• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr. Rahman Mulyawan

44

keamanan di kawasan perbatasan harus mampu menjamin ke-amanan nasional sebuah negara dengan menekankan pada perspektif keamanan manusia.

Permasalahan perbatasan Indonesia tidak hanya bersumber pada upaya lemahnya pengelolaan kawasan perbatasan, namun lebih mendasar lagi adalah masalah delimitasi dan demarkasi yang masih dalam proses negosiasi. Ketegangan yang terjadi di blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia akhir Mei 2009 sebenarnya bersumber pada belum disepakatinya batas maritim kedua negara pasca keputusan Mahkamah Internasional ten-tang status Pulau Sipadan dan Ligitan. Kekerasan yang terjadi di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste juga bersumber pada perundingan demarkasi antara kedua negara yang masih ber-jalan. Persoalan jalur penyelundupan senjata kecil dan ringan dari Filipina dan Malaysia di Laut Sulawesi menuju daerah konflik di Poso atau maraknya aksi illegal fishing di kawasan perairan Indonesia merupakan cermin buruk manajemen perbatasan Indonesia akibat lemahnya penegakan hukum. Persoalan pene-gakan hukum merupakan titik lemah dari manajemen perbatas-an Indonesia. Persoalperbatas-an inkonsistensi dperbatas-an ketidaklengkapperbatas-an landasan hukum serta ketidakjelasan pembagian kewenangan dalam implementasi kebijakan di kawasan perbatasan, sebagai dua inti masalah yang harus segera diperhatikan.

Overlapping kewenangan juga dapat dilihat dari struktur

koordinasi Indonesia dengan negara tetangga dalam menangani masalah perbatasan. Jika General Border Committee antara Indonesia dan Malaysia dikepalai oleh Menteri Pertahanan sejak 2004 (sebelumnya oleh Panglima TNI), maka Joint Committee

Border antara Indonesia-Papua Nugini dan Indonesia-Timor

Beranda Negara Di Tepi Negara Tetangga

45

antara Indonesia dan Singapura dipimpin oleh Panglima TNI dan Joint Committee Border antara Indonesia dan Filipina ber-sifat lebih sektoral, yaitu dipimpin oleh Panglima Kodam Wira-buana. Di satu sisi, diplomasi perbatasan dengan negara tetangga yang memiliki kawasan perbatasan dengan Indonesia dibangun dengan kelembagaan ad hoc yang seakan-akan mengabaikan peran Kementerian Luar Negeri sebagai lead sector pelaksana politik luar negeri Indonesia dan bukan kelembagaan permanen yang bersifat multi-layer dengan fungsi tugas yang berbeda. Misalkan, Kementerian Luar Negari menjadi aktor utama dalam memfasilitasi pertemuan tingkat tinggi antara Indonesia dengan salah satu negara tetangga. Pada tingkat kedua, terdapat lem-baga koordinasi tingkat menteri antara kedua negara. Pemerin-tahan daerah tingkat provinsi atau kabupaten/kota kedua negara saling berkoordinasi dalam sebuah forum di tingkat ketiga.

Di sisi lain, operasionalisasi pengelolaan kawasan perbatasan yang terkait dengan kemampuan dalam antisipasi ancaman ke-amanan menjadi sangat sektoral dan bahkan melemahkan sisi penegakan hukum itu sendiri. Salah satu faktor penghambat-nya adalah jika tidakjelaspenghambat-nya pembagian tugas atau kewenangan. Lemahnya sistem manajemen perbatasan Indonesia memberi-kan indikasi kuat tentang tidak adanya sebuah strategi kebijamemberi-kan nasional yang tertuang dalam sebuah desain besar, seperti cetak biru strategi kebijakan perbatasan. Selain itu, pendekatan militer dalam pengamanan di kawasan perbatasan terlihat masih men-dominasi. Akibatnya, pengamanan di kawasan perbatasan lebih bertumpu pada perspektif pertahanan dan melemahkan sisi penegakan hukum. Padahal karakteristik utama dari bentuk ancaman keamanan di kawasan perbatasan lebih bersifat arus lalu-lintas orang serta barang dan jasa yang ilegal, bukan musuh militer yang harus dibinasakan.

Dr. Rahman Mulyawan

46

Setidaknya terdapat 4 (empat) tantangan kondisi riil yang dinilai menghambat, pada tingkatan tertentu, dalam pengem-bangan sistem manajemen perbatasan Indonesia, yaitu:

1) Konsolidasi demokrasi yang menitikberatkan pada proses desentralisasi dan otonomi daerah,

2) Kondisi kawasan perbatasan yang menyulitkan fungsi monitoring, pengawasan, dan penegakan hukum,

3) Minimnya dukungan anggaran dalam mengembangkan kapa sitas pengawas perbatasan dan pembangunan di kawasan perbatasan,

4) Masih rendahnya pemahaman perspektif maritim yang memengaruhi pengembangan struktur dan postur perta-hanan dan keamanan Indonesia. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah seringkali dipahami sebagai kebebasan daerah yang kadang-kadang berlebihan. Tidak mengheran-kan jika terdapat peraturan daerah yang dianggap tidak konsisten dengan peraturan pusat, misal praktek penga-velingan kawasan perairan dalam kepentingan eksplorasi alamnya, bahkan dalam fungsi penegakan hukum seperti Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Riau yang membeli sendiri kapal patroli laut.

Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa karak-teristik utama permasalahan di kawasan perbatasan Indonesia adalah potensi konflik dengan negara tetangga yang berbatasan, karena perbedaan klaim teritorial dan lemahnya pemahaman dasar terhadap konsekuensi kondisi bentang teritorial dengan kemampuan mengantisipasi berbagai ancaman keamanan yang bersifat non-militer. Bahkan buku Pertahanan IndonesiaTahun

Beranda Negara Di Tepi Negara Tetangga

47

ancaman dalam bentuk agresi militer dari negara lain. Walaupun terdapat elemen ancaman militer, tingkatannya lebih pada bentuk manuver militer, bukan agresi okupasi, seperti manuver kapal laut Malaysia di sekitar blok Ambalat akhir Mei 2009. Bentuk ancaman keamanan yang bersifat non-militer harus diantisipasi dengan peningkatan dan pelibatan otoritas sipil, sehingga strategi yang dikembangkan harus menitikberatkan pada fungsi penegakan hukum dan bukan pengembangan dok-trin militer tentang bagaimana melumpuhkan ancaman sebagai musuh.

5.1. Struktur Politik

Struktur politik di Kabupaten Belu dapat dikatakan sama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dengan adanya supra dan infrastruktur politik yang ada, telah menjadikan Kabupaten Belu sebagai daerah yang telah berupaya untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi secara ideal. Struktur politik di Kabupaten Belu semakin diperkuat dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat Belu, sehingga secara umum situasi kawasan di Kabupaten Belu sangat jauh dari konflik.

Kondisi daerah Belu sangat aman, jauh seperti tahun 1990­an yang banyak konflik. Pada pemilu yang lalu masya­ rakat Belu tingkat partisipasinya tinggi dan konflik dapat dikatakan rendah. Hubungan dengan partai-partai yang ada sangat baik.1

Tingkat konflik di Belu sangat rendah. Salah satu yang menyebabkan kondusifnya kondisi sosial politik di Belu,

1 Hasil wawancara dengan Bupati Belu di Kantor Bupati di Kota Atambua pada 9 Juni 2011.

Implementasi Kebijakan

Dokumen terkait