BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Pasca Persalinan
2.1.6 Manajemen
2.1.6.1 Manajemen Non-Bedah
Uterotonika merupakan pilihan terapi lini pertama untuk penanganan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri. Obat golongan ini diantaranya oksitosin, misoprostol, methylergometrin. Pada keadaan tertentu penggunaan obat ini dapat dikombinasi, dengan catatan tidak ada kondisi yang menjadi kontraindikasinya. Jika golongan obat uterotonika gagal menghentikan perdarahan, maka terdapat intervensi lain yang dapat digunakan (tampon atau teknik pembedahan).
WHO merekomendasikan oksitosin sebagai golongan obat uterotonika untuk terapi perdarahan pasca persalinan (strong recommendation). Jika sediaan oksitosin injeksi tidak ada atau perdarahan tidak berespon dengan oksitosin, maka dapat menggunakan ergometrin intravena, Oksitosin-ergometrin fixed dose, atau prostaglandin (misoprostol sublingual 800 mikrogram). Disebutkan pada rekomendasi WHO, penggunaan misoprostol secara berkelanjutan pada pasien yang telah mendapat terapi oksitosin teryata tidak memiliki keuntungan. Jika oksitosin intravena telah digunakan untuk terapi perdarahan pasca persalinan dan perdarahan tidak berhenti, tidak ada data yang cukup kuat untuk memberikan rekomendasi pemberian obat uterotonika lini kedua. Akan
tetapi keputusan sangat bergantung pada pengalaman dokter kandungan, ketersediaan obat dan kontraindikasi telah diketahui (WHO, 2012). Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas kasus atonia uteri tidak memerlukan intervensi bedah.
Tabel 2.2 Terapi Medis Perdarahan Pasca Persalinan (Greenfield & Kominiarek, 2008)
Stimulasi kontraksi uterus biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara intramuskuler maupun intravena), dengan atau tanpa ergometrine. Oksitosin memberikan stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin mempunyai half-life pendek dalam plasma (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinyu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi. Sebaliknya jika diberikan secara intramuskuler akan mempunyai onset yang lebih lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung lebih lama (hingga 60 menit) (Schuurmans et al, 2000). b. Resusitasi Cairan dan Asam Traneksamat
Asam traneksamat merupakan golongan obat yang direkomendasikan oleh WHO untuk penanganan perdarahan pasca persalinan dengan kategori evidence yang menengah. Golongan ini merupakan antifibrinolitik yang dapat diberikan secara oral dan suntikan.
Tabel 2.3 Rekomendasi Asam traneksamat untuk penanganan perdarahan pasca persalinan (WHO, 2012)
Sesuai tabel 2.3, terdapat variasi yang lebar antara keuntungan (value) dengan preferensi membuat golongan obat ini termasuk dalam golongan obat dengan rekomendasi rendah (weak recommendation). Namun, asam traneksamat memiliki keuntungan (benefit) yang lebih banyak dibandingkan dengan kerugiannya. Selain itu penggunaan asam traneksamat ini memiliki keunggulan pada segi sosioekonomi (financial
and human resources), terjangkau, murah dan pemberiannya sangat beralasan dan terkait dengan kondisi klinis. Jadi secara keseluruhan, pemberian asam traneksamat untuk kasus perdarahan pasca persalinan dapat direkomendasikan (WHO, 2012).
Penggunaan asam traneksamat direkomendasikan jika oksitosin dan obat uterotonika yang lain gagal untuk menghentikan perdarahan atau perdarahan yang terjadi sebagian disebabkan oleh karena trauma. Pemberian asam traneksamat ini telah dijelaskan pada berbagai literatur bedah dan trauma sebagai pilihan terapi yang aman. Pada penelitian yang dilakukan oleh WOMAN trial, didapatkan penurunan bermakna angka mortalitas sebanyak 1.5 kali dengan pemberian asam traneksamat iv 1 gram dibandingkan dengan group plasebo (WHO, 2012).
c. Pemijatan uterus dan prosedur lainnya
Pemijatan uterus merupakan pilihan terapi untuk perdarahan pasca persalinan (strong recommendation). Pada pasien yang tidak berespon pada terapi yang menggunakan obat uterotonika atau obat uterotonika tidak tersedia, maka pemijatan uterus direkomendasikan sebagai terapi perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh karena atonia uteri (WHO, 2012). Pemijatan uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bawah untuk merangsang uterus berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan merangsang produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi volume darah yang hilang (Hofmeyr, Abdel-Aleem, & Abdel-Aleem, 2008).
Studi secara Randomized Controlled Trial (RCT) pada 200 perempuan di Mesir, dilakukan pemijatan uterus pada kelompok intervensi dan tidak dilakukan pemijatan uterus pada kelompok kontrol setelah persalinan aktif kala III. Studi ini menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan secara statistik dalam kejadiaan perdarahan pasca persalinan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol [risk ratio (RR) 0,52; 95% confidence interval (CI) 0,16-1,67]. Berarti kehilangan darah dalam 30 menit secara signifikan lebih rendah pada kelompok intervensi dari pada kelompok kontrol (Hofmeyr, Abdel-Aleem, & Abdel-Aleem, 2008)
d. Kompresi Uterus Bimanual
Kompresi bimanual ada 3 cara yaitu: (1) Kompresi bimanual eksterna adalah menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar, bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan dan dipertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan (2) Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah didalam myometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Bila perdarahan berkurang atau berhenti tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Namun, bila perdarahan tetap terjadi, lakukan (3) Kompresi Aorta Abdominalis dengan cara meraba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis (Schuurmans et al, 2000). Penggunaan bimanual kompresi, dimana dilakukan penekanan pada aorta eksternal, merupakan terapi sementara yang dapat diberikan untuk mengontrol perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri sambil menunggu tersedianya penanganan yang sesuai (WHO, 2012).
e. Teknik Tampon
Pada kondisi penggunaan obat uterotonika dan masase uterus bimanual gagal untuk menghentikan perdarahan, maka penggunaan kompresi, tamponade atau packing intrauterine dapat dilakukan. Bukti keuntungan teknik ini sangat terbatas, akan tetapi dalam suatu studi menyatakan bahwa terdapat sekitar 86% pasien yang mendapatkan terapi tampon balon kateter tidak memerlukan terapi pembedahan. Meski keuntungannya terbatas, tetapi penting untuk tindakan sementara. Metode uterine packing menjadi prosedur yang digemari terutama di daerah untuk persiapan merujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan juga tindakan sementara untuk menghentikan perdarahan sambil menunggu tindakan operasi definitif berikutnya. Telah terbukti teknik ini berhasil untuk menghentikan perdarahan dan mencegah terjadi komplikasi (Cunningham et al, 2005). Jika teknik tampon balon kateter tidak tersedia, maka uterus dapat dipacking menggunakan gauze. Untuk menghindari gauze tertinggal dalam uterus, sebaiknya dihitung dan diikatkan satu sama lain (Committee on Practice Bulletin, 2017).
Tabel 2.4 Teknik tampon Perdarahan Pasca Persalinan (Committee on Practice Bulletin, 2017)
f. Tampon Kondom Kateter
Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Prof Sayeba Akhter, ahli kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Di negara seperti Bangladesh dimana angka kematian ibu oleh karena perdarahan pasca persalinan sangat tinggi, metode tampon kondom kateter ini bisa menjadi alternatif dikarenakan aman, murah, dan prosedurnya mudah diterapkan dalam situasi apapun untuk menyelamatkan nyawa dan preservasi uterus. Dalam 23 kasus dimana tampon kondom kateter digunakan perdarahan berhenti dalam 15 menit, selama penelitian berlangsung tidak didapatkan infeksi intrauterin dan tidak ada pasien yang jatuh ke syok hipovolemik irreversibel (Akhter, Laila, & Zabeen, 2003).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan tampon kondom kateter untuk pengobatan atonia uteri ketika obat-obatan uterotonika tidak tersedia atau tidak efektif untuk manajemen perdarahan pasca persalinan oleh karena atonia uteri (WHO, 2012). Disebutkan tampon kondom kateter digunakan dalam kasus-kasus dimana oksitosin dan obat lain tidak efektif, namun dipertahankan untuk membantu kontraksi uterus bersamaan sambil kita melakukan pemasangan tampon kondom kateter (Akhter, Laila, & Zabeen, 2003).
a. Ikat kondom kateter b. Kateter dimasukkan dlm cavum uteri
c. Pasang tampon vagina dan cairan salin dialirkan ke kateter uterus 250-500 cc
Gambar 2.2 Tahapan pemasangan kondom kateter (Akhter, Laila, & Zabeen, 2003)
Tabel 2.5 Langkah langkah pemasangan tampon kondom kateter (Akhter, Laila, & Zabeen, 2003)
a. Sebelumnya diberikan antibiotik profilaksis, Kandung kemih dikosongkan, kateter steril dimasukkan ke dalam kondom dan diikat dengan benang
b. Pasien diposisikan litotomi, kondom kateter dimasukkan kedalam cavum uterus
c. Ujung luar kateter dihubungkan dengan cairan saline dan kondom dialiri cairan saline 250-500 cc
d. Perdarahan diamati, ketika perdarahan berhenti, kateter dilipat dan diikat dengan benang
e. Kontraksi uterus dipertahankan dengan meneteskan oksitosin setidaknya 6 jam setelah prosedur
f. Dilakukan pemasangan tampon vagina dengan tampon gulung g. Kateter dipertahankan 24-48 jam
2.1.6.2 Manajemen Bedah