut denotasi (sistem primer), sedangkan pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder yang ke arah ekspresi disebut metabahasa, sedangkan sistem sekunder yang ke arah isi disebut konotasi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik, yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitannya dengan pemakai tanda, orang dapat memasukkan perasaan (aspek emosi) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi.
Barthes berpendapat bahwa orang dapat berbicara tentang dua sistem signifikasi: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Pada level kedua, konotasi makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Ada makna-makna lain yang mungkin timbul pada setiap individu atau kelompok masyarakat. Makna khusus adalah konotasi. Konotasi diberikan oleh pemakai tanda.
Konsep konotasi ini digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya yang dilihat sebagai tanda memeroleh makna khusus dari anggota masyarakat. Barthes mengkritik masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, akan menjadi ideologi. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi ”penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat (Hoed, 2011).