• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yayasan Kanisius dalam Catatan Sejarah

GERAKAN REAKTUALISASI KANISIUS

A. Makna Sebuah Reaktualisasi

Reaktualisasi adalah sebuah proses, cara, perbuatan yang berhubungan dengan

penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai kehidupan masyarakat.46 Reaktualisasi mengandaikan adanya usaha keras, bahkan tidak jarang menuntut ‘kurban’ atau pengorbanan tertentu. Pengorbanan di sini berarti membutuhkan tenaga, biaya yang tidak murah, serta waktu yang tidak sebentar. Selain menuntut keterlibatan orang-orang tertentu, dalam prosesnya reaktualisasi menuntut pemahaman yang sungguh-sungguh akan kepentingan serta cita-cita yang akan dicapai.

Reaktualisasi bagi Kanisius berarti berupaya kembali menjadi aktual. Aktual artinya up date, sesuai dengan zamannya (terkini), tidak ketinggalan zaman atau kadaluwarsa. Menjadi aktual artinya menanggapi situasi zaman dengan cara-cara yang sedang trend saat ini, yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman sekarang. Konsekuensi menjadi aktual adalah membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, dan secara bijak mengoreksi diri, serta melangkah dengan cara-cara yang baru dan positif.

Menjadi aktual bukan sekedar ikut-ikutan. Menjadi aktual mengandaikan adanya nilai-nilai keutamaan tertentu yang masih dianggap paling baik dan pantas diperjuangkan. Untuk menjadi aktual, berarti Kanisius harus dapat ‘menjual’

46

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Balai Pustaka, hlm. 936

sesuatu, harus memiliki ‘nilai jual’ (selling point) tertentu. Reaktualisasi menuntut kemampuan melihat dan memanfaatkan peluang, mengubah tantangan menjadi peluang, hambatan menjadi batu asahan atau sahabat, dengan segala kemungkinannya. Nilai yang diperjuangkan Kanisius dengan rekatualisasinya adalah kembali menjadi ‘sang pelopor’ dalam bidang pendidikan untuk mengembalikan segala penilaian dan manfaat pada masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjadi aktual? Secara teoritis, menjadi aktual berarti mampu melihat dan mengenali kebutuhan masyarakat di sekitarnya, serta berani menempuh usaha-usaha tertentu demi prinsip-prinsip universal yang ditawarkan pada situasi masyarakat. Usaha-usaha tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan dinamika budaya yang hidup dan berkembang di daerah yang bersangkutan.

Dalam dinamika hidup Kanisius, segala sesuatu yang aktual dimulai dari tema-tema kerja dan praksis di lapangan. Maka, perlu mempertanyakan, “apa yang aktual saat sekarang?” Masyarakat dewasa ini disodori beragam informasi dalam jumlah amat besar melalui beraneka media. Dengan tumpukan informasi tersebut, manusia berupaya mensikapinya dengan kemampuan taktis dan serba cepat tanpa melalaikan detil-detil penting.47

Fenomena ‘akrab dengan yang serba cepat’ tersebut membawa inspirasi bagi karya pelayanan Kanisius. Pelayanan dalam bidang pendidikan pun perlu memiliki “aspek percepatan” tertentu. Kanisius menawarkan pelayanan ketrampil-an “layak jual-berguna untuk hidup praktis”.

47

Mario Garcia, “Desain untuk Pembaca Era Digital” dalam Opini KOMPAS No.1 Tahun ke-41, Selasa 28 Juni 2005, hlm.6

Penting untuk dicatat di sini, reaktualisasi Kanisius pertama-tama tidak

dimaksudkan untuk mendongkrak perolehan siswa baru yang akan meng-gelembungkan jumlah siswa yang dimiliki oleh sekolah-sekolah Kanisius. Tetapi, gerakan tersebut ingin mengembalikan suatu manfaat optimal dari karya pendidikan Kanisius kepada masyarakat (siswa itu sendiri). Dengan kata lain, Kanisius ingin memperbaiki kualitas karya pendidikannya dari dalam, agar up to date di setiap zaman, sekaligus menanggapi tantangan di setiap zaman. Pola pendidikan Kanisius yang aktual dan berkompeten, diharapkan menjadi ‘nilai jual’ tersendiri sekaligus menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi para orangtua yang ingin menyekolahkan putra-putrinya.

B. Cita-cita Awal Pendiri sebagai Titik Pijak Semangat Reaktualisasi

Menengok sebentar pada catatan sejarah, Van Lith SJ melihat perlunya mendirikan sekolah-sekolah Katolik, dengan alasan48, pertama, sekolah-sekolah tersebut akan menjadi tempat menabur sabda dalam masyarakat melalui guru yang digembleng sendiri; kedua, memberi kesempatan belajar untuk anak-anak yang belum mendapat kesempatan belajar. Dalam perjalanan waktu, cita-cita tersebut tetap dihidupi dan dijunjung tinggi, dengan aplikasi-aplikasi yang berbeda seiring tantangan dan peluang di setiap zaman. Tak terkecuali, gerakan reaktualisasi yang dicanangkan oleh pengelola Kansisius, dalam periode 1997 – 2010.

Sejak berdirinya hingga pada peringatan usia 89 tahun (1918-2007), sekolah-sekolah Kanisius telah hidup dalam pelbagai tantangan. Berbekal kesetiaan pada

48

Sardi SJ., “Karya Persekolahan Yayasan Kanisus” dalam Yayasan Kanisius setelah 75 Tahun, hlm.16

cita-cita awal pendiri, semua tantangan dapat dihadapi dengan baik. Dalam refleksinya, Yayasan Kanisius cabang Yogyakarta mampu menemukan satu keutamaan yang senantiasa menjadi alasan untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan karya persekolahan Kanisius.

Cita-cita awal yang terus berkobar tersebut, pada zaman sekarang ‘diterjemahkan’ dalam sebuah orientasi baru yang memperjuangkan segi Human Investment-nya dari sebuah karya pendidikan.49 Di sini, pendidikan lebih dipahami sebagai ‘investasi manusia’ untuk masa depannya. Demi nilai investasi manusia tersebut, Kanisius tidak lagi mengutamakan kualitas siswa dengan standar ukuran nilai akademik. Nilai kemampuan akademik tetap mendapat tempat. Akan tetapi, ketrampilan-ketrampilan untuk bekal hidup dan “nilai jual” yang lebih baik akan mendapat jatah yang sesuai. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kebudayaan setempat.

Berangkat dari cita-cita awal serta orientasi baru pada human investment, dalam gerakan reaktualisasinya, Kanisius perlu merancang suatu sistem yang terbuka bagi anak-anak yang berbakat agar memperoleh bekal yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi mereka. Harapannya, supaya mereka dapat menempati posisi kehidupan yang lebih baik, bertanggung jawab atas hidup sesuai dengan kemampuan dan pengayaan ketrampilan yang mereka peroleh.

Tak terkecuali bagi anak-anak dari keluarga miskin, pendidikan adalah hak semua anak. Anak berhak mengetahui apa yang harus mereka ketahui. Mereka

49

T. Suyudanta SJ., Materi Pertemuan Para Kepala Sekolah TK – SD Kanisius Sleman, Kotamadia, dan Kulon Progo, Padhepokan Guru Kanisius Shanti Dharma di Wisma Albertus, Godean, Yogyakrta, 13 September 2003.

berhak memperoleh kemudahan agar semakin dekat pada pengetahuan yang layak mereka dapatkan. Gereja berkewajiban menjadi pelayan bagi anak-anak. Tidak salah mengusahakan kemandirian seseorang. Tidak ada yang salah dengan usaha membangun mentalitas mandiri dan mau berusaha serta pantang menyerah dalam diri seseorang. Sebaliknya, tidak ada yang salah dengan usaha untuk memberi dengan sukarela kepada orang-orang miskin yang memang tidak mampu.50

Kesadaran akan pendidikan yang juga dimiliki anak-anak dari keluarga miskin menjadi salah satu semangat Van Lith SJ untuk memberi hati kepada anak-anak dari keluarga miskin tersebut. Kemiskinan tidak menghapus status anak-anak-anak-anak menjadi ‘bukan anak-anak’. Miskin secara ekonomi bukan berarti tanpa kemampuan sama sekali dalam bidang kehidupan lain. Van Lith memahami kesetaraan martabat dalam diri setiap manusia, maka ia menghendaki kemandirian dapat dibekalkan anak-anak miskin agar mereka dapat terbuka dan mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Sekolah-sekolah Kanisius tetap terbuka bagi mereka yang miskin tetapi ingin maju dalam kehidupannya.

C. Tema-tema Gerakan Reaktualisasi Kanisius

Reaktualisasi pertama-tama tidak dimaksudkan sebagai ‘mesin’ atau ‘obat mujarab’ pendongkrak jumlah siswa di sekolah-sekolah Kanisius yang kian hari kian menyusut. Reaktualisasi diarahkan pada idealisasi membentuk siswa yang bermutu unggul sebagai tujuan utama. Kepentingan pengembangan keunggulan

50

Y.B. Mangunwijaya, “Gereja dan Pendidikan dalam Situasi Kini yang serba Kompleks” dalam Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, hlm. 348.

mutu siswa, pada prakteknya dimulai dari beberapa usaha pembenahan dalam setiap anggota tubuh Kanisius.

Proses reaktualisasi itu sendiri hanyalah sarana. Yang menjadi tujuan

(goal) adalah pembenahan dalam tubuh Kanisius yang akan membuahkan suatu pendidikan yang berkualitas dan tanggap terhadap kebutuhan arus zaman yang coba direalisasikan oleh sekolah-sekolah Kanisius. Diharapkan, pelayanan karya pendidikan sekolah-sekolah Kanisius dapat menjadi yang terbaik dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Gerakan reaktualisasi Kanisius berangkat dari Materi Pertemuan Kepala Sekolah, yang mempersiapkan tema-tema reaktualisasi Kanisius. Melalui materi pertemuan kepala sekolah, Kanisius dapat menyampaikan segala informasi dan kemajuan yang dialami setiap sekolah kepada komunitas sekolah yang lain. Materi dibagikan kepada setiap kepala sekolah pada tanggal-tanggal awal di setiap bulannya. Dalam lembaran tersebut, dituliskan perkembangan masing-masing komunitas sekolah selama satu bulan sebelumnya.

Materi tidak hanya sebagai bukti tertulis tentang perkembangan masing-masing sekolah, tetapi lebih sebagai usaha membangkitkan potensi, “semangat daya saing, jiwa kritis mau berusaha” setiap anggota komunitas sekolah Kanisius untuk berusaha semakin baik. Materi pertemuan adalah alat bantu bagi penyusunan upaya-upaya yang terstruktur baik, sistematis dan berkelanjutan.

Harapan Kanisius, dengan materi pertemuan kepala sekolah tersebut, mulai terbangun kondisi saling bantu, saling mengingatkan dan keterbukaan antar

sesama anggota komunitas sekolah. Selanjutnya, akan berkembang sifat keterbukaan yang mengarah pada tertib administrasi, transparansi kebijakan dan kejujuran para pengelolanya. Tiga sifat baik tersebut perlu untuk membangun kesadaran, kerelaan, kerendahan hati setiap anggota komunitas sekolah dalam rangka alih tugas dan regenerasi demi kelangsungan karya di masa yang akan datang.

Sampai dengan tahun 2010, gerakan reaktualisasi Kanisius akan meng-usung tema-tema sebagai berikut: Pengembangan kepemimpinan yang partisipatif, Kesiswaan, Sumber daya manusia, Fisik, Sarana dan prasarana, Keuangan dan Jejaring (networking).

1. Pengembangan Kepemimpinan Partisipasif

Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, dalam rentang waktu 2003-2009 akan ada 200 guru dan karyawan Kanisius yang memasuki usia pensiun. Artinya, dalam kurun waktu 6 tahun akan ada 200 guru dan karyawan baru yang akan bergabung dengan Kanisius; bila dirata-rata, pertahun akan ada 67 guru dan karyawan baru untuk Kanisius, dan per bulan rata-rata 6 orang.51 Dengan kondisi demikian, Kanisius perlu mempertimbangkan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama.

Kanisius mencoba memberlakukan sistem desentralisasi kekoordinatoran sekolah pada jenjang TK dan SD. Desentralisasi tidak dimaksudkan untuk memecah-belah Kanisius, tetapi lebih pada semakin meluaskan jangkauan kerja

51

T. Suyudanta SJ., Materi Pertemuan Para Kepala Sekolah TK-SD Kanisius Sleman, Kotamadya dan Kulon Progo, Padhepokan Guru Kanisius Shanti Dharma di Wisma albertus, Godean, Yogyakarta, 13 September 2003.

sebuah kebijakan yang telah diadaptasikan dengan situasi lokal. Dengan menempatkan orang-orang yang memegang peran kunci dalam bidang masing-masing, Kanisius membangun kepercayaan pada pribadi-pribadi yang tidak lain adalah guru dan karyawan sendiri.

Desentralisasi menghapus kekoordinatoran ‘terpusat’ yang berada di tingkat propinsi, tetapi membaginya ke dalam 5 kekoordinatoran tingkat kota dan kabupaten. Kelima kekoordinatoran tersebut adalah koordinatorat Kota Yogyakarta, koordinatorat Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul. Setiap ketua koordinatorat diutus sebagai wakil dari wilayah kerja masing-masing untuk bergabung menjadi satu kekoordinatoran bersama dengan Direktur Kanisius.

Ada beberapa pertimbangan yang membidani munculnya kebijakan desentralisasi tersebut.52 Pertama, menghindari kekacauan dan mencegah munculnya kesan tumpang tindih di tingkat propinsi berkaitan dengan peran koordinator dan peran Direktur Karya Kanisius. Kedua, tiap kota dan kabupaten memiliki gerak kebijakan, kebutuhan dan keprihatinan yang berbeda. Dengan demikian, tidak ada pihak yang lebih mengenal keadaan daerah kota dan kabupaten kecuali pribadi-pribadi yang tinggal dan berkarya di wilayah/lokal yang bersangkutan.

Di bawah koordinasi Direktur Kanisius, masing-masing wakil dari kelima wilayah kerja tersebut bertanggung jawab atas salah satu kelima bidang yang dikembangkan Kanisius. Kelima bidang tersebut meliputi kesiswaan,

52

ketenagakerjaan (SDM), sarana dan prasarana, pendanaan dan jejaring kerjasama. Pengembangan kepemimpinan partisipatif dapat berlangsung dengan baik manakala ada kesinambungan di antara Visi-Misi-Strategi Kanisius yang tersosialisasi dengan baik. Materi Pertemuan Kepala Sekolah menjadi sarana yang baik untuk menciptakan sekaligus menjamin kesinambungan tersebut.

2. Kesiswaan

Untuk melihat maju berkembangnya atau situasi sebaliknya suatu sekolah dapat diukur dengan dengan melihat keadaan jumlah siswanya. Total pergedungan sekolah Kanisius di Daerah Istimewa Yogyakarta dirancang untuk menampung siswa dengan kapasitas ideal 18.000 anak. Mereka terdiri atas siswa TK hingga SMA. Namun, jumlah tersebut makin hari makin berkurang. Per tahun, bangku terisi berkisar antara 52,80% hingga 58,88% -nya saja, dengan jumlah siswa rata-rata 19-21 orang; meski faktanya ada kelas yang berisi 4 siswa saja, ada juga yang berisi sampai dengan 54 siswa.53

Meski Kanisius telah mulai berkonsentrasi pada perkembangan mutu siswa, namun usaha peningkatan jumlah siswa pun tetap terus diupayakan. Alasannya.54 Pertama, jumlah siswa berkait dengan besar pemasukan SPP yang harus dibagikan pada guru sebagai gaji. Kedua, jumlah siswa yang semakin me-nyusut merupakan tantangan tersendiri bagi Gereja dalam cita-citanya membangun generasi muda Gereja yang militan.

53

T. Suyudanta SJ., Materi Pertemuan Kepala Sekolah Kanisius, tanggal 3-5 Juli 2000

54

Usaha pengembangan jumlah siswa oleh Kanisius dilaksanakan dengan menambah daya tarik sekolah serta menggalakkan promosi secara intensif. Pengembangan daya tarik dan pengintensifan promosi terkait erat dengan jumlah orang tua yang mempercayakan anaknya ke sekolah Kanisius. Orangtua seumpama ‘pengguna jasa’ yang tertarik dengan suatu penawaran karena mengenal keunggulan tertentu.

Keunggulan sekolah dalam hal kegiatan belajar-mengajarnya dapat dilihat pada keadaan dan dinamika yang terjadi di sekolah pada kesehariannya. Hal-hal yang dapat dijadikan sebagai indikatornya, antara lain, siswa belajar dengan gembira, bukan dengan berat hati; kepala sekolah dan para guru selalu berusaha untuk kreatif dan menarik dalam menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya. Segenap civitas accademica suatu sekolah mempunyai kewajiban untuk menciptakan keunggulan, sekaligus mempromosikan keunggulan tersebut melalui hasil-hasil konkret sekolah.

Dalam rangka mempromosikan keunggulan-keunggulannya, tidak dianjur-kan agar para insan Kanisius memperkenalkan sekolah Kanisius sebagai sekolah miskin. Disadari bahwa setiap orang tua berusaha menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang baik. Mereka tidak punya rencana untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah miskin. Dengan bangga, Kanisius memperkenalkan diri sebagai

sekolah yang peduli dengan masyarakat.

Itulah keunggulan Kanisius. Itulah pilihan Kanisius yang sampai saat ini tetap dibanggakan dan membuat semua pihak merasa memiliki kewajiban untuk tetap melestarikan dan mengembangkan karya demi kemanusiaan ini. Segala

upaya terus dilakukan guna mengembangkan jumlah siswa yang mempercayakan diri untuk dididik di sekolah Kanisius. Berikut adalah beberapa tindak upaya peningkatan jumlah siswa yang dilakukan oleh Kanisius.55

Pertama, senantiasa mengembangkan hubungan dan kerjasama yang baik dengan Gereja setempat, yaitu pastor paroki, dewan paroki, pengurus wilayah/ lingkungan dan umat setempat. Konkretnya, para guru dan siswa diupayakan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja setempat. Kedua, pada beberapa kesempatan dalam kegiatan gereja, pihak sekolah mempresentasikan berbagai kegiatan sekolah. Ketiga, pihak sekolah aktif dalam aneka kegiatan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keempat, komunitas sekolah ikut mengembangkan seni budaya yang populer di lingkungan setempat. Kelima, secara bertahap membenahi sarana fisik bangunan dan melengkapi sarana belajar dan menambah latihan ketrampilan.

Keikutsertaan komunitas sekolah dalam mengembangkan dan melestarikan budaya lokal terbukti sangat efektif bila dipandang dari segi promosi suatu sekolah. Sebagai contoh, di desa Minggir, Sleman, SD Kanisius Minggir mengembangkan seni karawitan, tari dan ketoprak; di desa Trengguno-Wonosari, SD Kanisius Trengguno mengembangkan kesenian reog, jatilan dan campursari. Dalam setiap keramaian desa, kedua sekolah tersebut secara tetap menjadi salah satu pengisi acara yang dinanti-nantikan. Penampilan mereka dinanti-nantikan bukan karena mereka adalah penghibur profesional, akan tetapi karena mereka

55

adalah anak-anak desa yang bersangkutan, anak-anak desa yang mencoba tampil profesional.

Selain kuantitas siswa, gerakan reaktualisasi Kanisius juga menyentuh upaya-upaya terciptanya mutu siswa. Sekolah-sekolah Kanisius Yogyakarta memiliki siswa yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Proses kegiatan belajar-mengajar dituntut baik, benar, tepat dan utuh. Otak, hati dan tangan harus dikembangkan dengan baik. Program-program kurikulum, kepedulian sosial, penghayatan ajaran agama dan ketrampilan untuk hidup harus dikelola dengan baik. Dengan pertimbangan tersebut, Kanisius memberi kesempatan lebih leluasa bagi sekolah-sekolah untukmengembangkan kembali pelajaran prakarya dan seni.56

Pada prinsipnya, pelajaran ketrampilan dan seni harus mendapat tempat dalam kurikulum sekolah-sekolah Kanisius dan dikelola dengan baik. Kanisius memulai dengan mengadakan pertemuan rutin antara guru/pembina pelajaran ketrampilan dan seni di kantor Kanisius dengan mendatangkan narasumber. Kanisius akan mengusahakan seniman, usahawan, dan pakar lain yang terkait dalam rangka menumbuh-kembangkan jiwa wirausaha sejak dini.57

Secara bertahap, dengan usaha bersama dan keikutsertaan semua pihak, Kanisius akan terus melengkapi sarana-prasarana di tiap-tiap sekolah dengan jumlah ruang yang cukup, inventaris, alat-alat, tempat pamer hasil karya. Kanisius

56

T. Suyudanta SJ., Kanisius berusaha Mandiri 4

57

Maraknya pelatihan ini dapat dilihat pada Materi Pertemuan Kepala Sekolah periode Mei-Desember 2000. Pada tahun-tahun berikutnya, pelatihan sejenis menjadi semakin terarah pada ketrampilan wirausaha yang mendukung pemasukan (income) bagi siswa, guru dan karyawan Kanisius.

juga membuka kesempatan bagi sekolah-sekolah yang memiliki kemampuan tertentu untuk mengikuti pameran, bazaar, di berbagai tempat sebagai ajang promosi dan dorongan bagi siswa dan guru, sekaligus untuk menumbuh-kembangkan jiwa wirausaha. Sebagai contoh, bazaar dan pameran di Hotel Grand Mulia Jakarta, bekerja sama dengan perusahaan kue dan roti PRIMAVERA dan

AUSI, pada hari Jumat, 7 September 2001. Sebelumnya, sekolah Kanisius Yogyakarta juga mengikuti pameran di Balai Sidang Senayan Jakarta pada tanggal 15-17 November 2000, atas undangan Woman International Club dan

AUSI.

Setidaknya ada 5 (lima) langkah yang menjadi upaya Kanisius dalam rangka peningkatan mutu siswa. Pertama, berusaha memenuhi jam efektif dan waktu efektif. Kegiatan-kegiatan lain yang memiliki kecenderungan mengurangi jam efektif dan hari efektif perlu dibatasi secara ketat dan diseleksi berturut-turut sesuai dengan tingkat kepentingannya. Kedua, mengembangkan perubahan dan pengayaan mata pelajaran, baik yang diadakan pihak Kanisius maupun puhak lain.

Ketiga, pengelolaan yang baik oleh tenaga-tenaga profesional yang ber-dedikasi tinggi, untuk bidang kegiatan ekstrakurikuler.58 Keempat, senantiasa melatihkan dan meningkatkan tata tertib dan disiplin baik di antara para guru, karyawan dan siswa. Konkretnya, ada kesepakatan dalam bentuk tata tertib yang tidak tertulis, yaitu bahwa kepala sekolah senantiasa hadir lebih awal dari para

58

Sebagai contoh, penambahan mata pelajaran Bahasa Inggris yang dilaksanakan di beberapa TK dan SD Kanisius yang diampu oleh banyak relawan yang tergabung dalam Komunitas

Missionary Temporary Volunter (MTV). Mereka adalah dosen dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta serta beberapa karyawan muda yang tertarik untuk melibatkan diri pada karya wiyata bhakti Kanisius.

guru; para guru datang lebih awal dari siswa. Saat jam pelajaran usai, para siswa pulang terlebih dahulu dari para guru; para guru pulang lebih dahulu dari kepada sekolah.

Kelima, pengembangan kebiasaan kunjungan antar sesama anggota ko-munitas Kanisius. Kunjungan akan memberi pemahaman tambahan dalam memahami situasi tiap keluarga yang sebenarnya. Kunjungan akan menjadi sapaan yang memberi motivasi bagi siswa untuk maju.

Melalui upaya-upaya yang digalakkan, secara khusus Kanisius mendamba-kan agar para siswanya memiliki 4 (empat) keutamaan yang berguna bagi hidup-nya.59 Empat keutamaan tersebut adalah, pertama, Kompetensi (Competence), mengambangkan aneka kemampuan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya sebagai citra Allah. Kedua, Hati Nurani (Conscience), menentukan yang baik, yang benar, dan yang layak, dapat membedakan manakah kehendak Allah dan yang sempurna. Ketiga, Komitmen (Comitment), menentukan dan konsekuen dengan pilihannya. Keempat, Belarasa (Compassion), mempunyai belarasa bagi sesama, terutama kepada mereka menderita. Singkatnya, Kanisius menggambarkan mutu siswa sebagai: “Kesiapan siswa, baik secara mental, spiritual, sosial dan intelektual untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kanisius berusaha agar di sekolah-sekolah Kanisius bertaburan bintang dalam berbagai bidang”.60

59

T. Suyudanta SJ., Kanisius berusaha Mandiri 4

60

3. Sumber Daya Manusia

Sejak tahun 2003, Kanisius mulai menyelenggarakan gerakan reaktualisasi di bidang Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Melalui program penataan, peningkatan dan pengembangan kemampuan dan mutu, para guru dan seluruh karyawan diarahkan pada cita-cita membuka dan menambah wawasan pada potensi dan harapan yang mereka miliki serta tantangan yang harus dihadapi.61 Usaha besar tersebut bermuara pada tumbuh dan berkembangnya semangat pelayanan yang semakin baik dalam bidang pendidikan bagi semua.

Kanisius sadar sepenuhnya bahwa sekolah yang bermutu untuk semua membutuhkan guru-guru yang memiliki profesionalitas kerja yang optimal dan berdedikasi tinggi. Seorang guru harus mampu menghayati profesi guru sebagai

panggilan hidupnya. Sangat disayangkan, guru-guru yang memenuhi kriteria tersebut semakin jarang kita jumpai. Rupanya zaman ini mulai lelah melahirkan guru-guru tangguh, profesional dan berdedikasi tinggi.

Berkurangnya jumlah guru yang memilik profesionalitas dan dedikasi tinggi dipengaruhi oleh pergeseran cara pandang manusia memaknai kriteria

sukses. Di zaman ini, masyarakat mengenal kesuksesan seseorang dipersempit hanya dalam bidang materi dan ekonomi. Untuk dapat meraih kesuksesan dalam kedua bidang kehidupan tersebut, banyak orang cenderung menghalalkan segala

Dokumen terkait