• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

2.1.1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata laksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen et al. (2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan diakui secara internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS. MTBS membantu negara dalam meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian Millenium Development Goals 4.

MTBS mengintegrasikan perbaikan sistem kesehatan, manajemen kasus, praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat, serta hak anak (Soenarto, 2009). Manajemen Terpadu adalah suatu pola manajemen kasus yang berisi prosedur kerja agar dapat memperbaiki input, proses, dan output (Hastuti, 2010). Berdasarkan penelitian Husni, dkk (2012) mengatakan bahwa gambaran pelaksanaan MTBS komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih kurang. Dimulai pada tahun 1990an, World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima

penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012). Dalam buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum.

2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna. 3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan

khusus untuk anak.

4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat.

5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan masalah jika terdapat masalah makan.

6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak lanjut jika diperlukan.

Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina dkk. 2005).

1. Penatalaksanaan MTBS Diare

Penilaian tanda dan gejala pada anak dengan diare yang dinilai adalah ada atau tidaknya tanda bahaya umum. Keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel, haus atau banyak minum, adanya darah dalam tinja (feses bercampur dengan darah).

2. Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare

Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga kelompok berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi 1) Dehidrasi berat

Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor buruk sekali.

2) Dehidrasi ringan atau sedang

Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan turgor buruk.

3) Diare tanpa dehidrasi

Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi. b. Klasifikasi Diare Persisten

Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14 hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat apabila ditemukan adanya tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi.

c. Klasifikasi Disentri

Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi pada diare jenis ini disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur dengan darah (Depkes, 1999 dalam Hidayat, 2008).

3. Penentuan dan Tindakan Pengobatan

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan tindakan dan pengobatan setelah diklasifikasikan berdasarkan kelompok gejala yang ada

(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan dan pengobatan menurut Depkes (1999, dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi

Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi.

1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah sebagai berikut:

a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum, berikan oralit melalui mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan 100 ml/kg ringer laktat atau dengan ketentuan sebagaimana tersaji. Pada bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama sebanyak 30 ml/kg selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada anak (1-5 tahun) pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam.

b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila belum membaik berikan tetesan intravena dengan cepat.

c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

d) Lakukan pemantauan kembali sesudah 6 jam pada bayi atau pada anak sesudah 3 jam serta tentukan kembali status dehidrasi. Selanjutnya ditentukan status dehidrasi dan lakukan tindakan sesuai dengan derajat dehidrasi.

e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI

Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu 30 menit cairan tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan pengobatan intravena dan jika anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan rujukan.

2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah sebagai berikut:

a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk usia kurang dari 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12 bulan dengan berat badan 6-<10 kg, pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan dengan berat badan 10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga dapat dihitung dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6 bulan dan tidak menyusu maka diberikan tambahan air matang 100-200 ml. b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi, rujuk untuk tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi.

3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan sebagai berikut:

a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit apabila anak tidak memperoleh ASI eksklusif.

b. Diare Persisten

Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya kolera. Maka pengobatan yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah tetrasiklin.

Usia atau berat badan

Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 3 hari

Tetrasiklin Beri 4 kali sehari untuk 3 hari tablet dewasa 80 mg trimetoprim + 400 mg sulfametoksazol tablet anak 20 mg trimetropim + 100 mg sulfametoksazol sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol kapsul 250 mg 2-4 bulan (4-<6 kg) ¼ 1 2,5 ml diberikan jangan 4-12 bulan (6-<10 kg) ½ 2 5 ml ½ 1-5 tahun (10-<19 kg) 1 3 7,5 ml 1

Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten c. Disentri

Tindakan pada disentri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sesuai, misalnya pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah asam nalidiksat. Pemberian dosis berdasarkan usia atau berat badan anak.

usia atau berat badan

kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 5 hari

Asam Nalidiksat beri 4 kali sehari selama 5 hari tablet dewasa 80 mg trimetoprim + 400 mg sulfametoksazol tablet anak 20 mg trimetoprim + 100 mg sulfametoksazol sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol tablet 500 mg 2-4 bulan (4-<6kg) ¼ 1 2,5 ml 1/8 4-12 bulan (6-<10 kg) ½ 2 5 ml ¼ 1-5 tahun (10-<19 kg) 1 3 7,5 ml ½

Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri Usia atau berat

badan Tablet (500 mg) Tablet 100 mg Sirup 120 mg/5 ml 2-6 bulan (4-<7 kg) 1/8 ½ 2,5 (½ sendok teh) 6 bulan-3 tahun (7-<14 kg) ¼ 1 5 ml (1 sendok teh) 3-5 tahun (14<19 kg) ½ 2 7,5 ml (1 ½ sendok teh)

Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol

4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makan

Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun 2010 dijelaskan sebagai berikut:

a. Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah

Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut: 1. Beri Cairan Tambahan

a) Jelaskan kepada Ibu:

2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air matang sebagai tambahan.

3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan berikut: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.

4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.

b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.

c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus diberikan setiap anak diare.

1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare. 2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare. 3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering

dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Dan lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

2. Beri Tablet Zinc Selama 10 Hari. 3. Lanjutkan Pemberian Makan. 4. Kapan Harus Kembali.

b. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit. Berikan oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.

Umur ≤ 4 bulan 4- ˂ 12 bulan 1- ˂2 tahun 2- ˂5 tahun Berat <6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg Jumlah 200-400 400-700 700-900 900-1400

Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama.

2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit. 3) Berikan tablet zinc selama 10 hari.

4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya, pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan, dan mulailah memberi makan anak.

5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai c. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat

1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat (atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena UMUR Pemberian pertama 30

ml/kg selama:

Pemberian berikut 70 ml/kg selama:

Bayi (dibawah umur 12 bulan)

1 jam* 5 jam

Anak (12 bulan sampai 5 tahun)

30 menit* 2 ½ jam

2) Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri tetesan lebih cepat.

3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc.

4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, dapatkah fasilitas pemberian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).

5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa minum, bekali Ibu larutan oralit dan tunjukkan cara meminumkan pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan. Jika tidak, dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk rehidrasi atau cek apakah anak masih bisa minum.

6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut: beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg).

7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam:

- Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan lebih lambat.

- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.

8) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi, kemudian tentukan rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, rujuk segera untuk pengobatan IV/NGT/OGT.

Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah rehidrasi untuk meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian larutan oralit per oral. Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menit-infus makro= 60 tetes/menit-tetes/menit-infus mikro.

2.1.2. Diare

Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Hal ini biasanya berkaitan dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal, inkontinensia, atau kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu: sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas (Baughman, 2000).

Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008).

Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang, makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak dengan penyebab patogen tersebut menjadi risiko utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan pajanan pada sampah padat (misalnya melalui pengambilan atau akumulasi

sampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian Wilson et al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali tanda-tanda diare pada anak.

Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga. Terdapat juga penyebab lain yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang buruk (WHO, 2008).

2.1.3. Pengetahuan

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja (perilaku), akan tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang.

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010). Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo,

2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng dan perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:

1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan) 2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)

3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif menurut Taksonomi Bloom (1987) dalam Sunaryo (2004) mencakup 6 tingkatan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

b. Memahami (Comprehension)

Merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.

c. Penerapan (Application)

Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi dengan fisiologi.

e. Sintesis (Synthesis)

Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ukuran kemampuan adalah dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan sesuai teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.

Menurut Notoatmodjo (2010) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu:

1. Cara tradisional atau non ilmiah

Cara tradisional atau non ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan tanpa melakukan penelitian ilmiah, cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi:

a. Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja (trial and error).

Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah dan sampai sekarang pun metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Cara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan. Dengan prinsip inilah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh

orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran diri.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

e. Cara akal sehat (Common sense)

Akal sehat atau Common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran.

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran atau dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan manusia.

g. Kebenaran secara Intuitif

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berfikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang

rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.

i. Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ditangkap oleh indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala.

j. Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus.

2. Cara modern atau ilmiah

Cara modern atau ilmiah yakni melalui proses penelitian yang lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau disebut metodologi penelitian (research methodology).

2.1.4. Motivasi

Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011).

Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995 dalam Nursalam, 2011). Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Menurut Sunaryo (2004) motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri individu atau datang dari lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) bukan pengaruh lingkungan (ekstrinsik).

Maslow (1943, dalam Bastable, 2002) seorang ahli teori mengembangkan suatu teori tentang motivasi manusia yang diintegrasi secara utuh pada individu dan dalam bentuk hierarki tujuan, dia menyatakan bahwa tidak semua perilaku dimotivasi dan bahwa teori perilaku tidak sama dengan teori motivasi. Ada hubungan antara motivasi dan pembelajaran, antara motivasi dan perilaku, antara motivasi, pembelajaran, dan perilaku (Bastable, 2002). Menurut Maslow (1943) setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan dari yang paling rendah sampai yang

paling tinggi (Misbach, 2010). Kebutuhan-kebutuhan terdiri dari lima hierarki, dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut:

a. Kebutuhan fisiologi (Physiological)

Menurut Maslow kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup, oleh sebab itu sangat pokok, yakni sandang, pangan, dan papan. Apabila kebutuhan ini secara relatif terpenuhi, maka kebutuhan yang lain seperti rasa aman, kebutuhan untuk diakui oleh orang lain akan menyusul untuk dipenuhi. Seseorang tidak akan termotivasi untuk pengembangan dirinya, apabila motif dasarnya masih belum terpenuhi. Maslow menekankan bahwa ketika kebutuhan itu muncul pada seseorang, maka hal tersebut merupakan pendorong dan pengarah untuk terwujudnya perilaku. Pada saat seseorang sudah sampai pada taraf untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, maka pada saat diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan sebagai perwujudan dari aktualisasi diri.

b. Kebutuhan rasa aman (Safety)

Kebutuhan rasa nyaman mempunyai bentangan yang sangat luas, bukan saja keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari tekanan atau intimidasi dari pihak lain.

c. Kebutuhan sosialisasi atau afiliasi dengan orang lain (Affiliation)

Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersosialisasi dengan orang lain dapat diwujudkan melalui keikutsertaan seseorang dalam suatu team work atau perkumpulan tertentu. Kebutuhan berafiliasi dengan orang lain pada prinsipnya agar dirinya diterima dan disayangi oleh orang lain sebagai anggota kelompoknya. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, dalam

Dokumen terkait