• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Keadilan Dalam Penguasaan dan Penggunaan Kekayaan Alam Menurut Pasal 33 UUD 1945

Dalam konteks negara Indonesia, arti penting kekayaan alam sebagai kebutuhan dasar manusia yang membutuhkan jaminan akses bagi seluruh

rakyat sangat disadari oleh para founding fathers di negeri ini. Hal ini terlihat

dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Sifat kekayaan alam yang memiliki jumlah yang

terbatas sedangkan jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan keseriusan pemerintah dalam penanganannya, baik masalah peruntukan,

penggunaan dan pengaturannya yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan penggunaannya yang beranekaragam.

Payung hukum dari konsep keadilan dari Undang-Undang Pertambangan adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang

berbunyi:78

1. Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

asas kekeluargaan;

2. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

3. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

4. Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

5. Ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini

diatur dengan Undang-Undang.

Penguasaan negara atas kekayaan alam yang bersifat nasional untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pemenuhan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu manifestasi perjuangan Bangsa Indonesia dalam melepaskan diri dari penjajahan yang telah menciptakan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Sehingga diharapkan penderitaan itu berakhir dan kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sebagai konsekuensi kesepakatan seluruh rakyat Indonesia untuk mendirikan negara

78 Lihat Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional.

yang bernama Indonesia. Jaminan hak atas kekayaan alam bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bentuk kesejahteraan tersebut. Hak menguasai negara tersebut adalah untuk melancarkan pengurusan, penggunaan

kekayaan nasional.79 Bung Hatta menginterprestasikan mengenai penguasaan

negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:

Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak berarti

negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih

tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang

pula “pengisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang

bermodal.80

Selanjutnya dalam perihal Bung Hatta menginterprestasikan mengenai peranan modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia, sebagai berikut:

“Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan

Pemerintah …. “Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air

79 Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta, 1990, hal. 37.

80

Mohammad Hatta, Cita-cita Kooperasi dalam Pasal 33 UUD 1945, Pidato Hari Kooperasi 12 Juli 1977, dalam Mohammad Hatta, Satu Abad Bung Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depa n, UI Press, Jakarta, 2002, hal 225.

kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita,

tetap terpelihara.” 81

Berdasarkan kutipan interprestasi Bung Hatta mengenai peranan modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia, maka dapat penulis gambarkan secara hirarki sebagai berikut:

Gambar 1.

Hirarki Peranan Modal Dalam Keterlibatan Perekonomian di Indonesia

Sumber: Mohammad Hatta, diolah penulis.

Gambar 1. di atas menunjukkan pemikiran Bung Hatta bahwa perekonomian Indonesia di masa datang diusahakan dengan jenjang prioritas

berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan

ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal

nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka

81

kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing; keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga. Bila pemikiran Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai tafsir historis atas Pasal 33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat prioritas oleh Hatta harus dilaksanakan dalam pembentukan undang-undang dan dinamika sosial ekonomi dalam hal sumberdaya alam pertambangan.

Dalam kaitannya dengan konsep keadilan, maka keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan

mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:82

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat

(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di

dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.

82 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/04/PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdf, diakses pada tanggal 8 Maret 2012.

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan

pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk

melakukan tindakan sendiri (eigensdaad) atas kekayaan alam.

Landasan pemikiran lahirnya Pasal 33 UUD 1945 tidak terlepas dari nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri, seperti tolong menolong dan usaha bersama yang membedakannya dengan paham kapitalisme, yang justru menegasikan nilai-nilai tersebut. Karena paham kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi dengan mengandalkan modal dan alat produksinya hanyalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat yang lemah. Karena dalam paham kapitalisme kepemilikan modal dan alat produksi hanya dimiliki segelintir orang saja. Dalam konteks negara Indonesia, dalam hal pengelolaan sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak harus dikuasai seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dalam kerangka keadilan sosial. Hal ini untuk mencegah terjadinya monopoli oleh seseorang atau segelintir orang saja sehingga peranan negara dalam menguasai

kekayaan nasional untuk memberikan jaminan terhadap seluruh rakyat yang berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat.

Asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 itu ialah kooperasi. Bung Hatta menginterprestasikan mengenai kooperasi dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai berikut:

Dalam pada itu ada baiknya diperingatkan di sini, bagaimana kita memahamkan kooperasi seperti yang terpancang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita kooperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham kooperasi Indonesia menciptakan masayarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan kooperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antar manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan ... Pada kooperasi, sebagai badan usaha berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam keadaan harmonis kepentingan orang-seorang dengan kepentingan umum. Kooperasi

yang semacam itu memupuk selanjutnya semangan toleransi—aku

mengakui pendapat masing-masing—dan rasa tanggungjawab

bersama. Dengan ini kooperasi mendidik dan memperkuat demokrasi

sebagai cita-cita bangsa. 83

Oleh karena itu, sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia menurut Mohammad Hatta adalah sistem sosialisme kooperatif yang kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sistem sosialisme kooperatif mengandung tiga unsur penting, yaitu:

1. Cita-cita sosialisme barat yang mengemukakan perikemanusiaan

dengan pelaksanaan demokrasi mengenai demokrasi politik,

2. Ajaran agama yang mengemukakan dasar-dasar keadilan dan persaudaraan serta penilaian yang tinggi kepada manusia pribadi sebagai makhluk Allah,

3. Gotong-royong sebagai pembawaan masyarakat Indonesia yang

asli.84

Dari unsur-unsur penting di atas, terlihat bahwa pengelolaan kekayaan alam sebagai salah satu kekayaan nasional yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat bersandar pada nilai-nilai yang hidup dalam Bangsa Indonesia, seperti nilai religius dan nilai gotong-royong. Akan tetapi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan sedang membangun tidak menutup diri juga terhadap nilai-nilai yang dapat menunjang dan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia yaitu dalam bentuk pengadopsian cita-cita sosialisme barat dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan nilai dan falsafah bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita selalu menjadi acuan utama dalam proses pengambilan kebijakan sehingga melahirkan

kebijakan yang populis dan partisipatif—serta berkeadilan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek keadilan sosial atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung di dalam Pasal 33 UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Orientasi

Orientasi dalam pemanfaatan kekayaan alam adalah kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, keadilan sosial harus sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Keberpihakan

Keterkaitan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban

Negara yang memiliki keberpihakan kepada rakyat.85 Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena:

“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum

publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula

pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.”86

3. Hubungan dengan pemilik modal.

85Ibid, hal. 17.

Dalam hal hubungan dengan pemilik modal, Mohammad Hatta menyatakan sebagai berikut:

“Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita,

seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.” 87 Perkataan Mohammad Hatta di atas jelas bahwa terhadap peranan modal, beliau mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai alternatif atau pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam yang besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi dan badan usaha negara). Kutipan di atas menunjukkan pemikiran Mohammad Hatta bahwa perekonomian Indonesia di masa datang

diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan

rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi (badan

usaha negara); kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional (swasta

nasional dan badan usaha negara); ketiga, bila tenaga dan modal nasional

tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam

tenaga dan modal asing (Production Sharing); keempat, bila bangsa asing

tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga (Perijinan).

4. Akses Mengusahakan.

Akses mengusahakan berkisar pada kata kunci ”dikuasai negara” vis

a vis ekonomi pasar bebas yang mendominasi perekonomian dunia.

Mengenai makna ”dikuasai negara”, Mahkamah Konstitusi berpendapat antara lain sebagai berikut:

… pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala

sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan

mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan

tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),

pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)

untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi

pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah

dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas

perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui

kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi

oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan

melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau

melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen

kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,

mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara

dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud

benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat …

Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh

Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.88

Berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, maka dengan kata

lain, makna “dikuasai negara” tidak harus diartikan bahwa negara sendiri

yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi “dikuasai

negara” atau kedaulatan negara atas sumber daya alam terletak pada tindakan negara dalam hal pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber

daya alam. Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hal ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.

Panca Fungsi Negara Dalam Menguasai Sumberdaya Alam89

No Fungsi Penjelasan

1 Pengaturan (regelendaad)

Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Jenis peraturan yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah (eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad). 2 Pengelolaan

(beheersdaad)

Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara. Dengan kata lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam peyelenggaraan pemerintahan daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah

3 Kebijakan (beleid) Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan kebijakan

4 Pengurusan (bestuursdaad)

Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan

(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie)

5 Pengawasan

(toezichthoudensdaad)

Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan pengujian Perda (executive review)

Sumber: Yance Arizona, 2008.

89 Yance Arizona, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme: Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumberdaya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal. Panel Tirani Modal dan Ketatanegaraan, Selasa, 5 Agustus 2008 di FISIP Universitas Indonesia.

Dokumen terkait