• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direktorat Manajemen Risiko dipimpin oleh seorang Direktur yang bertanggung jawab kepada Dewan Direksi dan sekaligus menjadi anggota dengan hak suara (voting member) pada Risk and Capital

Committee. Dalam operasionalnya Direktorat Manajemen Risiko dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,

yaitu 1) Credit Approval sebagai bagian dari four-eye principle, 2) Independent Risk Management yang dibagi menjadi beberapa grup berkaitan dengan risiko kredit dan portofolio, risiko operasional dan risiko pasar.

Di samping itu, sebagai tindak lanjut terhadap peraturan Bank Indonesia nomor 7/25/PBI/2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum, Bank juga telah mempersiapkan langkah-langkah awal diantaranya dengan mengirimkan pegawai dari unit kerja manajemen risiko dan unit bisnis terkait untuk mengikuti pelatihan dan mengikuti ujian Sertifikasi Manajemen Risiko yang diselenggarakan oleh Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) yang bekerjasama dengan Global

Association of Risk Profesionals (GARP). Melalui sertifikasi ini serta pelatihan internal yang intensif, Bank

diharapkan dapat siap dengan sumber daya manusia yang bersertifikasi manajemen risiko sesuai ketentuan BI.

Selain untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan Basel II, Bank juga mengembangkan

Enterprise Risk Management (ERM) yang sesuai dengan kebutuhan strategis dan operasional Bank.

Melalui pengembangan ERM tersebut, diharapkan pengelolaan manajemen risiko di Bank dapat terintegrasi dan menjadi proses yang “embedded” dalam proses bisnis Bank, khususnya untuk menunjang rencana organisasi berbentuk Strategic Business Unit (SBU) yang dimulai pada tahun 2007, sehingga dapat memberikan nilai tambah (value added) bagi Bank dan stakeholders Bank. Dengan Basel II sebagai katalis, implementasi ERM ditujukan untuk melihat hasil akhir dari kinerja bank berbasis risiko dalam besaran nilai atau value (Risk Based Performance).

Risiko Kredit

Pengelolaan risiko kredit Bank terutama diarahkan untuk meningkatkan ekspansi kredit yang sehat dan mengelola kredit yang telah diberikan agar terhindar dari penurunan kualitas atau menjadi Non Performing Loan (NPL). Nilai NPL yang terkendali pada akhirnya dapat meminimalkan kerugian dan mengoptimalkan penggunaan modal yang dialokasikan untuk risiko kredit.

Untuk mendukung hal tersebut, Bank telah memiliki kebijakan dan pedoman tertulis mengenai pemberian kredit yang mencakup Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM), Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK) dan Surat Edaran di bidang perkreditan yang lebih rinci. Ketiga acuan kerja dimaksud memberikan petunjuk pengelolaan kredit secara lengkap, mulai dari permohonan, proses analisa, persetujuan, dokumentasi, pengawasan, hingga proses restrukturisasi disertai dengan analisa dan perhitungan risiko. Dalam rangka mendukung proses pemberian kredit yang lebih hati-hati, Bank juga melakukan review dan penyempurnaan terhadap kebijakan tersebut secara periodik sesuai dengan perkembangan bisnis terkini.

Secara garis besar pengelolaan risiko kredit diterapkan pada tingkat transaksional maupun tingkat portofolio. Pada tingkat transaksional diterapkan four-eye principle yaitu setiap pemutusan kredit melibatkan Business Unit dan Credit Risk Management Unit secara independen untuk memperoleh keputusan yang obyektif. Mekanisme four-eye principle dilakukan melalui Credit Approval Committee yaitu proses pemutusan kredit dilaksanakan melalui mekanisme rapat Komite Kredit dan pemutusannya dilakukan oleh Pejabat Pemegang Kewenangan Memutus Kredit dari Business Unit dan Risk Management yang memiliki kompetensi, kemampuan dan integritas. Dengan demikian, proses pemberian kredit menjadi lebih komprehensif dan hati-hati.

55. MANAJEMEN RISIKO (lanjutan)

Risiko Kredit (lanjutan)

Sebagai bagian dari pelaksanaan prudential banking, pemegang kewenangan dalam melakukan pemutusan kredit selain menggunakan format Nota Analisa Kredit dan alat analisa keuangan (spread sheet keuangan) juga mendapatkan panduan dari Tools Rating (BMRS) dan Scoring System (MBSS & SBSS) untuk dapat melakukan pengukuran risiko kredit (credit risk assesment) yang lebih akurat dan penetapan tingkat bunga (pricing) atas dasar risiko (risk based pricing). Bank telah memiliki Pedoman Penyusunan dan Pengembangan Model Credit Rating dan Credit Scoring, yang merupakan pedoman lengkap bagi Bank dalam menyusun model credit rating dan credit scoring yang proven dan handal dan selanjutnya model tersebut diimplementasikan ke dalam Credit Risk Tools sebagai salah satu alat bantu dalam memutus kredit. Untuk memonitor performance model credit rating dan credit scoring, secara berkala dilakukan review atas hasil Scoring dan hasil rating yang telah dilakukan oleh

Business Unit dan hasilnya dituangkan dalam Credit Scoring Review dan Rating Outlook yang

masing-masing diterbitkan secara triwulanan dan semesteran.

Penyempurnaan Sistem scoring pada awalnya hanya terdiri atas scoring untuk debitur UKM dan scoring untuk debitur middle commercial. Seiring dengan perkembangan bisnis Bank, saat ini sudah pula dikembangkan mencakup scoring model khusus untuk kredit usaha mikro (KUM) dan scoring model khusus untuk pembiayaan kredit pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pengembangan sistem scoring untuk pengembangan bisnis kredit mikro akan terus dilakukan Bank, misalnya sistem scoring untuk pengambilan keputusan dalam pembiayaan kepada agen (depo) penyalur minyak dengan pemakai akhir adalah rumah tangga maupun industri kecil lainnya.

Sementara itu sistem rating yang digunakan untuk debitur korporasi dan large commercial saat ini telah dikalibrasi terhadap model rating financial dan telah dilakukan penyempurnaan terhadap faktor-faktor kualitatif dari yang sebelumnya bersifat subjektif menjadi lebih obyektif, yaitu dengan menerapkan scoring base sebagai dasar adjustment untuk menetapkan customer rating.

Penerapan scoring dan rating tools juga ditujukan untuk memberikan penilaian yang lebih obyektif kepada nasabah sehingga nasabah-nasabah yang berisiko rendah akan mendapatkan perlakuan

(treatment) yang berbeda dibandingkan dengan yang berisiko tinggi.

Sebagai upaya menurunkan tingkat NPL kredit, Bank melakukan inisiatif antara lain penyempurnaan format nota analisa kredit yang lebih berorientasi pada analisa risiko dan komprehensif sehingga mendukung pemutusan kredit yang berprinsip pada asas kehati-hatian (prudential banking). Selain itu Bank juga telah mengembangkan dan mengimplementasikan proses analisa Watch List (Early

Warning Analysis) bagi debitur-debitur performing untuk mengidentifikasi debitur-debitur yang

berpotensi tinggi mengalami downgrade menjadi NPL sehingga Management dapat segera menetapkan account strategy dan tindakan (action) yang dapat memberikan hasil paling optimal. Kredit yang bermasalah ditangani oleh unit khusus (Credit Recovery Group) agar penyelesaiannya dapat ditangani lebih menyeluruh dan dilain pihak Unit Bisnis tetap fokus pada pengelolaan debitur lancar dan ekspansi kredit. Sejalan dengan kebutuhan organisasi, Credit Recovery Group telah ditingkatkan menjadi Direktorat Special Asset Management (dipimpin oleh seorang Direktur) yang membawahi 2 (dua) grup Credit Recovery dengan harapan bahwa proses penyelesaian kredit bermasalah menjadi lebih cepat dan efektif.

Pada tingkat portofolio Bank memiliki Portfolio Guideline yang dapat digunakan untuk mengarahkan ekspansi kredit sehingga tercapai komposisi portofolio yang optimal, baik atas dasar sektor ekonomi, wilayah, segmen maupun produk dapat terjaga. Alokasi portofolio yang optimal ini memungkinkan

55. MANAJEMEN RISIKO (lanjutan)

Risiko Kredit (lanjutan)

Sejalan dengan penerapan alat ukur risiko tersebut dan sebagai analisa pendukung dalam pengelolaan risiko kredit, Bank juga telah menggunakan Customer Profitability Analysis yang berbasis risiko. Dengan demikian dapat diketahui nilai tambah ekonomis kepada pemegang saham atas aktivitas kredit yang dilakukan Bank. Bank akan terus berupaya meningkatkan alat ukur risiko kredit guna memperoleh insentif alokasi modal ekonomi yang lebih rendah saat penerapan New Basel II

Capital Accord di masa mendatang.

Selain itu, Bank juga menerapkan perhitungan tingkat suku bunga berdasarkan risiko (risk based

pricing) dan Required Yield sebagai tingkat imbal hasil minimum dalam menetapkan suku bunga

kredit. Pricing strategy bertujuan menjaga tingkat profitabilitas bank dan menetapkan suku bunga yang kompetitif dalam rangka mendukung unit bisnis untuk melakukan ekspansi kredit.

Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas a. Manajemen Risiko Likuiditas

Bank melakukan pengelolaan risiko likuiditas agar dapat memenuhi setiap kewajiban finansial yang sudah diperjanjikan secara tepat waktu dan senantiasa dapat memelihara tingkat likuiditas yang memadai dan optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank menetapkan kebijakan pengelolaan risiko likuiditas, yang mencakup antara lain pemeliharaan cadangan likuiditas yang optimal, pengukuran dan penetapan limit risiko likuiditas, penyusunan analisa skenario dan

contingency plan, penyusunan strategi pendanaan serta memiliki akses pasar.

Tingkat likuiditas Bank diukur melalui primary reserve dan secondary reserve. Bank memelihara

primary reserve dan secondary reserve untuk memenuhi kebutuhan operasional harian dan

sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dari penarikan dana tidak terjadwal maupun ekspansi aktiva.

Primary reserve dipelihara dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia dan kas

di cabang-cabang. Sesuai ketentuan Bank Indonesia, Bank diwajibkan memelihara GWM Rupiah dan Valas secara harian masing-masing sebesar minimum 11% dari dana pihak ketiga Rupiah (untuk Bank dengan total dana pihak ketiga di atas Rp50 triliun dan Loan to Deposit Ratio antara 50-60%) dan minimum 3% dari dana pihak ketiga Valas. Per 31 Desember 2006 realisasi GWM Rupiah sebesar 11,73% dan GWM Valas sebesar 3,01%.

Secondary reserve Bank ditempatkan dalam bentuk SBI/FASBI, penempatan antar bank, dan

surat berharga (portofolio yang diperdagangkan dan yang tersedia untuk dijual). Bank menetapkan limit secondary reserve minimum 5% dari dana pihak ketiga. Per 31 Desember 2006 Bank memiliki Rp22,80 triliun dalam secondary reserve, atau 11,23% dari dana pihak ketiga Bank sebesar Rp203,03 triliun.

Risiko likuiditas yang mungkin dihadapi Bank di masa datang diukur dan dipantau melalui liquidity

gap analysis, yang merupakan proyeksi surplus atau defisit likuiditas berdasarkan maturity profile

dari aktiva dan pasiva Bank termasuk kebutuhan ekspansi bisnis. Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan tahun 2007, likuiditas Bank diproyeksikan akan berada dalam posisi surplus sampai dengan 12 bulan ke depan.

Pemantauan risiko likuiditas dilakukan melalui penetapan limit internal atas beberapa indikator risiko likuiditas (disebut juga liquidity red flag), yang mencakup limit GWM, Secondary Reserve,

Loan to Deposit Ratio (LDR), Konsentrasi Dana Nasabah Besar, Maximum Cumulative Outflow

55. MANAJEMEN RISIKO (lanjutan)

Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas (lanjutan) a. Manajemen Risiko Likuiditas (lanjutan)

Untuk mengetahui kemampuan Bank dalam menghadapi situasi likuiditas yang berbeda, Bank melakukan analisa skenario likuiditas, yang mencakup skenario kondisi normal dan tidak normal termasuk kondisi ekstrim atau krisis (stress testing) yang dilengkapi dengan penyusunan rencana kontinjensi.

Sesuai dengan rencana kontinjensi tersebut, Bank dapat memenuhi kebutuhan likuiditas melalui pendanaan alternatif di luar pendanaan masyarakat seperti repurchase agreement, bilateral

funding, collateralized facility agreement, foreign exchange swap, dan penjualan surat berharga

seperti obligasi pemerintah. Bank juga dapat menggunakan posisi dominannya di pasar untuk melakukan pendanaan jangka pendek tanpa meningkatkan biaya dana secara signifikan.

b. Manajemen Risiko Suku Bunga

Aktiva Bank yang sensitif terhadap suku bunga didominasi oleh obligasi pemerintah dan kredit, dan Pasiva yang sensitif terhadap suku bunga didominasi oleh Dana Pihak Ketiga (giro, tabungan dan deposito).

Dalam pengelolaan risiko suku bunga, Bank menggunakan analisa repricing gap dan duration gap. Bank melakukan simulasi untuk mengukur sensitivitas pendapatan (NII Sensitivity) dan nilai modal ekonomis (Economic Value of Equity, EVE) akibat pergerakan suku bunga. Pengukuran sensitivitas NII (Net Interest Income) dan nilai ekonomis modal dilakukan dengan cara mengasumsikan kenaikan dan penurunan suku bunga secara parallel shift sebesar 100 bps. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa perubahan suku bunga Rupiah dan Valas akan berdampak terhadap NII 12 bulan sebesar 1,32% dari target NII Rupiah dan 0,80% dari target NII Valas, serta EVE sebesar 2,03% dari Equity. Selain melakukan analisa sensitivitas, Bank juga menggunakan pendekatan statistik untuk mengukur dampak volatility suku bunga terhadap pendapatan (Earning at Risk, EaR) dan Equity (Capital at Risk, CaR). Per 31 Desember 2006 EaR dan CaR Bank masing-masing sebesar 0,75% dan 1,81% dari Equity.

Bank juga melaksanakan analisa sensitivitas untuk kondisi ekstrim (stress testing) untuk melihat dampak perubahan suku bunga yang signifikan terhadap NII dan modal Bank.

Untuk memberikan peringatan dini akan terjadinya risiko suku bunga, Bank memiliki alat pemantauan yang disebut Interest Rate Risk Red Flags yang terdiri dari beberapa indikator risiko suku bunga yaitu: Repricing Gap, NII Sensitivity dan Economic Value of Equity Sensitivity, Earning at Risk dan

Capital at Risk.

Dalam rangka pemantauan dan pengendalian risiko suku bunga, Bank menetapkan limit atas indikator-indikator risiko suku bunga. Apabila terdapat pelampauan terhadap limit tersebut akan ditindak lanjuti dengan mitigasi risiko melalui strategi restrukturisasi Asset dan Liabilities atau strategi

hedging. Instrumen derivative yang biasa dipakai Bank dalam memitigasi eksposur risiko suku bunga

antara lain interest rate swap dan forward rate agreement.

c. Manajemen Pricing

55. MANAJEMEN RISIKO (lanjutan)

Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas (lanjutan) c. Manajemen Pricing (lanjutan)

Dalam penetapan pricing DPK, Bank mempertimbangkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain: biaya dana, struktur dan target pendanaan. Faktor eksternal antara lain: likuiditas pasar, suku bunga pasar dan suku bunga penjaminan. Dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal tersebut, Bank menerapkan strategi agresive atau defensive.

Untuk penetapan pricing Kredit, Bank menerapkan tingkat suku bunga berdasarkan risiko (risk Risk

based Based pricingPricing). Struktur pembentukan suku bunga kredit, terdiri dari Cost of Funds, Overhead Cost, Cost of Allocated Capital dan Risk Premium. Bank menetapkan Required Yield yang

merupakan tingkat imbal hasil minimum yang diinginkan Bank.

d. Manajemen Risiko Pasar

Dalam rangka pengawasan aktivitas perdagangan Treasury, Bank menetapkan limit risiko perdagangan dalam bentuk limit trading, baik limit VaR (Value at Risk), limit nominal dealer maupun

dealer loss limit. Sebagai sarana pemantauannya dibuat laporan Profil Risiko Pasar, termasuk di

dalamnya adalah laporan Value at Risk dan posisi/eksposur atas semua produk keuangan yang diperdagangkan oleh Bank dan terekspose risiko pasar. Laporan VaR dibuat untuk mengukur potensi risiko kerugian yang timbul akibat perubahan harga pasar yang disebabkan oleh pergerakan suku bunga, nilai tukar mata uang asing dan fluktuasi lain yang dapat mempengaruhi nilai pasar instrumen keuangan. Untuk mengelola pergerakan pasar yang abnormal, Bank telah mengimplementasikan metodologi stress testing untuk mengkuantifikasi risiko keuangan yang timbul dari pergerakan pasar yang abnormal setiap bulan. Setiap bulan Bank Mandiri melakukan analisa Back Testing untuk menilai akurasi metodologi dan nilai VAR yang dihasilkan.

Produk-produk keuangan yang diperdagangkan oleh Bank tidak lagi terbatas pada transaksi plain

vanilla, tetapi sudah berkembang pada transaksi-transaksi derivative dan structured product, seperti FX Digital Option dan Range Accrual. Sebagai antisipasi atas perkembangan produk yang

diperdagangkan Bank, saat ini sedang dikembangkan sistem derivative sebagai salah satu inisiatif yang ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2007. Sistem derivative tersebut akan mempergunakan pendekatan Historical Simulation di dalam pengukuran Value at Risk, sementara sistem yang ada saat ini masih mempergunakan pendekatan Variance Covariance, agar pengukuran risiko menjadi lebih akurat .

Sesuai ketentuan Bank Indonesia, Bank telah melakukan perhitungan KPMM yang telah memasukkan unsur risiko pasar atas dasar standard model. Besarnya kebutuhan modal minimum yang dibutuhkan untuk meng-cover risiko pasar per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp294,16 milyar, sehingga nilai CAR setelah memasukkan unsur market risk dan credit risk adalah sebesar 24,62% (Catatan 50).

Disamping itu, Bank juga memantau perkembangan metodologi dan praktek manajemen risiko pasar dalam industri perbankan dan melakukan perbaikan sesuai kebutuhan yang melekat pada instrumen keuangan dan aktivitas Bank.

e. Manajemen Risiko Nilai Tukar

Posisi valuta asing Bank sebagian besar dalam valuta US Dolar. Di sisi aktiva sebagian besar berupa penempatan antar bank, surat berharga dan kredit, sedangkan di sisi pasiva terdiri dari dana pihak ketiga (giro dan deposito) dan dana pinjaman. Pengelolaan operasional Posisi Devisa Neto (PDN) dipusatkan pada Treasury Group. Pemantauan risiko nilai tukar dilakukan oleh Market Risk Group dengan menggunakan sistem yang terintegrasi antara front office, middle office dan back office.

55. MANAJEMEN RISIKO (lanjutan)

Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas (lanjutan) e. Manajemen Risiko Nilai Tukar (lanjutan)

Pengelolaan PDN Bank berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia dan kebijakan internal yang ditetapkan oleh RCC berdasarkan pada risk apetite Bank. Bank Indonesia mensyaratkan bahwa PDN Neraca dan PDN Keseluruhan untuk semua mata uang asing tidak melebihi 20% dari modal. Per 31 Desember 2006, PDN Neraca adalah sebesar 11,69% dari modal bulan Desember 2006 dan PDN Keseluruhan sebesar 4,55% dari modal bulan Desember 2006 (Catatan 50).

Risiko Operasional

Inisiatif Operational Risk Management (ORM) bertujuan untuk secara efektif menerapkan Proactive

Risk Management dimana risiko-risiko yang prioritas dari hasil assessment dikelola/dimitigasi sebelum

dapat menimbulkan kerugian. Implementasi manajemen risiko operasional yang efektif oleh unit bisnis akan mendukung pencapaian tujuan dan target bisnis Bank. Pengelolaan risiko secara proaktif memungkinkan Bank dapat memenuhi target usaha dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian pada setiap kegiatan usaha Bank. Mengingat pengelolaan risiko operasional secara sistematis merupakan suatu disiplin yang baru maka tata kelola Operational Risk Management di Bank Mandiri terdiri dari tiga komponen utama, sebagai berikut:

- Pemahaman tujuan Manajemen Risiko Operasional secara penuh, khususnya budaya peduli risiko dan keterbukaan, disamping implementasi sistem informasi ORM, serta pelatihan sumber daya manusia agar memiliki kompetensi dalam disiplin Manajemen Risiko Operasional.

- Bank memiliki kebijakan dan pedoman tertulis mengenai manajemen risiko operasional yang telah disesuaikan dengan ketentuan Bank Indonesia dan Basel II Accord yang mutakhir.

- Profil Risiko Operasional yang akurat dalam mengidentifikasi risiko-risiko yang signifikan akan didukung oleh penerapan perangkat dan sistem informasi ORM.

Sampai saat ini Bank telah mengaplikasikan proses manajemen risiko operasional pada beberapa jenis aktivitas perbankan. Untuk mengantisipasi risiko yang inheren dalam suatu produk dan atau aktivitas usaha yang baru, Bank menetapkan proses pengkajian Produk dan Aktivitas Baru (PAB) sebagai suatu prosedur baku. Dalam pengembangan suatu produk atau jasa yang baru, unit manajemen risiko operasional selalu dilibatkan untuk melengkapi proses identifikasi dan pengukuran risiko operasional yang timbul dari pengembangan tersebut.

Upaya yang signifikan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko operasional secara komprehensif pun telah dilakukan. Bank sudah memiliki suatu sistem informasi dan prosedur baku untuk mencatat kerugian dan memitigasi risiko operasional secara sistematis. Sistem informasi tersebut akan membantu Bank dalam meminimalisir terjadinya kerugian yang sama serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabah. Dari data kerugian tersebut bisa didapatkan profil risiko produk dan unit kerja di masa yang lalu. Pengumpulan data kerugian tersebut juga merupakan salah satu variabel yang penting dalam perhitungan kecukupan modal secara internal.

Untuk meningkatkan kemampuan unit kerja manajemen risiko operasional setingkat dengan International Best Practice, pada tanggal 27 Juni 2006 Bank telah melakukan penandatanganan addendum kerjasama dengan ABN AMRO Bank N.V. untuk ORM Extension Mandate. Dengan kerjasama tersebut diharapkan Bank dapat meningkatkan kompetensi unit manajemen risiko operasional serta mengimplementasikan prosedur manajemen risiko operasional yang up-to-date, sehingga dapat meminimalisir kerugian operasional, menghitung pencadangan kebutuhan modal

Dokumen terkait