• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2 Pembahasan

3.2.2 Makna Kontekstual Kata ليبس /Sabīlun/

/wa ˋanna hāżā ṣirāṭī mustaqīman fā t-tabi’ūhu wa lā tattabi’ū s-subula fatafarraqa bikum an sabīlihi żalikum waṣṣākum bihi la’allakum tattaqūna/ ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.’

Nomina ُطارص /ṣirāṭu/ pada ayat di atas dirangkaikan dengan kata ganti orang pertama tunggal انأ /anā/ ‘saya’ yang dilambangkan dengan huruf ي , sehingga terbentuk frasa nomina يِطا َر ِص /ṣirāṭī/ ‘jalan-Ku’. Kata ‘aku’ dalam ayat ini adalah sebagai kata ganti Allah. Dengan demikian, frasa nomina يِطا َر ِص /ṣirāṭī/

‘jalan-Ku’ dalam ayat ini bermakna melaksanakan segala yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.

3.2.2 Makna Kontekstual Kata ليبس /Sabīlun/

Agar makna kata ليبس /sabīlun/ ini terlihat lebih jelas, peneliti akan menguraikannya berdasar bentuknya yaitu ًليبس /sabīlan/, َليبسلا /assabīla/, ِليبس /sabīli/, ُليبس /sabīlu/, dan َلو ُب ُسلا /assubūla/.

3.2.1.3 Makna Kontekstual Kata ليبس /sabīlan/

Kata ًليبس /sabīlan/ ini hanya terdapat dalam surah an-Nisa ayat 15, 22, 34, 51, 88, 90, 98, 137, 141, 143, 150, sebagaimana berikut:

a. Kata ليهبَس /sabīlan/ pada ayat 15

ُكِسْمَأَف اوُدِهَش نِإَف ْْۖمُكنِّم ًةَعَب ْرَأ َّنِهْيَلَع اوُدِهْشَتْساَف ْمُكِئاَسِّن نِم َةَش ِحاَفْلا َنيِتْأَي يِت َّلالا َو ِتوُيُبْلا يِف َّنُهو

َّنُهَل ُ َّاللَّ َلَعْجَي ْوَأ ُت ْوَمْلا َّنُهاَّف َوَتَي ىَّتَح ًلايِبَس

/wallatī aˋtīna alfāḥisyta min nisāˋikum fā-stas hidū ala hinna ˋarba’atan minkum faˋin s ahidū faˋamsikūhunna fīlbu ūti ḥattā atawaffāhunna almawtu a ’alallahu lahunna sabīlan/ ‘Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.’

Kata ًلايِبَس /sabīlan/ pada ayat di atas adalah nomina yang bermakna ‘jalan’.

Makna kata jalan dalam ayat ini termasuk ke dalam makna konteks linguistik.

Berdasarkan situasi yang ada dalam ayat ini tergambar bahwa para wanita yang melakukan perbuatan keji yakni berzina atau lesbian akan dikurung di dalam rumah hingga ajal menjemputnya. Maka makna ‘jalan’ dalam ayat ini ialah suatu cara pelaksanaan hukuman dari Allah bagi wanita yang berzina dengan mencambuknya seratus kali serta membuangnya dari kampung halamannya selama setahun yakni bagi yang belum kawin, dengan merajam wanita-wanita yang sudah kawin (Al-Mahali dan As-Suyuthi, 2014: 333). Hal ini dapat dilihat juga pada surah an-Nūr ayat 1-2.

b. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 22

ْدَق اَم َّلاِإ ِءاَسِّنلا َنِّم مُكُؤاَبآ َحَكَن اَم اوُحِكنَت َلا َو َو اًتْقَم َو ًةَش ِحاَف َناَك ُهَّنِإ َۚفَلَس

ًلايِبَس َءاَس

/wa lā tankiḥū mā nakaḥa abāˋukum mina annisāˋi ˋilā mā qad salafa.

ˋinnahu kāna fāḥisyatan wa maqtan wa sāˋa sabīlan/ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).’

Kata ًلايِبَس /sabīlan/ pada ayat di atas adalah nomina yang bermakna ‘jalan’.

Kata ًلايِبَس /sabīlan/ ini didahului oleh kata َءاَس /sāˋa/ yaitu adjektiva yang memiliki

makna ‘buruk’. Dengan demikian, terbentuklah suatu frasa nomina ًلايِبَس َءاَس /sāˋa sabīlan/ ‘jalan yang paling buruk’.

Dalam ayat ini, makna frasa jalan yang buruk tersebut termasuk ke dalam makna konteks situasi. Situasi yang dijelaskan yakni jalan yang paling buruk itu adalah mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh sang ayah.

c. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 34

َلاَف ْمُكَنْعَطَأ ْنِإَف َّْۖنُهوُب ِرْضا َو ِع ِجاَضَمْلا يِف َّنُهوُرُجْها َو َّنُهوُظِعَف َّنُه َزوُشُن َنوُفاَخَت يِت َّلالا َو َّنِهْيَلَع اوُغْبَت

ًۗلايِبَس

ََّاللَّ َّنِإ ا ًريِبَك اًّيِلَع َناَك

/Wallātī takhāfūna nus ūzahunna fa’iẓūhunna wah urūhunna fīlmaḍa i’I waḍribūhunna faˋin ˋaṭa’nakum falā tab ū ala hinna sabīlan. ˋinnallaha kāna ali an kabīran/ ‘Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.’

Kata ًلايِبَس /sabīlan/ pada ayat di atas bermakna ‘jalan’. Berdasarkan makna kontekstualnya, kata tersebut termasuk ke dalam makna konteks situasi yakni cara yang lain dari apa yang telah ditetapkan Allah terhadap wanita-wanita yang nusyuz. Cukuplah dengan cara yang telah dijelaskan Allah dalam ayat ini yaitu dengan menasehati, pisah tempat tidur dan memukul. Hal ini diperkuat oleh penjelasan tafsir dari Gani, et.all (1995: 170), sebagaimana berikut: Allah menerangkan bagaimana seharusnya suami berlaku terhadap istri yang tidak taat kepadanya (nusyuz), yaitu menasehatinya dengan baik. Jika tidak berhasil, maka suami berpisah dari tempat tidur istrinya, dan kalau tidak berubah juga, diperbolehkan memukulnya dengan pukulan yang enteng, tidak mengenai muka dan tidak meninggalkan bekas. Setelah itu, Allah memperingatkan para suami, apabila istri sudah kembali taat kepadanya, janganlah lagi suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar

kesalahan-kesalahan yang telah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu.

d. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 51

َك َنيِذَّلِل َنوُلوُقَي َو ِتوُغاَّطلا َو ِتْب ِجْلاِب َنوُنِمْؤُي ِباَتِكْلا َنِّم اًبي ِصَن اوُتوُأ َنيِذَّلا ىَلِإ َرَت ْمَلَأ َن ِم ىَدْهَأ ِء َلاُؤ َه او ُرَف

اوُنَمآ َنيِذَّلا ًلايِبَس

/ˋalam tara ˋila allażīna ˋūtū naṣī am minal kitābi uˋminūna bil ibti waṭṭā’ūti wa aqūlūna lillażīna kafarū hāˋulāˋi ˋahdā min allażīna ˋāmanū sabīlan/ Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna ‘jalan’. Kata ‘jalan’ yang dimaksud mengandung makna konteks situasi ‘prinsip’. Ayat ini menggambarkan bahwa ada perbedaan antara penetapan hukum dengan pelaksanaanya oleh orang-orang Yahudi. Mereka itu tidak sekedar menunjukkan betapa buruk sikap dan perilaku mereka yang telah memperoleh tuntunan kitab suci tapi tidak mengamalkannya; tetapi juga untuk menegaskan kembali apa yang telah dikemukakan sebelum ini bahwa keberadaan kitab suci pada suatu masyarakat tidak menjamin pelaksanaan kandungan kitab suci itu (Shihab, 2007: 473).

e. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 88

َُّْۖاللَّ َّلَضَأ ْنَم اوُدْهَت نَأ َنوُدي ِرُتَأ ۚاوُبَسَك اَمِب مُهَسَك ْرَأ ُ َّاللَّ َو ِنْيَتَئِف َنيِقِفاَنُمْلا يِف ْمُكَل اَمَف ُ َّاللَّ ِلِلْضُي نَم َو

ُهَل َد ِجَت نَلَف ًلايِبَس

/famā lakum fīl munāfiqīni wallahu ˋarkasahum bimā kasabū ˋaturīdūna ˋan tahdū man ˋaḍallallahu wa man yuḍlilillahu falan tajidalahu sabīlan/

‘Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam

(menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna ‘jalan’. Kata ًلايِبَس /sabīlan/

ini termasuk ke dalam makna konteks situasi yang memiliki makna ‘petunjuk’

bagi orang-orang yang disesatkan Allah. Hal ini diperkuat dengan penjelasan tafsir oleh Gani, et.all (1995: 247) sebagaimana berikut: Tidak ada jalan bagi kaum muslimin dan bagi siapapun juga untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah lantaran keingkaran dan kefasikan mereka.

f. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 90

مُهَنْيَب َو ْمُكَنْيَب ٍم ْوَق ىَلِإ َنوُل ِصَي َنيِذَّلا َّلاِإ ْمُهَم ْوَق اوُلِتاَقُي ْوَأ ْمُكوُلِتاَقُي نَأ ْمُه ُروُدُص ْت َر ِصَح ْمُكوُءاَج ْوَأ قاَثيِّم

ْيَلِإ ا ْوَقْلَأ َو ْمُكوُلِتاَقُي ْمَلَف ْمُكوُل َزَتْعا ِنِإَف ْۚمُكوُلَتاَقَلَف ْمُكْيَلَع ْمُهَطَّلَسَل ُ َّاللَّ َءاَش ْوَل َو ُ َّاللَّ َلَعَج اَمَف َمَلَّسلا ُمُك

ْمِهْيَلَع ْمُكَل

ًلايِبَس

/ˋillallażīna aṣilūna ˋilā qawmin ba nakum wa ba nahum mīṡāqun ˋaw āˋūkum ḥaṣirat ṣudūruhum ˋan uqātilūkum ˋaw uqātilū qawmahum walaws āˋallahu lasallaṭahum ala kum falaqātalūkum faˋini’tazalūkum falam uqātilūkum waˋalwaq ˋila kumussalam famā a’alallahu lakum ala him sabīlan/ ‘kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu, tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian

kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Jalan yang dimaksud termasuk ke dalam makna konteks linguistik yang memiliki makna ‘tindakan menawan dan membunuh’.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan kembali laranganNya kepada kaum muslimin untuk menawan dan membunuh orang-orang kafir yang apabila meeka benar-benar tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin, serta selalu memelihara perdamaian. Apabila kaum muslimin memerangi mereka, mungkin hal itu akan menggerakkan mereka untuk menyusun kekuatn guna menghadapi kaum muslimin. Ayat ini merupakan dasar “hukum suaka” dalam Islam (Gani, et.all, 1995: 249).

g. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 98

َنوُدَتْهَي َلا َو ًةَلي ِح َنوُعيِطَتْسَي َلا ِناَدْلِوْلا َو ِءاَسِّنلا َو ِلاَج ِّرلا َنِم َنيِفَعْضَتْسُمْلا َّلاِإ ًلايِبَس

/ˋillal mustaḍ’afīna minar ri āli wan nisāˋi walwildāni lā astaṭī’ūna ḥīlatan walā ahtadūna sabīlan/ ‘kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Kata jalan yang dimaksud termasuk ke dalam makna konteks linguistik yang memiliki makna

‘jalan raya/jalan setapak’. Secara umum, wajib bagi setiap orang Islam hijrah dari negeri orang kafir bilamana di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melakukan kewajiban-kewajiban agama dan memelihara agama. Akan tetapi bilamana ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka tidak diwajibkan hijrah (Gani, et.all, 1995: 267).

h. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 137

َّمُث او ُرَفَك َّمُث اوُنَمآ َنيِذَّلا َّنإ َُّاللَّ ِنُكَي ْمَّل ا ًرْفُك اوُداَد ْزا َّمُث او ُرَفَك َّمُث اوُنَمآ َّمُث او ُرَفَك َّمُث اوُنَمآ

ًلايِبَس

/ˋinnallażīna ˋāmanū ṡumma kafarū ṡumma ˋāmanū ṡumma kafarū ṡumma ˋāmanū ṡumma kafarū ṡummaz dādū kufral lam akunillahu sabīlan/

‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Jalan yang dimaksud mengandung makna konteks situasi karena berada di luar faktor kebahasaan yaitu

‘hidayah’ berupa petunjuk Allah menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

i. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 141

ِرِفاَكْلِل َناَك نِإ َو ْمُكَعَّم نُكَن ْمَلَأ اوُلاَق ِ َّاللَّ َنِّم حْتَف ْمُكَل َناَك نِإَف ْمُكِب َنوُصَّب َرَتَي َنيِذَّلا ْمَلَأ اوُلاَق بي ِصَن َني

ِقْلا َم ْوَي ْمُكَنْيَب ُمُكْحَي ُ َّللَّاَف َۚنيِنِم ْؤُمْلا َنِّم مُكْعَنْمَن َو ْمُكْيَلَع ْذِوْحَتْسَن َنيِن ِم ْؤُمْلا ىَلَع َني ِرِفاَكْلِل ُ َّاللَّ َلَعْجَي نَل َو ِۗةَماَي

ًلايِبَس

/allażīna atarabbaṣūna bikum faˋin kāna lakum fathum minallahi qālū ˋalam nakum ma’akum wa ˋin kāna lilkāfirīna naṣībun qālū ˋalam nastaḥwiż ala kum wanamna’kum minal muˋminīna fallahu aḥkumu ba nakum awmal qi āmati walan a ’alallahu lilkāfiriīna alāl muˋminīna sabīlan/ ‘(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah

sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Jalan yang dimaksud termasuk ke dalam makna konteks situasi yang memiliki makna ‘cara/strategi’.

Allah menjanjikan kepada kaum muslimin bahwa selama orang-orang muslimin itu tetap berpegang teguh pada ajaran Islam, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang, serta berusaha menyiapkan apa yang diperlukan untuk pertahanan agama, niscaya Allah akan menjamin kemenangan mereka, dan sedikitpun tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memperoleh kemenangan atas orang-orang mukmin (Gani, et.all, 1995: 326).

j. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 143

ُهَل َد ِجَت نَلَف ُ َّاللَّ ِلِلْضُي نَم َو ِۚء َلاُؤ َه ىَلِإ َلا َو ِء َلاُؤ َه ىَلِإ َلا َكِل َذ َنْيَب َنيِبَذْبَذُّم ًلايِبَس

/mużabżabīna ba na żālika lā ˋilā hāˋulāˋi walā ˋilā hāˋulāˋi wa man yuḍlillahu falan tajida lahu sabīlan/ ‘Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Jalan yang dimaksud termasuk ke dalam makna konteks linguistik yang memiliki makna ‘petunjuk’.

Allah menegaskan bahwa barangsiapa yang disesatkan dari hidayah Allah, maka tidak ada yang dapat menolong dan tidak ada yang dapat menunjukkannya kepada jalan yang benar yang akan melepaskan mereka dari kesesatan itu (Gani, et.all, 1995: 328).

k. Kata ليهبَس /Sabīlan/ pada ayat 150

ُن ِم ْؤُن َنوُلوُقَي َو ِهِلُس ُر َو ِ َّاللَّ َنْيَب اوُق ِّرَفُي نَأ َنوُدي ِرُي َو ِهِلُس ُر َو ِ َّللَّاِب َنو ُرُفْكَي َنيِذَّلا َّنِإ ٍضْعَبِب ُرُفْكَن َو ٍضْعَبِب

َنوُدي ِرُي َو َكِل َذ َنْيَب اوُذ ِخَّتَي نَأ ًلايِبَس

/ˋinnallażīna akfurūna billahi wa rusulihi wa urīdūna ˋan ufarriqū ba nallahi wa rusulihi wa aqūlūna nuˋminu biba’ḍin wanakfuru biba’ḍin wa urīdūna ˋan attakhiżū ba na żālika sabīlan/ ‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)’

Pada ayat diatas, kata ًلايِبَس /sabīlan/ bermakna jalan. Jalan yang dimaksud termasuk ke dalam makna konteks linguistik yang memiliki makna ‘sebagian beriman dan sebagian kafir’. Allah menghendaki agar ajaran al-Qur’an diterima dan dilaksanakan secara utuh sehingga tidak terjadi pemisahan dalam akidah, syariat, dan akhlak (Shihab, 2007: 639).

3.2.1.4 Makna Kontekstual Kata َليهبَسلا /assabīla/

Kata َليِبَّسلا /assabīla/ ini hanya terdapat dalam surah an-Nisa ayat 44, sebagaimana berikut ini:

a. Kata َليهبَسلا /assabīla/ pada surah an-Nisa ayat 44

اوُّل ِضَت نَأ َنوُدي ِرُي َو َةَل َلاَّضلا َنو ُرَتْشَي ِباَتِكْلا َنِّم اًبي ِصَن اوُتوُأ َنيِذَّلا ىَلِإ َرَت ْمَلَأ َليِبَّسلا

/ˋalam tara ˋila allażīna ˋūtū naṣī am minal kitābi as tarūna aḍḍalālata wa urīdūna ˋan-taḍillū assabīla/ ‘Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bahagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).’

Kata َليِبَّسلا /assabīla/ merupakan isim ma’rifah yang bermakna ‘jalan yang tertentu’. Kata tersebut termasuk ke dalam konteks linguistik. Pada ayat di atas, kata َليِبَّسلا /assabīla/ ‘jalan’ secara strukturnya didahului oleh kalimat اوُّل ِضَت نَأ /ˋan-taḍillū/ ‘agar kamu sesat’. Hal yang digambarkan dalam ayat tersebut yakni mereka (bangsa Yahudi) bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan yang benar; ajaran Allah (pada zaman itu kitab yang mereka terima ialah kitab Taurat). Dengan demikian, kata َليِبَّسلا /assabīla/ disini bermakna kitab Taurat. Hal ini dipertegas pula dengan adanya kata ِباَتِكْلا /al kitābi/ ‘kitab’ dalam ayat tersebut. Kemudian, hal ini dijelaskan dalam tafsir sebagaimana berikut : Mereka yaitu orang-orang Yahudi selalu memutar balikkan ayat-ayat Taurat dan menukar hidayah dengan kesesatan untuk menyesatkan manusia dan untuk mencari keuntungan duniawi. Mereka menerima kitab dari Allah dengan perantara RasulNya dan mereka hanya mengambil sebagian dari isi kitab itu sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, bahkan mereka banyak pula merubah-rubah dan menambahkannya (Gani, et.all, 1995: 196-197).

3.2.2.3 Makna Kontekstual Kata هليهبَس /Sabīli/

Kata ِليِبَس /sabīli/ ini hanya terdapat dalam surah an-Nisa ayat 74, 75, 76, 89, 94, 95, 100, 115, 160, 167. Selanjutnya, dalam surah al-Maidah ayat 12, 35, 54, 60, 77 dan juga dalam surah al-An’am ayat 116, 117, sebagaimana berikut ini:

a. Kata هليهبَس /Sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 43

ِإ اًبُنُج َلا َو َنوُلوُقَت اَم اوُمَلْعَت ىَّتَح ى َراَكُس ْمُتنَأ َو َة َلاَّصلا اوُب َرْقَت َلا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأاَي َع َّلا

ٍليِبَس ي ِرِبا

ِطِئاَغْلا َنِّم مُكن ِّم دَحَأ َءاَج ْوَأ ٍرَفَس ىَلَع ْوَأ ىَض ْرَّم مُتنُك نِإ َو ۚاوُلِسَتْغَت ىَّتَح ًءاَم اوُد ِجَت ْمَلَف َءاَسِّنلا ُمُتْسَم َلا ْوَأ

ا ًروُفَغ ا ًّوُفَع َناَك َ َّاللَّ َّنِإ ْۗمُكيِدْيَأ َو ْمُكِهوُج ُوِب اوُحَسْماَف اًبِّيَط اًديِعَص اوُمَّمَيَتَف

/ ā ˋa uhā llażīna ˋāmanū lā taqrabū aṣṣalāta wa ˋantum sukārā ḥattā ta’lamū mā taqūlūna walā unuban ˋilla ābirī sabīlin ḥattā ta tasilū wa ˋinkuntum marḍā ˋaw alā safarinn ˋaw āˋa ˋaḥadum mina al āˋiṭi ˋaw lā mastumu nnisāˋa falam ta idū māˋan fata ammamū ṣa’īdan ṭayyiban

famsaḥū biwu ūhikum waˋa dīkum ˋinnallaha kāna afuwwan afūran/

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.’

Kata ٍليِبَس /sabīli/ pada ayat di atas bermakna ‘jalan’ didahului oleh kata يِرِباَع / ābirī/ ‘sekedar’ sehingga terbentuklah sebuah frasa ٍليِبَس ي ِرِباَع / ābirī sabīlin/ ‘sekedar jalan’. Hal ini menjelaskan bahwa sekedar jalan yang dimaksud yaitu mereka yang berada di jalan Allah yakni tidak mabuk dan tidak dalam keadaan junub. Makna ini termasuk ke dalam makna konteks situasi.

Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana seharusnya seseorang melakukan shalat, agar ia benar-benar suci lahir batinnya sehingga sempurna persiapannya untuk menghadap Tuhannya. Orang mukmin dilarang melaksanakan shalat dalam keadaan hadas besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah (Gani, et.all, 1995: 191-193).

b. Kata هليهبَس /Sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 74

ْلِتاَقُي نَم َو ِۚة َر ِخ ْلْاِب اَيْنُّدلا َةاَيَحْلا َنو ُرْشَي َنيِذَّلا ِ َّاللَّ ِليِبَس يِف ْلِتاَقُيْلَف ِ َّاللَّ ِليِبَس يِف

ِهيِت ْؤُن َف ْوَسَف ْبِلْغَي ْوَأ ْلَتْقُيَف

اًمي ِظَع ا ًرْجَأ

/fal uqātilu fī sabīlillahi al-lażīna as rūnal ḥa āta ad-dun ā bilˋākhirati wa man uqātil fī sabīlillahi fa uqtal ˋaw a lib fasawfa nuˋtīhi ˋa run aẓīman/ ‘Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.’

Pada ayat diatas, kata ِليِبَس /sabīli/ diikuti kata َِّاللَّ /Allahi/ menjadi frasa ِليِبَس َِّاللَّ /sabīlillahi/ ‘jalan Allah’. Frasa ini termasuk ke dalam makna konteks linguistik sehingga makna dari jalan Allah ialah ‘menukar kehidupan dunia dengan kehidupan berperang’. Sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir: oleh karena itu hendaklah orang-orang yang benar-benar beriman, sehingga menjual, yakni besedia menukar dan mengorbankan kehidupan dunia mereka dengan segala kegemerlapannya dengan kehidupan akhirat yang dijanjikan Allah, dengan berperang di jalan Allah membelakebenaran dan keadilan (Shihab, 2007: 507).

c. Kata هليهبَس /Sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 75

َنوُلِتاَقُت َلا ْمُكَل اَم َو َِّاللَّ ِليِبَس يِف

ْنِم اَنْج ِرْخَأ اَنَّب َر َنوُلوُقَي َنيِذَّلا ِناَدْلِوْلا َو ِءاَسِّنلا َو ِلاَج ِّرلا َنِم َنيِفَعْضَتْسُمْلا َو

ِم اَنَّل لَعْجا َو اَهُلْهَأ ِمِلاَّظلا ِةَي ْرَقْلا ِهِذ َه ا ًري ِصَن َكنُدَّل ن ِم اَنَّل لَعْجا َو اًّيِل َو َكنُدَّل ن

/wa mā lakum lā tuqātilūna fī sabīlillahi walmustaḍ’afīna mina ar-ri āli wa an-nisāˋi walwildāni llażīna aqūlūna rabbanā ˋakhri nā min hażihil qaryati aẓ-ẓalimi ˋahluhā wa ’al lanā min ladunka wali an wa ’al lanā min ladunka naṣīran/ ‘Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!".’

Pada ayat diatas, kata ِليِبَس /sabīli/ diikuti kata َِّاللَّ /Allahi/ menjadi frasa َِّاللَّ ِليِبَس /sabīlillahi/ ‘jalan Allah’. Sebagaimana yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, frasa ini termasuk ke dalam makna konteks linguistik sehingga makna dari jalan Allah ialah meninggikan kalimat Allah, membela saudara-saudara se-agama, membela hak-hak asasi manusia dan menegakkan norma-norma akhlak yang tinggi bukan untuk memperbudak atau menjajah atau untuk menguasai sesuatu bangsa atau negara atau hak-hak orang lain (Gani, et.all, 1995:

229).

d. Kata هليهبَس /Sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 76

ُرَفَك َنيِذَّلا َو ِْۖ َّاللَّ ِليِبَس يِف َنوُلِتاَقُي او ُرَفَك َنيِذَّلا َو ِْۖ َّاللَّ ِليِبَس يِف َنوُلِتاَقُي اوُنَمآ َنيِذَّلا َنوُلِتاَقُي او

ِليِبَس يِف ِتوُغاَّطلا

اًفيِعَض َناَك

/al-lażīna ˋāmanū uqātilūna fī sabīlillahi wallażīna kafarū uqātilūna fī sabīlillahi wallażīna kafarū uqātilūna fī sabīli aṭ-ṭā ūti kāna ḍa’īfan/

‘Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.’

Pada ayat diatas, kata ِليِبَس /sabīli/ diikuti kata َِّاللَّ /Allahi/ menjadi sebuah frasa ِ َّاللَّ ِليِبَس /sabīlillahi/ ‘jalan Allah’. Frasa ini mengandung makna konteks linguistik ‘menegakkan keadilan dan membela kebenaran’. Hal ini ditegaskan dalam tafsir: orang-orang mukmin berperang untuk menegakkan keadilan dan membela kebenaran, sedang orang-orang kafir berperang adalah karena mengikuti hawa nafsu yang dikendalikan oleh setan (Gani, et.all, 1995: 230).

e. Kata هليهبَس /sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 89

يِف او ُر ِجاَهُي ىَّتَح َءاَيِل ْوَأ ْمُهْنِم اوُذ ِخَّتَت َلاَف ًْۖءا َوَس َنوُنوُكَتَف او ُرَفَك اَمَك َنو ُرُفْكَت ْوَل اوُّد َو ِۚ َّاللَّ ِليِبَس

ا ْوَّل َوَت نِإَف

َلا َو ْْۖمُهوُمُّتدَج َو ُثْيَح ْمُهوُلُتْقا َو ْمُهوُذُخَف ا ًري ِصَن َلا َو اًّيِل َو ْمُهْنِم اوُذ ِخَّتَت

/waddū law takfurūna kamā kafarū fatakūnūna sawāˋan falā tattakhiżū minhum ˋawli āˋa ḥattā uhā irū fī sabīlillahi faˋin tawallaw fakhużūhum waqtulūhum ḥayṡu wa attumūhum wa lā naṣīran/ ‘Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.

Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.’

Pada ayat diatas, kata ِليِبَس /sabīli/ ‘jalan’ didahului oleh huruf يِف /fī/ ‘di, kepada’ sehingga terbentuk frasa ِليِبَس يِف / fī sabīli/ ‘demi untuk, ke arah’.

Kemudian, kata ِليِبَس /sabīli/ pada ayat di atas diikuti kata َِّاللَّ /Allahi/ ‘Allah’

sehingga menjadi ِ َّاللَّ ِليِبَس /sabīlillahi/ ‘jalan Allah’. Frasa َِّاللَّ ِليِبَس يِف /fī sabīlillahi/

ini termasuk ke dalam konteks situasi yaitu ‘agama Allah/Islam’. Hal ini dapat dilihat pada pangkal ayat اوُرَفَك اَمَك َنو ُرُفْكَت ْوَل اوُّد َو /waddū law takfurūna kamā kafarū/ ‘mereka ingin supaya kamu kafir’.

f. Kata هليهبَس /Sabīli/ pada surah an-Nisa ayat 94

ْمُتْب َرَض اَذِإ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأاَي َِّاللَّ ِليِبَس يِف

َنوُغَتْبَت اًن ِم ْؤُم َتْسَل َم َلاَّسلا ُمُكْيَلِإ ىَقْلَأ ْنَمِل اوُلوُقَت َلا َو اوُنَّيَبَتَف

مُتنُك َكِل َذَك ۚ ة َريِثَك ُمِناَغَم ِ َّاللَّ َدنِعَف اَيْنُّدلا ِةاَيَحْلا َض َرَع َُّاللَّ َّنَمَف ُلْبَق نِّم

ا ًريِبَخ َنوُلَمْعَت اَمِب َناَك َ َّاللَّ َّنِإ ۚاوُنَّيَبَتَ ْمُكْيَلَع

/ āˋa uhallażīna ˋāmanū ˋiżā ḍarabtum fī sabīlillahi fataba anū walā taqūlū liman ˋalqā ˋila kumussalāma lasta muˋminan tabta ūna araḍal ḥa ātid dun ā fa’indallahi ma ānimu kaṡīratun każālika kuntum min qablu famannallahu ala kum fataba anū ˋinnallaha kāna bimā ta’malūna khabīran/ ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang)

/ āˋa uhallażīna ˋāmanū ˋiżā ḍarabtum fī sabīlillahi fataba anū walā taqūlū liman ˋalqā ˋila kumussalāma lasta muˋminan tabta ūna araḍal ḥa ātid dun ā fa’indallahi ma ānimu kaṡīratun każālika kuntum min qablu famannallahu ala kum fataba anū ˋinnallaha kāna bimā ta’malūna khabīran/ ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang)

Dokumen terkait