• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN KELUARGA PEREMPUAN YANG DITINGGAL SUAMI KERJA MERANTAU

KERJA MERANTAU Oleh

E. MANAJEMEN KELUARGA PEREMPUAN YANG DITINGGAL SUAMI KERJA MERANTAU

Dalam hal tanggung jawab dalam merawat anak, sebagian responden menyatakan bahwa selama ditinggal suami, mereka berusaha merawat anak sebaik mungkin dengan biaya yang diberikan oleh suami dan hasil usahanya sendiri. Hanya ada satu responden yang menyatakan bahwa dia tidak mampu merawat anak sebaik mungkin, dan untuk memenuhi kebutuhan keluarga masih memerlukan bantuan keluarga.

Seluruh responden mengakui bahwa untuk menjalani hidup sendirian bersama anak-anak ketika ditinggal oleh suami untuk bekerja merantau itu sangat berat dan memerlukan kesiapan pemikiran, perasaan, penguasaan emosi, tindakan yang kuat sebab jika tidak memilikinya maka mustahil akan mampu melaksanakan kewajiban dengan baik. Salah satu hal berat yang dihadapi adalah problem ketidaksiapan mental anak. Semua partisipan menyampaikan bahwa mereka sangat repot dalam merawat anak seorang diri seperti layaknya single parent karena anak-anak tidak siap ditinggalkan oleh bapaknya. Secara psikologis mereka sangat merasakan hilangnya kasih sayang dan perhatian seorang bapak dalam kurun waktu tertentu. Bahkan ada 3 responden yaitu Sh, N dan Ms yang harus berusaha keras untuk meminta bantuan pihak lain (kyai) untuk menyelesaikan masalah anak yang rewel. Berkaitan dengan manajemen keluarga, para responden menyampaikan:

a. Pemenuhan Kebutuhan Lahiriyah Keluarga

Kebutuhan papan keluarga responden sudah terpenuhi walaupun dalam bentuk sederhana. Hanya ada 3 responden yang tinggal satu rumah dengan mertua.

Pada pemenuhan kebutuhan makan dan minum, ada 21 orang menyatakan bahwa mereka membeli beras yang kualitasnya biasa saja, sayur dan lauk seadanya. Sementara 9 orang lainnya menyatakan bahwa mereka membeli beras yang kualitasnya bagus dan kadangkala membeli barang yang harganya menambah anggaran belanja.

Adapun mengenai pemenuhan kebutuhan pakaian, 22 partisipan (73.33%) menyatakan bahwa mereka membeli pakaian baru sekali dalam satu tahun untuk menyambut hari Raya Idul Fitri. Bahkan jika keuangan tidak mencukupi, pihak istri dan suami tidak membeli baju baru, asalkan anak mereka memiliki baju baru dan mereka dapat membeli penganan lebaran untuk dihidangkan di meja tamu. Untuk memenuhi kebutuhan ini, jika mendesak para partisan memutuskan

untuk hutang kepada teman seperantauan. Sisanya 8 orang (26.66%) menyatakan bahwa keuangan mereka lebih dari cukup untuk membeli pakaian yang disukai kapan saja. Bahkan khusus untuk menyambut hari Raya Idul Fitri, mereka membeli pakaian yang kualitasnya bagus.

Mengenai kemandirian perempuan, 18 orang menyatakan bahwa mereka belum bisa mengendarai sepeda motor. sehingga jika ada keperluan dilakukan dengan jalan kaki, naik bus, atau diantar oleh saudara lelaki yang terampil berkendara atau diantar suami jika ada di rumah. Selebihnya 12 orang (39.99%) menyatakan mereka tetap meminta di antar suami jikalau suami ada di rumah meski terampil naik sepeda motor.

Sedangkan pemenuhan alat komunikasi berupa HP, ada 22 orang (73.33%) menyatakan bahwa mereka sudah memiliki HP sebagai alat komunikasi keluarga, sedangkan sisanya 8 orang (26.66 %) menyatakan bahwa mereka belum mempunyai HP sebagai alat komunikasi keluarga. Apabila ada urusan antar keluarga perantauan atau keperluan lain, mereka menumpang HP tetangga atau saudara. Selain itu juga ditemukan fakta, ada 17 responden (56.66%) menyatakan bahwa mereka tidak mengenal baik teknologi sehingga belum dapat menggunakan HP dengan baik.

Berkaitan dengan kebutuhan sosial yang bersinggungan dengan pengeluaran uang, 21 responden menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam penggunaan khususnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Artinya mereka bertindak sangat ekonomis terhadap kegiatan sosial yang membutuhkan biaya, termasuk kegiatan mengaji dan arisan yang diikuti. Sisanya 9 orang menyatakan bahwa mereka selalu siap apabila ada kegiatan sosial yang membutuhkan biaya. Untuk memenuhi kebutuhan sosial non material, seluruh partisipan memiliki jiwa sosial yang tinggi, faktanya mereka ringan tangan dalam menolong, karena mereka sudah merasakan hidup dalam kekurangan yang sangat jelas membutuhkan bantuan orang lain. Dalam berinteraksi sosial, semua partisipan menyatakan bahwa mereka berusaha untuk menjaga diri dari sifat konsumtif dan materialis dalam hidup ini agar tidak menjadi kemrungsung. Mereka lebih memilih hidup apa adanya dan mensyukurinya sehingga dapat merasakan kebahagiaan hidup berkeluarga walau berada dalam level prasejahtera (observasi dan wawancara pada tang gal 19, 20, 26, 27 November 2011 dan tanggal 3, 4, 10, 11 Desember 2011).

b. Pemenuhan Kebutuhan Batiniyah Istri

Pertama, tentang perlindungan dan pengarahan, semua partisipan penelitian menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan batiniyah tidak dapat mereka peroleh secara kontinyu karena suami jauh dari dirinya. Para partisan merasakan kehilangan patner berembug dan berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan keluarga.

Kedua mengenai pendidikan, seluruh partisipan aktif mengikuti kegiatan yang ada di wilayah mereka seperti pengajian Muslimat, Fatayat, kumpulan RT, Jam’iyah pengajian, dan sebagainya. Hanya saja karena sudah terkuras tenaganya dalam menyelesaikan pekerjaan domestik rumah tangga seorang diri, sehingga terkadang timbul merasa malas mengikuti kegiatan tersebut. Meski begitu, aktifitas itu dilakukan sebagai bentuk refresing.

Ketiga, mengenai pemenuhan kebutuhan biologis. Semua responden menyatakan kebutuhan ini baru dapat dipenuhi manakala suami pulang. Selama suami di rumah, masalah kebutuhan seks ini dipenuhi dengan cara siapa yang memiliki hasrat, maka dia yang mengajak pasangannya untuk memenuhi kebutuhan itu. Hal ini berarti lelaki dan perempuan memiliki posisi yang sama dalam hal pemenuhuan kebutuhan biologis. (wawancara pada tanggal 17, 18, 24 dan 25 Desember 2011).

c. Pemenuhan Biaya Pengasuhan Anak dan Perjodohan Anak.

Mengenai biaya perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak, semua partisipan menyatakan bahwa perihal itu menjadi tanggungan sepenuhnya pada suami. Hanya saja bagi partisipan yang juga bekerja, uang yang diperoleh digunakan untuk membantu meringankan beban suami guna memberikan sesuatu yang terbaik untuk anak mereka.

Adapun mengenai perjodohan anak, pihak suami maupun istri tidak mau menjodoh–jodohkan anak dengan pasangan pilihan mereka, tetapi mereka memberikan kesempatan pada anaknya untuk menentukan teman hidupnya dan menganjurkan agar anaknya siap menanggung segala konsekuensi pilihannya, dengan demikian mereka cukup bijaksana dalam memandang masalah perjodohan.

F. Simpulan

Kondisi sosial ekonomi keluarga responden yang berada dalam level pra sejahtera merupakan alasan yang mendorong para suami mencari pe kerjaan bahkan pekerjaan yang beresiko tinggi dan berada di luar wilayah tempat tinggal bahkan di luar pulau. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, beberapa partisipan yang tidak lagi direpotkan dengan mengasuh anak yang masih kecil juga bekerja dalam beberapa profesi seperti wirausaha maupun guru. Wawasan gender para partisan masih rendah karena hanya sebagian kecil yang mengetahuinya. Meskipun demikian dalam keluarga pedesaan ini ditemukan pola pengasuhan yang adil gender dalam pembagian tugas kerumahtanggaan yang adil dan bergiliran baik antara anak laki-laki maupun perempuan. Pengelolaan keuangan dilakukan oleh responden dengan memilah-milah kebutuhan dengan mementingkan pemenuhan kebutuhan papan, sandang dan pangan walaupun dalam kesederhanaan. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dan pendidikan keagamaan dilakukan dengan aktif mengikuti kegiatan di lingkungan tempat tinggal, misalnya Muslimat, Fatayat, dan Jam’iyyah pengajian.

SUMBER RUJUKAN

Abdul Rahman. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta.

A. Nunuk P. Murniati. 2004. Getar Gender, Yayasan Indonesia Tera, Magelang.

A.S Hornby. 1995. Oxford Advanced Leanness’ Dictionary Of Current English, Oxford University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Hasan Basri. 2004. Keluarga Sakinah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ibnu Abdul Ghofur. 2006. Nikah dan Seks Islami, Harapan Mandiri,

Kediri.

Mansour Fakih. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Oleh Khamid Fadholi *)

Judul Buku :Manba’us Sa’adah (Fi Asasi Husnil Mu’asyarah wa Aham miyatu Sihhah al- Injabiyyah Fil Hayatiz Zaujiyyah wa Yalihial-

Sittin al- ‘Adliyyah fil Ahadis

al- Nabawiyyah ‘an Taqwiyati Huquqil Mar’ah)

Penulis : Faqihuddin Abdul Kodir Penerbit : ISIF ( Institu Studi Islam

Fahmina ) bekerja sama dengan Fahmina- institute Cirebon Tahun Terbit : 1 Januari 2012

Jumlah Halaman: ix + 170

Kitab kuning peka kesetaraan gender, itulah kesan pertama yang muncul di benak peresensi saat membaca buku ini. Buku yang disusun oleh Faqihuddin Abdul Kodir ini disajikan dalam bahasa arab, bukan bahasa Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh ISIF bekerja sama dengan Fahmina-institute, organisasi yang konsen dan intens mendiskusikan isu-isu kesetaraan gender di Indonesia. Setelah sekian lama melakukan pembinaan dan diskusi kesetaraan gender di ruang publik, ISIF dan Fahmina mulai menggarap lahan kosong kaum tradisionalis dan pesantren.

Penyusunan buku ini merupakan bentuk keseriusan ISIF dan Fahmina dalam mengkaji dan mengajak masyarakat untuk memahami perang penting kesetaraan gender. Fahmina dan ISIF, sebagaimana diakui oleh para anggotanya, muncul dari kalangan Islam tradisionalis Indonesia.

Kelompok ini biasanya berafiliasi dengan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang identik dengan warna hijau, Nahdlatul Ulama atau lebih dikenal dengan istilah akronimnya “NU”. Kalangan-kalangan ini memiliki akar kuat, sangat berpengaruh dan mentradisi di masyarakat. Eksistensi kitab kuning peka kesadaran gender ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap pemberdayaan masyarakat yang telah melahirkan mereka.

Hubungan NU dengan Fahmina-institute tampak semakin erat dengan diberikannya sejumput ruang kata pengantar bagi Ketua Umum NU periode saat ini, KH. Said Aqil Siraj. Dalam kata pengantarnya tersebut, Kyai Said banyak menerbitkan data-data sejarah mengenai kepedulian dan respek ormas NU terhadap peran perempuan dan hal-hal lain terkait perempuan dan NU. Dalam kata pengantar tersebut, Kyai Said tidak banyak menyinggung konten buku.

Lain dengan Kyai Said, KH. Husein Muhammadyang dikenal sebagai kyai pembela hak perempuan juga mendapatkan ruang dalam kata pengantar. Dalam kata pengantarnya, Buya Husein menegaskan urgensi tas relasi patnership dalam hubungan suami-isteri yang didedahkan dalam kitab kuning modern ini. Pemahaman ayat maupun hadits haruslah dipahami dalam konteks ditujukan untuk kedua belah pihak, suami dan isteri. Dengan adanya pemahaman tersebut, diharapkan lahir dan berkembangnya sikap saling menghargai antara kedua belah pihak (Faqihuddin Abdul Kodir : 2012, 12).

Buku ini terbit dan berbentuk menjadi cetakan buku pada awal tahun 2012, sebagaimana tercantum dalam data buku tersebut. Sebelum muncul di pasaran buku ini telah dibincangkan secara khusus oleh founding father ISIF dan Fahmina, Buya Husein, dalam sambutan ulang tahun Fahmina yang ke-11. Tanpa mengurangi kontribusi terhadap 10 buku lain, Buya Husein sangat bangga dan menaruh ekspektasi besar atas penerbitan kitab kuning peka gender ini (Husein Muhammad, 2011).

Pada kata pengantar penulisnya, buku ini diharapkan menjadi landasan berpikir dalam diskusi kesetaraan gender di Indonesia maupun masyakarat muslim pada umumnya. Selain itu, juga sebagai media pembinaan dan konseling keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah serta urgensitas kesehatan reproduksi bagi suami-isteri. Tujuan ini pula yang menjadi sebagai anak judul dari kitab kuning modern ini. Kemunculan kitab kuning ini disinyalir oleh penulisnya sebagai jawaban atas kebutuhan sebuah teks dan literer yang dekat dan dapat diterima oleh kalangan kepesantrenan

(Faqihuddin Abdul Kodir : 2012, 15).

Dalam kata pengantar tersebut pula, Faqihuddin mencoba membangun ide-ide kesetaraan gender berangkat dari teks-teks suci Islam, al-Quran dan al-Hadits. Beliau membuka pembicaraan dengan menyitir pengertian dari sebuah hadits yang mencegah adanya penindasan. Selanjutnya, beliau menjelaskan beberapa ayat seputar keluhuran derajat manusia sebagai makhluk. Ayat-ayat tersebut sama sekali tidak menyebutkan di versitas jenis kelamin. Sederhananya, setiap manusia berada pada derajat yang sama. Terlebih, saat ditegaskan dengan ayat 13 pada surat al-Hujurat, yang menandaskan pembeda antar manusia berada pada standar kualitas ketaqwaan masing-masing personal.

Pembinaan dan Konseling Keluarga Harmonis

Kitab kuning modern ini, bagi peresensi, berisikan dua bagian yang secara fundamental berbeda. Di bagian awal, buku ini menyajikan pembahasan seputar pembinaan dan konseling guna mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Pada bagian ini, kitab kuning modern ini memperbincangkan tips-tips dan trik untuk mewujudkan keharmonisan yang ideal dalam.

Pada bagian awal, kitab ini membuka pembicaraan dengan mencoba mengubah mindset dan mencuci otak para pembacanya mengenai esensi pernikahan. Kitab ini menekankan esensi pernikahan adalah transaksi legalitas melakukan hubungan seksual. Penekanan ini menolak ide-ide esensi pernikahan sebagai transaksi kepemilikan atas diri seorang perempuan, sebagian maupun secara keseluruhan dari tubuh perempuan. Ide pernikahan sebagai transaksi kepemilikan ini ‘tak ubahnya menganggap perempuan sebagai “barang” yang bisa diperjualbelikan dan atau diambil manfaat dengan disewakan (Faqihuddin Abdul Kodir : 2012, 42-45).

Pada step selanjutnya, penekanan kitab ini diarahkan pada ide-ide relasi partnership antara lelaki dan perempuan. Mereka diciptakan untuk bekerjasama, bukan untuk saling mengalahkan atau merendahkan. Tuntunan dan tuntutan dari teks-teks suci ayat dan hadits haruslah dipahami dalam horison tabaddul, saling bergantian dan saling mengisi kekurangan. Ide tabaddul ini pula yang digunakan sebagai pijakan untuk pemuasan hasrat seksual manusiawi. Kenikmatan hubungan seksual bukan hanya dicari oleh kaum lelaki, kaum perempuanpun menginginkan kenikmatan dalam hubungan manusiawi tersebut. Berangkat dari ide tersebut, hukum foreplay atau pemanasan sebelum berhubungan badan pun berubah menjadi

wajib dilaksanakan oleh pihak pria sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan terhadap pasangannya (Faqihuddin Abdul Kodir : 2012, 46-50 dan 57-61).

Kitab ini juga membahas problematika pengasuhan anak. Penekanan yang diberikan oleh kitab ini adalah pengasuhan anak menjadi kewajiban kedua belah pihak. Kedua orang tuanya turut mewarnai kesuksesan dan kegagalan yang akan terjadi di masa mendatangnya. Kitab ini menolak mentah-mentah ide dan asumsi masyarakat umum yang menyatakan “kesuksesan seorang anak terletak pada bapak, sedang kegagalan mereka disebabkan faktor bunda”. Meski begitu, yang sangat disayangkan oleh peresensi, analisis yang digunakan untuk membangun penolakan ide dan asumsi masyarakat tersebut tidak dibangun dengan komprehensif. Analisis yang banyak digunakan hanyalah pencantuman dan penukilan hadits (Faqihuddin Abdul Kodir : 2012, 61-64).

Kesehatan reproduksi (Kespro) juga menjadi topik utama kitab kuning ini. Kespro disini dianggap penting didasarkan pada ide bahwa keberlangsungan keturunan yang baik sangat ditunjang oleh aspek ini. Dan, sebagaimana jamak diketahui dalam kaidah fiqh, keberlangsungan keturunan termasuk dalam poin-poin yang wajib dijaga oleh seorang muslim. Selain itu, ide kespro ini juga menjadi branding dan topik utama kajian ISIF dan Fahmina-institute.

Masih dalam tema besar Kespro, Faqihuddin berpendapat mengenai hak mendapatkan kenikmatan seksual. Kenikmatan seksual merupakan hak bagi kedua belah pihak, suami dan isteri. Hal ini pula yang melatari pendapat Faqihuddin mengenai legalitas program Keluarga Berencana (KB) yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Pada tema ini, beliau banyak menyitir pendapat Imam al-Gazali. Faqihuddin mengqiyaskan hukum KB dengan diskusi ‘azl pada era klasik. Beliau mendasarkan argumennya pada kesamaan illat atau alasan yang melatari keduanya. Di akhir pembahasan, beliau cenderung menyatakan legalitas hukum KB selama program tersebut telah menjadi kesepakatan bersama antara suami dengan isteri.

60 Hadits Peka Kesetaraan Gender

Di bagian selanjutnya, setelah epilog dari penulisnya, kitab ini menginventarisir 60 hadits yang peka dengan ide-ide kesetaraan gender. Mayoritas dari hadits-hadits yang dicantumkan di bagian ini berasal dari 9 kitab kanon hadits. Beberapa sumber selain kutubut tis’ah tersebut diambil

dari kitab al-Tabaqat al-Kubro karya Ibn Sa’d (2 buah), kitab Musannaf ‘Abdurrazzaq (1), dan dari Sunan al-Baihaqi (3).

Penambahan 60 hadits peka kesetaraan gender di akhir buku ini semakin menguatkan citra Islam tradisionalnya. Hadits-hadits tersebut hanya diinventarisir dan dikumpulkan dalam tema-tema tertentu tanpa mendapat kan penjelasan dan rasionalitas. Hadis-hadis yang ada tidak dikaji secara komprehenship dalam kerangka ma’anil hadis. Eksistensi analisis pada bagian ini apapun bentuknya dapat memberikan warna berbeda.

Inventarisasi hadits-hadits tersebut di satu sisi dapat menjadi nilai plus plus, mengacu pangsa pasar yang disasar oleh kitab kuning ini. Sedangkan di sisi lain, bagi peresensi, inventarisasi ini semakin menguatkan tujuan dan ratio pasar yang dimaksudkan dari penerbitan kitab kuning ini, yakni pesantren. Masyarakat Indonesia umumnya membaca dan mengkaji isu-isu terbaru dari buku-buku dengan pengantar bahasa Induk dalam bahasa Indonesia, ataupun bahasa Internasional dengan bahasa Inggris. Penggunaan pengantar bahasa Arab pada buku ini mengindikasikan pangsa pasarnya adalah kalangan pesantren, bukan khalayak umum.

Korelasi Manba’us Sa’adah Dan Buku Fiqh Perempuan Husein Mu hammad

Bagi peresensi, kitab kuning peka gender ini tidak bisa dilepaskan dari buku Fiqh Perempuan yang telah beredar lama di pasaran. Kedua karya ini memiliki hubungan yang erat. Buah yang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya, itulah peribahasa yang mencocoki dan selaras untuk Kitab Kuning peka gender ini. Kitab kuning modern ini ‘tak ubahnya sebagai arabic edition dari Fiqh Perempuan yang telah berada di pasaran medio awal 2000-an. Tentu saja, dalam rentang satu dekade lebih, ide-ide yang telah ada semakin menemukan bentuk idealnya. Like father like son, sebuah kitab baru pasti memiliki beberapa penambahan dan perevisian dari kitab yang pernah ada. Itulah yang terjadi pada Sunan al-Nasa’i Kubro dan Sughro, qaul qodim dan qaul jadid dari al-Imam al-Syafi’i. Begitupun Kitab Manba’us Sa’adah dengan Fiqh Perempuan. Kitab kuning modern tersebut mengambil ruang diskusi fiqh perempuan secara mandiri dengan ditambahkan beberapa ide-ide membangun suasana keluarga harmonis.

Kecenderungan buku ini mirip dengan kecenderungan buku Fiqh Perempuan karya Buya Husein. Tidak mengherankan, sebab kedua buku ini lahir dari garba rahim Fahmina. Kecenderungan kedua buku ini terlihat mengental pada coraknya yang masih fiqh sentris. Horison pembacaan

kedua buku tersebut bercorak legal formal. Diskusi khitan perempuan lebih banyak menitikberatkan pada aspek tiadanya nas dan dalil naqli yang menginstruksikannya. Diskusi mengenai pemberian hukum terhadap isteri yang nusyuz juga didasarkan pada legalitas ragam hukum yang dijelaskan oleh al-Quran dengan sedikit bumbu negosiasi yang populer dengan istilah “pukulan yang tidak melukai” dalam aplikasinya.

Pendekatan medis maupun psikis kurang mendapat porsi dalam analisisnya. Kedua pendekatan tersebutlah yang terbukti banyak menempatkan kesetaraan gender secara proporsional. Pada pendekatan medis, relasi seksual lelaki dan perempuan adalah partnership. Kedua belah pihak harus saling mengisi ruang kosong yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak lainnya. Begitupun dengan pendekatan psikis, kedua jenis manusia ini dipandang identik dengan keistimewaan masing-masing. Keragaman dan keidentikan keduanya bukan untuk dikonfrontasikan dan menundukkan, melainkan untuk mewujudkan kondisi saling pengertian, saling memberikan perhatian dan penghargaan terhadap pihak lainnya.

Kitab kuning yang peka kesetaraan gender merupakan sebuah karya modern dari segi konten. Dari segi penulisan, kitab kuning ini masih kental sisi klasiknya. Kitab ini meninggalkan format catatan kaki dan perujukan modern. Pembaca tidak akan menemui satupun catatakan kaki pada kitab ini, terkecuali pada bagian inventarisasi 60 hadits. Meski di setiap bagian pengutipan penulisnya menyertakan data rujukan, namun data referensi tersebut tidak dapat disebut sebagai catatan perut maupun catatan kaki. Pembaca akan merasa disulitkan dalam proses re-check data-data kutipan tersebut.

Secara keseluruhan, kitab kuning ini tampak dikhususkan dan ditujukan untuk kalangan pesantren dan Islam tradisionalis di masyarakat Indonesia. Kalangan-kalangan ini merupakan lahan hijau dan masih perlu digarap secara intens. Secara resmi, diskusi-diskusi seputar kesetaraan gender masih sangat jarang terjadi di kalangan ini. Setelah melanglang buana dalam membina dan memberikan konseling seputar kesetaraan gender di masyarakat umum, Fahmina merasa berkewajiban menyadarkan dan memberikan pencerahan untuk kalangan “keluarga dekatnya”. Berangkat dari tradisi pesantren, maka dengan seharusnya organisasi tersebut ikut memberdayakan pesantren.

Perbedaan karya ini dengan karya lain yang mengusung tema sama terletak pada referensi, analisis dan kecenderungannya. Karya ini tidak hanya mendiskusikan kesetaraan gender dari perspektif “aktivis” seperti

yang tampak dilakukan oleh, misalnya, Amina Wadud saja. Seperti yang biasanya tampak dari gaya yang sering ditunjukkan oleh Buya Husein, karya ini mengeksplorasi khazanah keilmuan Islam klasik yang digunakan sebagai afirmasi kesetaraan gender.

Bagi peresensi, nilai plus yang menjadikan kitab kuning modern ini lebih dekat dengan pasarnya yakni kalangan Islam tradisionalis Indonesia dan kepesantrenan sekaligus dapat menjadi kekurangan yang mencolok. Karya ini mengekplorasi secara kolosal khazanah keilmuan Islam al-Quran, hadits maupun warisan dan karya-karya ulama klasik dengan meninggalkan analisis dan pertimbangan-pertimbangan modern. Para pembaca tidak akan menemui analisis dan pertimbangan medis dan psikis dalam kasus ‘azl dan aborsi.

Sebuah karya dapat dikerjakan secara kolektif dan dapat dituntaskan secara independen. Kedua karya tersebut tidak saling merendahkan kualitas masing-masing, melaingkan memiliki horison pemikiran yang berbeda. Buku yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir sepertinya merupakan karya hasil penelitian bersama. Buku ini, bagi peresensi, merupakan