• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekolah-sekolah Kanisius : Yogyakarta reaktualisasi di tengah himpitan situasi jaman sebuah tinjauan sejarah periode 1985-2006 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sekolah-sekolah Kanisius : Yogyakarta reaktualisasi di tengah himpitan situasi jaman sebuah tinjauan sejarah periode 1985-2006 - USD Repository"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SEBUAH TINJAUAN SEJARAH PERIODE 1985 - 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah Di Universitas Sanata Dharma

Oleh :

Widaryanto Ari Nugroho

NIM: 994314016

FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

SEKOLAH-SEKOLAH KANISIUS YOGYAKARTA:

REAKTUALISASI DI TENGAH HIMPITAN SITUASI ZAMAN

SEBUAH TINJAUAN SEJARAH PERIODE 1985 - 2006

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah Di Universitas Sanata Dharma

Oleh

Widaryanto Ari Nugroho

NIM: 994314016

FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN

Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah Saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian lain dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Yogyakarta, 15 Mei 2007

(6)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah Bapa di Surga atas cinta dan kasih karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. Dengan selesainya tulisan ini penulis tidak ingin melupakan pihak-pihak yang telah banyak membantu selama ini. Tanpa mereka penulis tidak akan bisa menyelesikan penulisan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Purwanta, M.A, selaku pembimbing yang sabar membim-bing, memberi dorongan dan semangat, memberikan waktu di antara kesibukannya, memberi nasehat dan masukan agar tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas dorongan dan nasehat demi terselesaikannya penulisan ini.

3. Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, selaku pembimbing akademik yang selalu memberi dorongan dan nasehat agar tulisan ini dapat terselesaikan.

(7)

5. Teman-teman sejarah angkatan 1999, yang telah lulus lebih dahulu, Lusi, Upik, Tuti, Nita, Tiwi Makasih atas dukungannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini dengan baik.

6. Cak Islam dan Mbk. Toyibah. Makasih atas kerelaannya meminjamkan komputer-nya untuk menyelesaikan skripsi ini. Sukses untuk JAGUNG MENTEL-nya. Oche….!!!

7. Kedua orang tuaku, yang telah memberikan dukungan dan doa yang tiada henti-hentinya untukku, terimakasih atas cinta dan kasih sayangnya.

8. M.G Ardiyani dan My little boy Don Boscho Bagas Aryanto yang telah memberi warna baru dalam hidupku. Terima kasih atas cinta, kesabaran, dukungan dan doanya.

9. Semua teman-temanku yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Oleh sebab itu kritik serta saran masih sangat diperlukan untuk kesempurnaannya. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat menambah pengetahuan tentang perjalanan sejarah Sekolah-sekolah Kanisius di Yogyakarta dalam reaktualisasi di tengah himpitan situasi zaman.

Yogyakarta, 15 Mei 2007

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAAN KEASLIAN iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii ABSTRAK ix ABSTRACT x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah 6 C. Tujuan Penulisan 7

D. Manfaat Penulisan 7 E. Tinjauan Pustaka 8 F. Metode Penulisan 10

G. Sistematika Penulisan 12

BAB II MENGENAL SEKOLAH-SEKOLAH KANISIUS DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA A. Yayasan Kanisius Dalam Catatan Sejarah 14

1. Tempo Doeloe 14

2. Yayasan Kanisius Pada Zaman Sekarang 18 B. Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta

Dan Sekolah-Sekolahnya 1 YKC Yogyakarta 20 2. Unit-unit Sekolah Kanisius di

(9)

BAB III MASALAH-MASALAH AKTUAL YANG MENGHIMPIT SEKOLAH-SEKOLAH KANISIUS YOGYAKARTA A. Penurunan Jumlah Siswa di Periode 1985-2006 31 B. Menyurutnya Jumlah Tenaga Pengajar 35

C. Krisis Finansial 38

D. Rencana Induk Pengembangan (RIP) 1997 39 E. Prasangka Kristenisasi 44

BAB IV GERAKAN REAKTUALISASI KANISIUS A. Makna Sebuah Reaktualisasi 48

B. Cita-cita Awal Pendiri Sebagai Titik Pijak Semangat Reaktualisasi 50

C. Tema-Tema Gerakan Reaktualisasi 53

1. Pengembangan Kepemimpinan Partisipatif 55 2. Kesiswaan 57

3. Sumber Daya Manusia 62

4. Bangunan Fisik, Sarana dan Prasarana 65 5. Keuangan & Sumber Dana 68

6. Jejaring Kerjasama 73

BAB V PENUTUP 77

(10)

ABSTRAK

Skripsi ini ditulis oleh Widaryanto Ari Nugroho dengan judul “Sekolah-Sekolah Kanisius di Yogyakarta: Reaktualisasi di Tengah Himpitan Situasi Zaman. Sebuah Tinjauan Sejarah Periode 1985-2006.”

Masalah pokok yang mau diangkat yaitu: Bagaimana Sekolah-sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta mereaktualisasi diri di tengah himpitan situasi Zaman? Hal tersebut ingin menunjuk: gerakan konkret apa yang dilakukan Kanisius dalam rangka reaktualisasi, dan meliputi bidang-bidang apa saja?

Penelitian ini merupakan rekonstruksi sejarah deskriptif-analitis, sehingga dalam penulisannya digunakan teori dan metodologi Sejarah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka. Data-data yang dipergunakan berasal dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku, majalah, arsip-arsip sejarah Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode tahun 1985, sangat kentara ketika sekolah-sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta mulai mengalami “kemerosotan” jumlah siswa, dan pada tahun 2006 sudah mulai nampak keberhasilan dari gerakan reaktualisasi yang dilakukan, paling tidak penurunan jumlah siswa yang cukup tajam sudah mulai terbendung. Adapun tema-tema Gerakan Reaktualisasi yang diusung oleh Kanisius sebagai berikut: Pengembangan Kepemimpinan yang Partisipatif, Kesiswaan, Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana, Keuangan serta Jejaring (networking).

(11)

ABSTRACT

This work was prepared by Widaryanto Ari Nugroho and titled “Sekolah-Sekolah Kanisius di Yogyakarta: Reaktualisasi di Tengah Himpitan Situasi Zaman. Sebuah Tinjauan Sejarah Periode 1985-2006.” (Kanisius Schools in Yogyakarta: Reactualization in the Middle of Changing Eras. A Historical Approach to 1985-2006 Period.)

The subject of this study was how the Yogyakarta Branch of Kanisius Foundation managed to reactualize itself in the middle of changing eras. It referred to what real movements were done by Kanisius, and what aspects were covered.

This was a descriptive and analytical reconstruction of history. To prepare it needed both theories and methodology of history. The methodology was a literature study. Data were tapped from written resources available in various forms including books, periodicals and archives owned by the Yogyakarta Branch of Kanisius Foundation.

The study showed that in 1985 the Kanisius Schools, Yogyakarta Branch, started to get viewer students than before, while in 2006 the Schools had started to gain success in reactualizing itself and manage to overcome the drastically dwindling number of students. The themes of Kanisius self-reactualization were: Participatory Leadership Development, Studentship, Human Resources, Tools and Utilities, Finance and Networking.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ada waktu di mana seluruh Yayasan Kanisius mengalami masa pengembang-an. Sekolah-sekolah Kanisius mendapat murid yang cukup banyak, dan gedung-gedung sekolah dibangun, dan kadang ada sekolah baru yang didirikan. Namun, situasi demikian tidak berlangsung terus. Ketika awal pendirian sekolah-sekolah Kanisius, sekolah lain belum banyak berdiri, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta lainnya. Tidak mengherankan apabila periode 1966-1984 sekolah Kanisius mengalami puncak kejayaannya.1 Genap 89 tahun usia Yayasan

Kani-sius di tahun 2007 ini. Bila diibaratkan dengan manusia, KaniKani-sius adalah orang tua yang sudah uzur, renta, layu, lemah dan tentu tidak menarik lagi. Boleh dikata demikian, karena beberapa karakter tersebut ada atau sudah nampak pada sekolah-sekolah Kanisius. Namun, yang masih tetap ‘tegak berdiri’ adalah cita-citanya. Agar tetap dipegang teguh oleh setiap generasi, Kanisius mengejawantahkan cita-cita awalnya menjadi sebuah visi dan misi yang akan terus dihidupinya.

Visi Yayasan Kanisius adalah, mencerdaskan bangsa lewat pendidikan ber-dasarkan nilai-nilai. Kristiani. Berangkat dari visi tersebut, Kanisius tetap mem-pertahankan iklim/suasana kristiani di sekolah-sekolahnya. Sedangkan misinya:

pertama, menyelenggarakan pendidikan yang terbuka untuk umum (segala suku, agama, ras, dan golongan apa saja), yang secara akademis bermutu; kedua,

1

Paulus Widyawan Widhiasta, “Bersama dengan Kanisius Cabang Yogyakarta” dalam

(13)

memberi perhatian khusus pada tempat-tempat yang tidak ada pendidikan Katolik sebagai tanda solidaritas Gereja dalam mencerdaskan bangsa; ketiga, memberi perhatian khusus kepada mereka yang kemampuan ekonominya terbatas; keempat, sekolah Kanisius tidak boleh miskin agar semua siswa dapat belajar dengan fasilitas yang baik; kelima, memberi perhatian khusus terhadap nilai-nilai abadi/ universal manusia, yakni kejujuran, keadilan, kebenaran, cinta kasih dan kesetia-kawanan; keenam, memberi perhatian khusus terhadap nilai-nilai religius (yang berorientasi pada kesadaran dan kepekaan terhadap kehadiran Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik dalam hidup civitas-nya).2

Mencermati rumusan visi-misi di atas, nampak bahwa Kanisius, sebagai wakil Gereja, sungguh ingin terlibat dalam tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karya pendidikan yang dipilih Kanisius merupakan pemenuhan sebuah tanggung jawab sebagai anggota warga negara yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan. Yang menarik, sepak terjang Kanisius dalam karya pendidikan telah menggugah kesadaran kelompok-kelompok lain untuk ambil bagian dalam mencerdaskan para generasi penerus bangsa ini.

Situasi ‘berkelimpahan’ tersebut berbeda dengan situasi jaman sekarang, ketika pemerintah sudah mempunyai kemampuan untuk membangun dan menyediakan gedung, sekaligus fasilitas lainnya. Demikian juga, sudah banyak sekolah swasta yang didirikan sehingga muncul iklim persaingan dan perebutan siswa, lebih-lebih daerah yang padat sekolah. Kebutuhan akan sekolah SD-SMP di Jateng dan DIY sudah tercukupi oleh banyak lembaga sekolah. Akibatnya,

2

(14)

sekolah-sekolah Kanisius mengalami kekurangan siswa.3 Fenomena ini terjadi di setiap cabang Yayasan Kanisius; tak terkecuali Cabang Yogyakarta (YKCY).

Saat ini, sekolah-sekolah Kanisius di Cabang Yogyakarta (YKCY) mengalami krisis berupa penurunan jumlah siswa yang terus-menerus dan tajam. Dari tahun 1989 – 1999 turun rata-rata 700 siswa. Jadi selama kurun waktu 10 tahun turun 6.000 siswa. Dari 18.000 menjadi 11.800 siswa. Kemerosotan yang tajam tersebut dapat dilihat dari lintasan sejarah sekolah-sekolah Kanisius periode 1985 – 2006, yang disajikan sebagai berikut:4

Periode 1985-1995. Pada periode ini, jumlah siswa terus-menerus menurun karena pemerintah mendirikan banyak sekolah Inpres yang lokasinya berdekatan dengan sekolah-sekolah Kanisius. Selain keberhasilan program KB, fenomena tersebut juga dipacu oleh semakin besarnya arus urbanisasi ke kota-kota industri, dan munculnya kembali semangat primordialisme baru di mana masyarakat muslim anti sekolah swasta-Katolik.

Periode 1996-1999. Krisis multidimensi yang melanda negeri ini dan kemerosotan jumlah siswa membuat Kanisius menjadi tak berdaya. Sebagai solusinya, pada periode ini, tepatnya tahun 1997, diputuskan untuk mempertahan-kan beberapa sekolah dan menutup banyak sekolah.

Periode 2000-2006. Dalam situasi keterpurukan, banyak pihak malah menjadi peduli terhadap kehidupan dan perkembangan Kanisius. Berbagai upaya seperti penggalangan solidaritas dan peningkatan mutu mulai digalakkan. Ada

3

Maryana SJ., “Tantangan untuk Yayasan Kanisius di Masa Depan” dalam Yayasan Kanisius setelah 75 tahun, Semarang, YKP: 1993, hlm.137

4

(15)

gejala positif, kemerosotan jumlah siswa mulai dapat dibendung. Meskipun demikian, ada beberapa sekolah yang tetap ditutup karena faktor alami.

Selain krisis jumlah siswa, Kanisius juga mengalami krisis jumlah tenaga pengajar dan krisis keuangan.5 Jumlah guru yang memasuki masa pensiun cukup banyak, sementara pemerintah tidak mengganti mereka dengan guru DPK (PNS) baru. Yayasan juga tidak mampu mengangkat guru tetap yang baru. Penurunan jumlah siswa amat mempengaruhi kemampuan keuangan yayasan. Dalam masa krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, jumlah donatur juga berkurang.

Tidak mengherankan apabila Kanisius tidak menjadi pilihan para orangtua calon siswa. Krisis multi dimensi yang dialami Kanisius telah membuatnya se-akan-akan tidak lagi mempunyai ‘nilai jual’, sekaligus dipandang tak mampu lagi menjamin kualitas pendidikan yang ditawarkannya. Penurunan jumlah siswa yang signifikan adalah MANIFESTASI (sesuatu yang menampakkan) dari kerapuhan dan kelemahan yang sedang dialami Kanisius.

Situasi tersebut semakin ironis bila dihadapkan pada tuntutan-tuntutan pendidikan di jaman globalisasi sekarang ini. Era globalisasi boleh dibilang merupakan era persaingan kualitas dalam konteks pasar bebas. Bukan saja produk berupa barang dan jasa yang dikompetisikan, namun sumber daya manusia (SDM) juga dipertaruhkan atas nama bangsa.6 Maka, lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk menghasilkan output (lulusan) yang mempunyai daya saing, ketrampilan bekerja sama dan berperan dalam era kompetisi tersebut. Hal ini

5

Sardi SJ., “Terus Saja Hadir Tetapi Secara Realistis” dalam Yayasan Kanisius setelah 75 tahun, Semarang, YKP: 1993, hlm.170-172

6

(16)

secara tidak langsung menuntut setiap lembaga pendidikan untuk menyajikan pendidikan yang tanggap dengan situasi zaman (aktual).

Berkaitan dengan ‘manusia muda’ sebagai penerus perjalanan bangsa, Mochtar Buchori, seorang pakar pendidikan, berpendapat bahwa pada pendidikan-lah tergantung nasib dan masa depan bangsa. Sebab, peserta didik itupendidikan-lah yang kelak meneruskan perjalanan bangsa ini.7 Pendidikan sudah semestinya bersifat

antisipatoris, membekali dan mempersiapkan peserta didik untuk mengarungi kehidupan di masa depan. Menelantarkan pendidikan juga berarti menelantarkan masa depan bangsa sendiri.

Mencermati situasi dan kondisi yang dialami Kanisius, serta dihadapkan pada tuntutan-tuntutan aktual lembaga pendidikan di era globalisasi, sudah waktunya sekolah-sekolah Kanisius mulai berbenah diri untuk menjadi aktual. Keputusan untuk melakukan gerakan reaktualisasi untuk mengentaskan diri dari himpitan dan keterpurukan adalah tepat dan bijaksana!

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

Masalah pokok yang mau diangkat dalam karya tulis ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana sekolah-sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta mereaktualisasi diri di tengah himpitan situasi jaman? Rumusan tersebut mau menunjuk dua hal yaitu, gerakan konkrit apa dilakukan Kanisius dalam rangka reaktualisasi; meliputi bidang mana saja?

7

(17)

Pembahasan masalah pokok tersebut dibatasi pada hal-hal berikut.

Pertama, sekolah-sekolah Kanisius yang dimaksud adalah sekolah-sekolah Kansius di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di bawah naungan Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta (YKCY). Kedua, batasan waktu sebagai obyek pengamatan adalah perjalanan sejarah Kanisius periode 1985-2006. Alasannya, pada periode tersebut sangat kentara dimana sekolah-sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta mulai mengalami ‘kemerosotan’ jumlah siswa (1985), dan pada tahun 2006 sudah mulai nampak keberhasilan dari gerakan reaktualisasi yang dilakukan. Paling tidak, penurunan jumlah siswa yang cukup tajam sudah mulai terbendung.

Ketiga, sebuah tinjauan sejarah. Karya tulis ini berusaha memaparkan catatan sejarah, yang berangkat dari studi arsip-arsip sejarah Kanisius Cabang Yogyakarta dan studi pustaka; bukan hasil sebuah penelitian.

C. Tujuan Penulisan

(18)

Yogyakarta untuk membangun Kanisius menjadi sekolah yang menawarkan pendidikan yang berkualitas dan selalu aktual.

D. Manfaat Penulisan

Selama proses penulisan skripsi ini, banyak manfaat yang didapatkan, yaitu dapat mengenal Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta dan sekolah-sekolah yang bernaung di bawahnya. Tidak sekedar sejarahnya, namun lebih mendalam meliputi perjuangan, pergulatan, kesulitan-kesulitan yang menghimpit serta harapan dan cita-cita sekolah-sekolah Kanisius. Hal tersebut membuat penulis

semakin sadar bahwa pendidikan memang harus diperjuangkan. Melalui pendidikanlah generasi muda mendapat bekal untuk berperan dan bertahan dalam hidupnya di masa depan.

Manfaatnya bagi pembaca, mengenal secara lebih mendalam cita-cita mulia yang menjadi spiritualitas karya Kanisius, sekaligus himpitan-himpitan yang sedang dialami sekolah-sekolah Kanisius. Diharapkan, para pembaca, khususnya para praktisi pendidikan di lembaga Katolik, tergerak untuk mendukung gerakan reaktualisasi Kanisius sesuai dengan kemampuan masing-masing.

E. Tinjauan Pustaka

(19)

merupa-kan sebuah rangkaian peristiwa sejarah dari periodesasi sejarah Indonesia. Sampai sekarang ini buku ilmiah yang mengulas tema di atas sangatlah minim. Untuk itu sengaja dipergunakan skripsi dan tesis yang pernah membahas hal yang mirip dengan tema di atas. yaitu, tesis yang berjudul “Sekolah Kanisius & Evangelisasi Baru, Komunitas kesaksian”wong cilik” di zaman modern,” di tulis oleh Sigit Widisana, pada bulan agustus tahun 1997 di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tesis ini sangat menarik karena membahas dengan sangat jelas tentang bagaimana Kanisius sebagai yayasan Katolik bergerak pada bidang pendidikan, yang sudah seharusnya merekrut dan melayani sebanyak mungkin “wong cilik’. Oleh karena itu, Kanisius harus kembali mengingat misi awalnya yang ingin mewujudkan Gereja di tengah masyarakat yang modern ini. Dengan kata lain, tulisan ini ingin memperlihatkan sejarah kekuatan, kelemahan dan beberapa ancaman serta peluang bagi sekolah Kanisius. Sejarah mencatat bahwa Kanisius menemukan aksi praktis yang memperlihatkan peranannya dalam Gereja yaitu membantu mengembangkan pribadi manusia dalam perbaikan struktur masyarakat.

(20)

buruk. Dikatakan bahwa praktek pengajaran menggunakan sistem “drill” dan “banking system”. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan keterampilan dari para guru dan padatnya kurikulum sehingga menjadi faktor dominan hidupnya pola pengajaran dengan sistem drill di sekolah Kanisius. Oleh karena itu sistem

drill diganti dengan metode pembelajaran baru yang berorientasi pada jiwa eksplorasi, yang mengajak siswa untuk terlibat langsung dengan menggunakan sumber-sumber belajar agar siswa menemukan sendiri pemahaman dan penge-tahuannya. Berangkat dari kedua bahan tersebut, akhirnya penyususunan karya tulis ini terasa mudah dalam pengerjaannya. Meskipun kedua topik diatas tidak ada yang menyingung masalah reaktualisasi yang dilakukan oleh kanisius, akan tetapi kedua topik tersebut mempunyai bebrapa permasalahan yang serupa.

F. Metode Penulisan

Penulisan karya tulis ini menggunakan metode sejarah, yaitu mengumpulkan data-data pada tahap awalnya. Kemudian, masuk pada tahap-tahap selanjutnya yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi sumber dan historio-grafi atau penulisan. Berikut akan dijelaskan secara singkat maksud dan tujuan masing-masing tahap.8

Heuristik, adalah proses pengumpulan data yang diperoleh melalui membaca buku-buku, koran, buletin, dokumen-dokumen atau artikel dan tulisan lepas yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Adapun proses

8

(21)

pengumpulan data yang dilkukan pertama, datang ke kantor Cabang Yayasan Kanisius di Jl. Bintaran Kidul No. 7 Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk mencari data-data statistik yang dimilki oleh Yayasan. Kedua, Data tersebut akhirnya dikumpulhkan berdasarkan periodesasi yang diiginkan. Setelah itu dibuat apa yang sedang trend saat itu. Ketiga, Dari data-data yang sudah diperoleh dan sudah dibuat periodesasinya, akhirnya dibuatlah narasi berdasarkan atas data tersebut. Adapun tujuan dari heuristik tersebut adalah memperoleh referensi yang memperluas dan memperdalam wawasan berkaitan dengan data-data yang ditemukan. Sedangkan kritik sumber adalah proses menganalisis secara kritis informasi dari sumber-sumber sekunder. Kritik sumber yang dilakukan disini, dengan cara membandingkan data yang sekiranya dianggap serupa dengan permasalahan diatas dan diberi kekuatan dan kelemahan dari sumber-sumber sekunder tersebut. Adapun tujuannya, untuk membuktikan akurasi/ kebenaran suatu data.

Interpretasi data, yaitu tahap penguraian informasi, fakta, sekaligus merelasikan satu dengan lainnya tanpa meninggalkan ketentuan dalam penelitian sejarah. Dalam tahap ini, penulis dituntut untuk menguraikan dan memilah antara unsur-unsur obyektif dan subyektif. Oleh sebab itu, diperlukan pengolahan data dan analisis yang cermat.

(22)

Penyusunan karya tulis ini berangkat dari data historis. Data historis yang dimaksud di sini adalah kumpulan data dan informasi mengenai perjalanan historis suatu institusi, dalam urutan periode tertentu sehingga memberi sebuah kerangka yang menghantar institusi tersebut pada bentuknya yang sekarang.9

G. Sistematika Penulisan

Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, masalah pokok yang ingin diangkat dalam karya tulis ini adalah bagaimana sekolah-sekolah Kanisius mereaktualisasi diri di tengah himpitan situasi zaman. Dalam skripsi ini,‘jawaban’ atas masalah tersebut akan dipaparkan dalam 5 (lima) bab.

Bab I berisi proposal skripsi, yang dimulai dari bagian pendahuluan

hingga sistematika penulisan. Dalam bab ini, merupakan penjelasan mengenai bagaimana Yayasan Kanisius ikut ambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebuah kewajiban sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang integral. Pada bagian latar belakang masalah, dipaparkan bagaimana krisis multi dimensi menghimpit Kanisius, yang memuncak pada kemerosotan jumlah siswa, sebagai alasan yang relevan sekaligus mendesak bagi Kanisius untuk melakukan gerakan reaktualisasi.

Dalam Bab II, berisi mengenai perkenalan lebih dekat dengan Yayasan Kanisius. Perkenalan tersebut meliputi sejarah berdirinya Yayasan Kanisius, figur

9

(23)

dan cita-cita awal pendiri, serta sekolah-sekolah Kanisius yang berada di bawah naungan Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta (YKCY).

Dalam Bab III, dipaparkan secara konkrit permasalahan-permasalahan yang dialami Kanisius. Dipaparkan, fenomena-fenomena yang memilukan sekaligus tak terelakkan, dan faktor-faktor pemicu situasi buruk tersebut, baik faktor ekternal maupun internal.

Pada Bab IV, Memaparkan gerakan reaktualisasi Kanisius. Pembahasan tersebut meliputi bagaimana gerakan tersebut dilaksanakan; pada bidang mana saja reaktualisasi tersebut diaktualisasikan; serta, apa makna reaktualisasi bagi Kanisius sendiri.

(24)

BAB II

MENGENAL SEKOLAH – SEKOLAH KANISIUS

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Yayasan Kanisius dalam Catatan Sejarah

Yayasan Kanisius adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan Karya Persekolahan Kanisius (KPK) melalui sekolah-sekolah yang didirikannya, mulai dari jenjang TK hingga SLTA.10 Sekolah-sekolah tersebar di wilayah Keuskupan Agung Semarang, dan terbagi dalam tiga wilayah pengelolaan atau yang disebut

Yayasan Kanisius Cabang (YKC). Ketiga cabang tersebut adalah, YKC Semarang, YKC Surakarta dan YKC Yogyakarta. Awalnya terdapat juga YKC Magelang; namun sejak tahun 2004, digabungkan dengan YKC Semarang.

Tidak sekedar mendirikan sekolah dan menyelenggarakan pendidikan, Yayasan Kanisius lebih berorientasi pada pewartaan iman kristiani di tengah masyarakat Jawa melalui jalur pendidikan. Kanisius boleh berbangga, seiring perjalanan waktu dan perkembangan sekolah-sekolah Kanisius, berkembang pula umat Katolik di pelosok-pelosok wilayah Keuskupan Agung Semarang.

1. Tempo Doeloe

Lahirnya Yayasan Kanisius tidak bisa dipisahkan dari perutusan pertama Romo F. Van Lith SJ di tanah Jawa tahun 1897, yaitu mengembangkan Gereja di

10

(25)

kalangan pribumi Jawa.11 Lokasi yang dipilihnya adalah Muntilan. Awalnya Van Lith SJ mempunyai strategi menyediakan Kerkop bagi umat Katolik setempat. Namun, upaya ini gagal karena ternjadi penyelewengan dana oleh perantara. Strateginya yang kedua, mendidik para pemuda pribumi menjadi guru. Pertim-bangannya, kalau karya Misi mau mengakar dan berkembang sungguh-sungguh harus mendidik suatu kelompok elite yang bisa menjadi pelopor bagi bangsa mereka sendiri. Mengapa harus guru? Profesi guru adalah tokoh masyarakat desa yang paling berpengaruh dan berwibawa. Pendidikan harus melalui asrama supaya watak dan intelegensia bisa berkembang sebaik-baiknya, demikian keputusan Van Lith.

Tahun 1904, Van Lith SJ mendirikan Normaalschool untuk mendidik calon guru tingkat II (standaardschool). Tahun 1906, didirikan juga H.I.K Putra (ke depan akan menjadi Kolese Xaverius) untuk mendidik calon guru tingkat I sekolah dasar 7 tahun (H.I.S dan H.C.S). Kedua sekolah tersebut berlokasi di Desa Semampir, Muntilan.

Berangkat dari tawaran Van Lith, tahun 1908 Suster-suster Fransiskanes mendirikan sekolah pendidikan guru putri yang berasrama di Mendut. Namun, baru tahun 1916, sekolah ini diresmikan menjadi H.I.K Putri. Seperti yang telah menjadi cita-cita Van Lith, selanjutnya para pemuda-pemudi lulusan Muntilan dan

11

(26)

Mendut tersebut menjadi “ragi” pertama yang merasuk dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Setelah mendirikan “Vereniging (perkumpulan) R.C. Kweekschool”,untuk mengelola Normaalschool, H.I.K Putra dan Putri di tahun 1908, Van Lith bermaksud mendirikan sekolah.12 “Setelah Gereja memiliki sekolah-sekolah pendidikan guru, sudah matanglah untuk juga mendirikan sekolah-sekolah Katolik”, pikirnya. Ada dua orientasi yang ditempuh dengan pendirian sekolah-sekolah Katolik. Pertama, menabur Sabda Kristus di dalam masyarakat Jawa melalui guru-guru yang digembleng sendiri. Artinya, melalui pendidikan di sekolah Katolik pengembangan iman Katolik akan berjalan lebih efektif dan lebih berhasil, terutama dalam hati anak didik. Selain anak didik, unit sekolah juga memberi pengaruh kepada orangtua; yaitu masyarakat sendiri. Kedua, memberi kesempatan belajar kepada anak-anak rakyat kecil di desa dan di kota, yang tidak mempunyai kesempatan belajar. Pada waktu itu, Van Lith melihat keterbelakang-an pendidikketerbelakang-an masyarakat Jawa karena minimnya perhatiketerbelakang-an dari Pemerintah Hindia Belanda. Padahal, kesempatan untuk menimba ilmu dan pengetahuan adalah potensi untuk mengentaskan diri dari belenggu keterbelakangan.

Tanggal 31 Agustus 1918, cita-cita mulia tersebut terkabul. Di Muntilan, berdirilah “CANISIUS VERENIGING” atau Perkumpulan Kanisius. Rama J.H.J.L Hoeberects SJ menjadi ketua dan Rama F. Van Lith SJ, sebagai sekretarisnya. Agenda kerja pertama adalah membuka 100 sekolah Katolik yang tersebar di Muntilan, Yogyakarta, Klaten, Surakarta, Ambarawa dan Semarang. Sungguh

12

(27)

disayangkan, ketika agenda pertama belum tuntas dilaksanakan, tahun 1926, Van Lith harus menghadap Bapa di Surga. Ketika beliau meninggal, sekolah-sekolah Kanisius sudah berjumlah 74 unit, yang semuanya merupakan sekolah dasar.

Tahun 1927, Canisius Vereniging diubah statusnya menjadi Canisius Stichting, yang berarti ‘Yayasan Kanisius’. Meskipun perubahan dan pergantian jabatan terus bergulir, namun seakan-akan mereka telah sehati dan sepikir dengan para pendahulunya. Benih yang ditanam Van Lith tidak sia-sia. Benih tersebut pelan-pelan tumbuh berkembang dan mulai menghasilkan buahnya. Pada tahun 1934, jumlah seluruh sekolah Kanisius tercatat sebanyak 368 buah; yang terdiri atas 10 sekolah menengah (Mulo dan ST) dan 358 sekolah dasar. Ketika itu jumlah guru sudah sebanyak 1.400 orang, sedangkan jumlah siswa sebanyak 56.000 orang.

Bukan cuma sekolah yang berkembang, umat Katolik juga berkembang terutama melalui sekolah-sekolah yang tumbuh subur di tengah masyarakat. De facto, kebanyakan stasi dan paroki, tempat sekolah-sekolah Kanisius berada, lebih berkembang pesat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Gereja Keuskupan Agung Semarang lahir dan berkembang berkat sekolah-sekolah Kanisius.

2. Yayasan Kanisius pada Zaman Sekarang

(28)

memperbaharui diri. Semangat tersebut tertuang dalam buku ‘Rencana Induk Pengembangan’ (RIP) Sekolah.

Selain memuat visi dan misi Kanisius, RIP juga memuat strategi-strategi untuk melaksanakan misi Kanisius secara sempurna, aktual, dan menanggapi jaman. Ada 5 (lima) poin dalam strategi tersebut.13 yaitu, pertama, peningkatan kualitas dengan pendidikan yang bersifat holistik; kedua, penyusutan kuantitas sekolah, likuidasi aset yang tidak terpakai lagi; ketiga, solidaritas, kaderisasi dan regenerasi; keempat, sebagai piloting project unggulan; kelima, memajukan penelitian dan pengembangan sebagai fungsi manajerial sekolah.

RIP juga memuat kebijakan-kebijakan yang bersifat temporer, periodik dan selalu diperbarui. Setiap pembaruan tak pernah menyimpang dari visi-misi sang pendiri, sehingga selalu terjadi ‘pewarisan’ semangat dan cita-cita oleh seorang pemimpin (direktur) kepada para penggantinya yang baru.

Pimpinan tertinggi di Yayasan Kanisius adalah seorang direktur pusat, yang berkantor pusat di Semarang, tepatnya di Jl. Letjen Suprapto 54. Di kantor itulah, nasib dan perjuangan Yayasan Kanisius ditentukan. Hingga tahun 2007, direktur pusat dijabat oleh Rama L. Smith SJ, seorang Pastor Yesuit dari Belanda. Beliau memimpin YKP sejak tahun 1990.

Secara administratif, Yayasan Kanisius Pusat adalah ‘atasan’ bagi kantor cabangnya (YKC). Hubungan antara YKP dan YKC terutama dalam koordinasi pembuatan kebijakan-kebijakan yang bersifat makro, misalnya perumusan RIP dan pengangkatan guru dan karyawan menjadi berstatus pegawai ‘tetap’. Namun,

13

(29)

tiap-tiap cabang (YKC) mempunyai sifat otonom, terutama dalam hal menentukan kebijakan dan orientasi YKC dalam mengelola dan mempertahankan keberlang-sungan sekolah-sekolahnya.14

Data statistik terakhir, per Februari 2006, menyebutkan jumlah seluruh sekolah Kanisius yang dimiliki oleh Yayasan Kanisius (dari total 3 YKC) adalah sebesar 241 unit. Rinciannya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel Rekapitulasi Jumlah sekolah dari Masing-masing Cabang15 Per Februari 2006

Data-data di atas cukup mempresentasikan bahwa sekolah-sekolah Kanisius sampai saat ini masih diminati dan dipercaya untuk ambil bagian dalam mencerdaskan bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan. Dibandingkan dengan cabang-cabang yang lain, Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta mempunyai jumlah sekolah tertinggi di setiap jenjangnya, kecuali SMU/K. Cabang

14

Wawancara dengan Fr. Alis Windu Prasetya SJ, di Kolose Ignatius Yogyakarta. Beliau pernah menjadi wakil direktur Yayasan Kanisius Pusat YKP, periode 2002-2004.

15

(30)

karta sudah 3 (tiga) tahun ini tidak lagi mempunyai SMU/K, karena telah ditutup secara alami.16

B. Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta dan Sekolah-sekolahnya.

Kota Yogyakarta adalah cikal bakal kedua setelah Muntilan, menurut catatan sejarah Kanisius.17 Setelah Rama Joseph Strater SJ, seorang misionaris Belanda mengubah nama Canisius Vereniging menjadi Canisius Stichting, yang berarti “Yayasan Kanisius”, beliau memindahkan kedudukan yayasan tersebut dari Muntilan ke Yogyakarta

1. YKC Yogyakarta

YKCY adalah yang sulung di antara ketiga YKC yang ada saat ini. Mulai tahun 1927, YKCY sudah melaksanakan karya pendidikannya. Sejak berdirinya, YKCY mempunyai kantor cabang di Jl. Bintaran Kidul No.7, Kota Yogyakarta. Kantor cabang tersebut dipimpin oleh seorang Pastor Yesuit, sebagai direktur.

Wilayah kerja YKC Yogyakarta adalah seluas teritori kevikepan Yogyakarta, yang meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kulonprogo, Bantul dan Gunung Kidul. Jelas, secara geografis wilayah kerja YKCY meliputi satu kodya dan empat kabupaten. Tidak mengherankan apabila YKCY kaya akan sekolah-sekolah Kanisius, yang tersebar di seluruh wilayah Propinsi DIY. Tabel berikut menampilkan sekolah-sekolah Kanisius yang bernaung di bawah YKCY.

16

Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta: Arsip Rekapitulasi Keadaan Kelas, Siswa, Guru dan Pegawai Kanisius Cabang Yogyakarta, per Juli 2003.

17

(31)

Tabel Jumlah Sekolah di Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta.18

Membaca tabel di atas dapat disimpulkan, sekolah-sekolah Kanisisus di DIY cukup merata di masing-masing kota dan kabupaten. Hal ini sesuai dengan misi

Yayasan Kanisius yaitu memberi perhatian khusus kepada lokasi-lokasi yang tidak mempunyai pendidikan Katolik sebagai tanda solidaritas Gereja dalam men-cerdaskan bangsa.19 Alasan tersebut cukup mendasar, karena pada beberapa dekade yang lalu di wilayah DIY belum banyak didirikan sekolah Katolik. Terlihat jelas, Kanisius menjadi perintis sekaligus pelopor bagi munculnya sekolah-sekolah Katolik dari yayasan lain.20 Sebagai contoh, di dekat SD Kanisius Wonosari II sudah berdiri TK dan sebuah SMU yang dikelola oleh para biarawati. Mengamati cukup besarnya jumlah sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Gunung Kidul dapat dimaknai bahwa pendirian sekolah-sekolah tersebut untuk mengkonkritkan apa yang tertulis dalam misi Yayasan Kanisius, yaitu memberi perhatian kepada lokasi yang berkemampuan ekonomi terbatas. Terhadap lokasi-lokasi tersebut, Kanisius berfokus pada pengembangan jiwa wirausaha sejak dini.

18

Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta: Arsip Rekapitulasi Keadaan Kelas, Siswa, Guru dan Pegawai Kanisius Cabang Yogyakarta, per Februari 2006.

19

Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta: Arsip Visi-Misi-Strategi Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, 2004, hlm.1

20

(32)

Diharapkan, jika siswa Kanisius berhenti sekolah pada jenjang mana pun mereka mampu mandiri, menciptakan pekerjaan secara kreatif.

Kanisius tidak sendirian. Di Kabupaten Gunung Kidul kini muncul sebuah bangunan sekolah lain yang dikelola oleh para suster Sang Timur. Munculnya sekolah-sekolah swasta-Katolik non-Kanisius tidak boleh dilihat sebagai kompetitor bagi Kanisius. Perlu untuk terus disadari, kehadiran Kanisius adalah merintis tumbuhnya Gereja lokal yang dewasa ini telah tumbuh subur di wilayah tersebut berkat kehadiran mereka (sekolah swasta Katolik – non Kanisius) juga.

2. Unit-unit Sekolah Kanisius di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Seperti yang tertera dalam tabel sebelumnya, total jumlah sekolah-sekolah Kanisius di Propinsi DIY, hingga Februari 2006, adalah 101 buah; dengan rincian TK sebanyak 35 sekolah, SD 59 sekolah dan SMP 7 sekolah. Untuk lebih mengenal sekolah-sekolah tersebut secara konkrit, selanjutnya akan ditampilkan nama-nama sekolah, berikut dengan jumlah siswa, jumlah guru dan karyawan yang ada di masing-masing sekolah.

Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kota Yogyakarta.21

Per Februari 2006

(33)

SD Kanisius Gayam 1 6 108 8 0

Melihat data di atas, sekolah-sekolah Kanisius di Kota Yogyakarta boleh dibilang masih gemuk. Alasannya, pertama, mempunyai 20 (dua puluh) sekolah. Jumlah tersebut memberi predikat ‘Yayasan Besar’ kepada Kanisius, mengingat yayasan-yayasan lain hanya mempunyai satu-dua sekolah saja di kota Yogya.

Kedua, mempunyai lebih dari 2.180 siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tersebut. Angka ini menunjukkan bahwa Sekolah-sekolah Kanisius masih diminati/dipercaya oleh keluarga-keluarga Kristiani yang ingin menyekolahkan putra-putrinya di sekolah yang kental dengan nuansa Kristiani.

Ketiga, mayoritas dari sekolah-sekolah tersebut mempunyai siswa dengan jumlah yang ideal bila dibandingkan dengan jumlah ruang kelasnya. Idealnya, satu ruang kelas berisi 20 siswa, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar, efektif dan komunikatif (tidak terlalu gaduh).22

22

YB. Adimassana, “Revitalisasi Pendidikan Nilai Di Dalam Sektor Pendidikan Formal”, dalam

(34)

kan, tiap siswa mempunyai kesempatan untuk serius dalam belajar dan cukup ruang untuk berprestasi.

Alasan dari segi fisik juga dapat dipaparkan di sini. Selain berada di kota, Sekolah-sekolah Kanisius juga mempunyai sarana-prasarana edukatif yang boleh dibilang lengkap dan masih bagus. Boleh jadi situasi tersebut disebabkan oleh banyaknya jumlah siswa yang berpengaruh pada besarnya sumbangan pendidikan (finansial) kepada sekolah. Mungkin situasi ini yang membuat Sekolah-sekolah Kanisius di Kota Yogyakarta mampu bersaing dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta yang ada di Kota Yogyakarta.

Berikut ini akan disajikan tabel data sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Sleman.

Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Sleman.23

Per Februari 2006

23

Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta: Arsip Rekapitulasi Keadaan Kelas, Siswa, Guru dan Pegawai Kanisius Cabang Yogyakarta, per Februari 2006

(35)

Data-data di atas menunjukkan bahwa sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Sleman mempunyai siswa yang berjumlah hampir dua kali lipat dibanding dengan Sekolah-sekolah Kanisius di Kota Yogyakarta (Kota Yogyakarta: 2.186 siswa) Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Sleman juga mempunyai lebih banyak tenaga pengajar dan karyawan, yakni masing-masing 222 orang dan 30 orang (Kota Yogyakarta: 125 guru dan 17 karyawan).

Keunggulan tersebut dapat dijelaskan dengan dua alasan; pertama, Kabupaten Sleman mempunyai wilayah teritori yang lebih luas dari Kota Yogyakarta. Hal ini memungkinkan sekolah-sekolah yang didirikan berjumlah lebih banyak, dengan alasan untuk menjangkau daerah pelosok-pelosok kabupaten. Kedua, lebih banyaknya jumlah sekolah Kanisius yang ada di daerah, secara otomatis memberi-kan alternatif bagi penduduk kota untuk mencari sekolah Kanisius di daerah, dengan harapan biaya pendidikan lebih murah.

Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Kulon Progo.24

Per Februari 2006 Pegawai Kanisius Cabang Yogyakarta, per Februari 2006

(36)

SD Kanisius Bonoharjo 6 101 9 1

Jumlah Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Kulon Progo memang sedikit bila dibandingkan dengan yang ada di Kabupaten Sleman. Menurut Bapak Sigit.25 Hal ini lebih disebabkan oleh dominasi sekolah negeri. Banyak sekolah-sekolah negeri dibangun di kota-kota kecamatan; sementara sekolah-sekolah-sekolah-sekolah INPRES ada di pelosok-pelosok perbukitan Kokap dan sekitarnya.

Besarnya minat orangtua siswa (terutama yang bukan Kristiani) untuk menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah negeri adalah sebuah realita yang tidak bisa diingkari. Sekolah negeri terkenal dengan murahnya. Namun, keberadaan sekolah-sekolah Kanisius cukup memberi warna, setidaknya memberikan alter-natif lain bagi keluarga-keluarga kristiani yang ingin menyekolahkan putra-putrinya di sekolah yang memberikan pendidikan berbasis nilai-nilai Kristiani.

Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Bantul.26

Per Februari 2006

Bpk. Y. Sigit adalah guru kels III, SDK Kokap, Kulon Progo. Wawancara tgl 30 Desember 2006

26

(37)

Jumlah ( total )

Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Bantul terbukti masih favorit. Alasannya, Kabupaten Bantul hanya mempunyai 19 sekolah Kanisius, namun mampu menyedot 1.706 siswa. Umat Katolik di Kabupaten Bantul cukup besar; selain faktor adanya tempat ziarah (Candi Hati Kudus Yesus) di kabupaten ini, sekolah-sekolah Kanisius turut memberi sumbangan yang besar terhadap militansi umat akan keyakinan dan imannya. Militansi tersebut, antara lain, terungkap dalam minat menyekolahkan putra-putri mereka ke sekolah Kanisius, yang

notabene populer sebagai sekolah Katolik.27

Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Gunung Kidul.28 Per Februari 2006 menyelesaikan kuliah di Fakultas Teologi, USD, 3 Januari 2007,di Kampus Kentungan.

28

(38)

R. Kelas Siswa Guru Karyawan prihatin. Namun, semua itu adalah fakta yang tidak bisa diingkari. Lihat saja data-data yang menunjuk jumlah siswa di TK Kanisius (TKK) Bandung 1, TKK Bandung 2, TKK Bogor, TKK Gambarsari dan TKK Kaliwuluh. Masing-masing sekolah mempunyai jumlah siswa kurang dari 10 orang. Demikian juga dengan di jenjang Sekolah Dasarnya, rata-rata jumlah siswa per kelasnya di bawah 20 orang

(39)

satu-satunya sekolah (SMP) Katolik yang ada di daerah tersebut.29 Keberadaannya tetap saja dibutuhkan, baik untuk kepentingan karya pendidikan, maupun pewarta-an nilai-nilai Kristipewarta-ani di wilayah paroki setempat.

Di wilayah kerja Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta (YKCY) terdapat juga beberapa sekolah Kanisius yang telah diserahkan untuk dikelola oleh yayasan lain. Setidaknya ada 7 sekolah. Yaitu, SDK Baciro 1 dan 2, yang dikelola oleh para suster-suster biara, SDK Mangunan, yang dikelola oleh Yayasan DED; SDK Sang Timur 1 dan 2, yang dikelola oleh para suster Sang Timur; serta SDK Pondok dan SDK Karitas Nandan, yang dikelola oleh para Bruder. 30

Kehadiran yayasan-yayasan lain serta beberapa tarekat religius yang menyelenggarakan pendidikan tidak boleh dipandang sebagai kompetitor, melain-kan mitra Kanisius dalam memberimelain-kan pelayanan dalam karya pendidimelain-kan dan pewartaan nilai-nilai kristiani. Namun tak bisa diingkari, kehadiran serta karya pelayanan mereka di bidang pendidikan (sekolah swasta-Katolik) membuat menurun/berkurang jumlah siswa yang bersekolah di Sekolah-sekolah Kanisius.

Di satu sisi, Kanisius harus mengingat dirinya sebagai ‘sekolah perintis’; namun, di sisi lain Kanisius harus menghadapai kenyataan-kenyataan pahit yang tidak bisa diingkari. Pada bab selanjutnya akan dibahas masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh Kanisius.

29

T. Suyudanta SJ., “Gerakan Penyelamatan Kanisius Yogyakarta”, Sebuah laporan kepada Bapak Uskup Agung Semarang, Romo Provinsial SY, Badan Pengurus Yayasan Kanisius, Direktur Yayasan Kanisius Pusat.

30

(40)

BAB III

MASALAH – MASALAH AKTUAL YANG MENGHIMPIT SEKOLAH KANISIUS YOGYAKARTA

A. Penurunan Jumlah Siswa di Periode 1985 – 2006

Sekolah ‘perintis’ pada suatu saat, setelah masa kejayaannya berakhir, akan kehilangan sifat keperintisannya. Sekolah-sekolah perintis yang mempunyai nilai strategis dan keteladanan di masa-masa awal, serta bermegah pada masa ke-emasannya, bisa dapat mengalami ‘kehambaran’ pada dekade-dekade kemudian. Salah satu indikasi ‘kehambaran’ tersebut adalah berkembangnya sekolah-sekolah yang dahulu berafiliasi dengan sekolah perintis dan pada saat ini telah menjadi lebih maju dan modern.31

Masa ‘kejayaan’ sekolah Kanisius adalah periode 1966-1984. Pada periode tersebut, banyak sekolah paroki yang diserahkan kepada Kanisius. Ada pula sekolah-sekolah baru yang didirikan atas permintaan masyarakat. Puncak kejayaan terjadi antara tahun 1980-1984. Saat itu, guru-guru masih relatif muda dan profesional. Jumlah siswa mencapai angka 24.000 anak.32

Masa kejayaan tersebut segera berakhir. Pada periode 1985-1995 mengalami kemerosotan jumlah siswa sebagai akibat dari kehadiran sekolah-sekolah Inpres, terutama yang berdekatan lokasinya dengan sekolah-sekolah-sekolah-sekolah Kanisius. Melalui program peningkatan sumber daya manusia pemerintah

31

J. Sunarka SJ., “Karya Persekolahan Kanisius dan Orang Miskin” dalam Yayasan Kanisius setelah 75 tahun, Semarang, YKP: 1993, hlm.125

32

Paulus Widyawan Widhiasta, “Bersama dengan Kanisius Cabang Yogyakarta” dalam

(41)

mengeluarkan uang beratus-ratus milyar rupiah untuk mendirikan sekolah dasar, bahkan sekolah menengah.33 Di wilayah Jawa Tengah dan DIY tidak ada kelurahan/desa yang tidak memiliki sekolah dasar, baik kota maupun desa bahkan sampai daerah-daerah terpencil dan di puncak gunung. Sekolah-sekolah tersebut didirikan tidak berdasarkan perhitungan apakah jumlah anak mencukupi atau tidak, apakah di desa itu sudah ada sekolahan atau belum, tetapi berdasarkan ins-truksi presiden bahwa di setiap desa diberi sejumlah uang proyek pendirian dua atau tiga sekolah dasar.

Selain bekembangnya sekolah negeri, kehadiran sekolah-sekolah swasta baru, yang sebelumnya berafiliasi sama dengan Kanisius (swasta-Katolik), turut pula memicu lonjakan jumlah sekolah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Munculnya bangunan-bangunan sekolah yang baru, lebih megah, bersih, dengan fasilitas lengkap dan modern, turut meramaikan ‘musim kompetisi’ perolehan siswa baru di setiap awal tahun ajaran baru di antara sekolah-sekolah dalam satu wilayah. Para orangtua mempunyai lebih banyak pilihan untuk menyekolahkan anaknya.

Pada perode ini pemerintah mulai menjalankan program Keluarga Berencana (KB). Pemerintah menganjurkan agar setiap keluarga cukup memiliki dua anak. Sebenarnya program KB ini dijalankan untuk mengendalikan jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia agar tidak terlalu tinggi. Akan tetapi bagi dunia pendidikan dengan adanya Program KB yang sangat gencar digalakkan oleh pemerintah, akhirnya program ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

33

(42)

jumlah anak usia sekolah berkurang. Faktor urbanisasi besar-besaran ke daerah industri seperti Jakarta cukup memicu penurunan jumlah penduduk usia sekolah dasar. Tidak mengherankan bila sekolah-sekolah harus berebut mendapatkan siswa baru sebanyak-banyaknya. Kenyataan yang tak terelakkan, jumlah siswa di sekolah Kanisius cenderung menurun dari tahun ke tahun.

Periode 1996 – 2004 masih merupakan periode kemerosotan bagi sekolah-sekolah Kanisius. Terlebih pada tahun 1997 terjadi krisis multidimensi yang me-landa negeri ini. Berikut adalah tabel penurunan jumlah siswa di sekolah-sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta periode 1999-2006.

Tabel Penurunan Jumlah Siswa – Sekolah Kanisius Yogyakarta.34

Periode 1999-2006

(43)

Tabel di atas merupakan jepretan penurunan jumlah siswa yang dialami sekolah Kanisius Cabang Yogyakarta periode terakhir 1999-2006. Sejak tahun 2004 Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta tidak lagi mempunyai sekolah menengah umum dan kejuruan. SMU/K Santi Dharma, satu-satunya sekolah menengah atas/kejuruan, telah tutup secara alami pada tahun 2003, setelah meluluskan sepuluh siswanya.

Pada periode 2005-2006 arus kemerosotan sudah dapat dibendung. Terjadi pertambahan jumlah siswa meski belum banyak berarti. Namun, rupanya Kanisius masih dituntut untuk tetap tabah atas ditutupnya beberapa sekolah sebagai konsekuensi kebijakan Rencana Induk Penyelamatan (RIP) 1997. Penutupan sekolah-sekolah Kanisius karena faktor alamiah (tidak mempunyai siswa yang representatif) dan bagaimana mengembangkan sekolah yang masih potensial merupakan masalah aktual yang harus ditanggapi secara konstruktif 35

B. Menyurutnya Jumlah Tenaga Pengajar.

Tenaga pengajar yang dimaksudkan di sini adalah guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diperbantukan (DPK). Meski berstatus sebagai PNS mereka telah menjadi bagian dari karya pendidikan Kanisius. .

Subsidi paling besar adalah dipercayakannya beberapa guru dan karyawan subsidi yang disebar ke-130 sekolah Kanisius. Pembinaan dan pengembangan profesi dilakukan oleh Kanisius, sementara Pemerintah memberi subsidi dalam

35

Paulus Widyawan Widhiasta, “Bersama dengan Kanisius Cabang Yogyakarta” dalam

(44)

bentuk gaji guru dan karyawan. Sebagian besar guru PNS yang diperbantukan ke Kanisius pada awalnya merupakan guru subsidi. Setelah melalui tes, mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka menerima NIP (Nomor Induk Pegawai), dengan tempat tugas diperbantukan di sekolah Kanisius.

Dalam perjalanan waktu, status baru para guru DPK memberi dampak yang menguntungkan sekaligus merugikan bagi Kanisius sendiri. Yang menguntungkan, dengan status guru yang diperbarui, sekolah-sekolah Kanisius memperoleh bantuan yang besar. Kanisius dapat mengalokasikan dana bagi kebutuhan yang lebih utama. Mereka dapat memberi porsi yang lebih baik bagi peningkatan mutu pelayanan para guru untuk siswa.

Faktor lain yang merugikan adalah kenyataan bahwa guru-guru PNS lebih merasa sebagai ‘guru negeri/ DPK’ daripada ‘guru Kanisius’. Para guru DPK lebih “memperhatikan” pengawas dari Dinas Pendidikan demi sebuah penilaian ‘baik’ daripada memperjuangkan kepentingan sekolah dan anak didik. Para guru berada pada posisi ‘membela’ status DPK dar ipada loyal kepada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Kondisi demikian menjadi pemicu kemunduran kualitas sekolah. Namun harus diakui, tidak semua DPK mempunyai karakter demikian.

(45)

beragama Katholik enggan pindah ke sekolah-sekolah Katholik dengan alasan di sekolah-sekolah Katholik banyak sekali tata tertib yang menutut kedisiplinan tinggi terhadap para guru dan karyawannya. Melihat fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa para DPK lebih loyal pada pemerintah daripada panggilan profesi guru dan pendidik.

Kanisius menilai kehadiran guru DPK adalah bagian dari kebijakan yang memperingan biaya operasional yayasan, meski langkah tersebut dapat berarti “mengorbankan” sebagian visi dan misi Kanisius. Sebuah konsekuensi logis. Kini Kanisius ‘menuai’ konsekuensi tersebut. Para guru DPK sudah mulai pensiun. Terhitung hingga 2009, akan ada pengurangan 200 guru DPK dari total 365 pada tahun 2003. Dapat diramalkan, pengurangan tenaga pengajar yang cukup banyak tersebut akan berpengaruh pada stabilitas karya persekolahan Kanisius, khususnya di Yogyakarta. Pengurangan tersebut belum termasuk pemulangan guru DPK kepada pemerintah karena terbukti bermasalah.36

Program pengadaan guru dan karyawan DPK menjadi layaknya usaha membunuh Kanisius. Di satu pihak, pemerintah tidak lagi mengangkat guru DPK sebagai pengganti mereka yang pensiun di sekolah-sekolah Kanisius; di lain pihak, dengan kondisi keuangan yang terbatas, Yayasan Kanisius tidak mampu mengangkat guru tetap baru.

Keadaan diperberat dengan banyaknya didirikan sekolah-sekolah negeri di depan dan di samping sekolah-sekolah Kanisius.37 Sebagai contoh dapat dilihat letak SMP Negeri Sleman yang berdiri 10 meter di sebelah Selatan SMP Kanisius

36

T. Suyudanta SJ., “Pendidikan Harus Steril dari Kepentingan Politik Sesaat”, dalam Edaran Gerakan Penyelamatan Kanisius III, 2 November 2000.

37

(46)

Sleman; dan letak SD Negeri Tukangan yang berdiri 5 meter di depan SD Kansisius Gayam 1 dan SD Kanisius Gayam 3. Yang lebih memprihatinkan, sekolah-sekolah tersebut memiliki guru yang jumlahnya banyak; malah bisa dikatakan guru dan karyawan DPK-nya berlebihan.

C. Krisis Finansial

Sejak awal tahun 2000, Kanisius Yogyakarta mengalami krisis finansial yang semakin parah. Dirasakan, perubahan situasi politik di Eropa membawa akibat yang sangat besar dalam ketersediaan donatur. Banyak donatur asing yang mulai melirik LSM sebagai alternatif agen perubahan kultur sosial politik di Indonesia. Pendidikan persekolahan, juga Kanisius, mulai ditinggalkan donatur. Ada pendapat, pendidikan persekolahan di Indonesia tidak memiliki jaminan yang lebih pasti untuk menjadi agen perubahan keadaan sosial politik di Indonesia.38

Tidak berminatnya para donatur, seperti diungkapkan di atas, tentunya mengurangi pemasukan dana dalam kantong Kanisius. Otomatis, Kanisius hanya mengandalkan donasi dari para donatur yang masih punya hati kepada dunia pen-didikan (yang jumlahnya semakin minim) dan pemasukan dari iuran penpen-didikan siswa. Kedua sumber tersebut dirasakan tidak memadai lagi untuk menutup seluruh anggaran operasional sekolah maupun yayasan. Bisa dibayangkan, keterbatasan-keterbatasan finansial akan memangkas biaya operasional yang ber-efek pada dana perawatan dan pengembangan fasilitas pendidikan, baik fisik maupun non-fisik.

38

T. Suyudanta SJ., “Pendidikan Harus Steril dari Kepentingan Politik Sesaat”, dalam

(47)

Kondisi prihatin tersebut semakin memperpuruk eksistensi sekolah Kanisius di hadapan sekolah swasta-Katolik non-Kanisius, juga sekolah-sekolah negeri.yang berdirinya. Tidak mengherankan bila jumlah siswa di sekolah-sekolah Kanisius terus saja beranjak turun, karena orangtua calon siswa harus berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk menyekolahkan putra-putrinya di Kanisius.

Dana memang bukan menjadi tujuan atau faktor kunci, tetapi adanya dana (uang) amat dibutuhkan. Dana yang tersedia dibutuhkan Kanisius untuk mencukupi pelbagai jenis pembayaran, yang meliputi gaji-honorarium-upah dan ongkos-ongkos administrasi penyelenggaraan pendidikan, transportasi, anggaran penambahan, perbaikan dan pengadaan fasilitas yang diperlukan, pajak-denda dan iuran, sumbangan sosial, tabungan-investasi dan santunan, pengobatan-asuransi dan kebugaran, kursus-pelatihan, serta akomodasi-konsumsi dan rekreasi.

D. Rencana Induk Pengembangan (RIP) 1997

Rencana Induk Pengembangan (RIP) adalah sejumlah kebijakan yang mencoba menjawab permasalahan aktual dalam diri Kanisius39, lebih-lebih pengaruh dari krisis multidimensi yang melanda negeri ini. Sebagai kebijakan, RIP 1997 ini mengalami tarik-ulur dalam pelaksanaannya; dianggap “wajar” oleh pihak pengelola dan “kurang wajar” oleh orangtua siswa dan guru.

Pada porsinya, RIP dikaitkan dengan Program Pengembangan dan Pem-bangunan. Memang dalam RIP 1997 tersebut memuat agenda pengembangan

39

(48)

sekolah-sekolah yang dinilai masih potensial. Namun yang patut disayangkan, Rencana Induk tersebut juga mengagendakan penciutan jumlah sekolah.40

Mungkin, kata-kata yang lebih tepat adalah “program penutupan sekolah-sekolah Kanisius”. Menurut Rencana Induk tersebut, pada akhirnya Yayasan Kanisius Yogyakarta akan mengelola 15 TK, 12 SD dan 5 SMP. Pernyataan tersebut sama artinya dengan penutupan 24 TK, 57 SD, 7 SMP dan 1 SMA.

Berikut akan disajikan sebagian isi dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) 1997 sekolah-sekolah Kanisius Yogyakarta, khususnya agenda penutupan dan pengembangan, yang berlaku hingga tahun 2010.

Tabel Agenda Pengembangan dan Penutupan SMP-SMA Kanisius Cabang Yogyakarta.41

No Daerah Nama Sekolah Dikembangk

an/ ditutup Keterangan 1 Kab. Bantul SMP K. dikembangka 2004, mulai 2 Kab. Gunung SMP K. dikembangka 2004, mulai 3 Kab. Sleman SMP K. Pakem dikembangka 2004, mulai 4 Kab. Sleman SMP K. Kalasan dikembangka 2004, mulai 5 Kab. Sleman SMP K. Sleman dikembangka -

Yayasan Kanisius, Rencana Induk Pengembangan 1997. Inti rencana tersebut adalah pengembangan dan penutupan sekolah-sekolah Kanisius (Yogyakarta) hingga 2010.

41

(49)

Kabupaten Sleman mempunyai tiga sekolah yang akan ditutup menurut RIP. Dengan ditutupnya SMA/K Shanti Dharma, Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta tidak lagi mempunyai Sekolah Menengah Atas. Sekolah ditutup dengan alasan ‘alami’; artinya, jumlah siswa tidak lagi representatif. Untuk terakhir kalinya, tahun 2003, SMU/K Shanti Dharma meluluskan 10 siswanya.

Tabel Agenda Pengembangan dan Penutupan 2 Klangon Ditutup Proses selesai

3 Promasan Ditutup Bertahan s/d 2005 4 Pelemdukuh Ditutup Dalam proses 5 Milir Ditutup Bertahan s/d 2005

(50)
(51)

3 Ngapak 1 Ditutup Proses sudah selesai 4 Pingitan Ditutup Bertahan hingga 2005 5 Jetis depak Ditutup Bertahan hingga 2005 6 Jering Ditutup Bertahan hingga 2005 7 Krapyak Ditutup Dalam proses

2 Babadan Ditutup 2004, dibangun 5

an Ditutup Bertahan hingga 2005 2 Gowongan Ditutup Bertahan hingga 2005 3 Notoyudan Ditutup Bertahan hingga 2005

(52)

sekolah-sekolah Kanisius tidak mengakibatkan Kanisius bubar. Ketiga, sekolah-sekolah Kanisius yang sederhana masih dapat bersaing dalam hal mutu, dan masih menjadi pilihan keluarga miskin.

E. Prasangka Kristenisasi

Sejak pertama berdirinya, sekolah-sekolah Kanisius BUKAN untuk meng-katolikkan siswa melainkan untuk membentuk manusia Jawa yang berdikari secara mental dan pengetahuan. Namun, ada harapan suasana hidup kekeluargaan, belajar dan bekerja bersama secara intensif selama beberapa tahun di asrama akan memperkenalkan siswa dengan sebuah keyakinan yang menjadi dasar dan spiritualitas bagi guru-gurunya, yaitu keyakinan Katolik yang dimiliki para pastor Yesuit.43 Spiritualitas kristiani tersebut telah begitu mendarah daging sehingga membentuk suasana kristiani di sekolah-sekolah Kanisius, di manapun mereka berada. Meski demikian, Van Lith SJ tidak menginginkan sekolah-sekolah Kanisius eksklusif bagi siswa-siswa Kristiani. Kanisius sebagai sekolah umum, terbuka bagi segala suku bangsa dan agama harus terus diperjuangkan meski tetap mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Kristiani.

Ada sesuatu yang potensial mengancam keberadaan dan misi YKC Yogya-karta, yaitu prasangka ‘kristenisasi’ di sekolah-sekolah Kanisius. Dari segi politis sekarang ini, dan kemungkinan akan terus begitu, ancaman tersebut adalah gejala polarisasi golongan dan agama, atau yang populer disebut fanatisme sempit. Beberapa indikasi aktual dari hal tersebut adalah, pertama, himbauan dari sebuah agama untuk menyekolahkan anak-anak ke sekolah yang sesuai dengan agama

43

Paulus Widyawan Widhiasta, “Bersama dengan Kanisius Cabang Yogyakarta” dalam

(53)

yang dianut keluarga/orangtua. Kedua, bermunculannya lembaga bimbingan belajar yang mengusung ‘isu’ agama (islami). Ketiga, berdirinya lembaga-lembaga yang berakses pada pelayanan publik namun mengusung isu agama, misalnya Islamic International Hospital di Yogyakarta. Indikasi-indikasi di atas cukup mempresentasikan ‘goyangan’ isu agama yang selalu dihadirkan dalam rangka kompetisi-kompetisi tertentu, termasuk dalam dunia pendidikan.

Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, yang memungkinkan golongan dan agama yang berbeda-beda di negara ini dapat hidup berdampingan. Tetapi dalam prakteknya sehari-hari, pengkotak-kotakan masyarakat atas dasar ideologi politis golongan dan agama terasa sangat tajam.44 Gejala yang terjadi, beberapa orangtua yang telah menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Kanisius dengan cara-cara tertentu dipaksa menarik anak-anak mereka kembali untuk dipindahkan ke sekolah lain. Adanya indikasi bahwa sekolah-sekolah Kanisius sengaja memaksa peserta didiknya untuk menjadi katholik

Melihat gejala-gejala fanatisme yang terus berkembang, pengembangan unit-unit sekolah YKC Yogyakarta menjadi tidak mungkin lagi dari segi kuantitas. Jengankan mengembangkan, bahkan di daerah-daerah tertentu, yang lingkungan-nya semakin fanatik, mempertahankan jumlah siswa yang ada saja sudah begitu sulit, bahkan mustahil.

Sekolah-sekolah Kanisius adalah lambang kehadiran Gereja yang nyata beserta karya konkretnya yang telah dirasakan masyarakat. Sebuah proses alam bila konsep awal harus berbenturan dengan masalah-masalah aktual yang terus

44

BMS Suryasudarma SJ., “Mencari Masa Depan Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta” dalam

(54)

menghimpit, yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Namun, semua ujian harus dilewati dengan kemenangan agar Kanisius tetap eksis. Dengan mempertimbang-kan banyak hal, pengelola sampai pada ‘Geramempertimbang-kan Penyelamatan Kanisius’, yaitu,

pertama, berusaha sekuat tenaga untuk tetap mempertahankan dan mengembang-kan sekolah-sekolah yang masih potensial; kedua, melakukan pembenahan dengan semangat reaktualisasi karya pendidikan Kanisius.45

45

(55)

BAB IV

GERAKAN REAKTUALISASI KANISIUS

A. Makna Sebuah Reaktualisasi

Reaktualisasi adalah sebuah proses, cara, perbuatan yang berhubungan dengan

penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai kehidupan masyarakat.46 Reaktualisasi mengandaikan adanya usaha keras, bahkan tidak jarang menuntut ‘kurban’ atau pengorbanan tertentu. Pengorbanan di sini berarti membutuhkan tenaga, biaya yang tidak murah, serta waktu yang tidak sebentar. Selain menuntut keterlibatan orang-orang tertentu, dalam prosesnya reaktualisasi menuntut pemahaman yang sungguh-sungguh akan kepentingan serta cita-cita yang akan dicapai.

Reaktualisasi bagi Kanisius berarti berupaya kembali menjadi aktual. Aktual artinya up date, sesuai dengan zamannya (terkini), tidak ketinggalan zaman atau kadaluwarsa. Menjadi aktual artinya menanggapi situasi zaman dengan cara-cara

yang sedang trend saat ini, yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman sekarang. Konsekuensi menjadi aktual adalah membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, dan secara bijak mengoreksi diri, serta melangkah dengan cara-cara yang baru dan positif.

Menjadi aktual bukan sekedar ikut-ikutan. Menjadi aktual mengandaikan adanya nilai-nilai keutamaan tertentu yang masih dianggap paling baik dan pantas diperjuangkan. Untuk menjadi aktual, berarti Kanisius harus dapat ‘menjual’

46

(56)

sesuatu, harus memiliki ‘nilai jual’ (selling point) tertentu. Reaktualisasi menuntut kemampuan melihat dan memanfaatkan peluang, mengubah tantangan menjadi peluang, hambatan menjadi batu asahan atau sahabat, dengan segala kemungkinannya. Nilai yang diperjuangkan Kanisius dengan rekatualisasinya adalah kembali menjadi ‘sang pelopor’ dalam bidang pendidikan untuk mengembalikan segala penilaian dan manfaat pada masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjadi aktual? Secara teoritis, menjadi aktual berarti mampu melihat dan mengenali kebutuhan masyarakat di sekitarnya, serta berani menempuh usaha-usaha tertentu demi prinsip-prinsip universal yang ditawarkan pada situasi masyarakat. Usaha-usaha tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan dinamika budaya yang hidup dan berkembang di daerah yang bersangkutan.

Dalam dinamika hidup Kanisius, segala sesuatu yang aktual dimulai dari tema-tema kerja dan praksis di lapangan. Maka, perlu mempertanyakan, “apa yang aktual saat sekarang?” Masyarakat dewasa ini disodori beragam informasi dalam jumlah amat besar melalui beraneka media. Dengan tumpukan informasi tersebut, manusia berupaya mensikapinya dengan kemampuan taktis dan serba cepat tanpa melalaikan detil-detil penting.47

Fenomena ‘akrab dengan yang serba cepat’ tersebut membawa inspirasi bagi karya pelayanan Kanisius. Pelayanan dalam bidang pendidikan pun perlu memiliki “aspek percepatan” tertentu. Kanisius menawarkan pelayanan ketrampil-an “layak jual-berguna untuk hidup praktis”.

47

(57)

Penting untuk dicatat di sini, reaktualisasi Kanisius pertama-tama tidak

dimaksudkan untuk mendongkrak perolehan siswa baru yang akan meng-gelembungkan jumlah siswa yang dimiliki oleh sekolah-sekolah Kanisius. Tetapi, gerakan tersebut ingin mengembalikan suatu manfaat optimal dari karya pendidikan Kanisius kepada masyarakat (siswa itu sendiri). Dengan kata lain, Kanisius ingin memperbaiki kualitas karya pendidikannya dari dalam, agar up to date di setiap zaman, sekaligus menanggapi tantangan di setiap zaman. Pola pendidikan Kanisius yang aktual dan berkompeten, diharapkan menjadi ‘nilai jual’ tersendiri sekaligus menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi para orangtua yang ingin menyekolahkan putra-putrinya.

B. Cita-cita Awal Pendiri sebagai Titik Pijak Semangat Reaktualisasi

Menengok sebentar pada catatan sejarah, Van Lith SJ melihat perlunya mendirikan sekolah-sekolah Katolik, dengan alasan48, pertama, sekolah-sekolah tersebut akan menjadi tempat menabur sabda dalam masyarakat melalui guru yang digembleng sendiri; kedua, memberi kesempatan belajar untuk anak-anak yang belum mendapat kesempatan belajar. Dalam perjalanan waktu, cita-cita tersebut tetap dihidupi dan dijunjung tinggi, dengan aplikasi-aplikasi yang berbeda seiring tantangan dan peluang di setiap zaman. Tak terkecuali, gerakan reaktualisasi yang dicanangkan oleh pengelola Kansisius, dalam periode 1997 – 2010.

Sejak berdirinya hingga pada peringatan usia 89 tahun (1918-2007), sekolah-sekolah Kanisius telah hidup dalam pelbagai tantangan. Berbekal kesetiaan pada

48

(58)

cita-cita awal pendiri, semua tantangan dapat dihadapi dengan baik. Dalam refleksinya, Yayasan Kanisius cabang Yogyakarta mampu menemukan satu keutamaan yang senantiasa menjadi alasan untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan karya persekolahan Kanisius.

Cita-cita awal yang terus berkobar tersebut, pada zaman sekarang ‘diterjemahkan’ dalam sebuah orientasi baru yang memperjuangkan segi Human Investment-nya dari sebuah karya pendidikan.49 Di sini, pendidikan lebih dipahami sebagai ‘investasi manusia’ untuk masa depannya. Demi nilai investasi manusia tersebut, Kanisius tidak lagi mengutamakan kualitas siswa dengan standar ukuran nilai akademik. Nilai kemampuan akademik tetap mendapat tempat. Akan tetapi, ketrampilan-ketrampilan untuk bekal hidup dan “nilai jual” yang lebih baik akan mendapat jatah yang sesuai. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kebudayaan setempat.

Berangkat dari cita-cita awal serta orientasi baru pada human investment, dalam gerakan reaktualisasinya, Kanisius perlu merancang suatu sistem yang terbuka bagi anak-anak yang berbakat agar memperoleh bekal yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi mereka. Harapannya, supaya mereka dapat menempati posisi kehidupan yang lebih baik, bertanggung jawab atas hidup sesuai dengan kemampuan dan pengayaan ketrampilan yang mereka peroleh.

Tak terkecuali bagi anak-anak dari keluarga miskin, pendidikan adalah hak semua anak. Anak berhak mengetahui apa yang harus mereka ketahui. Mereka

49

Gambar

Tabel Rekapitulasi Jumlah sekolah dari Masing-masing Cabang 15Per Februari 2006
Tabel Jumlah Sekolah di Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta.18
Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kota Yogyakarta.21
Tabel Daftar Sekolah-sekolah Kanisius di Kabupaten Sleman.23
+6

Referensi

Dokumen terkait

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

Dimana pegadaian cabang polewali mempunyai standar penaksiran yang baik dan tepat sesuai dengan ketetapan yang dibuat oleh kantor pusat, penaksiran ini dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa model pendekatan starter eksperimen efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar

Pengajaran Teams Assisted Individualization (TAI) memotivasi siswa untuk membantu anggota kelompoknya sehingga terciptanya semangat dalam sistem kompetensi dengan

1) Guru disarankan menggunakan media pembelajaran yang menarik perhatian siswa dalam melakukan proses pembelajaran sastra di dalam kelas, khususnya dalam materi drama

Dalam pembentukan, penerapan dan pelaksanaan hukum di negara hukum Indonesia didalamnya haruslah berisikan tentang nilai-nilai yang berisikan kemanusiaan yaitu nilai

Menimbang, bahwa tentang unsur terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat seperti terungkap dalam

Setelah dilakukan penelitian di SMP Khadijah 2 Surabaya maka dapat disimpulkan bahwa SMP Khadijah 2 Surabaya dalam hal ini guru-guru Pendidikan Agama Islam