• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pendahuluan - MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN MELALUI ALOKASI ANGGARAN - STAIN Kudus Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. Pendahuluan - MENGHAPUS BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN MELALUI ALOKASI ANGGARAN - STAIN Kudus Repository"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Siti Malaiha Dewi*)

ABSTRACT: Discrimination against women in Indonesia is still a lot going on. In fact, the government has ratified the CEDAW (Convention On The Elimination of All Forms Dis crimination Against Women) through Law No. 7 of 1984. This paper attempts to explain that the budget could be used as one of the state media to solve the problem of discrimination against women, because one function of the budget is the distribution of resources resul ting in equalization of marginal groups. One model that could be a solution to budgeting is a gender budget because it permits gender-specific budget for women

Keywords: Women, Discrimination, and Budget

A. Pendahuluan

Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan ditempat kan sebagai the second human being (manusia kelas dua), yang berada di bawah superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Akibat yang paling jelas dari situasi sosial seperti di atas adalah ter jadinya diskriminasi terhadap

(2)

perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus kan pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka, dan kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lain-lain (JP, 2006: 150).

Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Komitmen Indonesia untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan tampak setelah diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau yang disebut dengan Konvensi CEDAW (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Diratifikasinya konvensi di atas, maka prinsip non-diskriminasi menjadi landasan aksi pemerintah dalam merancang kebijakan, program dan pelayanan publik.

Menjadi pertanyaan adalah apa saja yang telah terjadi paska ratifikasi yang hampir 30 tahun di negeri ini? Jika kita amati perkembangannya, maka ratifikasi CEDAW yang seharusnya menjadi landasan hukum dalam merumuskan kebijakan nasional, ternyata masih jauh dari kenyataan. Masih banyak ditemui produk kebijakan yang terwujud dalam UU (undang-undang) dan Peraturan Daerah (Perda) justru bertentangan dengan konvensi CEDAW.

Produk hukum yang bertentangan tersebut misalnya UU Perkawi nan No 1 tahun 1974 yang menyebutkan batas nikah laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, sementara Undang-Undang tentang perlindungan anak menyebutkan 18 tahun sebagai usia maksimal dikategorikan anak. Ambiguitas dalam produk kebijakan hukum ini merugikan posisi perempuan di masyarakat (Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni 2012).

(3)

berbelanja memenuhi kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya (Cedawindonesia.net, diakses tanggal 11 Juni 2012). Sayangnya, beberapa produk hukum diatas seringkali digunakan sebagai rujukan dan landasan dalam menetapkan peraturan dan menyelesaikan persoalan. Hasilnya? Tentu saja memiliki ‘aroma’ diskriminatif’.

Selain produk hukum yang rentan ‘aroma’ diskriminatif, beberapa fakta situasi diskriminasi terhadap perempuan yang masih tinggi tingkat kasusnya adalah kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan perempuan (traficking), minimnya akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan serta keterwakilan perempuan dalam jabatan publik.

Diskriminasi di dunia kesehatan ditunjukkan dengan tingginya angka kematian ibu. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia sebagaimana dikutip oleh Fatimah (JP, 2006: 20), jumlah kematian ibu di Indonesia sebesar 307/100.000 kelahiran hidup, artinya secara merata terdapat dua ibu melahirkan yang meninggal dunia. Menurut survey ini pula, sebanyak 50% perempuan Indonesia mengalami anemia dan 18% mengalami kekurangan protein. Sedangkan diskriminasi di bidang ekonomi yang mengemuka adalah menyangkut ketimpangan upah. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), upah perempuan hanyalah 60 persen dari laki-laki. Bahkan, rendahnya remunerasi tersebut masih harus disertai dengan beban ganda yang harus ditanggung yaitu beban domestik (Fatimah dalam JP, 2006: 21)

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa persoalan diskriminasi masih banyak terjadi meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvesi CEDAW puluhan tahun yang lalu. Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana praktik penganggaran mampu menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan konsep alternatif yang mungkin untuk diusung.

B. Pentingnya Respon Anggaran

(4)

sangat efektif bagi negara untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi terhadap perempuan.

Di Indonesia, hierarki dokumen perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional yang tergambar pada bagan di bawah ini, menunjukkan bahwa anggaran adalah rumusan kebijakan di tingkat yang paling akhir. Artinya, disana ada komitmen-komitmen kunci dalam pembangunan, termasuk dalam penyelesaian persoalan diskriminasi terhadap perempuan.

Bagan 1

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Pasal 11 (1) UU 25 tahun 2004

Pasal 16 (2) UU tahun 2004

Penjelasan pasal 22 UU No. 25

Disahkan Periode :1 tahun diatur

melalui Peraturan Daerah

(5)

Tabel 1

Akses, Kontrol, Partisipasi, Manfaat, dan Kendala Perempuan dalam Penganggaran (studi Kasus di Desa Temulus, Kab. Kudus, tahun 2011)

N o Pe r an Pe re m pu an p emi li hanaltern atif terb atas p ad a pemi lih an altern ati ve keb ij akan 5 Ken dala Kese mpat an

per emp u an un tu k

Tabel di atas menunjukkan bahwa: pertama, meskipun posisi perempuan di pemerintahan desa dan dalam tim perumus APBDesa sangat strategis, namun akses perempuan pada beberapa tahap formu lasi APB Desa masih terbatas. Akses sangat terbuka hanya pada tahap penjaringan aspirasi perempuan dan Musyawarah Desa Khusus perempuan.

Kedua, Partisipasi perempuan, dilihat dari tingkat kehadiran memang tinggi, namun sering terlambat. Sedangkan dilihat dari keaktifan pada rapat-rapat pembahasan, hanya sebagian stakeholders perempuan yang aktif.

(6)

kurang berpengaruh dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di APBDesa. Keempat, Manfaat yang diperoleh stakeholders perempuan atas proses formulasi dirasakan cukup, contohnya kebijakaan yang dihasil kan bisa mengakomodasi kepentingan perempuan meski belum optimal.

Hal tersebut di atas disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu kendala yang bersifat internal, dan eksternal. Kendala internal antara lain: minimnya pemahaman dan kompetensi perempuan akan proses formulasi APBDesa dan konflik peran yang dialami stakeholders perempuan akibat double burden. Sedangkan kendala eksternal antara lain: terbatasnya ke sempatan atau media bagi perempuan untuk terlibat pada formulasi APB Desa, dan minimnya representasi perempuan dalam tim perumus APB Desa.

Contoh kasus di atas meneguhkan tesis Budlender, sebagaimana dikutip oleh Fatimah dalam JP (2006: 74) bahwa persoalan perempuan tidak akan mungkin diselesaikan hanya dengan mengalokasikan anggaran bagi perempuan tetapi yang juga penting adalah bagaimana pengarusutamaan gender muncul atau diterapkan di setiap program dan anggaran atau yang dikenal dengan istilah Anggaran Responsif Gender (ARG).

C. Model Alternatif Anggaran Responsif Gender

Anggaran Responsif Gender (ARG) yang merupakan terjemahan dari Gender budget adalah salah satu metodologi feminis dalam hal kebijakan anggaran yang diterapkan agar pemerintah di sebuah negara berkonsentrasi membantu kelompok yang kekurangan (kelompok perempuan) dan menyediakan tempat untuk mereka.

Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 di South Australia dengan istilah women’s budget. Aktor intelektualnya adalah Prof. Rhonda Sharp. Model anggaran tersebut diketahui berhasil sebagai resep yang mujarab di beberapa negara untuk mengurangi kesenjangan gender yang terjadi, antara lain Mexico, Inggris, dan lainya (www.bap penas.go.id. Diakses tanggal 10 Juni 2012)

Di Indonesia, inisiatif ARG mulai dikembangkan tahun 2000 yang dilakukan oleh kalangan NGO (Non Government Organization). Konsep dan model yang diterapkan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Rhonda Sharp dan Debbie Budlender, bahwa:

(7)

pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran. Bahwa anggaran responsive gender terdiri atas seperangkat alat/ instrument dampak belanja dan penerimaan pemerin tah terhadap gender. (Mastuti, dalam JP, 2006: 9).

Konsep di atas, di Indonesia disederhanakan sebagai berikut: ARG adalah anggaran yang responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki dan memberikan dampak / manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki .

Berdasarkan konsep tersebut, maka yang disebut dengan ARG adalah anggaran yang memberi / mengakomodasi terhadap dua hal: Pertama, Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran dan hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya; Kedua, Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam kesempatan / peluang dalam memilih dan dalam menikmati hasil pembangunan. Jadi, selain kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil penganggaran, ARG juga menekankan pada kesetaraan antara laki - laki dan perempuan pada pro sesnya, yaitu sebuah proses penganggaran yang melibatkan perempuan dan laki-laki secara bersama serta kesempatan yang sejalan untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pe nganggaran.

Proses penganggaran sebagaimana proses kebijakan publik lainnya terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Sedangkan tahap perencanaan sendiri sebagaimana ditulis oleh Winarno (2008: 119-123) terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: Pertama, tahap perumusan masalah; Kedua, Penetapan Agenda Kebijakan; Ketiga, Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah; dan Keempat, Penetapan Kebijakan.

(8)

Tabel 2

Analisis Penganggaran yang Responsif Gender

Proses Penganggaran

Aspek-aspek yang dimonitor dan yang dievaluasi

Tahap Penyusunan Anggaran

1) Bagaimana tingkat keterlibatan perempuan dan laki2 di setiap tingkatan Musrenbang;

2) Bagaimanaperanlaki2 dan perempuan (keaktifan, jumlah usulan program, masalah yang dihadapi);

3) Bagaimanabentukprogram yang dihasilkan (kebutuhan, masalah yang dihadapi, keberpihakan pada yang termarjinalisasi);

4) Bagaimana tingkat keterbukaan dan keterjangkauan informasi bagi perempuan dan laki2.

Tahap Pembahasan Anggaran

1) Bagaimana keterwakilan laki2 dan perempuan dari setiap elemen-elemen masyarakat;

2) Bagaimana peran elemen masyarakat baik laki-laki maupun perempuan;

3) Bagaimana program yang dihasilkan untuk masyarakat; 4) Bagaimana keterbukaan proses pembahasan (Ada akses,

pengumuman jadwal dan hasil pembahasan).

Tahap Pelaksanaan Anggaran

1) Bagaimana keterlibatan masyarakat laki2 dan perempuan dalam pelaksanaan tender proyek;

2) Bagaimana keterbukaan pelaksanaan tender;

3) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam proyek pembangunan;

1) Bagaimana keterlibatan laki2 dan perempuan dalam pengawasan dan evaluasi;

2) Bagaimana efektifitas dan efisiensi pelaksanaan proyek.

(9)

Pada sisi belanja, ada beberapa model belanja responsif gender yang ditawarkan. Lebih jelas lihat bagan di bawah ini (Mastuti, dalam JP, 2006: 9):

Bagan 2

Kategorisasi Anggaran Responsif Gender

Anggaran Rensponsif Gender

(10)

Berikut beberapa item yang akan membantu pemetaan atas kategori-kategori di atas (Mastuti, dalam JP, 2006: 9):

Kategori anggaran khusus (contoh: bagi perempuan)

- Persentase alokasi anggaran khusus bagi perempuan dibandingkan dengan total anggaran

- Persentase alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan prioritas perempuan dalam pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan kesra)

- Pembagian alokasi anggaran untuk peningkatan keadaan ekonomi perempuan miskin.

Kategori alokasi anggaran untuk affirmative action bagi kelompok marginal

- Persentase alokasi anggaran untuk kelompok-kelompok marginal disbanding total anggaran

- Ada alokasi anggaran untuk program - program pelatihan pemerintah yang mengutamakan keseimbangan gender.

- Ada alokasi anggaran untuk mewujudkan keseimbangan gender dalam sector - sektor kepegawaian public.

- Ada alokasi anggaran untuk penyediaan payung hukum untuk pelaksanaan affirmative action atau upaya mewujudkan kesetaraan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan di sector-sektor public. Kategori alokasi anggaran untuk PUG

- Persentase alokasi anggaran untuk program-program PUG dibandingkan dengan total anggaran.

- Adanya alokasi anggaran untuk keperluan analisis gender termasuk penyediaan data terpilah.

- Adanya alokasi anggaran untuk pelaksanaan pelatihan gender dan penyediaan modul - modul untuk PUG sesuai dengan sector.

- Adanya alokasi anggaran untuk penelitian dan evaluasi terhadap dampak program terhadap laki-laki dan perempuan.

(11)

untuk dijadikan pilihan.

Menurut United Nation Development Fund For Women (UNI FEM) (dalam israsafril.wordpress.com, diakses tanggal 20 Juni 2012) untuk dapat disebut sebagai anggaran responsif gender, harus memiliki beberapa karakteristik yaitu :

1. Bukan merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki atau perempuan,

2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran baik di tingkat nasional maupun lokal,

3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder perempuan,

4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan responsif gender,

5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber - sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan SDM,

6. Menekankan pada prioritas daripada meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah,

7. Melakukan reorientasi dari program-program dalam sektor - sektor daripada menambah angka pada sektor-sektor khusus.

D. Simpulan

(12)

SUMBER RUJUKAN

De Beauvoir, Simone. 2003. The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono, dkk, Pustaka Prometea, Jakarta.

Dwiyanto, Agus, dkk., 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otono mi Daerah. Pusat Studi kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta.

Fakih, Mansour, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Megawangi, Ratna, 1999. Membiarkan Berbeda, Mizan, Bandung.

Nugroho, Riant, 2002. Reinventing Pembangunan, ELEX Media Kom putindo, Jakarta.

---, 2003. Kebijakan Publik, ELEX Media Komputindo, Jakarta.

---, 2006. Kebijakan Publik untuk Negara – negara Berkembang, ELEX Media Komputindo, Jakarta.

---, 2008, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Putra, Fadilah, 2005, Kebijakan Tidak untuk Publik, Resist Book,Yogyakarta.

Suwitri, Sri, 2008, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Undip, Semarang.

(13)

Sumber lain:

Israsafril.wordpress.com

Inpres No. 9 Tahun 2000

Jurnal Studi Gender Palastren, Vol 4 No. 2, Desember 2011 Jurnal Perempuan, No. 46, 2006

Jurnal Perempuan, No. 48, 2006 UU No. 25 Tahun 2004

(14)

MENURUT WAHBAH AL-ZUHAILI

Oleh:

Lilik Ummi Kaltsum* )

ABSTRACT: Some verses of the Qur’an are positioned as the legality of practice of violence and abuse of men to women in their marriage. This paper focuses on the verse paragraph which reduces the rights of women in marriage, associated with a complete picture of women’s rights in marriage which are expected to minimize the outbreak of violence in the house hold and can revive the spirit of the Qur’an for women’s in dependence and the liberation of non-human bondage. Al- Zuhaili’s interpretation of these verses are divided into two parts, namely the interpretation of which is still gender bias and some interpretations which are quite friendly to women, such as appreciation for women’s reproductive role

Keywords: women’s rights, marriage, Qur’anic interpretation,

Wahbah al-Zuhaili

A. PENDAHULUAN

Kedamaian dan keakraban harus terdapat dalam kehidupan suami istri. Kedamaian dan keakraban ini sangat berbeda dengan kedamaian dan keakraban antara dua teman sejawat, dua tetangga ataupun dua Negara. Kedamaian dan keakraban dalam kehidupan sepasang suami istri serupa, tetapi tidak identik, dengan perdamaian dan keakraban yang harus ada antara orang tua dan putra-putrinya. Artinya, dalam hubungan tersebut harus tumbuh sikap

(15)

murah hati, tidak mementingkan diri sendiri, memperhatikan masa depan masing-masing, memecahkan dualitas yang menjadi penghalang, memandang kebahagiaan yang lain sebagai kebahagiaannya sendiri dan petaka yang lain sebagai petakanya sendiri.

Banyaknya praktek kekerasan dan kesewenang-wenangan kaum laki-laki kepada kaum perempuan dalam pernikahan dapat menjauhkan sebuah rumah tangga dari tujuan utama pernikahan.

Keadaan ini dilanggengkan dengan dalih agama. Beberapa ayat al-Quran diposisikan sebagai legalitas tindakan arogansi dan superior kaum lelaki atau suami.

Dalih agama yang sering digunakan payung legal sebuah kekerasan dalam keluarga adalah Q.S. al-Nisa’/4: 34. Lafaz qawwam

sering diartikan dengan pemimpin. Meski beberapa terjemahan al- Quran telah banyak yang menerjemahkan dengan pelindung atau pengayom, namun pada praktiknya ayat inilah yang digunakan legalitas kesewenang-wenangan laki-laki kepada perempuan, khususnya suami kepada istri.

Selain Q.S. al-Nisa’/4 : 34, dalil lain yang dipakai legitimasi kekuasaan laki-laki adalah ayat-ayat yang menekankan pemberian mahar dan nafkah. Hak istri untuk memperoleh mahar dan nafkah sering berdampak pada hak istri untuk menerima kekerasan. Karena adanya anggapan bahwa kemampuan memberikan mahar dan nafkah identik dengan kekuatan dan superior.

(16)

punya anak laki-laki, maka dia menjawab, “agar anak laki-laki saya bisa menjaga saya”. (al-Sya’rawi, t.th. : IV, 2200).

Penjelasan al-Zuhaili dalam tafsirnya tidak sebanyak dan sedetail al-Sya’rawi. Penafsirannya hampir sama dengan mufassir

klasik tanpa banyak mengomentari perselisihan pendapat terkait dengan hak perempuan. Menurutnya laki-laki adalah pemimpin, pembesar, hakim dan pendidik perempuan, terutama ketika perempuan berbelok dari jalan sebenarnya. Laki-laki adalah pelindung dan penanggung jawab perempuan. Oleh karena itu dia diwajibkan jihad sedangkan perempuan tidak wajib. Laki-laki mendapat warisan 2 kali dari perempuan. Laki-laki selamanya memperoleh 1 derajat lebih tinggi dibanding perempuan karena adanya 2 kewajiban yang tidak mungkin dibebankan ke perempuan yaitu memberikan mahar dan nafkah kehidupan. (al-Zuhaili, 1991 : V, 54).

Penafsiran al-Zuhaili tersebut menunjukkan adanya bias jender dalam alur penafsirannya. Dalam ayat-ayat yang lain, secara eksplisit al-Zuhaili menyejajarkan ketaatan istri kepada suaminya dengan ketaatannya kepada Rabbnya. Padahal dalam ayat yang lain al-Zuhaili mengatakan, sebagaimana yang akan diurai dalam artikel ini bahwa laki-laki dan istri adalah dua insan yang saling membutuhkan. Suami harus bisa memberikan ketenangan dan kesejukan kepada istrinya. Demikian juga istri harus bisa memberikan ketenangan dan kesejukan kepada suaminya.

Artikel ini akan memperjelas sikap mufassir kontemporer Wahbah al-Zuhaili terhadap posisi perempuan. Tulisan ini dirasa penting karena sampai saat ini pemikiran al-Zuhaili telah mengalir ke beberapa negara termasuk ke Indonesia baik melalui karya-karyanya maupun ceramah-ceramahnya. Karena al-Zuhaili masih produktif dalam karya dan ceramah, maka perlu penulis batasi bahwa penelitian ini hanya tertuju pada karya al-Zuhaili al-Tafsir al-Munir dan beberapa karya beliau yang mendukung bukan pada paradigma pemikirannya sampai saat ini, karena tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan penafsiran atau paradigma berpikir bila dilakukan wawancara atau tabayun kepada al-Zuhaili.

(17)

secara sistematis. Untuk memperjelas pendapat al-Zuhaili, penulis membandingkannya dengan beberapa tokoh lain yang memberikan penafsiran lain terhadap ayat-ayat tentang hak-hak perempuan dalam pernikahan.

B. Introduksi Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili

Wahbah al-Zuh}aili lahir di Dayr ‘At}iyah, sebuah daerah di Damaskus pada tahun 1351 H/ 1932M. Ia lahir dan besar di lingkungan keluarga ulama. Ayahnya, Mustafa al-Zuhaili, adalah seorang ulama besar di daerahnya, hafal al-Quran, dan dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang yang wara’, sangat ketat dengan halal-haram, tekun beribadah dan berpuasa.

Sebelum menginjak usia sekolah, Wahbah belajar agama kepada orang tuanya, terutama kepada ayahnya. Setamat dari Madrasah Ibtidaiyah, Wahbah melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah di Damaskus. Pendidikan S1-nya lulus pada tahun 1953M. Pendi dikannya di Program Pascasarjana Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Mesir, diselesaikan dalam tiga tahun. Di Universitas inilah beliau memperoleh gelar doktor dalam bidang syariah. (Ali Iyazi, (1414 H) : 685)

Wahbah al-Zuhaili menulis lebih dari 30 judul buku. Dua di antaranya, yang sampai ke tangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia, yaitu al-Fiqh al Islami wa Adillatuh dan Al-Tafsir al-Munir

yang terdiri dari beberapa jilid dan mencapai kurang lebih 10.000 halaman. Secara umum karya-karya Wahbah berbicara dan berisi

tentang fiqih. Hal ini terlihat dari beberapa di antaranya, ushul al

fiqh al islami, al fiqh al islami wa adillatuh, as{ar al harbi fi al fiqh al islami,

dan lain-lain yang semuanya membahas tentang hukum-hukum

fiqh.

Al-Tafsir al-Munir fi al ‘Aqidah wa al Syari’ah wa al Manhaj, selesai

ditulis pada jam 8 pagi tanggal 13 Dzu al Qa’dah tahun 1408 H, atau tanggal 27 Juni 1988 ketika Wahbah berumur 56 tahun. Penulisannya memakan waktu bertahun-tahun, dengan meninggalkan keluarga, anak dan istri. Menurut pengakuan Wahbah, tafsir ini ditulis setelah

beliau menyelesaikan karya Ushul Fiqh dan Fiqihnya, setelah

(18)

al Mustafa min Ahadith al Mustafa, dan setelah mencermati degan seksama 30 lebih buku-buku keislaman. (al-Zuhaili, 1991: 10)

Tujuan utama penulisan tafsir ini, Wahbah menyatakan:

“Sebagaimana diketahui bersama bahwa buku-buku tafsir sangat banyak jumlahnya, baik yang lama maupun yang baru. Karena banyaknya buku tafsir, pertanyaan yang muncul dari masyarakat adalah tafsir yang manakah yang terbaik. Jika jawabannya adalah yang lama, seringkali dalam faktualnya kita seringkali dihadapkan dengan bentuk-bentuk penampilan dan sistematika penulisannya yang menjemukan. Bahkan tidak sedikit yang uraiannya bertele-tele dan banyak mengandung informasi yang sesungguhnya sekarang tidak lagi diperlukan. Jika jawabannya adalah tafsir yang sekarang, seringkali kita tidak menemukan satu uraian yang utuh dan menyeluruh mencakup segala hal yang diinginkan al-Qur’an. Lebih dari itu, tafsir yang sekarang tidak jarang memasukkan informasi hasil perkembangan kemajuan dan teknologi modern yang sesungguhnya itu juga bukan menjadi tujuan kehadiran al-Qur’an. Atas dasar itu, penulisan tafsir ini di maksudkan untuk dapat membawakan kekayaan informasi tafsir-tafsir lama tetapi tidak hanyut pada informasi-informasi yang sesungguhnya tidak perlu, bahkan dengan sistematika penulisan dan gaya bahasa modern, dikemukakan dengan sikap yang moderat, tidak membawakan informasi-informasi yang janggal dan menyimpang dari kebenaran.” (Ali Iyazi, 1414 H: 686-687).

Penulisan tafsir al-Munir disusun dengan sistematika sebagai berikut:

1. Memberikan tema-tema tertentu pada kelompok ayat yang akan ditafsirkan sesuai runtut mushaf.

2. Pada setiap awal surat, wahbah menjelaskan hubungan

(munasabah) antara surat sebelumnya dengan surat yang sedang dibahas.

(19)

4. Pada setiap awal surat Wahbah juga menjelaskan periode turunnya surat: makiyyah atau madaniyyah dalam kolom

nuzuluha.

5. Pada setiap surat, Wahbah menjelaskan keutamaan surat sesuai dengan keterangan-keterangan hadis yang shahih dalam sub judul fadluha.

6. Pada setiap awal surat dijelaskan isi kandungan surat secara global dan umum, yaitu dengan ungkapan ma ishtamalat ‘alaih al-surah.

7. Melakukan tinjauan kata dari segi kebahasaan. Dalam hal ini, Wahbah banyak merujuk kepada kitab al Bayan fi I’rab al

Qur’an karya Abu al Barakat al Anbari, tafsir Abu Hayyan al Andalusi (Al Bahr al Muhit), Tafsir al Zamakhshari (al Kashshaf).

Meski demikian ia tidak bertele-tele dalam soal kebahasaan ini, tidak seperti kitab yang menjadi rujukannya.

8. Melakukan tinjauan ayat dengan pendekatan ilmu balaghah. Rujukan utama untuk membahas ini adalah Safwat al Tafsir

karya Muhammad Ali Al Sabuni.

9. Menjelaskan asbab nuzul jika suatu ayat memiliki sebab nuzul. Dalam hal ini, Wahbah berusaha untuk menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih dan menghindari sedapat mungkin yang da’if.

11. Memberikan penafsiran dan penjelasan ayat dengan sedapat mungkin menghimpun penafsiran-penafsiran buku lama dan baru, memadukan yang ma’thur dan ma’qul, menjauhkan

diri dari sikap fanatisme madhhab, baik dalam fiqih maupun

teologi.

12. Menarik kesimpulan baik berupa pesan moral ataupun

hukum-hukum fiqih yang dapat ditarik ayat. Kolom ini dinamakan

dengan fiqh al-hayah aw al-ahkam. (al-Zuhaili, 1991: 49-66.)

C. Hak-hak Perempuan Dalam Pernikahan Menurut Wahbah al-Zuhaili.

(20)

1. Hak Memilih Pasangan

Islam menghormati perempuan dalam memilih pasangan. Islam menghargai perempuan untuk menentukan calon suami yang akan menjadi mitra hidupnya dalam bahagia dan susah, kegagalan dan kesuksesan. Islam melarang seorang wali memaksakan kehendak kepada anaknya dalam memilih calon suami. Al-Quran tidak menyebutkan secara eksplisit tentang hak perempuan memilih pasangan. Wahbah Al-Zuhaili, salah satu

mufassir yang tidak membahasnya secara detail. Ia hanya sebatas menjelaskan bahwa lafaz} ﲔﻛﺮﺸﳌ ﻮﺤﻜﻨﺗ ﻻyang terdapat dalam Q.S.

al-Baqarah : 221 mengandung makna ﻮﺑ ﻻ ﺎﻜ ﻻ. Menurutnya,

inilah pendapat jumhur ulama seraya menyebut hadis yang menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menikahkan

dirinya sendiri. Sebagai penganut mazhab al-Syafi‘i, al-Zuhaili

menjelaskan bahwa akad pernikahan dinyatakan batal apabila tidak ada wali dari pihak perempuan. Dalam tafsirannya al-Zuhaili tidak mengkaitkan keharusan wali dengan kelemahan perempuan. Akan tetapi menurutnya, ini sudah ketentuan

hukum Islam dan disepakati para fuqaha. Hanya pendapat Abu

Hanifah yang memperbolehkan perempuan menikah tanpa wali. (al-Zuhaili, 1991: 290)

Lain halnya dengan Mutawalli al-Sha’rawi yang menjelaskan

bahwa Q.S. al-Baqarah: 221 bukan sekedar melarang menikahkan

anak dengan mushrikah, tetapi ayat tersebut dapat mengandung makna bahwa orang tua atau wali tidak boleh menikahkan perempuan dengan orang lain tanpa seizinnya. Melalui ayat ini al-Sha’rawi berusaha menjelaskan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Bagi orang tua atau wali mempunyai hak menetapkan yang terbaik bagi anaknya dan berhak untuk menikahkannya. Namun dia juga berkewajiban mendengarkan suara hati atau keinginan anaknya karena anaknya juga memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya. Namun si anak juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan nasehat dan saran dari orang tua. (Al-Sha’rawi, 1990 : 973).

(21)

ﺮﻛ ﺪﻗ ﺎﻴﻠﻋ ﺎﻘﻓ ﷲ ﻮﺳ ﺎﻫﺎﺗ ﺔﻃﺎﻓ ﻲﻠﻋ ﺐﻄﺧ ﺎﳌ ﺎﻗ ﺎ  ﻦﺑ ­ﺎﻄﻋ ﻦﻋ ﻮﺼﻨﻣ ﻦﺑ „ﺎﺒﻋ ﻦﻋ ﺎﻬﺟˆ‰ﺰﻓ ‹ﺮﺨﻓ ﺖﺘﻜﺴﻓ

฀ : :

Dari ‘Ibad bin Mansur dari ‘Ata’ bin Abi Riyah berkata: “Ketika ‘Ali melamar Fatimah, Rasulullah mendatangi Fatimah

dan berkata, “Ali melamar kamu,” Fatimah diam, maka kelu arlah Rasul dan menikahkan Fatimah dengan Ali”. (Hamad al-Daulabi, 1407 H: 64)

2. Hak Memperoleh Mahar

Secara garis besar ada 2 hak istri yang diwajibkan atas sua minya yaitu hak materiil dan non materiil. Hak materiil yang di maksud adalah hak mahar, nafkah dan tempat tinggal. Sedang kan hak non materiil adalah keadilan, berbuat yang terbaik dan pergaulan yang baik (mu’asharah bi al-ma’ruf). Mahar adalah harta benda yang menjadi hak milik istri dari suaminya melalui akad nikah atau karena dukhul/jima’. (al-Zuhaili, 1424 H: 237). Mahar merupakan bukti kasih sayang calon suami kepada calon istri. Oleh karena itu, mahar adalah milik istri dan bukan milik ayah atau ibu calon istri.

Bagi al-Zuhaili adanya mahar yang wajib diberikan sua mi kepada istri bukan berarti mensubordinat perempuan tetapi justru dalam rangka menghormati perempuan. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa perempuan mendapat tugas yang lebih mulia yaitu merawat, mendidik anak dan merawat rumah. Tugas ini bukan tugas ringan tetapi tugas berat dan membutuhkan ke seriusan, maka akan sangat memberatkan apabila perempuan diwajibkan untuk memberi mahar bahkan menafkahi keluarga. (Al-Zuhaili, 1424 H: 237-239).

Terkait dengan ini Q.S. surat al-Nisa’: 4 menyatakan :

ﺎﺌِﺮﻣ ﺎﺌﻴِﻨﻫ ﻮﻠﻜﻓ ﺎﺴﻔ ﻪﻨِﻣ ﻲﺷ ﻦﻋ ﻢﻜﻟ ﻦﺒِﻃ ِﺈﻓ ﺔﻠﺤِ ‚ﻦِﻬِﺗﺎﻗﺪﺻ َﺎﺴ‰ﻨﻟŠ Šﻮﺗَ‹Œ “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita ( yang

(22)

Sebab turun ayat ini adalah riwayat Ibn Abi Hatim dari Abi Salih bahwa ada seorang laki-laki ketika menikahkan putrinya dia mengambil mahar putrinya. Maka Allah melarang perbuatan demikian melalui ayat ini. Al-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada para calon suami untuk memberikan mahar kepada calon istri dengan sesuatu yang baik. Adanya khitab

kepada azwaj atau suami dan bukan kepada wali menunjukkan bahwa yang berkewajiban memberikan mahar calon istri adalah calon suaminya. ( Al-Zuhaili, 1991: 236).

Murtada Muttahhari menegaskan bahwa mahar adalah hak milik perempuan itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara laki-lakinya. Al-Quran telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat ini. Pertama, mahar disebut dengan saduqah, tidak disebut mahar. Saduqah berasal dari kata sadaq, mahar adalah sidaq atau

saduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih. Kedua, kata ganti hunna/ﻦﻫ (orang

ketiga jamak perempuan) dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi hak milik perempuan sendiri, bukan hak ayahnya, ibunya atau milik keluarga. Ketiga, kata nihlah/ﺔﻠ (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan), menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian, hadiah.” (Muttahhari, 2000: 128)

Karena mahar adalah wujud kecintaan suami terhadap istri, maka tidak ada dosa apabila sang istri karena kecintaan pula rela hati mempersilahkan kepada suaminya untuk ikut menggunakan mahar yang telah diserahkan. Al-Quran sering menyebutkan kata

“makan” (ﻞﻛ) sebagai lambang pentasarrufan harta. Lafaz ﻮﻠﻜﻓ dalam ayat di atas bukan berarti hanya bentuk makanan yang di perbolehkan tetapi secara keseluruhan pemanfaatan dari mahar itu diperbolehkan. Hal ini karena makan adalah bentuk utama pentasharufan harta benda. (al-Zuhaili, tth: 236).

(23)

Bagi penulis, adanya riwayat-riwayat tentang mahar seperti ini paling tidak ada 2 hikmah yang bisa dipetik. Pertama dari pihak suami, hadis yang telah disebutkan bukan untuk melegitimasi tindakan suami memberikan mahar “ala kadar”nya kepada istri, tetapi yang harus ditekankan bahwa mahar adalah pemberian yang tulus dari suami dengan upaya semaksimal mungkin atau sebatas kemampuan. Cincin besi yang secara eksplisit disebut dalam hadis tersebut merupakan hasil maksi mal yang telah diupayakan oleh calon suami. Kedua dari pihak istri, pelajaran dari hadis tersebut adalah seorang istri tidak di perbolehkan menuntut mahar di luar kemampuan suami dan dianjurkan menerima dengan tulus apapun yang dihadiahkan suami.

Adanya persyaratan pemberian mahar merupakan satu langkah yang telah dilakukan Islam untuk menjunjung perempuan tidak seperti masa Jahiliyyah yang diposisikan seperti benda. Seorang suami tidak mempunyai hak atas harta benda atau pekerjaan istrinya. Ia tidak berhak memerintah istrinya untuk melakukan suatu pekerjaan khusus untuk kepentingannya, tidak pula ia berhak mengambil tanpa izin uang istrinya yang mungkin telah diperoleh dengan melakukan suatu pekerjaan.

Menurut Islam, seorang istri tidak berada di bawah kekuasaan suaminya sejauh menyangkut urusan bisnisnya. Walau pun Islam memberikan kepada si istri kemerdekaan

finansial sebesar itu dari suaminya, dan tidak memberikan suatu

hak kepada si suami atas harta benda istrinya, atas pekerjaannya atau atas urusannya, namun Islam tetap tidak menghapus sistem mahar. Tujuan pemberian mahar bukanlah agar pria memperoleh

keuntungan finansial dari perempuan, juga bukan agar ia dapat

mengeksploitasi tenaga jasmaninya.

3. Hak pemenuhan kebutuhan psikologis Istri

Istri atau pasangan biasa diistilahkan oleh al-Quran dengan  atau ﺔﺟ. Menurut al-Asfahani (tth: 215-216), setiap sesuatu

(24)

Adam sebagai manusia pertama dianugerahi mitra atau pasangan hidup yang diciptakan dari jenis yang sama. Sebagian besar mufassir menyebut pasangan Adam ini dengan nama Hawwa’. Kisah Adam yang terdokumentasikan dalam beberapa ayat al-Quran menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dipertemukan dalam sebuah kenyamanan dan ketentraman hati, sebagaimana disebutkan dalam Q.s. A’Raf/7:189 dan al-Nisa’/4:1. Istilah ﺪﺣ ﺲﻔﻧﻬ dalam ayat tersebut adalah Adam as. Kemudian dari Adam itulah diciptakan seorang istri dan dari istri inilah lahir banyak manusia laki-laki dan perempuan yang tersebar menjadi berbagai suku bangsa dan kabilah sebagaimana yang juga dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat/49 :13. (al-Zuhaili, 1991: 200-201).

Terkait dengan penciptaan Hawwa dapat dilihat dalam penafsiran al-Zuhaili terhadap Q.S. al-Nisa’ ayat 1. Al-Zuhaili cenderung menguatkan pendapat jumhur ulama yang me- negaskan bahwa Hawwa istri Adam diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pendapat ini dikuatkan dengan dua argumen yaitu pertama, pendapat itu sesuai dengan hadis penciptaan Hawwa dari tulang rusuk yang berkualitas shahih. Kedua, penciptaan dari tulang rusuk merupakan bukti kekuasaan Allah yang mampu menciptakan makhluk hidup (Hawwa’) dari makhluk hidup pula (Adam) sebagaimana kuasanya Allah menciptakan makhluk hidup (Adam) dari makhluk mati (tanah liat) bukan melalui proses melahirkan. (al-Zuhaili, 1991: 222-223). Sebatas pengamatan penulis dua argumen itulah yang melandasi al-Zuhaili mencantumkan proses penciptaan perempuan dalam tafsirnya. Penulis tidak menemukan statement yang mengarah pada subordinat perempuan, meski pada akhirnya dua argumen itu berdampak pada merendahkan martabat perempuan.

(25)

agung dari pada ketenangan antara suami dan istri. Laki-laki membutuhkan perempuan sebagai tempat berlindung atau berteduh. Demikian sebaliknya perempuan membutuhkan laki-laki. Dalam mengarungi kehidupan, kedua jenis ini tidak bisa berdiri sendiri. (Al-Zuhaili, 1991: 201)

Model penafsiran al-Zuhaili yang telah diuraikan mengesankan bahwa ia cenderung tidak memperuncing perdebatan tentang posisi perempuan. Sikap ini berbeda dengan sikap mufassir sezamannya, yaitu al-Sha’rawi yang menjelaskan bahwa ﺎﻬﻴﻟ ﻦﻜﺴﻴﻟ mengandung pesan bahwa perempuan adalah tempat berteduh dan berlabuh bagi suaminya, jika perempuan tidak mampu menyuguhkan ketenangan yang dicari laki-laki, maka tidak salah apabila kaum laki-laki mencari ketenangan lain di luar rumah, karena baginya sikap tersebut lebih baik. (al-Sha’rawi, tth: 513.) Kalimat penutup inilah yang tidak penulis temukan dalam komentar al- Zuhaili.

Pendapat al-Zuhaili terkait dengan hak perempuan sebagai istri dapat dikaji juga dalam Q.S. al-Nisa’/4: 34 sebagai berikut:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari- cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Sebab turun ayat ini adalah riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan yang menyebutkan bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Nabi saw. karena telah ditampar

suaminya. Rasul bersabda: “Dia mesti diqisas (dibalas)”, maka

turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan dalam mendidik istri. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, perempuan

tersebut pulang dan ia tidak menjalankan qisas. (al-Wahidi,

(26)

Zuhaili menafsirkan ayat ini bahwa laki-laki adalah penanggung jawab, penjaga, pemimpin, hakim sekaligus pendidik perempuan. Pendapat ini berlandaskan pada dua

hal; Pertama, kekuatan fisik laki-laki adalah ciptaan sempurna,

memiliki nalar dan pemahaman yang kuat. Oleh karena itu, laki-laki memiliki tugas yang tidak diamanahkan kepada perempuan yaitu risalah kenabian, imam, menegakkan syiar antara lain

adzan, menetapkan thalaq, memperoleh lebih banyak dalam

bagian harta waris dan lain-lain. Kedua, laki-laki berkewajiban memberikan nafkah keluarga. (al-Zuhaili, 1991: 54)

Penafsiran al-Zuhaili yang sama dengan mayoritas

mufassir tersebut sangat berbeda dengan penafsir reformis yang berusaha mengembangkan penafsiran dari ulama-ulama tafsir sebelumnya. Tokoh reformis tersebut antara lain Fazlur Rahman yang menegaskan bahwa laki-laki menjadi penanggung jawab keluarga bukan bersifat hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang. Demikian juga Aminah Wadud Muhsin (1992: 93) menyatakan bahwa superior itu tidak secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Quran yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan.

Ashgar Ali Engineer (1994: 701) berpendapat bahwa

qawwamun disebutkan sebagai pengakuan bahwa dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemapuan mencari nafkah dan memberikannya kepada perem puan. Kata qawwamun merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif, seandainya al-Quran menghendaki laki-laki sebagai qawwamun, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Quran tidak menghendaki seperti itu.

(27)

(ﺔﻣﻮﻗ). Bila reformis menegaskan hal ini bersifat fungsional, maka mufassir termasuk al-Zuhaili menyebutkannya dengan ketetapan hakiki. Artinya sampai kapanpun dan dengan kondisi apa pun laki-laki adalah penanggung jawab keluarga, karena adanya tugas hakiki inilah maka sampai kapanpun pula para laki-laki tetap memiliki posisi satu derajat lebih tinggi dari perempuan, sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam Q.s.

al-Baqarah/2:228.

Uraian di atas merupakan titik jelas sikap al-Zuhaili terhadap posisi perempuan atau istri di hadapan laki-laki atau suami. Meskipun demikian, bagi penulis, pernyataan al-Zuhaili bahwa secara hakiki laki-laki adalah penanggung jawab keluarga bukan berarti memberi hak laki-laki untuk mengeksploitasi, memperbudak dan mengabaikan hak-hak perempuan. Al-Zuhaili dalam beberapa penafsirannya menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama harus menjalankan kewajibannya dan sama-sama harus memenuhi hak pasangannya. Dengan demikian, secara normatif kewajiban laki-laki adalah pemberi nafkah keluarga, bertanggung jawab mengambil langkah solutif bagi keluarga ketika mengalami kepurukan atau hambatan-hambatan lain.

Adanya kekerasan rumah tangga baik yang dilakukan oleh suami terhadap istri, suami terhadap anak, istri terhadap suami ataupun istri terhadap anak menurut penulis bukan hanya disebabkan aturan-aturan yang telah disebutkan, bukan pula karena suami menjadi penanggung jawab keluarga, namun karena kesalahan dalam memahami, menafsirkan dan mengaplikasikan dari aturan-aturan tersebut.

(28)

Bagi penulis, fenomena seperti ini tidak cukup diatasi dengan pembalikan penafsiran terhadap kata ﺎﺟﺮﻟ dan kata ﻮﻗ sebagaimana yang telah diupayakan oleh para reformis. Perlindungan terhadap hak istri harus dimulai dari menata pola pikir dan hati suami sehingga sikap kesewenangan dan perasaan superior suami dapat dihapuskan dalam budaya masyarakat. Juga menghapus paradigma pemimpin keluarga yang identik dengan penguasa keluarga sehingga seakan-akan boleh berbuat semaunya, bebas memerintah sekehendaknya dan harus selalu dilayani. Paradigma ini perlu dirubah sehingga siapapun (laki-laki atau perempuan) yang akan menjadi kepala rumah tangga atau penanggung jawab keluarga, maka yang tercermin dalam keluarga tersebut adalah kedamaian, sakinah, mawaddah, warahmah.

Kunci utama dalam keluarga adalah keterbukaan, kejujuran dan keikhlasan tanpa kesewanang-wenangan dan keangkuhan, karena secara akhlak dua sifat ini tidak dibenarkan agama baik ketika menjadi pemimpin ataupun tidak, baik dalam menata rumah tangga ataupun masyarakat luas. Adanya fenomena sang istri bekerja dengan penghasilan yang lebih tinggi dari penghasilan suami akan secara otomatis menempatkan istri sebagai pemberi nafkah keluarga. Menurut penulis, di sinilah ujian para suami yang sejak awal dininabobokkan dengan budaya “feodal terhadap istri”. Sebatas pengamatan penulis, para suami yang “kalah” dalam ekonomi dengan istri biasanya gengsi atau tidak jujur atas “kekalahannya”. Artinya, bila seorang pemimpin merasa ada satu hal yang dia merasa tidak mampu, misalnya, masalah penghasilan maka sebaiknya dengan jujur dan tulus dikomunikasikan dan dimusyawarahkan kepada istri. Musyawarah dan komunikasi yang didasari dengan kasih sayang, cinta kasih dan ketulusan tanpa kesombongan, kesewenang-wenangan dan kekerasan akan menghasilkan solusi yang tepat. Sebagai pasangan yang saling cinta dengan tulus, sang istri pun tidak akan keberatan untuk meringankan tugas pemimpin kelu arga yang memang kurang mampu dalam hal itu bukan karena malas dan gengsi.

(29)

penindasan di dalam rumah tangga. Suami bukanlah raja dan penguasa. Suami dan istri keduanya adalah manusia yang saling membutuhkan, manusia yang saling memiliki kekurangan dan kelebihan serta mempunyai jabatan yang sama di sisi Tuhan yaitu sebagai makhluk dan hambaNya.

4. Hak dihargai dalam menjalankan fungsi reproduksi sebagai fungsi ekslusif perempuan.

Al-Quran memberikan penghormatan terhadap peran perempuan dalam menjalankan reproduksinya. Dalam beberapa ayat dijelaskan pengorbanan ibu yang luar biasa terutama pada masa-masa kehamilan dan menyusui. Salah satu nya, penyebutan khusus “umm” (ibu) pada Q.S. al-Ahqaf/46:15 menurut al-Zuhaili, menunjukkan bahwa Islam memberikan skala prioritas dalam penghormatan dan penghargaan kepada kedua orang tua. Seorang ibu mengalami tiga masa sulit yang tidak dialami oleh seorang ayah, yaitu :

a. Masa Hamil

Al-Quran menyebutkan bahwa keadaan perempuan ketika hamil dengan istilah ﺎﻫﺮﻛ (Q.S. al-Ahqaf/46:15) dan

ﻦﻫ ﻰﻠﻋﺎﻨﻫ (Q.S. Luqman/ 31:14). Al-Zamakhshari menjelaskan

kata ﻦﻫ ﻰﻠﻋﺎﻨﻫ dengan ﻒﻋﺎﻀﺘ ﺎﻔﻌﺿ ﺪﺰﺘ yang berarti kondisi sang

ibu sangat-sangat lemah karena semakin berat beban yang harus dibawanya. Kondisi berat yang dimaksud karena janin yang di dalam perut ibu semakin besar dan mulai bergerak, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-A’raf / 7:189. (Al-Zamakhshari, 1977: 11). Sedangkan ﺎﻫﺮﻛ bermakna mashaqqah atau susah payah yang berarti rasa berat dan susah payah yang demikian mau tidak mau harus dialami ibu selama masa kehamilan. (Al-Zamakhshari, 1977: 499).

b. Masa Melahirkan

Masa kehamilan yang menjadikan kondisi lemah dan susah payah tersebut semakin memuncak tatkala memasuki masa melahirkan. Oleh karenanya, al-Quran menyebutkan ﺎﻫﺮﻛ dua

(30)

c. Masa Menyusui

Menurut al-Zuhaili hukum menyusui kepada anak adalah sunnah, hal ini dikuatkan dengan adanya kesepakatan dokter bahwa air susu ibu lebih utama daripada lainnya. Al-Zuhaili menjelaskan bahwa paling lama proses menyusui adalah dua

tahun sebagaimana yang dijelaskan pada Q.S. al-Baqarah/2:233.

(Wahbah al-Zuhaili, 1991: 359).

Menurut al-Zuhaili, tiga masa yang telah diuraikan yaitu masa kehamilan, masa melahirkan dan masa menyusui merupakan tiga alasan dasar perempuan mendapat prioritas utama dalam penghormatan dan pengabdian seorang anak.

Di samping tiga masa yang penuh masyaqqot tadi perempuan

atau ibu telah mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan mendidik anak mulai usia dini sampai dewasa. Dengan demikian, lanjut al-Zuhaili, sangat beralasan bila Rasulullah menjawab pertanyaan siapa yang lebih berhak dihormati dengan jawaban “Ibumu” sampai tiga kali dan yang keempat, baru disebutkan “Ayahmu” (Al-Zuhaili, 1991: 155).

Adanya tiga masa sulit dan berat (mashaqqat) yang harus di alami istri, maka sudah seharusnya, istri memiliki hak dari suaminya untuk memperoleh kasih sayang, memperoleh perhatian dan memperoleh pemenuhan kebutuhan pokok. Ketiga hak pokok ini merupakan kewajiban seorang ayah atau laki-laki sebagai wujud rasa kasih dan cinta bukan karena kesewenang-wenangan yang berdampak arogansi.

5. Hak Talak

Salah satu aturan perceraian dapat dicermati pada Q.S. al-Nisa’/4:35 yang terjemahannya sebagai berikut:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara ke duanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan

perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada

(31)

Al-Zuhaili menjelaskan bahwa mukhatab (obyek yang dituju dalam ayat di atas adalah hakim dari pihak istri dan hakim dari pihak suami. Adanya hakim ini agar berusaha semaksimal mungkin mendamaikan suami istri tersebut sehingga pernikahan suci dapat terbangun lagi. Namun, apabila usaha maksimal tidak berhasil barulah perceraian diputuskan. Ulama berbeda pendapat apa hukum mendatangkan hakim tersebut. Menurut

al-Shafi‘i kata perintah dalam kata ﺮﻌﲟ bermakna wajib karena

untuk menghilangkan kegelapan. Hakim di sini adalah keluarga dekat dari dua pihak. Tetapi menurut imam Malik, kata hakam

dalam ayat tersebut adalah Qadi dan tidak bisa dimaknai dengan wakil dari keluarga suami ataupun istri. (al-Zuhaili, 1991: 59).

Menurut al-Zuhaili, maksud dari meruju’nya dengan cara

yang baik dalam Q.s. Al-Baqarah/2:232, adalah memberikan

hak-hak istri yang paling utama adalah pemberian nafkah.

Ruju’ adalah penyatuan kembali suami istri yang telah ber

cerai sebelum habis masa ‘iddah. Apabila suami tidak mampu

menafkahi maka hakim harus mentalaqnya karena hal ini

sudah disebut sebagai keadaan darurat atau tidak dapat memperlakukannya dengan ma’ruf. Bagi al-Zuhaili kata ﺮﻌﲟ dalam ayat tersebut adalah syarat utama ketika suami hendak

meruju’ istrinya. (Al-Zuhaili, 1991: 355.)

Penafsiran ini, bagi penulis, menunjukkan bahwa al-Zuhaili konsisten dengan pendapatnya bahwa laki-laki memiliki satu derajat lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki berkewajiban menafkahi keluarga. Konsekuensinya bila syarat ini tidak terpenuhi maka suami tidak lagi memiliki derajat lebih tinggi, maka istri berhak menuntut cerai atau tidak mau diajak ruju’.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan ﺮﻌﲟ ﻦﻫﻮﺣﺮﺴﺗ adalah menceraikannya dengan baik artinya perceraian yang tidak membawa madarat bagi istrinya. Dalam satu riwayat yang

diriwayat kan dari Ibn Jarir dari al-’Aufi yang bersumber dari Ibn ‘Ab bas menyatakan bahwa ada seorang laki-laki

(32)

kecuali harus berpisah dan tidak bisa ruju’ kecuali sang istri telah nikah dengan orang lain kemudian cerai.

Dalam Islam yang mempunyai hak talak atau cerai tidak hanya laki-laki, perempuan juga mempunyai hak cerai, dalam

istilah fiqh dinamakan khulu’ (talak tebus). Khulu’ biasa di

artikan dengan perceraian dengan cara istri membayar kepada suami sebagai konsekuensi dari mahar yang telah ia terima. Al-Zuhaili menegaskan bahwa istri berhak mengajukan cerai, dengan sebab-sebab berikut:

1. Suami tidak mampu memberi nafkah, tidak mencukupi sandang, pangan, papan dan jaminan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak dapat menerima keadaan ini, maka ia dapat meminta suami untuk menceraikannya. Adapun kalau suami menolak, pengadilan yang akan menceraikannya.

2. Suami cacat, yang menyebabkan tidak dapat memenuhi nafkah batin, misalnya impoten, atau putus alat vitalnya.

3. Suami bertindak kasar, misalnya suka memukul dan seje- nisnya.

4. Kepergian suami dalam waktu yang relatif lama, tidak pernah berada di rumah. Bahkan Imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu mencari ilmu, bisnis, atau yang lain, kalau istri tidak mau menerimanya.

5. Suami dalam status tahanan atau kurungan, jika istri tidak dapat menerima keadaan tersebut, maka secara hukum dapat mengajukan masalahnya ke pengadilan untuk diceraikan. (Al-Zuhaili, 1989: 728.)

Adanya pernyataan ﺰﻫ ﷲ ﺎ ﺬﺨﺘﺗ ﻻ dalam Q.S.

al-Baqarah/2: 232 menunjukkan bahwa diperbolehkannya cerai

bukan untuk disalahgunakan.

6. Masa ‘Iddah

Perempuan yang cerai dengan suaminya atau ditinggal

mati, harus melaksanakan ‘iddah. ‘Iddah adalah rentang waktu

(33)

yang telah dicerai, khususnya dalam kasus ‘iddah cerai, ‘iddah

dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan terjadinya rujuk kepada istri.

Ada empat macam masa ‘iddah :

1. Jika perempuan itu tidak hamil tetapi ia termasuk perempuan yang masih haid, maka masa ‘iddahnya

adalah tiga quru’ (suci/haid).

2. Jika perempuan itu hamil maka ‘iddahnya sampai ia

melahirkan.

3. Jika perempuan itu tidak hamil sedang ia sudah memasuki menopause atau tidak lagi bisa haid atau ia masih kecil belum haid, maka ‘iddahnya tiga bulan.

4. Perempuan yang ditinggal mati ‘iddahnya empat bulan

sepuluh hari.

Diwajibkannya iddah karena adanya beberapa hikmah yaitu:

a. Agar dapat dipastikan kondisi rahim sedang hamil atau tidak.

b. Berpikir-pikir atas akibat terjadinya perceraian.

c. Bertadabbur atas permasalahan hidup dan masa depan anak-anak. (Al-Zuhaili, 1991: 323).

Menurut penulis, ada satu hikmah yang terlewat oleh al-Zuhaili yaitu dengan adanya iddah, meski sudah dicerai seorang istri harus tetap diberi nafkah oleh mantan suaminya.

7. Poligami

(34)

1. Pembatasan

Perbaikan pertama yang dilakukan Islam ialah menetap kan batasan atasnya. Sebelum kedatangan Islam tidak ada batasan jumlah istri. Seorang pria boleh mempunyai ratusan istri. Namun, Islam menetapkan batas maksimum jumlahnya, dan seorang pria tidak diizinkan mempunyai lebih dari empat orang istri.

2. Keadilan

Perbaikan lainnya yang dilakukan Islam ialah menetap kan suatu syarat bahwa tidak boleh ada diskriminasi. Dalam Islam favoritism dalam bentuk apapun dan cara bagaimana pun antara para istri tidaklah diizinkan. Syarat utama dari poligami adalah mampu berbuat adil di antara istri-istri baik dalam pembagian materi ataupun kasih sayang. Q.S. al-Nisa’/4: 129 menegaskan bahwa secara manusiawi penerapan adil dhahir dan batin terhadap masing-masing istri sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, bagi al-Zuhaili poligami menjadi sesuatu yang tidak mungkin apabila memperhatikan persyaratan harus adil (al-’adl).

D. Simpulan

(35)
(36)

SUMBER RUJUKAN

Abu Shuqqah, Abd al-Halim. 1990. Kebebasan Perempuan, terj.

Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press.

Aliyan, Sayyid Sulaiman. 1996. Nisa ‘ ‘Ahd al-Qadim. Qahirah: Maktabah Madbuli.

Ali Iyazi, Muhammad. 1414 H Al Mufassirun Hayatuhum wa

mahajuhum. Teheran: Muassasat al-Thiba’ah wa al Nasr Wa zarat

al Tsaqafat al Irsyad al Islami.

Al-’Aqad, ‘Abbas Mahmud. 2008. Al-Mar’ah Fi al-Qur’an. Iskandaria:

Nahdetmisr.

Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail. t.th.

SahihBukhari. Beirut: Dar wa Matabi’ al-Sya’b.

Al-Daulabi, Abu Basyar Muhammad bin Ahmad bin Hammad. 1407 H. Al-Zurriyah al-Tahirah al-Nabawiyyah. Kuwait:

Al-Dar al-Sakafiyyah.

Al-Husaini, al-Hamid. 1997. Bait al-Nubuwwa: Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW, Bandung: Pustaka Hidayah.

Al-Wahidi, ‘Ali bin Ahmad al-Naisaburi. 1991. Asbab al-Nuzul.

Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Zamakhsyari. 1977. al-Kasysyaf, Beirut: Dar al-Kutub.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-FIqh al-Islami wa ‘Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr.

---. t.th. Tafsir Munir: fi ‘Aqidah wa Syari‘ah wa

al-Manhaj, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Zuhri, Muhammad bin Sa’ad bin Mani Abu ‘Abdillah al-Basri.

(37)

Baltaji, Muhammad. 1420H/2000M. Makanat al-Mar’ah fi al-Qur’an

al-Karim wa al-Sunnah al-Sahihah. Al-Qahirah: Dar al-Salam.

Cyril Glase. 1999. Ensiklopedia Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Engineer, Asghar Ali. 1994. Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajdi. Yogyakarta: Bentang.

_______. 2003. Pembebasan Perempuan. alih bahasa Agus Nuryanto. Yogyakarta: LKiS.

_______. 1987. Islam Dan Pembebasan. Terj. Hairus Salim & Imam Baihaki. Yogyakarta: LKiS.

Faudah, Mahmud Basuni.1987. Tafsir-Tafsir al-Quran : Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. M. Muhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid. Bandung: Pustaka.

Istibsyaroh. 2004. “Hak-hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada tafsir al-Sya’rawi”, Disertasi Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Muh}ammad bin Ismail al-Bukhari, Abu Abdillah. 1987. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Kasir, al-Yamamah.

Mutahhari, Murtada. 2000. Hak-hak Wanita dalam Islam, terj. M. Hasem. Jakarta: Lentera.

Muhsin, Aminah Wadud. 1992. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur: Fajar Bakti

Ridwan, Zainab. 2003. Al-Mar’ah Baina Maurus Wa al-Tahdis. Mesir:

Al-Hainah Masriah ‘Aman Lil Kitab.

(38)

Oleh:

Irzum Farihah* )

ABSTRACT : The presence of women in the media like horns of a dilemma. In one hand women want to show the ability they have and to compete with men professionally. On the other hand, women are often seen only one eye

as an object for both men and media. The most private of women’s bodies have finally become pu blic property. The

Media tends to reduce the problem of women is merely her body. This article concludes, sexism in the media comes from gender biased views against women in both the public and the media industry through the channel of capitalism.

Keywords: women, media, sexism, gender biased views.

A. Pendahuluan

Dalam sebuah iklan ditayangkan ada seorang perempuan yang tenggelam dan diselamatkan oleh seorang laki-laki “jantan”.

Dalam gambar, tampak seorang perempuan dengan menonjolkan anggota tubuhnya yang dianggap menarik sementara. Simbol kejantanan seorang laki-laki diperlihatkan saat dia meminum salah satu produk minuman berenergi. contoh lain produk peramping badan dan beberapa produk iklan kecantikan yang menunjukkan ketakutan perempuan tidak menarik di depan lawan

jenisnya. Contoh lain, film laga cina menceritakan sosok pembela

kebenaran, dalam hal ini di perankan oleh perempuan, namun tetap saja yang

(39)

lebih ditampilkan adalah bagian tubuh perempuan yang sexis dan mampu menarik perhatian laki-laki. Masih banyak lagi iklan yang ditayangkan di televisi maupun majalah yang menunjukkan sebagai bentuk kejantanan laki-laki dan dirancang untuk menyajikan gambaran perempuan ketakutan, seperti takut akan penuaan dini, takut kelebihan berat badan demi tampil menarik di hadapan laki-laki bukan demi kesehatan dan lainnya.

Iklan hanyalah satu sumber untuk ide-ide mengenai perempuan yang tercetus dalam media massa dan kultur pop, music pop, kolom nasehat, TV show dan jenis-jenis produk kultur, di mana semua itu membawa indikasi eksplisit dan implisit mengenai peran sosial bagi perempuan dan laki-laki.

Gambaran perempuan sebagai objek seksual, hampir tidak pernah berubah. Penampilan terhadap perempuan sebagai sang penggoda ketimbang sebagai yang digoda. Dalam hal ini adanya

image masyarakat bahwa tanpa perempuan seksi tidak akan berlangsung proyek desakralisasi seks yang dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat konsumtif yang boros dan mengejar kepuasan belaka (Armando, 1998: 160).

Keglamoran dan keseksian perempuan adalah sosok yang tidak mungkin dilepaskan dari media ketika dia menjadi industri. Media dalam era industri adalah media yang bersahabat dengan ke pentingan kalangan bisnis, karena di satu sisi, mereka sendiri telah menjadi industri tersendiri dengan kepentingan yang sangat luas dengan industri - industri lainnya. Sedangkan pada sisi yang lain, kehidupan mereka sangat bergantung pada iklan yang datang dari kalangan bisnis. Hal ini tidak hanya berlaku pada media elektronik tapi juga pada media cetak. Meskipun seksisme yang dijumpai dalam kultur masyarakat kita, bisa jadi tidak sama eksplisitnya dengan apa yang ditemukan pada generasi yang terdahulu, namun tetap saja gambaran-gambaran dan ide-ide seksis tetap melekat pada kaum perempuan khususnya dengan seksualitas atau status ibu rumah tangga. Di lain pihak, kaum laki-laki sering digambar kan dalam peran pekerjaan atau dalam postur yang menunjukkan

dominasi, agresifitas dan kepercayaan diri dan sangat berlawanan

(40)

B. Media dan Seksualitas

Kata media, berasal dari bahasa latin, median, yang merupakan bentuk jamak dari medium secara etimologi yang berarti alat peran tara (forum.Upi.edu/index.php, diakses pada tanggal 10 Mei

2012). Wilbur Schraamm mendefinisikan media sebagai teknologi

informasi yang dapat digunakan dalam pengajaran (forum.Upi.edu/

index.php. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012). Secara spesifik, yang dimaksud dengan media adalah alat-alat fisik yang menjelaskan isi pesan atau pengajaran, seperti buku, film, video kaset, slide, dan

sebagainya .

Para ahli di dalam memberikan batasan media berbeda-beda pendapat, tetapi arah dan tujuannya sama, yang tidak lepas dari kata

medium. Menurut Santoso S. Hamidjojo dalam Amir Achsin, media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang menyebar ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima. Mc. Luhan dalam Arif S. Sadiman berpendapat bahwa media adalah sarana yang juga disebut channel, karena pada hakekatnya media memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan, mendengarkan, dan melihat dalam batas-batas jarak, ruang, dan waktu yang hampir tak terbatas lagi. Dalam kaitannya dengan komunikasi interaksi dalam bentuk organisasi Oemar Hamalik berpendapat bahwa media komunikasi adalah suatu media atau alat bantu yang digunakan oleh suatu organisasi untuk mencapai

efisiensi dan efektivitas kerja dengan hasil yang maksimal.

Menurut Bretz dan Briggs (dalam www.sekolahdasar.net

diakses pada tanggal 10 Mei 2012) mengemukakan bahwa klasifikasi

media digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu media audio, media visual, media audo visual, dan media serbaneka. Pertama, media audio, berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari sumber pesan ke penerima pesan. Media audio berkaitan erat dengan indra pendengaran. Contoh media yang dapat dikelompokkan dalam media audio di antaranya: radio, tape recorder, telepon, dll. Kedua, Media visual yaitu media yang mengandalkan indra penglihat. Media visual dibedakan menjadi dua yaitu (1) media visual diam,

contohnya: foto, ilustrasi, flashcard, gambar pilihan dan potongan gambar, film bingkai, OHP, grafik, bagan, diagram, poster, peta,dll.

(2) Media visual gerak, contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak

seperti film bisu dan sebagainya. Ketiga, media audio visual,

(41)

Ditinjau dari karakteristiknya media audio visual dibedakan menjadi 2 yaitu (1) media audio visual diam, contohnya: TV diam, buku bersuara, dan (2) media audio visual gerak, contohnya: TV,

film bersuara, gambar bersuara, dll. Keempat, Media serbaneka

merupakan suatu media yang disesuaikan dengan potensi di suatu daerah, di sekitar sekolah atau di lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka diantaranya : Papan tulis, media tiga dimensi, realita, dan sumber belajar pada masyarakat.

a). Papan (board) yang termasuk dalam media ini diantaranya :

papan tulis, papan buletin, papan flanel, papan magnetik, papan

listrik, dan papan paku. b). Media tiga dimensi diantaranya: model, mockup, dan diorama. c). Realita adalah benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya. Contoh pemanfaatan realita misalnya guru membawa kelinci, burung, ikan atau dengan mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau kepeternakan sekolah. d). Sumber belajar pada masyarakat di antaranya dengan karya wisata dan berkemah.

Perkembangan media di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dunia cetak perlahan-lahan mulai beralih ke dunia digital dan elektronik. Semakin banyaknya perusahaan-perusahaan media memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat di dunia media massa. Sa yangnya perkembangan media saat ini di Indonesia tidak terlalu

sig nifikan dibandingkan dengan pendidikan manusianya.

Salah satunya adalah pesatnya perkembangan dunia info tainment di sejumlah televisi adalah berita-berita seputar gosip di media massa yang lebih laku dibandingkan berita lain. Tak hanya itu, tayangan-tayangan televisi mulai dari isu, gosip hingga mistik lebih banyak dihadirkan dibandingkan berita-berita yang mendidik.

(42)

Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontotan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi industri hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner, dalam Yayan, 2005: 3). Media cetak, radio,

televisi, film, internet dan bentuk-bentuk teknologi media lainnya telah menyediakan definisi - definisi untuk menjadi laki-laki atau

perempuan, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks.

Media massa diyakini tidak akan menjadi lembaga yang netral. Media massa akan senantiasa berada dalam tarik-menarik antar berbagai kepentingan yang semuanya bersumber pada

interest politik dan ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memperoleh kedudukan yang sangat tinggi dan strategis, serta berusaha untuk menciptakan hegemoni karena media massa memperoleh kebebasan penuh. Oleh karena itu, media massa akan selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan ekonomi dan politik melalui mekanisme industri dan bisnis media massa bersangkutan, serta mencoba mempengaruhi agenda media massa dari waktu ke waktu.

Adanya tarik-menarik antara berbagai kepentingan, menurut Shoemaker (1996: 63 -102), dimulai sejak proses penentuan sebuah berita yang ditampilkan media massa dengan melalui beberapa tahap atau strata, antara lain: Pertama, tahap individual level yaitu pada level ini, para jurnalis berperan besar dalam penentuan agenda berita, berita mana yang disiarkan dan yang tidak disiarkan atau diedit. Merekalah yang berhubungan langsung dengan sumber berita dan peristiwa be rita (event), dan mereka bisa merekonstruksi

event atau peristiwa yang akan ditayangkan di media massa masing- masing.

Dalam merekonstruksi event atau peristiwa yang terjadi, para jurnalis dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman, penalaran, dan pada batas tertentu berdasarkan persepsi subjektif nya.

(43)

ruang pemberitaan dipengaruhi oleh cara profesional media massa di perusahaan tempat mereka bekerja mengorganisasi sistem kerja mereka. Ketiga, tahap organizational level, yaitu tahap ini, organisasi sebagai perangkat struktur industri media massa ikut menentukan proses rekons -truksi event atau peristiwa yang terjadi. Ke empat, external media massa level, yaitu tahap proses rekonstruksi berita yang ditentukan oleh eksternal media massa.

Shoemaker (1996: 67 -75 ) juga mengemukakan lima faktor di luar organisasi media massa yang bisa mempengaruhi isi media massa, yaitu (a) sumber berita, (b) iklan dan pelanggan, (c) kontrol pemerintah, (d) pasar, dan (f) teknologi. Tahap kelima, ideological level, yaitu level ideologi yang umumnya berkaitan dengan struktur kekuasaan, dalam arti sejauh mana kekuasaan melalui berbagai aturan yang ditetapkan mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan rekonstruksi berita atau peristiwa dalam ruang pemberitaan media massa.

Gambaran perempuan dalam media telah mendapatkan sorotan dari berbagai macam kajian. Dalam penelitian pada media di barat maupun di Indonesia sendiri menunjukkan hasil yang relatif konsisten bahwa perempuan yang ideal adalah pasif, berada dalam lingkungan domestik dan biasanya cantik. Di samping itu adanya beberapa studi bahwa perempuan digambarkan sebagai objek kenikmatan seksual yang terutama ditujukan pada konsumen laki-laki.

Secara bahasa, seks berarti suatu kenyataan yang membeda kan manusia masing-masing sebagai laki-laki dan perempuan. Seks merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang mendasar. Seks

tidak hanya kebutuhan fisik, seperti makan dan minum, ataupun

untuk meneruskan keturunan, tetapi ia juga menjadi kebutuhan psikologis yang berupa ketenangan, kenyamanan, dan kesejahteraan jiwa. Selain itu, seks juga merupakan kebutuhan integratif, yaitu kebutuhan manusia untuk melampiaskan kasih sayang, cinta dan keindahan. Sebagai bagian dari kebutuhan asasi manusia, seks menjadi daya tarik yang menggelorakan setiap insan (Syam, 2010: 18).

Seks mengacu pada jenis kelamin yakni perbedaan biolo

gis antara perempuan dan laki-laki. Definisi konsep seks tersebut

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 1.
Tabel 1.Jumlah Mahasiswa/wi UIN Sunan Kalijaga tahun 2010/2011
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,309, hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model (Perbandingan Sosial,

Hal ini disebabkan karena investor selaku pemegang saham perusahaan melihat dengan semakin tingginya profitabilitas menunjukan perusahaan tersebut memiliki laba

Berdasarkan hasil penelitian pada kuadran importance performance analysis (IPA), terdapat 2 indikator yang menjadi prioritas utama fokus perbaikan pada website Lazada.co.id

4.2 Menyajikan hasil analisis tentang pengaruh interaksi sosial dalam ruang yang berbeda terhadap kehidupan sosial dan budaya serta pengembangan kehidupan kebangsaan.

Hasil penelitian ini berisi tentang bentuk upaya pemberdayaan yang dilakukan terhadap pemulung sampah serta kendala yang dihadapi pemulung sampah dalam upaya pemberdayaan di

1) Anggi Kurnia Saputri, dengan Judul Skripsi “ Analisis Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Dengan menggunakanRrasio Likuiditas dan Rentabilitas pada PT. Dari

- Jangan sekali-kali menggunakan aksesori atau komponen apa pun dari produsen lain atau yang tidak secara khusus direkomendasikan oleh Philips.. Jika Anda menggunakan aksesori

Seperti hal nya dalam upacara ritual Boren Dayong masyarakat Dayak Hibun menggunakan gerak tari sebagai suatu simbol yang mempunyai arti dan guna menyampaikan pesan,