• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DI

PUSKESMAS KOTA CILEGON

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH: NOVITASARI NIM: 1110104000027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

iii JAKARTA

Undergraduate Thesis, July 2014 Novitasari, NIM: 110104000027

The Relationship between Knowledge and Motivation with Behavioral Health Workers in the Management of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Diarrhoea in Public Health Centers at Cilegon City

xix + 86 pages + 18 tables + 3 bagans + 7 attachments

ABSTRACT

The World Health Organization (WHO) data estimated 1.7 bilion cases of diarrhea occur globally each year. In indonesia diarrhea is endemic disease that found throughout the year and highest peak is in the rainy season and the dry transition. The incidence of diarrhea in Cilegon summary report based on the data from Dinas Kesehatan Cilegon city in 2013 showed the number of people on as many as 1.667 female children and 1.757 male children.

In a effort to reduce pediatric morbidity and mortality, WHO and other technical partners developed the Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). IMCI is strategy to reduce mortality and morbidity for infant (7 days to 2 months) and children (2 months to 5 years).

This study aimed to determine the relationship between knowledge and motivation with health care’s behavior on the management of IMCI diarrhoea in public health centers at Cilegon city. The study design was cross-sectional. The population was health workers and included 265 respondents and sample was 51 respondents in the 8 public health centers in Cilegon city, and taken by purposive sampling technique. The data was collected by questionnaires and analyzed using the chi-square test.

The result showed that the management of IMCI diarrhoea was no relationship between knowledge with behavioral health workers (p= 0.968) and was relationship between motivation with behavioral health workers (p= 0.038).

The result is expected to be consideration of the extent to which the performance of health worker who have been carrying out the IMCI training and can bridge the gab of knowledge, motivation, and behavior of health workers with management of IMCI diarrhoea.

Keywords: Knowledge, Motivation, Behavioral Health Worker, IMCI of Diarrhoe

(4)

iv Skripsi, Juli 2014

Novitasari, NIM: 1110104000027

Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon

xix + 86 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 7 lampiran

ABSTRAK

World Health Organization (WHO) menyebutkan ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi dunia setiap tahunnya. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare dinas kesehatan kota Cilegon, Banten tahun 2013 menunjukkan angka penderita pada balita perempuan yaitu sebanyak 1.667 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 1.757 jiwa.

Upaya yang dilakukan WHO dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah petugas kesehatan sebanyak 265 responden dan sampel 51 responden dengan teknik purposive sampling yang berada di 8 puskesmas se-kota Cilegon. cara pengumpulan data dengan membagikan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square.

Hasil uji statistik dalam penatalaksanaan MTBS diare menunjukkan tidak ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.968) dan ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.038).

Hasil ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan sejauh mana kinerja petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.

(5)
(6)
(7)
(8)

viii

Nama : NOVITASARI

Tempat, tanggal Lahir : Serang, 17 November 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jalan Tekukur No. 48 Kompleks D-Flat KS Cilegon, Banten

HP : +6285692252356

E-mail : ukhtinovitasari@yahoo.co.id

Fakultas/Prodi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Al-Islah Cilegon 1996-1998

2. Sekolah Dasar Negeri V Cilegon 1998-2004

3. SMP Negeri 1 Cilegon 2004-2007

4. SMA Negeri 1 Cilegon 2007-2010

5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010- Sekarang

RIWAYAT ORGANISASI

1. Staf Ahli Pengembangan Ekonomi Komisariat dakwah FKIK 2012-2013 2. Staf Ahli Kemahasiswaan BEMJ PSIK 2012-2013

(9)

ix

“Siapa yang tak mau merasakan sulitnya belajar, ia kan merasakan perihnya kebodohan” (Imam Syafi’)

Pada lembar persembahan ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada

orang-orang yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis:

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena telah

mengirimkan malaikat-malaikat tanpa sayap yang selalu memberi dukungan di

segala bidang, yang rela meletakkan impian dan mimpi mereka dalam pundak

penulis. Terima kasih Ayah, Mama, Uni Elza, Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari. Hal

ini yang menjadikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi dan

mewujudkan impian dan mimpi mereka.

Guru-guru dan dosen yang senantiasa sabar dalam memberikan ilmunya kepada

penulis.

Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung

(10)

x

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas karunia dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad saw.

Penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan (S.Kep) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas Kota Cilegon”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR. (HC). dr. M. K. Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

2. dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF., PFK, selaku wakil dekan bidang akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3. Bapak Waras Budi Utomo, S.Kep, Ns., MKM, selaku Kepala Program Studi Ilmu Keperawatan dan Dosen Pembimbing Akademik yang tidak bosan-bosannya memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis.

(11)

xi

maupun spiritual dalam penyelesaian studi ini.

6. Uni Elza Yunita, S.P., Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari tersayang yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini. 7. Ibu Maftuhah, S.Kp., M.Kep., PhD dan Ibu Mira Suminar, S.Kep.,

M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan menyediakan waktu luangnya untuk berdiskusi, memberikan pengarahan, dan memotivasi penulis sejak awal penulisan masalah penelitian sampai tersusunnya skripsi ini.

8. Kepada Dosen Penguji, Bu Ns. Kustati B. L, M.Kep., Sp.Kep.An dan Bu Uswatun Khasanah, Ns., MNS penulis mengucapkan terima kasih atas saran-saran perbaikan yang diberikan.

9. Dosen-dosen dan staf Program Studi Ilmu Keperawatan yang dengan sabar dan semangat memberikan ilmu kepada penulis.

10.Kepada Kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon dan Kepala Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan beserta serta staff yang telah membantu penulis untuk kelancaran proses penelitian.

(12)

xii diberikan selama berjuang di FKIK.

13.Teman-teman seperjuangan Lily Camelia, Fitriyani Rahayu, Septiana, dan kak Eka yang saling memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Rekan-rekan seperjuangan PSIK 2010 atas kerja sama, berbagi pemikiran, pengertian, dan memberikan warna di setiap langkah yang sangat berarti ini.

Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Ciputat, Juli 2014

(13)

xiii

Halaman

Halaman Judul i

Pernyataan Keasliaan Karya ii

Abstract iii

Abstrak iv

Pernyataan Persetujuan v

Lembar Pengesahan vi

Daftar Riwayat Hidup viii

Lembar Persembahan ix

Kata Pengantar x

Daftar isi xiii

Daftar Singkatan xv

Daftar Tabel xvi

Daftar Bagan xvii

Daftar Lampiran xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 6

1.3Pertanyaan Penelitian 7

1.4Tujuan Penelitian 8

1.5Manfaat Penelitian 9

1.6Ruang Lingkup Penelitian 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Deskripsi Teori

2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 11

(14)

xiv

2.1.5 Perilaku 39

2.2Penelitian yang Relevan 42

2.3Kerangka Teori 45

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1Kerangka Konsep 46

3.2Definisi Operasional 47

3.3Hipotesis Penelitian 49

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian 50

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 50

4.3 Populasi dan Sampel 51

4.4 Instrumen Penelitian 52

4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas 54 4.6 Langkah-langkah Pengumpulan Data 57

4.7 Etika Penelitian 58

4.8 Pengolahan Data 59

4.9 Analisis Data 61

4.10Penyajian Data 62

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Puskesmas di kota Cilegon 63

5.2 Hasil Preeliminary Analysis 64

5.3 Hasil Analisa Univariat 65

5.4 Hasil Analisa Bivariat 69

BAB VI PEMBAHASAN

(15)

xv BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 84

7.2 Saran 85

DAFTAR PUSTAKA

(16)

xvi

MDGs : Millennium Development Goals UNICEF : United Nations Children’s Fund WHO : World Health Organization MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

KLB : Kejadian Luar Biasa

Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

UIN : Universitas Islam Negeri

IMCI : Integrated Management of Childhood Illness

ASI : Air Susu Ibu

NaCl : Natrium Clorida

IV : Intra Vena

NGT : Nasogastric Tube OGT : Oral Gastric Tube SDM : Sumber Daya Manusia Perda : Peraturan Daerah

UPTD : Unit Pelaksana Teknis Dinas SPK : Sekolah Perawat Kesehatan D-III/IV : Diploma III/IV

(17)

xvii

Halaman Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten 16 Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri 17 Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol 17 Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 19 Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena 19

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional 47

Tabel 4.3.1 Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan 51

Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas 55

Tabel 5.2.1 Hasil Uji Normalitas Data 65

(18)

xviii

Halaman Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010) 40

Bagan 2.3 Kerangka Teori 45

(19)

xix Lampiran 1. Dokumentasi Perizinan Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

Lampiran 4. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Uji Normalitas

(20)

1 1.1. Latar Belakang

Angka kematian bayi dan anak di dunia masih tinggi. Di negara berkembang hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahun pada anak dibawah usia 5 tahun (UNICEF, 2008). Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2013) mengatakan di Indonesia jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian balita adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian pada 2015 merupakan target komitmen global tujuan Millennium Development Goals (MDGs) (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Liu et al. (2012) di dunia penyakit pneumonia, diare, dan malaria merupakan penyebab tersering kematian pada anak. Upaya yang dilakukan World Health Organization (WHO) dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas

dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) (Gove et al. 1997 dalam Rowe et al. 2011). Pada tahun 1990an, WHO dan UNICEF memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas

(21)

MTBS menurut Depkes RI (2005) merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi dan balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. MTBS adalah standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatih), memperkuat sistem kesehatan, dan meningkatkan kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat (Kesehatan Anak, 2011).

Lebih dari 100 negara telah mengadopsi komponen dari MTBS yang digunakan sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam menangani penyakit tersebut dengan menilai dan mengobati anak yang sakit, pencegahan, dan konseling keluarga (Nguyen et al. 2013). Menurut Lesley Bamford dari National Department of Health (2008, dalam Moelyo, 2013) mengatakan bahwa Comprehensive approach to the care of the ill child, which attempts to ensure

appropriate and combined treatment of the five major diseases, dimana MTBS di

(22)

Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan dibuatnya satu set modul dan pedoman MTBS WHO/UNICEF dan pada tahun 2005 MTBS telah dilaksanakan di Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi (Wijaya, 2010). Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak (2010), jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan MTBS sebesar 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.

Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Diare adalah suatu penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar, seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau buang air besar tiga atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2010). Menurut Magdarina et al. (2005) diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya secara fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair yang mendadak, nyeri perut, mual, muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam (Nelson, 2000). Diare dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh yaitu dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian (Wijaya, 2012).

(23)

dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju maupun berkembang dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina et al. 2005).

Menurut laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Badan Litbangkes (2007) penyebab terbanyak kematian bayi (29 hari-11 bulan) dan anak balita (12 bulan-59 bulan) yaitu akibat terserang diare dengan proporsi diare pada bayi sebesar 31,4% dan anak balita sebesar 25,2%. Gambaran berdasarkan survei dan penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 provinsi Banten masih dalam prevalensi diare klinis cukup tinggi yaitu ˃10%. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2009-2010 provinsi Banten secara keseluruhan sering mengalami KLB diare (Kemenkes RI, 2011). Kasus diare yang terjadi di provinsi Banten berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010-2011 pada tahun 2011 mencapai 971.269 kasus sedangkan pada tahun 2010 mencapai 816.802 kasus, angka ini masih tergolong tinggi. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare Dinas Kesehatan kota Cilegon tahun 2013 menunjukkan pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 2.511 jiwa.

(24)

kota Cilegon. Data dari Subdit Pengendaliaan Diare dan Infeksi Pencernaan Kemenkes RI tahun 2006-2009 didapat bahwa persentase petugas kesehatan yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata laksana diare masih dibawah 50%. Berdasarkan penelitian Hastuti (2010) tentang pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi terhadap penatalaksanaan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) pada petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali membuktikan adanya pengaruh antara pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penerapan standar MTBS di Puskesmas kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya di kabupaten Bayolali menunjukkan hasil yang masih kurang baik dalam pelaksanaan program MTBS sehingga perlu ditingkatkan dalam segi pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan.

(25)

Berdasarkan penelitian Faridah (2009) tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi kerja petugas pelaksana manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, membuktikan bahwa persepsi kondisi kerja dan kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS secara bersama-sama mempengaruhi motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota Surabaya. Namun, dalam pelaksanaan program MTBS di Puskesmas kota Surabaya masih kurang baik. Program MTBS bukan merupakan program unggulan puskesmas, akan tetapi tetap terus berjalan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Sehingga berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas

Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon”.

1.2. Rumusan Masalah

(26)

Hasil studi pendahuluan diketahui belum adanya penelitian terkait pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare. Dalam sarana kesehatan, pencapaian kinerja petugas kesehatan dalam pelaksanaan MTBS diare tidak lepas dari peran pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan sebagai pelaksana MTBS diare.

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan dan motivasi sangat penting untuk menentukan indikator hasil perilaku yang diamati sebagai upaya penanganan diare pada balita. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan baik tehadap kinerja kerja maupun penatalaksanaan MTBS.

Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil beberapa pernyataan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon?

2. Bagaimana gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

(27)

4. Bagaimana perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

5. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

6. Apakah ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

1.4. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon

b. Mengetahui gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

c. Mengetahui gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

d. Mengetahui gambaran perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

(28)

f. Mengetahui hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk pembuatan karya ilmiah dengan mengedepankan aspek evidence based practice/hasil penelitian kesehatan terkini khususnya dalam bidang ilmu

keperawatan dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi Puskesmas di Kota Cilegon

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan dan pembangunan program kesehatan, serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare.

3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dan praktisi kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS, khususnya pada penanganan diare.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

(29)
(30)

11 2.1. Deskripsi Teori

2.1.1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata

laksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen et al. (2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan diakui secara internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS. MTBS membantu negara dalam meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian Millenium Development Goals 4.

(31)

penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012). Dalam buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum.

2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna. 3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan

khusus untuk anak.

4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat.

5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan masalah jika terdapat masalah makan.

6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak lanjut jika diperlukan.

Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina dkk. 2005).

1. Penatalaksanaan MTBS Diare

(32)

2. Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare

Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga kelompok berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi 1) Dehidrasi berat

Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor buruk sekali.

2) Dehidrasi ringan atau sedang

Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan turgor buruk.

3) Diare tanpa dehidrasi

Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi. b. Klasifikasi Diare Persisten

Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14 hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat apabila ditemukan adanya tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi.

c. Klasifikasi Disentri

Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi pada diare jenis ini disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur dengan darah (Depkes, 1999 dalam Hidayat, 2008).

3. Penentuan dan Tindakan Pengobatan

(33)

(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan dan pengobatan menurut Depkes (1999, dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi

Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi.

1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah sebagai berikut:

a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum, berikan oralit melalui mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan 100 ml/kg ringer laktat atau dengan ketentuan sebagaimana tersaji. Pada bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama sebanyak 30 ml/kg selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada anak (1-5 tahun) pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam.

b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila belum membaik berikan tetesan intravena dengan cepat.

c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

(34)

e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI

Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu 30 menit cairan tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan pengobatan intravena dan jika anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan rujukan.

2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah sebagai berikut:

a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk usia kurang dari 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12 bulan dengan berat badan 6-<10 kg, pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan dengan berat badan 10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga dapat dihitung dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6 bulan dan tidak menyusu maka diberikan tambahan air matang 100-200 ml. b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi, rujuk untuk tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi.

3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan sebagai berikut:

a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit apabila anak tidak memperoleh ASI eksklusif.

(35)

b. Diare Persisten

Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya kolera. Maka pengobatan yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah tetrasiklin.

Usia atau berat badan

Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 3 hari

Tetrasiklin

Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten c. Disentri

(36)

usia atau berat badan

kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 5 hari

Asam

Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri Usia atau berat

Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol

4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makan

Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun 2010 dijelaskan sebagai berikut:

a. Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah

Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut: 1. Beri Cairan Tambahan

a) Jelaskan kepada Ibu:

(37)

2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air matang sebagai tambahan.

3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan berikut: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.

4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.

b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.

c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus diberikan setiap anak diare.

1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare. 2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare. 3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering

dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Dan lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

(38)

b. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit. Berikan oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.

Umur ≤ 4 bulan 4- ˂ 12 bulan 1- ˂2 tahun 2- ˂5 tahun Berat <6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg Jumlah 200-400 400-700 700-900 900-1400

Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama.

2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit. 3) Berikan tablet zinc selama 10 hari.

4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya, pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan, dan mulailah memberi makan anak.

5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai c. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat

1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat (atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena UMUR Pemberian pertama 30

ml/kg selama:

(39)

3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc.

4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, dapatkah fasilitas pemberian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).

5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa minum, bekali Ibu larutan oralit dan tunjukkan cara meminumkan pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan. Jika tidak, dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk rehidrasi atau cek apakah anak masih bisa minum.

6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut: beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg).

7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam:

- Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan lebih lambat.

- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.

(40)

Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah rehidrasi untuk meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian larutan oralit per oral. Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menit-infus makro= 60 tetes/menit-tetes/menit-infus mikro.

2.1.2. Diare

Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Hal ini biasanya berkaitan dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal, inkontinensia, atau kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu: sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas (Baughman, 2000).

Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008).

(41)

sampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian Wilson et al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali tanda-tanda diare pada anak.

Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga. Terdapat juga penyebab lain yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang buruk (WHO, 2008).

2.1.3. Pengetahuan

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja (perilaku), akan tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang.

(42)

2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng dan perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:

1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan) 2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)

3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif menurut Taksonomi Bloom (1987) dalam Sunaryo (2004) mencakup 6 tingkatan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

b. Memahami (Comprehension)

(43)

c. Penerapan (Application)

Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi dengan fisiologi.

e. Sintesis (Synthesis)

Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ukuran kemampuan adalah dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan sesuai teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

(44)

Menurut Notoatmodjo (2010) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu:

1. Cara tradisional atau non ilmiah

Cara tradisional atau non ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan tanpa melakukan penelitian ilmiah, cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi:

a. Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja (trial and error).

Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah dan sampai sekarang pun metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Cara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

(45)

orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran diri.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

e. Cara akal sehat (Common sense)

Akal sehat atau Common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran.

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran atau dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan manusia.

g. Kebenaran secara Intuitif

(46)

rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.

i. Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ditangkap oleh indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala.

j. Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus.

2. Cara modern atau ilmiah

(47)

2.1.4. Motivasi

Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011).

Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995 dalam Nursalam, 2011). Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Menurut Sunaryo (2004) motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri individu atau datang dari lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) bukan pengaruh lingkungan (ekstrinsik).

(48)

paling tinggi (Misbach, 2010). Kebutuhan-kebutuhan terdiri dari lima hierarki, dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut:

a. Kebutuhan fisiologi (Physiological)

Menurut Maslow kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup, oleh sebab itu sangat pokok, yakni sandang, pangan, dan papan. Apabila kebutuhan ini secara relatif terpenuhi, maka kebutuhan yang lain seperti rasa aman, kebutuhan untuk diakui oleh orang lain akan menyusul untuk dipenuhi. Seseorang tidak akan termotivasi untuk pengembangan dirinya, apabila motif dasarnya masih belum terpenuhi. Maslow menekankan bahwa ketika kebutuhan itu muncul pada seseorang, maka hal tersebut merupakan pendorong dan pengarah untuk terwujudnya perilaku. Pada saat seseorang sudah sampai pada taraf untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, maka pada saat diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan sebagai perwujudan dari aktualisasi diri.

b. Kebutuhan rasa aman (Safety)

Kebutuhan rasa nyaman mempunyai bentangan yang sangat luas, bukan saja keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari tekanan atau intimidasi dari pihak lain.

c. Kebutuhan sosialisasi atau afiliasi dengan orang lain (Affiliation)

(49)

mewujudkannya membutuhkan atau menginginkan kebutuhan-kebutuhan sosial terdiri dari:

1) Kebutuhan akan perasaan kemajuaan dan tidak seorang pun yang menyukai kegagalan dalam tugas atau pekerjaan apapun. Kemajuan atau keberhasilan sebuah kegiatan, pekerjaan atau tugas merupakan kebutuhan setiap orang.

2) Kebutuhan akan perasaan ikut serta atau berpartisipasi. Seseorang akan merasa senang jika diikutsertakan dalam berbagai kegiatan perusahaan atau organisasi. Keikutsertaan dalam mencapai tujuan bukan hanya dalam bentuk fisik atau kegiatan saja, tetapi dalam bentuk pendapat, ide atau saran.

3) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap orang merasa dirinya penting. Serendah-rendahnya pendidikan yang dicapai, atau serendah-rendahnya jabatan yang dipunyai, seseorang merasa penting dan perlu dihormati.

4) Kebutuhan untuk diterima oleh orang lain dilingkungan tempat tinggal. d. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem)

(50)

Kebutuhan akan penghargaan dapat diberikan berupa status, pengakuan, dan perhatiaan (Misbach, 2010).

e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization)

Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan realisasi diri secara lengkap dan penuh. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri ini antara seorang yang satu dengan yang lain akan berbeda. Program pendidikan jangka panjang bergelar dan pelatihan (pendidikan jangka pendek) didalam suatu institusi atau organisasi merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi berbeda dengan kebutuhan yang lain, yakni:

1) Aktualisasi diri adalah bagian dari pertumbuhan individu, dan berlangsung terus-menerus sejalan dengan meningkatnya jenjang karier seseorang individu.

(51)

Para ahli mengelompokkan metode peningkatan motivasi dalam Notoatmodjo (2010), yaitu:

1) Model Tradisional

Model ini menekankan bahwa untuk memotivasi masyarakat agar berperilaku sehat, perlu memberikan insentif berupa materi bagi anggota masyarakat yang berprestasi tinggi dalam berperilaku hidup sehat.

2) Model Hubungan Manusia

Untuk meningkatkan motivasi berperilaku sehat, perlu dilakukan pengakuan atau memperhatikan kebutuhan sosial mereka, meyakinkan mereka bahwa setiap orang adalah penting dan berguna bagi masyarakat. 3) Model Sumber Daya Manusia

Setiap manusia cenderung untuk mencapai kepuasan dari prestasi yang dicapai, dan prestasi yang baik tersebut merupakan tanggung jawabnya seebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi hidup sehat perlu memberikan tanggung jawab dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mereka. Motivasi akan meningkat jika diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dalam memelihara kesehatan. Memberikan reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman dapat dipandang sebagai upaya peningkatan motivasi berperilaku.

(52)

Selanjutnya menurut Hamzah (2008) unsur-unsur tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu:

a. Kemampuan

Kemampuan adalah trait (bawaan atau dipelajari) yang berhubungan dengan mental atau fisik. Kemampuan merupakan kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Ditinjau dari teori motivasi dan aplikasinya, kemampuan dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu kemampuan fisik dan kemampuan intelektual. Kemampuan fisik adalah kemampuan menjalankan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik. Sedangkan kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental, tujuh dimensi yang paling sering dikutip dalam membentuk pengetahuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan daya ingat.

Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa setiap orang mempunyai kemampuan tertentu yang sangat berbeda dari orang lain (Siagian, 2004). Kemampuan seseorang dapat membatasi usahanya untuk mencapai tujuan.

b. Komitmen

(53)

tujuan memiliki dorongan, intensitas, dan ketekunan untuk bekerja keras. Komitmen menciptakan keinginan untuk mencapai tujuan dan mengatasi masalah atau penghalang.

c. Umpan-balik

Umpan-balik menyediakan data, informasi, dan fakta mengenai kemajuan dalam pencapaian tujuan. Seseorang menggunakan umpan-balik untuk mengukur dimana penyesuaian dalam usaha. Tanpa umpan-balik, seseorang beroperasi tanpa pedoman atau informasi untuk membuat perbaikan sehingga tujuan tidak dapat dicapai tepat waktu dan pada tingkat yang sesuai dengan anggaran.

d. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok agar tercapai tujuan yang diharapkan (Stephen, 1998 dalam Faridah, 2009). Keberhasilan ataupun kegagalan suatu organisasi berkaitan dengan kepemimpinan, baik organisasi berupa perusahaan, atau lembaga pemerintahan.

(54)

e. Faktor instrinsik

1) Prestasi (Achievement)

Prestasi (Achievement) adalah memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi. Kebutuhan akan berprestasi, akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Prestasi kerja adalah penampilan hasil kerja sumber daya manusia (SDM) dalam suatu organisasi. Prestasi kerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja SDM.

Penampilan hasil kerja tidak terbatas pada pegawai yang menjangkau jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada seluruh jajaran SDM dalam suatu organisasi.

2) Pengakuan (Recognition)

(55)

3) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)

Pekerjaan itu sendiri adalah bagaimana individu menentukan tujuannya sendiri dengan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginannya. Sehingga dapat mendorong untuk memikirkan pekerjaan, menggunakan pengalaman-pengalaman dan mencapai tujuan. Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan bertambahnya kepuasan.

4) Tanggung jawab (Responsibility)

Tanggung jawab adalah keterlibatan individu dalam usaha-usaha pekerjaannya dan lingkungannya, seperti ada kesempatan, ada kesanggupan dan ada penguasaan diri sendiri dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Pengertian yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, tanpa ada kesenjangan di antara sejumlah pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukkan dengan seberapa jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan.

5) Pengembangan potensi individu (Advancement)

(56)

komite penugasan, rotasi pekerjaan. Sedangkan pendekatan pengembangan diluar tempat kerja dapat berupa kursus dalam kelas, pelatihan hubungan antar manusia, studi kasus, bermain peran, dan lain-lain.

f. Faktor ekstrinsik

1) Kompensasi, gaji atau imbalan (wages salaries)

Faktor yang penting untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi, dan kepuasan kerja adalah dengan pemberian kompensasi. Kompensasi berdasarkan prestasi dapat meningkatkan kinerja seseorang yaitu dengan sistem pembayaran berdasarkan prestasi kerja.

2) Kondisi kerja (working condition)

Yang dimaksud kondisi kerja adalah tidak terbatas hanya pada kondisi kerja ditempat pekerjaan masing-masing seperti kenyamanan dan lain-lain. Akan tetapi, kondisi kerja yang mendukung dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan.

(57)

3) Kebijakasanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration)

Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan atau organisasi merupakan salah satu wujud umum rencana-rencana tetap dari fungsi perencanaan (planning) dalam manajemen. Kebijaksanaan (policy) adalah pedoman umum pembuatan keputusan. Kebijaksanaan berfungsi untuk menandai lingkungan disekitar keputusan yang dibuat, sehingga memberikan jaminan bahwa keputusan-keputusan akan sesuai dan menyokong tercapainya arah atau tujuan.

4) Hubungan antar pribadi (interpersonal relation)

Hubungan dalam organisasi banyak berkaitan dengan rentang kendali yang diperlukan organisasi karena keterbatasan yang dimiliki manusia, yang dalam hal ini adalah atasan. Hubungan antar pribadi (manusia) bukan berarti hubungan dalam fisik, namun lebih bersifat manusiawi.

5) Kualitas supervisi

(58)

bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.

Dengan melakukan kegiatan supervisi secara sistematis maka akan memotivasi untuk meningkatkan prestasi kerja dan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik.

2.1.5. Perilaku

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009). Pembagian perilaku menurut Maulana (2009) dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus dibagi 2 yaitu:

a. Perilaku tertutup (convert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert). Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk motivasi dengan tindakan nyata, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

(59)

aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal (Notoatmodjo, 2010).

Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010)

Lawrence Green (1991, dalam Notoatmodjo, 2010) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing) dalam pengetahuan, sikap

kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pemungkin (Enabling) yaitu lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya atau sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (Reinforcing) terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009). Penelitian Rogers (1974, dalam Efendi dan Makhfudli, 2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni sebagai berikut:

d. Timbul kesadaran (awareness) yakni orang tersebut menyadari (mengetahui) stimulus terlebih dahulu.

Pengalaman, Fasilitas, Sosiobudaya

Persepsi, Pengetahuan, Keyakinan, Keinginan, Motivasi, Niat, Sikap

PERILAKU

(60)

e. Ketertarikan (interest) yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus. f. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation) yakni sikap orang

tersebut sudah lebih baik lagi.

g. Mulai mencoba (trial) yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru.

h. Mengadaptasi (adoption) yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya setelah stimulus. Namun, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan proses yang berurutan. Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme, tetapi dalam memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan (Maulana, 2009). Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus/determinan menurut Maulana (2009) dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Faktor internal

Merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat keperibadian, bakat bawaan, tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin.

b. Faktor eksternal

(61)

Tahapan dalam perubahan perilaku individu menurut Kemenkes RI (2010) sebagai berikut:

1. Tidak sadar. 2. Menjadi sadar.

3. Termotivasi untuk mencoba sesuatu yang baru. 4. Mengadopsi perilaku yang baru.

5. Mempertahankan dan menghayati perilaku baru sehingga menjadi bagian dari perilaku dan kebiasaan sehari-hari.

2.2. Penelitian yang Relevan

1. Faridah, 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya dengan kesimpulan persepsi kompensasi kurang baik (54.8%), persepsi kondisi kerja kurang baik (47.6%), persepsi kebijaksanaan kurang baik (50%), persepsi supervisi kurang baik (42.9%), persepsi pekerjaan itu sendiri kurang baik (33.3%), dan hasil persepsi motivasi kerja kurang baik (54.8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi kondisi kerja, persepsi kebijaksanaan, dan persepsi supervisi pelaksanaan program MTBS dengan motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di puskesmas kota Surabaya (p<0.05).

(62)

Analisis univariat mengambarkan komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih kurang.

3. Sri Hastuti, 2010. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil kesimpulan bahwa ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penatalaksanaan MTBS di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil penelitian menunjukkan nilai p atau signifikansi pada variabel pengetahuan adalah 0.004, variabel sikap adalah 0.02, dan variabel motivasi adalah 0.023 dan diketahui bahwa α<0.05 menunjukkan ada hubungan bermakna antar variabel.

4. Alhassan, Robert Kaba et al. 2013. Association Between Health Worker Motivation and Healthcare Quality Efforts in Ghana dengan hasil bahwa situasi perawatan yang berkualitas di fasilitas kesehatan pada umumnya masih rendah, sebagian besar fasilitas tidak secara terus menerus mendokumentasikan peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Secara keseluruhan, motivasi staf masih rendah walaupun bekerja di fasilitas kesehatan swasta. Motivasi staf yang rendah berdampak pada kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan.

(63)
(64)

Sumber: (DepKes RI, 2008). (WHO, 2008). buku Pedoman MTBS WHO (2005). (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010).

- Letargis atau tidak sadar - Mata cekung

- Haus atau banyak minum - Adanya darah dalam tinja

buku Pedoman MTBS WHO (2005)

Penilaian berfokus

b. Enabling factors (lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dsb).

c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku)

(Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010)

Melalui “indikator” (hasil perilaku) responden: a. Motivasi

b. Kinerja c. Kepatuhan

d. Partisipasi masyarakat

(Notoatmodjo, 2010) Etiologi: infeksi bakteri atau virus,

kemiskinan, sanitasi lingkungan yang buruk

(65)

46 3.1. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, variabel yang ingin diketahui yaitu pengetahuan dan motivasi sebagai variabel bebas (independent variables) dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS Diare sebagai variabel terikat (dependent variable).

Variabel pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Pada umumnya penelitian-penelitian perilaku kesehatan selama ini mencakup 3 domain perilaku, yakni pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan terhadap objek kesehatan. Namun demikian masih banyak penelitian-penelitian perilaku kesehatan diluar 3 domain tersebut, salah salah satunya adalah motivasi (Notoatmodjo, 2010). Di bawah ini dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan diteliti di puskesmas kota Cilegon.

Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan

Motivasi

Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan

(66)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional Cara

Ukur berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan

penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

1. Baik= jika skor total jawaban≥ median (skor ≥7)

2. Cukup= jika skor total jawaban˂ median

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

1. Baik= jika skor total jawaban ≥ median (skor ≥ 34)

2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (skor ˂ 34)

(67)

No Variabel Definisi Operasional Cara MTBS Diare yang terkait dengan penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

1. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean (skor≥28)

2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (skor˂ 28)

(68)

3.3. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang muncul adalah:

1. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.

(69)

50

Sebuah penelitian mengandung metode yang harus dilalui sebagai syarat dalam penelitian. Pada bab ini menguraikan beberapa cara pelaksanaan penelitian dengan menyajikan metode-metode yang digunakan serta teknik analisis untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

4.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian cross sectional meneliti suatu kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan independen diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007). Desain cross sectional untuk mengetahui pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di Puskesmas kota Cilegon.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

(70)

4.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian adalah petugas kesehatan yang menangani MTBS di 8 Puskesmas kota Cilegon. Dari data Dinas Kesehatan kota Cilegon populasi petugas kesehatan yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat sebanyak 265 orang.

Tabel 4.3.1

Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan di Puskesmas kota Cilegon Juni 2014

Petugas Kesehatan Total

Dokter 23

Perawat 119

Bidan 123

Total 265

Sumber: Dinkes kota Cilegon, 2014

2. Sampel

(71)

Agar sampel yang digunakan match, peneliti menentukan kriteria inklusi:

a. Petugas kesehatan Pria dan Wanita yang bekerja di puskesmas kota Cilegon.

b. Petugas kesehatan yang pernah mendapatkan pelatihan mengenai MTBS.

c. Petugas kesehatan yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Sedangkan kriteria ekslusi sampel dari penelitian ini adalah:

a. Petugas kesehatan yang sedang cuti/perjalanan dinas/sakit.

4.4. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari petugas kesehatan sebagai responden, peneliti menggunakan lembaran kuesioner dalam bentuk daftar cek atau check list. Instrumen ini terdiri dari empat bagian yaitu identitas responden, variabel pengetahuan, variabel motivasi, dan variabel perilaku. Cara pengukuran dilakukan dengan kuesioner dengan menggunakan skala Guttman untuk variable pengetahuan dan skala Likert untuk variabel motivasi dan perilaku. Pernyataan merupakan pernyataan positif. Jawaban-jawaban responden pada tiap variabel diberi nilai sebagai berikut:

(72)

b. Pernyataan pada variabel bebas yaitu motivasi dengan 10 pernyataan soal yang disusun oleh peneliti didasarkan pengembangan kuesioner Purwanti (2010) dengan judul analisis pengaruh karakteristik individu, fasilitas, supervisi, dan motivasi terhadap kinerja petugas pelaksana pelayanan program MTBS di kabupaten Banyumas tahun 2010 berdasarkan teori motivasi Maslow. Kuesioner Purwanti (2010) pada variabel motivasi didasarkan pada lima hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis pada item nomor 3 dan 4, kebutuhan rasa aman pada item nomor 1 dan 2, kebutuhan kasih sayang pada item nomor 4 dan 5 , kebutuhan penghargaan diri pada item nomor 6, dan kebutuhan aktualisasi pada item nomor 7, 8, 9, dan 10. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pada variabel motivasi jawaban sangat setuju diberi skor 4, setuju skor 3, tidak setuju skor 2, dan sangat tidak setuju skor 1.

c. Pernyataan pada variabel terikat yaitu perilaku dengan 10 pernyataan soal yang disusun oleh peneliti berdasarkan buku pedoman MTBS WHO (2005) dan Depkes (1999 dalam Hidayat, 2008). Penilaian dengan menggunakan skala Likert. Untuk variabel perilaku jawaban selalu diberi skor 4, sering skor 3,

kadang-kadang skor 2, dan tidak pernah skor 1.

Peneliti membagi skor tersebut menjadi 2 kategori yaitu baik dan cukup. Analisis selanjutnya data variabel pengetahuan petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi:

a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median.

(73)

Untuk analisis selanjutnya data variabel motivasi petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi:

a. Baik= jika skor total jawaban ≥ median.

b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (Setiadi, 2007).

Dan analisis data variabel perilaku petugas kesehatan terhadap penanganan MTBS diare dikategorikan menjadi:

a. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean.

b. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (Hidayat, 2008).

4.5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Dua karakteristik yang harus diperhatikan dalam penelitian yaitu validitas dan reliabilitas (Nursalam, 2009). Uji validitas dan uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan di Puskesmas kota Tangerang Selatan karena kota Tangerang Selatan berada di provinsi Banten dan telah melaksanakan MTBS. Uji ini dilakukan dengan sampel sebanyak 32 petugas kesehatan yang berada di wilayah kerja puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur.

1. Hasil Uji Validitas

Gambar

Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten
gambaran pengetahuan
gambaran motivasi
tablet dewasa 80
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Selain itu, diharapkan instruksi yang jelas dan tepat serta evaluasi yang jelas dari Dinas Kesehatan Kota Medan dan Kepala Puskesmas Belawan kepada petugas pengelola MTBS

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

menunjukkan bahwa pada kelompok cakupan penemuan pneumonia yang kurang baik, petugas MTBS lebih banyak pada umur ≥ 36 tahun sebesar 43 (82,7%).. menunjukkan bahwa pada

Judul dalam bahasa Inggris ditulis dibawah judul bahasa Indonesia dengan huruf depan saja yang capital (Times New Roman, font 14, cetak tebal, rata kiri dengan

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

“Perilaku Petugas Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Promosi Tumbuh Kembang Balita di Puskesmas Kabupaten Bantul” adalah perilaku petugas KIA dalam promosi kesehatan

Perilaku ibu dalam melakukan perawatan anak demam pada kelompok eksperimen sebelum mendapatkan konseling tentang manajemen terpadu balita sakit sebagian besar