• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil elaborasi dan penyarian fakta–fakta di lapangan dan dari hasil analisis pada bab-bab sebelumnya diperoleh temuan, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal, (2) paradigma berpikir guru bersifat pragmatis, dan (3) pengembangan kompetensi peserta didik bersifat parsial. Ketiga temuan yang dikemukakan di atas dijelaskan dalam paparan berikut.

Pertama, pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal karena rencana pelaksanaan pembelajaran sesungguhnya sebagai pedoman atau sebagai petunjuk untuk dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Di lapangan dalam kenyataannya ternyata pelaksanaan pembelajaran kimia tidak terlaksana seperti yang direncanakan. Beberapa pengalaman belajar yang semestinya diperoleh oleh peserta didik melalui kegiatan praktikum di laboratorium, ternyata tidak diberikan optimal. Di dalam kurikulum kimia SMA, banyak konsep kimia yang mestinya ditanamkan melalui

kegiatan praktikum karena pada dasarnya ilmu kimia adalah sebagai proses dan produk.

Ada hal yang cukup mengagetkan ketika salah satu siswa yang sempat diwawancarai tentang kegiatan praktikum, secara spontan mengatakan belum pernah praktikum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dalam pembelajaran kimia. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia mestinya memerhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk.

Di dalam Permendiknas No. 23, Tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan disebutkan bahwa standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran kimia di SMA/MA adalah sebagai berikut.

1. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit instrumen, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menarik simpulan, serta mengomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis.

2. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan dan pengukuran, fenomena reaksi kimia yang terkait dengan kinetika, kesetimbangan, kekekalan massa dan kekekalan energi.

3. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid, larutan elektrolit-non elektrolit, termasuk cara pengukuran dan kegunaannya.

4. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia serta penerapannya dalam fenomena pembentukan energi listrik, korosi logam, dan pemisahan bahan (elektrolisis).

5. Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang meliputi benzena turunannya, lemak, karbohidrat, protein, dan polimer serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam standar kompetensi lulusan untuk pelajaran kimia sangat tegas disebutkan di bagian awal kalimat, yakni melakukan percobaan dan seterusnya, yang berarti ketika hal itu tidak dilakukan sesuai dengan yang direncanakan berarti telah melakukan pengingkaran dalam implementasi.

Kedua, paradigma berpikir guru bersifat pragmatis dilihat dari pola berpikir yang mengutamakan keberhasilan dalam menempuh ujian nasional. Ujian nasional sepertinya sudah menjadi target seluruh komponen pendidikan, mulai dari pihak Diknas, pimpinan di sekolah, guru, dan murid. Aktivitas pembelajaran, pengembangan silabus, pengembangan alat evaluasi yang dilakukan oleh guru semua mengarah kepada menyiapkan peserta didik dalam rangka menghadapi ujian nasional. Program belajar tambahan yang diistilahkan sebagai program akselerasi dilakukan di sekolah, yaitu dengan memberikan pembelajaran tambahan setelah jam pelajaran reguler berakhir. Materi pelajaran yang diajarkan adalah materi pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Program ini diikuti oleh seluruh siswa dari kelas X sampai kelas XII. Sementara itu, ada kegiatan lain dalam rangka persiapan mengikuti

ujian nasional yang disebut dengan program pemantapan, yang hanya diikuti oleh siswa kelas XII.

Kenyataan mengenai mengutamakan persiapan ujian nasional ini didukung oleh beberapa informasi yang diambil dari petikan wawancara. Adapun informasi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

”Guru itu harus pintar-pintar apakah program itu bisa dilaksanakan atau tidak, sesuaikan dengan waktu, apalagi kelas tiga, Januari ini sudah habis waktu, sudah mulai untuk mengejar untuk kegiatan pemantapan, kita masih prioritasnya ke tes Pak/ ke ujian secara umum” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012).

Informasi di atas diperkuat lagi oleh pernyataan siswa dari hasil wawancara dengan tuturan sebagai berikut.

”Dengan usaha dan dengan program akselerasi kita kan dilatihkan untuk soal-soal ujian, setiap hari kita terbiasa untuk mengerjakan soal itu, membuat kita siap bertempur untuk ujian nasional. Menurut guru di sini, itu merupakan target utama, guru di sini menargetkan semua siswa lulus 100%, dengan nilai memuaskan, dan itu menjadi tanggung jawab besar untuk kita, Dengan keadaan yang sekarang dengan akselerasi, latihan soal, sudah sangat mendukung unjtuk kami, artinya untuk persiapan itu sangat mendalam” (wawancara SG2, tanggal 12 Oktober 2011).

Hal senada juga diungkapkan oleh guru dari cuplikan wawancara yang menuturkan sebagai berikut.

”Sebelum kita ditunjuk RSBI, untuk lomba-lomba tetap ada pembinaannya, termasuk juga untuk UN juga sudah persiapan, kalau dulu UN kan begitu masuk September sudah mulai. Setelah ditunjuk menjadi RSBI, program sebelumnya tetap dilakukan dan malah ditingkatkan, ditambah kegiatan sore pengayaan khusus mata pelajaran MIPA dulu, plus bahasa inggris” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober 2011).

Beberapa petikan wawancara di atas menandakan bagaimana wibawa ujian nasional di mata siswa, guru, sekolah, dan pengawas. Ujian nasional memiliki kesan

angker di dalam pikiran siswa, guru, dan sekolah sehingga ketika akan menghadapi ujian nasional, mata pelajarannya menjadi pusat perhatian penuh dan istimewa, serta terkadang memarginalkan mata pelajaran lain yang tidak dalam kategori diujikan dalam ujian nasional.

Ujian nasional pada dasarnya adalah salah satu jenis penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar meliputi penilaian hasil belajar oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Di dalam standar penilaian disebutkan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Hasil ujian nasional dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk (1) pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (3) penentuan kelulusan peserta didik, (4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Tilaar (2006) menyatakan bahwa di beberapa negara evaluasi nasional tidak diwajibkan untuk semua daerah sebab maksudnya adalah untuk memeroleh pemetaan masalah pendidikan, maka evaluasi tersebut tentunya tidak dapat digunakan sebagai indikator kelulusan seseorang dalam program atau tingkatan pendidikan tertentu. Semestinya, data yang diperoleh dari evaluasi nasional dianalisis dan dijadikan bahan untuk penyusunan strategi perbaikan.

Evaluasi mengenai standar nasional pendidikan ternyata pertama-tama terletak pada guru kelas. Guru itulah yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan

mengenai sampai di mana peserta didik telah mencapai standar isi atau kurikulum. Fungsi guru kelas ini memang menuntut tugas yang lebih baik, “guru profesional” yang menguasai proses dan teknik evaluasi. Hasil evaluasi inilah yang menentukan seorang peserta didik naik kelas atau lulus ujian akhir dari sekolahnya. Hasil ujian akhir yang diselenggarakan oleh negara/ujian nasioanl adalah upaya pemetaan masalah pendidikan nasional dalam rangka penyusunan kebijakan pendidikan nasional. Dari peta permasalahan tersebut kuncinya adalah kualitas guru. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas guru merupakan upaya yang pertama dan utama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan (Tilaar, 2006). Berdasarkan uraian di atas berarti ujian nasional memang penting diselenggarakan sebagai alat evaluasi untuk melihat mutu pendidikan. Dengan demikian, dalam persiapan menghadapi ujian nasional, sekolah, guru, dan pemerintah daerah, menyiapkan diri dengan wajar saja tidak perlu sampai mengabaikan hal-hal yang penting lainnya.

Ketiga, pengembangan kompetensi peserta didik bersifat parsial. Hal ini tampak jelas karena guru dalam proses pembelajaran lebih mengarahkan peserta didik pada satu kecerdasan saja. Ketika peserta didiknya berhasil mendapat juara dalam lomba akademik dan sukses dalam menempuh ujian nasional, guru merasakan keberhasilan dalam melaksanakan pembelajaran. Evaluasi program pembelajaran mestinya dilakukan dengan mengomparasikan antara yang direncanakan dan yang dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada kegiatan yang terlewati atau tidak dilaksanakan dan apa kemungkinan konsekuensinya pada siswa. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu belum tampak pada guru. Guru lebih cenderung

memantapkan siswanya dalam kemampuan kognitif dibandingkan kemampuan afektif dan psikomotorik. Kemampuan kognitif cenderung mengarah pada kecerdasan intelektual, sedangkan kemampuan afektif dan psikomotor mengarah pada kecerdasan emosional dan sosial. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dinyatakan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan pengembangan kecerdasan siswa, atau telah terjadi pengembangan kompetensi yang parsial.

Temuan tersebut didukung oleh beberapa informasi yang berkaitan dengan aktivitas pengelolaan pembelajaran. Informasi yang diperoleh dalam bentuk petikan wawancara sesungguhnya sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Informasi yang dimaksud adalah mengenai pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih dominan dengan latihan soal dan penjelasan konsep-konsep yang berkaitan dengan ujian nasional, sementara itu kegiatan praktikum sangat minim dilakukan. Pihak sekolah melakukan program akselerasi dan pemantapan pembelajaran di mana kegiatannya adalah membahas soal-soal, latihan soal-soal yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Kegiatan dalam bentuk mengerjakan latihan soal-soal pada dasarnya adalah mengasah kemampuan kognitif siswa yang mengarah pada kecerdasan intelektual. Sementara itu, pembelajaran praktikum atau kerja ke lapangan akan memberikan pengalaman pada siswa untuk melakukan, bekerja sama, dan berkomunikasi. Dalam hal ini dimaksudkan untuk mengasah kemampuan afektif dan psikomotorik siswa yang mengarah pada kecerdasan emosional dan sosial.

Beberapa hal yang dijelaskan di atas diperkuat lagi dengan pernyataan berikut yang mengarah pada pengutamaan kecerdasan intelektual.

”Targetnya adalah prestasi di bidang akademis, saya menyasar yang paling kuat gaungnya kan olimpiade, sekarang baru satu dua mata pelajaran yang berhasil, nanti untuk semuanya, paling tidak di Bali kita bisa berbicara, nah itu targetnya (wawancara KSG, tanggal 11 Januari 2011).

Ungkapan yang senada yang enguatkan informasi di atas dikemukakan oleh pengawas sebagai berikut.

”Kompetensi siswa menjadi bagus, terutama akademik. Dampak negatifnya cenderung besifat individualis, karena waktunya lebih banyak untuk belajar atau kegiatan akademik. Misalnya pulang ke desa yaa cenderung di rumah saja malah di kamar saja. Sedikit kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman yang lain” (wawancara PWS, tanggal 18 januari 2012).

Berdasarkan hasil survei di Amerika Serikat tentang IQ (dalam Ginanjar, 2005) ditemukan ‘paradoks’ membahayakan: sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Hasil survei terhadap para orang tua, dan guru tahun 1970 dan 1980 mereka mengatakan anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi daripada generasi terdahulunya. Dinyatakan bahwa secara pukul rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, impulsif dan agresif. Penelitian berlanjut terhadap ratusan ribu pekerja, dalam pengkajiannya ditemukan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang sama, terbukti menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi).

Dinyatakan lebih lanjut di mana banyak contoh membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Sebaliknya, sering kali justru yang berpendidikan

formal lebih rendah, ternyata banyak yang lebih berhasil (Goleman, 2000; Ginanjar, 2005). Ginanjar menegaskan bahwa banyak program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, dan kemampuan beradaptasi. Pada dewasa ini, banyak orang berpendidikan yang tampak menjanjikan keberhasilan, ternyata mengalami kemandekan dalam kariernya, lebih buruk lagi mereka tersingkir akibat rendahnya kecerdasan emosi.

Kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) merupakan temuan terkini secara ilmiah. Penemuan eksistensi God Spot dalam otak manusia telah built in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan saraf dan otak. Suatu jaringan saraf yang secara literal ’mengikat’ pengalaman manusia secara bersama untuk ”hidup lebih bermakna”. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat value manusia tertinggi (the ultimate meaning). SQ yang perlahan, tetapi pasti menempati ruang di hati manusia walaupun bukan seorang spiritualis sekalipun. Sinergi antara EQ dan SQ digagas oleh Ginanjar menjadi ESQ (Emotional and Spiritual Quotient). Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki. Model ESQ adalah software dari God Spot untuk melakukan spiritual engineering sekaligus sebagai mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu EQ, IQ, dan SQ dalam satu kesatuan yang integral dan transendental.

Selama ini, dalam masyarakat banyak berkembang pandangan stereotipe, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur kebendaan dan

unsur keagamaan, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata: materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiah. Mereka yang memilih keberhasilan di alam vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa dinisbikan atau sesuatu yang bisa dengan mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyukan dzikir dan kekhidmatan berkomtemplasi tetapi menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik, dan perdagangan di alam horizontal. Sebaliknya, orang yang berpijak hanya pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan spiritual. Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan, acap kali mereka disergap oleh perasaan kosong dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak didapat, ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, uang hasil jerih payah usaha sudah dalam genggaman, mereka tak tahu lagi ke mana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu diraihnya hingga hampir-hampir diperbudak oleh uang dan waktu. Dalam hal inilah peran SQ untuk menjawab permasalahan tersebut (Ginanjar, 2005).

Menurut Ali Shariati (dalam Ginanjar, 2005) manusia adalah makhluk dua-dimensi yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan tentang kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi serta intelegensi yang baik (EQ dan IQ). Di samping itu, penting pula penguasaan ruhiah vertikal atau spiritual quotient (SQ) agar dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniawian. Di dalam Undang-Undang RI No 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Berdasarkan kajian dan peraturan perundangan yang disebutkan di atas, sangat jelas tampak betapa pentingnya kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dikembangkan secara proporsional dan seimbang. Dalam konteks pembelajaran, guru mestinya memiliki konsep tentang pengembangan kecerdasan dan berusaha mengondisikan pengalaman belajar kepada siswa untuk tujuan tersebut melalui strategi dan metode yang tepat. Oleh karena itu, profesionalisme guru sangat dibutuhkan. Untuk itu motivasi peningkatan kualitas diri dengan membaca, berdiskusi tentang kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual manusia, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan materi ajar yang diampu perlu dibiasakan dan ditingkatkan.

7.5 Refleksi

Potret yang didapat adalah adanya harapan sekaligus tuntutan dari pihak penguasa di daerah kepada sekolah agar siswa di daerah kekuasaannya sukses dalam menempuh ujian nasional. Pada dewasa ini menurut pandangan mereka bahwa keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan di wilayah kerjanya apabila persentase keberhasilan siswa menempuh ujian nasional tinggi. Kondisi ini

menandakan ada kurikulum yang tidak tampak dengan jelas dan tidak tertulis, tetapi ada dan mesti dilakukan. Sementara ini, kesan yang muncul di masyarakat terhadap ujian nasional begitu angker dan ibarat monster bagi pemegang kekuasaan. Bagi mereka, keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam ujian nasional sebagai penentu status quonya. Bagi pimpinan di Diknas ketidakberhasilan sekolah dalam ujian nasional di wilayah kerjanya, dirasakan mengancam jabatannya. Demikian juga kepala sekolah khawatir diganti walaupun belum saatnya pergantian. Tidak kalah cemas juga pada guru bidang studi dimutasi ke sekolah yang lain apabila siswanya gagal dalam ujian nasional.

Keadaan ini melahirkan sebuah konsensus dalam pola berpikir yang tidak pernah diucapkan bahwa keberhasilan dalam ujian nasional sebagai target utama pembelajaran di sekolah dan sekaligus dianggap sebagai keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan di daerah. Pola berpikir seperti ini memengaruhi kebijakan yang dilakukan oleh sekolah dan strategi yang dilakukan oleh guru. Guru sebagai ujung tombak di lapangan yang berperan penting dalam pengelolaan pembelajaran mengiati dengan strategi-strategi tertentu agar siswa memiliki kesiapan yang matang dalam ujian nasional. Pengondisian siswa untuk mematangkan diri dalam rangka ujian nasional memunculkan berbagai program, antara lain program akselerasi, program pemantapan, dan pembelajaran lebih banyak menjelaskan konsep melalui latihan soal. Pembelajaran yang dilakukan guru mengebiri beberapa kegiatan yang sudah direncanakan, seperti kegiatan praktikum karena dianggap tidak banyak memberikan kontribusi dalam menghadapi ujian nasional. Pengalaman belajar siswa

melalui kegiatan praktikum dan kerja lapangan sangat minim, padahal pengalaman belajar seperti itu mengasah ranah afektif dan psikomotorik siswa. Evaluasi pembelajaran lebih menonjolkan ranah kognitif, guru berusaha memberikan soal kepada siswa dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi daripada yang semestinya. Sementara ini, hasil ujian nasional yang diperoleh pada SMA RSBI sangat memuaskan bagi semua pihak, sehingga ada perasaan berhasil bagi guru dan sekolah dalam pengelolaan pembelajaran.

Pola berpikir yang mengutamakan persiapan ujian nasional telah meghilangkan kesadaran guru bahwa dalam pelaksanaan pembelajarannya telah mengingkari kurikulum. Dampak yang ditimbulkan dari pola berpikir seperti itu adalah perkembangan kecerdasan siswa tidak seimbang. Keberhasilan siswa dalam menempuh ujian nasional sesungguhnya tidak bisa dipakai indikator keberhasilan pengelolaan pembelajaran karena masih banyak aspek lain yang perlu menjadi perhatian. Ujian nasional kalau dilihat dari soal-soal yang diujikan, cenderung mengevaluasi kompetensi kognitif saja. Sementara itu ada kompetensi afektif dan psikomotor sebagai tujuan pembelajaran yang terabaikan.

Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus, yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Tujuan mata pelajaran kimia dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan, antara lain pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah

bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu, pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran dengan keterampilan proses melatih siswa untuk berpikir aktif, kreatif, dan memecahkan masalah. Kecenderungan yang terjadi dengan latihan berpikir aktif, kreatif, dan pemecahan masalah memunculkan generasi yang tangguh menghadapi masalah dan memiliki kreasi dan daya cipta yang tinggi, misalnya mereka akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk dirinya dan orang lain.

Dalam kenyataannya, pengelolaan pembelajaran kimia lebih menekankan kepada produk. Hal ini dilihat dari terbatasnya praktikum yang dilaksanakan. Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk memantapkan kemampuan siswa di dalam mengikuti ujian nasional. Jadi, ujian nasional lebih diutamakan dibandingkan dengan proses pembelajaran. Kondisi seperti yang disebutkan di atas perlu diwaspadai dan diantisipasi karena mengarah pada proses domestifikasi. Proses domestifikasi adalah proses penjinakan, yaitu membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai robot-robot yang sekadar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Tilaar (2003) menyatakan jika proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia, hasilnya bukan pembebasan melainkan pembodohan (stupidifikasi).

Proses domestifikasi dalam pendidikan, yaitu dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan terhadap ijazah. Ijazah menjadi alat untuk naik pada

tangga sosial, terlepas apakah ijazah tersebut merupakan hasil dari jerih payah untuk mengasah kemampuan diri. Dengan segala cara orang ingin untuk menggapai ijazah, baik diperoleh secara legal maupun ilegal dengan jalan membeli. Proses pembodohan di lembaga-lembaga pendidikan formal juga terlihat di dalam evaluasi pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan suatu proses domestifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir, tetapi menjadi manusia yang menghadapi teka-teki silang saja. Kemampuan analitis dan mencari alternatif yang terbaik dalam situasi yang dihadapi tidak dapat dikembangkan melalui tes objektif (Tilaar, 2003).

Dengan adanya harapan yang cenderung menjadi tuntutan harus berhasil dalam ujian nasional dari pihak Diknas kepada sekolah berarti telah terjadi hegemoni yang terstruktur dari penguasa yang lebih tinggi ke penguasa yang lebih rendah atau dikatakan sebagai hegemoni atasan kepada bawahan, dari pemerintah ke pimpinan sekolah, dari pimpinan sekolah ke guru, dari guru ke siswa. Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya ada nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya, seperti telah menjadi milik mereka sendiri dan telah disetujui.

Pelaksanaan hegemoni dan keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan. Kesempatan itu dapat terjadi karena hubungan pendidikan (educational relationship). Demikian pula dilihat bahwa lembaga-lembaga sosial seperti pendidikan tidak akan pernah netral, tetapi merupakan perekat dari hegemoni dalam

Dokumen terkait