• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

F. Teknik Analisis Data

2. Makna Ijmali ( Global )

Allah Swt berfirman yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, orang yang memiliki sifat keimanan, membenarkan kitab Allah, mengimani Rasul-Nya, mengetahui dengan yakin bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah kepada kamu adalah benar dari sisi Allah, janganlah kamu mendengar setiap berita, jangan pula kamu membenarkan setiap orang, tapi lakukanlah klarifikasi terhadap semua berita yang datang, sebelum kalian menimpahkan musibah kepada saudara-saudara kalian yang beriman disebabkan berita yang belum diselidiki validitasnya, dan disebabkan ucapan yang belum kamu pastikan kebenarannya, sehingga menyebabkan kamu menyesal, apa yang luput dari kamu, tetapi pada saat itu penyesalan sudah tidak lagi berguna..( Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2011: 441)

Wahai orang-orang beriman, ketika kamu melihat dua kelompok orang beriman berselisih antara lain disebabkan oleh adanya isu tidak jelas

51

kebenarannya maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari dua golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golongan yang lain sehingga enggang menerima kebenaran atau perdamaian maka lakukanlah tindakan yang tegas sampai dia kembali kembali kepada perintah Allah yakni menerima kebenaran. Jika ia telah kembali pada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berbuat adillah dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan baik oleh semua kelompok.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Kenapa perdamaian sesama orang beriman perlu dilakukan?, ketahuilah bahwa َققققْخِإ َنققققُنِمُِْمِْا لقققَمَّنِإ sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, persaudaraan yang dibangun atas nama agama dan yang mempersaudarakan orang mukmin adalah Allah Swt. Oleh kerena itu اقُحِلقْصَأَف ْمُكْي َقَخَأ َنْيَب (damaikanlah antara saudara kalian).

Ingatlah! ketika perdamaian telah tercapai, maka hindarilah hal-hal yang dapat menimbulkan pertikaian. diantaranya adalah م ْققَق ْنقِم م ْققَق ْرَخقْسَي َل (janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain), ْمُكققَسُفْنَأ اق ُزققِمْلَت َل (janganlah kalian mencelah diri kalian) dan ِبلقَقَِْ ْألِب اق ُزَبلقَنَت َل ( janganlah kalian saling memanggil dengan gelar buruk. Ketahuilah, seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kepasikan, panggilan buruk sesudah beriman. Siapa yang bertobat setelah melakukan hal-hal buruk itu, maka merekalah yang menelusuri jalan-jalan yang lurus dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

52

Wahai orang yang beriman, sebagai saudara, ِّنققَّظِا َنققِم ا ِرققيِيَك اقققُبِنَتْجا (jauhilah kebanyakan dari prasangkah) terlebih ketika prasangka tersebut tidak memiliki indikator yang memadai karena ketahuilah مققْيِإ ِّنققَّظِا َ ققْعَب َّنِإ (sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa). Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain serta jangan mengumpat. memakan daging saudara yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.

B. Analisis Secara Kontekstual Q.S. Al-Hujurat Ayat 6 – 12

Al-Quran adalah kitab yang memancarkan darinya aneka keIslaman, karena kitab suci ini mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian. (Quraish Shihab, 2013: 5). Dengan mengamati dan melakukan penelitian terhadap al-Quran, maka akan ditemukan pelbagai pesan-pesan Ilahi yang akan menuntun untuk mendapatkan kasih sayang Allah Swt.

Memahami al-Quran secara kontekstual adalah upaya menggali kandungan al-Quran dengan mencari sebab-sebab diturunkannya suatu ayat dan mengemukakan perkataan ulama tentang maksud ayat yang diteliti.

a. QS. al-Hujurat[49] ayat 6-8

َمآ َُِٗزننَّ ق عننََُِّٗأ عننَٗ

ةننَ عََِدِب عننًم ََْْ قُْب٘نن ِتُت ْ َأ قْننََُُّ٘بَزَف ئننَبَُِب اُننِععَف ْ,ُكَذعننَخ ْ ِإ قْننُُ

( َُِ٘مِدعَن ْ,ُزََْعَف عَم ََََٔ قُْسِبْتُزَف

ْ,ُيُع٘نِلُٗ ْْنَ ِ َّص ََْنُع َس ْ,ُي٘نِف َّ َأ قْنُمَََْق َّ )

6

53

“Wahai orang-orang yang beriman jika seseorang fasik datang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecorobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu. Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah, kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kepasikan dan kedurhakaan. mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah, dan Allah maha mengetahui maha bijaksana (Departemen agama RI: 2012: 516).

Ini adalah seruan yang ke tiga dari seruan-seruan ar-Rahman dalam surah yang berisi tentang akhlak. Allah menyeru kepada orang-orang yang beriman agar memeriksa berita-berita yang datang dari orang-orang fasik, dari orang-orang yang imannya lemah sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak tertimpah musibah atau fitnah disebabkan ketidaktahuan. Dimana musibah itu akan membuahkan kekecewaan sepanjang masa.

Ketahuilah orang-orang yang beriman! Rasulullah Saw berada di tengah-tengah kalian, maka hargailah beliau sesuai dengan kedudukannya, jika ia mengikuti orang-orang yang lemah imannya di antara kalian dalam banyak hal, maka hal itu akan menyusahkan dan memberatkan. Akan tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu

54

indah dalam hati kalian, maka kalian harus menjaga keindahan tersebut dari hal-hal yang tidak pantas dikerjakan, dari penyelewengan nikmat Allah, keluar dari syariat agama, serta menyalahi perintah-perintah Allah. Itulah orang-orang yang mengetahui jalan kebenaran dan tetap berjalan di atasnya, Allah hendak menunjukkan nikamt-Nya, Allah lah yang maha luas ilmunya meliputi segala sesuatu, yang mempunyai hikmah dalam mengatur sesuatu.

(Muhammad Abdul Ati Buhairi, 2012: 764)

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr (2008) menyatakan:

QS. al-Hujurat ayat 6 dilatar belakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-al-Hârits Ummil-Mu`minîn ra.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberitahu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Ra.: Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlullâh Saw. Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh.

Aku akan pulang untuk mengajak mereka masuk Islam, juga berzakat.

Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.” Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlullâh Saw, ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Saw pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Saw. Dan tidak

55

mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Saw.

Sebenarnya Rasûlullâh Saw. telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembali kepada Rasûlillâh Saw sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Saw lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits.

Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog: Pasukan itu berkata: “Ini dia Al-Hârits”. Setelah Al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?" Mereka menjawab:

“Kepadamu”. Dia bertanya: “Untuk apa?” Mereka menjawab:

“Sesungguhnya Rasûlullâh Saw pernah mengutus al-Walîd ibnu

`Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “itu tidak benar. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”. Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Saw bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?” Al-Hârits menjawab:

“Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah Q.S Al-Hujurat ayat 6.

Orang-orang yang kerap lalai dalam mencari kepastian dalam berita, atau enggan bermusyawarah sebelum melakukan tindakan terhadap suatu berita, sesungguhnya, hal itu bisa mendatangkan kehancuran bagi

56

dirinya maupun orang lain. Berapa banyak persoalan kecil menjadi persoalan besar karena tidak adanya klarifikasi dalam menerima berita dan berapa banyak pertumpahan dara karena tidak selektif dalam menerima berita.

Ingatlah, tentang hadis al- Ifki (fitnah) yang disebabkan oleh berita bohong, hadis secara detailnya terdapat dalam kitab al-Bukhari dan Muslim dan Imam-imam hadis yang lain, yang menjadi pelaku utama dalam peristiwa ini adalah pemimpin orang-orang munafik yaitu Abdullah, ketika ia melihat Syayyidah „Aisyah Ra. yang sedang menuju keatas tandunya yang ditemani Sofiyan bin al-Muathal, pemimpin orang-orang munafik itu bertanya,”siapa wanita ini?” mereka menjawab,” „Aisyah”. Dia kemudian menyebarkan fitnah itu tanpa pembenaran dan klarifikasi namun didasari rasa dengki, hasad, dan ingin menggoyang rumah tanggah Rasulullah Saw. Ia berkata,” sungguh,

„Aisyah tidak akan lepas dari Sofiyan dan Sofiyan pun akan lepas dari

„Aisyah, kemudian dia menyebarkan kata-kata yang tidak pantas didengar,”

istri Nabimu telah berselingku dengan laki-laki lain sampai pagi hari kemudian ia membawanya diatas tanduk!” begitu jelek dan tercelahnya perkataan ini! Begitu besar pengaruh negatif dan ucapan ini sehinggah Madinah geger dengan pemberitaan ini selama sebulan penuh, keluarga Rasulullah telah dituduh dengan tuduhan yang menyakitkan.

Bagaimana tidak, „Aisyah yang sangat dicintainya dengan sepenuh hati, ia wanita suci dan terjaga, mulia dan terpuji, ia lebih dari suci dari embun-embun di awan, namun akhirnya kehormatannya terganggu, dialah

57

wanita hasil didikan Rasulullah dalam rumah kenabian yang suci dan bersih.

Hikmah dari peristiwa ini hanya diketahui yang maha tahu tentang yang gaib, karena selama sebulan ayat tidak turun kepada Rasulullah Saw hingga jiwa dan perasaannya tenang.

Sayyidah „Aisyah ra. menangis sampai tidak dapat lagi mengeluarkan air mata, matanya membengkak, tidak bisa tidur sampai akhirnya Allah Swt membebaskannya dengan menurukan QS. an-Nur[24]

ayat 11-20:

58

”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa yang mengambil bagian besar (dari dosa yang diperbuatnya, dia mendapat dosa yang besar pula. Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata,”ini adalah suatu berita bohong yang nyata. Mengapa mereka (yang menuduh bohong itu) tidak mendatangkan empat orang saksi? Oleh karena membawa empat orang saksi-saksi maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta. Dan seandainya bukan karena karunia Allah dan rahmatnya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa ayat yang besar, disebabkan karena pembicaraan kamu tentang hal itu berita bohong itu. (ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut-mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu anggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya,” tidak bagi kita membicarakan ini. Maha suci engkau, ini adalah kebohongan yang besar. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang beriman. Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu, dan Allah maha mengetahui, maha bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah maha mengetahui, sedang kamu tidak megetahui. Dan kalau bukan karunia Allah dan rahmatnya kepada kamu (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). Sungguh, Allah maha penyantun maha penyayang” (Departemen agama RI: 2012:

351).

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada manusia agar selektif dalam menerima berita dengan senantiasa melakukan klarifikasi terhadap berita yang datang, terlebih ketika berita tersebut dibawah oleh orang-orang fasik. Klarifikasi dilakukan agar tidak terjadi mudharat di muka bumi ini dan agar manusia senantiasa di bawah naungan cahaya Allah Swt.

59

Islam dalam membahas fasiq, diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil (Shalih bin Fauzan Al-Fauzan 2012:

347).

1. Fâsiq besar,

Fasik besar yaitu fasik yang identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam (Muhammad Abdul Ati Buhairi, 2012: 347). Dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

diantaranya QS. al-Kahfi[18] : 50

َِِّب َس ِشْمَأ ََُْ ََُغَ َف

Terjemahannya:

“Maka ia mendurhakai perintah Rabnya” (Departemen agama RI:

2012: 516).

Artinya, kefasikan darinya adalah sebuah kekufuran. Selain itu Allah juga berfirman QS. as-Sajadah[32] : 20:

سعَُّ ق ُ,ُُق ََُّْمَف قُْ َغَف َُِٗزَّ ق عَّمَأ َّ

Terjemahannya:

“ Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam” . (Departemen Agama RI 2012: 416)

Yang Allah maksudkan ialah orang-orang kafir. Hal itu ditunjukkan di dalam firmannya yang merupakan sambungan ayat di atas:

عَمََُّك ِٕزَّ ق ِسعَُّ ق َبقَزََ قَُُّْر ْ,َُِ َلَِ٘ َّ عَِِ٘ف قُّذَُِ٘أ عَُِِْم قُْخُشْخَٗ ْ َأ قُّدق َسَأ

َ ُْبِّزَيُت َِِب ْ,ُزُُْك

60 Terjemahannya:

“Setiap kali mereka hendak keluar dari padanya mereka dikembalikan ke dalamnya dikatakan kepada mereka,”rasaakanlah siksa neraka yang dulu kamu dustakan” (Departemen agama RI: 2012: 20).

.

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Saw yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya dalam QS. al-Qashash[28] : 32

َُِم َ َزعََُخ َ َْ٘ ِإ ْ,ُمْيق َّ ذُْع ِشَْ٘غ ُِْم َذعَ َْ٘ب ْج ُشْخَت َ ِبَْ٘خ ِٖف َكَذَٗ ْ َُْعق َُِ٘ ِععَف عًم ََْْ قُْنعَك ْ,َُِّنِإ َِِ َََم َّ َ ََْْ ْشِف َٔ ِإ َ ِّب َس ُِْم ِ عَنعَُ ْشُب َ ِنقَزَف َُِْ َّش ق

Terjemahannya:

“Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhanmu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir'aun dan pembesar-pembesarnya). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik.(Departemen agama RI: 2012: 389).

2. Fasik kecil

Fasik kecil adalah kefasikan yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada QS. an-Nur[24] : 4

ً َذنََْخ َُِ٘نعنَمَث ْ,ُُُّذنَِْخعَف َذقَذَِنُش ِةَعَب ْسَُِب قُْتَُْٗ ْ,َ َّ,ُث َِعََُتْسُمْ ق َ ُْم ْشَٗ َُِٗزَّ ق َّ

َ ُْ ِععَ ْ ق ُ,ُُ َ ِ َ ُّأ َّ قًذَبَأ ً َدعََِش ْ,َُِ قََُْبْ َت َلَ َّ

Terjemahannya:

61

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.

Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Departemen agama RI:

2012: 350). tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji”.(Departemen agama RI: 2012: 31)

Untuk menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita. damaikanlah antara keduanya. Jika salahsatu antara keduanya berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka perangilah orang yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali pada perintah

62

Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil”.

(Departemen agama RI: 2012: 516)

Setelah ayat yang lalu berbicara tentang bagaimana menghadapi berita- berita yang datang dari orang yang fasik yakni keharusan meneliti kebenarannya, Ayat di atas menurut Quraish shihab (2002: 594) berbicara tentang perselisihan antara kaum mukminin yang antara lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya maka kewajiban seorang mukmin harus mendamaikannya. Selanjutnya, jika salahsatu dari keduanya masih berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga enggan menerima kebenaran atau perdamaian, maka tindaklah kelompok yang berbuat aniayah sehingga ia kembali pada perintah Allah. Ia menerjemahkan kata qotilu dengan makna tindaklah, bukan perangilah sebagaimana yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya karena memerangi boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh. Di sisi lain, penggunaan bentuk kata kerja lampau di sini tidak juga harus dipahami dalam arti telah melakukan hal itu, tapi dalam arti hampir melakukannya. Ini serupa dengan ucapan “qad qomat ash-Sholah” yang secara harfiah berarti “ salat telah dilaksanakan” padahal pada saat ucapan itu salat baru segera akan dilaksanakan.

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i dalam bukunya shahih asbabun nuzul(2010: 431) mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari (6/226) tentang asbabun nuzul QS. Al-Hujurat ayat 9:

63

Musaddad telah menceritakan kepada kami, Mu‟tamir telah menceritakan kepada kami, ia berkata:” aku mendengar bapakku bahwasanya Anas berkata: “ telah dikatakan kepada Nabi SAW :

“sekiranya engkau mendatangi Abdullah bin Ubay”. Lalu Nabi berangkat kepadanya dengan mengendarai keledai diikuti oleh kaum muslimin dengan berjalan kaki, sedangkan tanahnya lembab.

Maka ketika Nabi Saw mendatanginya, ia (Abdullah bin Ubay) berkata: “menjauhlah dariku, demi Allah bau busuk keledaimu telah menggangguku”, salahsatu dari kaum Anshar menimpali : “demi Allah keledai Rasulullah Saw lebih harum baunya darimu”. Maka seseorang dari kaumnya marah membelah Abdullah. Maka keduanya saling memaki sehingga marahlah para sahabat dari keduanya dan diantara keduanya terjadi saling pukul dengan pelepah kurma, sandal dan tangan. Maka sampailah kepada kami bahwasanya ayat yang telah turun: “dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.

Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di (2014),

Al-Quran surah al-Hujurat ayat 9 mengandung larangan bagi orang-orang yang beriman untuk saling menzalimi satu sama lain. Jika ada dua kubu dari orang-orang yang beriman saling berperang, maka diwajibkan atas orang-orang beriman lainnya untuk melenyapkan keburukan besar ini dengan cara didamaikan serta melakukan secara baik sehingga perdamaian itu bisa terwujud dan agar mereka yang saling berperang bisa menempuh jalan yang menggiring pada perdamaian. Selanjutnya ia mengomentari bahwa perintah untuk mendamaikan secara adil adalah perintah untuk berdamai serta bersikap adil dalam perdamaian. Sebab bisa saja perdamaian dibuat namun tidak adil tapi dibuat secara zalim untuk salahsatu dari kedua pihak yang bertikai. Ini bukan perdamaian yang diperintahkan, untuk itu tidak boleh memperhatikan factor kekeluargaan, etnis atau kepentingan-kepentingan lain yang akan menyebabkan kedua belah pihak melenceng dari keadilan.

Mendamaikan perselisihan merupakan termasuk amalan yang paling utama sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa [4] : 114

64

َُْ٘نَب ذ َنْحِإ َّْأ ُّشْعَم َّْأ ةَََذَتِب َشَمَأ َُْم َّلَِإ ْ,ُُق َْْدَن ُِْم شِ٘ثَك ِٖف َشَْ٘خ َلَ

ِطعَُّ ق

Terjemahnya:

Tidak banyak kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka.

Kecuali pembicaraan rahasia yang menyeruh (orang) bersedekah atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian diantara manusia.

Allah Swt meberitahukan bahwa kebanyakan orang yang berbisik-bisik tidak mengandung kebaikan. Kecuali orang-orang yang menyeruh untuk bersedekah atau yang memerintahkan untuk berbuat kebaikan atau yang menganjurkan mengadakan perbaikan antara umat manusia. Selain itu Allah SWT menerangkan dalam QS. An-Nisa[4] : 128

اشَْ٘خ ُرَُّْت ق َّ

65

Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda,” setiap ruas tulang mausia sebaiknya disedekahi (oleh pemiliknya) setiap hari (sebagai pernyataan syukur kepada Allah Swt. Dan macam sedekah itu banyak sekali, diantaranya adalah mendamaikan dua orang yang bersengketa, membantu teman ketika menaiki tunggangannya, ucapan yang baik, setiap langka yang kamu lakukan untuk melakukan salat adalah sedekah dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan adalah sedekah. Muttafaqun alaihi.

Mengenai hadis di atas, Syaik Salim bin „ied Al-Hilali (2012: 691) berkomentar bahwa pintu kebaikan yang menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt cukup banyak dan mencakup setiap keadaan orang-orang yang beriman. Yang demikian itu merupakan itu bentuk keluasan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Diantara jalan itu adalah mendamaikan orang yang berselisih secara adil, sebab menegakkan keadilan di muka bumi termasuk salah satu ciri khas umat Islam.

c. QS. Al-Hujurat ayat 10

Sungguh Allah mencitai orang-orang yang berlaku adil.

Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.(Departemen agama RI 2012: 596) Setelah ayat yang sebelumnya memerintahkan untuk mendamaikan antara dua kelompok orang yang beriman, ayat di atas menjelaskan tentang kenapa hal tersebut harus dilakukan. Hal itu harus dilakukan karena sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, persaudaraan yang diikat dalam ikatan iman. Oleh karena itu, siapapun

66

orang yang berada di atas permukaan bumi ini, baik yang berada di belahan timur bumi ataupun barat yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, Raul-rasul-Nya, serta beriman kepada hari akhir, maka mereka bersaudara.

Persaudaraan yang mengharuskan mencitai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw

Dari Anas Ra. dari Nabi Saw, sabdanya: "Tidaklah sempurna keimanan seseorang dari engkau semua itu, sehingga ia mencintai untuk diterapkan kepada saudaranya sebagaimana ia mencintai kalau itu diterapkan untuk dirinya sendiri." (Muttafaq 'alaih)

Pernyataan Rasulullah di atas mengisyaratkan bahwa kadar keimanan seseorang dipengaruhi seberapa kuat persaudaraan yang dibangun diantara sesama muslim. Selain itu, Rasulullah juga telah memerintahkan kepada umat muslim agar merawat persaudaraan ini dengan menjahui sifat-sifat yang bisa melunturkan persaudaraan ini sebagaimana sabdanya:

67 Artinya:

Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda “janganlah kalian

Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda “janganlah kalian

Dokumen terkait