• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajer Teror

Dalam dokumen Lapsus edisi 6 2017 state terror (Halaman 34-41)

Tiran modern adalah manajer terror, kata Timothy Snyder dalam bukunya, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Para manajer terror mampu mengubah keterkejutan masyarakat menjadi alat untuk membungkam kebebasan mereka. Saat serangan teror terjadi, para tiran mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengkonsolidasikan kekuatan.

Api Reichstag adalah momen saat pemerintahan Hitler, yang terpilih melalui jalur demokratis, akhirnya berubah menjadi rezim Nazi permanen. Inilah pola dasar dari manajemen teror.

Pada tanggal 27 Februari 1933 pukul 9 malam, gedung parlemem Jerman, Reichstag, mulai terbakar. Siapa yang membakar? Kita tidak tahu, dan tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah aksi terror tersebut menginisiasi politik darurat. Menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: Api ini hanyalah sebuah awalan. Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler melihat sebuah peluang politik: Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun yang menghalangi jalan kami akan dipotong. Hari berikutnya, sebuah dekrit mencabut hak asasi warga Jerman, yang membuat mereka bisa ditangkap oleh polisi atas nama pencegahan.

Dengan modal klaim bahwa kebakaran tersebut adalah kerjaan dari musuh Jerman, Partai Nazi mampu memenangkan pemilihan parlemen pada tanggal 5 Maret 1933. Polisi dan paramiliter Nazi mulai menangkapi anggota partai oposisi dan menempatkannya di kamp konsentrasi. Pada tanggal 23 Maret parlemen baru merilis sebuah aturan yang mengijinkan Hitler untuk memerintah dengan dekrit. Sejak saat itu, Jerman diputuskan berada dalam kondisi darurat hingga 12 tahun ke depan, sampai berakhirnya Perang Dunia II. Hitler menggunakan aksi terror, sebuah peristiwa yang sudah diukur batas signifikansinya, untuk kemudian membangun sebuah rezim terror yang pada akhirnya membunuh jutaan manusia dan mengubah dunia.

32

Manajer Teror

Para otoritarian hari ini adalah para manajer terror, bahkan mereka lebih kreatif. Vladimir Putin merengkuh kekuasaan melalui sebuah insiden yang mirip dengan api Reichstag, ia menggunakan serangkaian serangan terror baik yang riil maupun yang palsu untuk menyingkirkan segala hambatan menuju kekuasaan total.

Putin ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Boris Yeltsin pada bulan Agustus 1999. Beberapa bulan berikutnya, sejumlah bangunan di Rusia dibom, kemungkinan besar oleh polisi rahasia Rusia. Beberapa pejabat kepolisian ditangkap oleh rekannya sendiri atas bukti kesalahan mereka. Bahkan dalam salah satu kasus, Parlemen Rusia mengumumkan adanya ledakan beberapa hari sebelum ledakan tersebut terjadi. Dengan dalih tersebut, Putin mendeklarasikan balas dendam terhadap populasi Muslim di Chechnya dan berjanji untuk menggosok mereka di tempat pembuangan kotoran.

Warga Rusia tergalang. Dukungan pada Putin meningkat tajam, yang membawanya ke tampuk kursi kepresidenan. Pada tahun 2002, saat pasukan keamanan Rusia membunuh sejumlah warga sipil saat mencoba menangani serangan terror di sebuah teater Moscow, Putin mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengontrol televisi swasta. Saat sekolah di Beslan disandera oleh pejuang Chechnya pada tahun 2004, Putin menghapus posisi gubernur regional terpilih. Putin berhasil memperkuat kekuasaannya dan mengeliminasi dua institusi besar televisi swasta dan gubernur regional terpilih dengan manajemen terror, baik yang asli maupun yang palsu.

Setelah Putin kembali menjadi presiden pada tahun 2012, Rusia juga menggunakan manajemen terror dalam kebijakan luar negerinya. Saat invasi ke Ukraina tahun 2014, Rusia menjadikan tentara regular mereka sebagai pasukan teroris, dengan menanggalkan seragam dan menyangkal segala tanggung jawab atas kebiadaban yang dilakukan.

Pada bulan April 2015, hacker Rusia mengambil alih transmisi stasiun televisi Prancis, berpura-pura sebagai pasukan ISIS, lalu menyiarkan materi yang didesain untuk meneror rakyat Prancis. Rusia mempersonifikasikan diri sebagai

33

Manajer Teror

cybercaliphate , sehingga rakyat Prancis semakin ketakutan. Tujuannya adalah untuk menggiring warga Prancis agar memilih partai sayap kanan yang disponsori oleh Rusia. Setelah 130 orang tewas dan 368 cedera dalam serangan di Paris bulan November 2015, pendiri sebuah lembaga think tank yang dekat dengan Kremlin menyatakan kegembiraannya, bahwa terorisme akan membawa Eropa menuju fasisme dan Rusia.

Pada awal tahun 2016, Rusia merekayasa terror palsu di Jerman. Saat mereka terus mengebom rakyat Suriah, yang membuat para pengungsi Muslim melakukan migrasi ke Eropa, Rusia mengeksploitasi sebuah drama keluarga untuk meyakinkan rakyat Jerman bahwa Muslim adalah pemerkosa. Tujuannya sama, melakukan destabilisasi dan mempromosikan partai ekstrim sayap kanan.

Beberapa bulan sebelumnya, pemerintah Jerman mengumumkan untuk menampung setengah juta pengungsi Suriah. Rusia kemudian mulai melakukan banyak pengeboman di Suriah yang menyasar rakyat sipil, yang membuat sebagian mereka terpaksa mengungsi. Pada bulan Januari 2016, media massa Rusia mulai menyebarkan cerita bahwa seorang gadis Rusia di Jerman diperkosa oleh imigran Muslim. Tak lama setelahnya, dengan penuh kesigapan yang mencurigakan, organisasi sayap kanan mulai mengorganisir protes melawan pemerintah. Saat pemerintah Jerman mengumumkan bahwa tidak ada pemerkosaan seperti yang dituduhkan, media Rusia menuduh bahwa mereka menutup-nutupi. Bahkan para diplomat Rusia pun ikut dalam sandiwara tersebut.

Kini, saat presiden AS, Donald Trump, menyatakan bahwa mereka akan bersama dengan Rusia memerangi terorisme, apa yang sejatinya mereka rencanakan adalah manajemen terror: eksploitasi atas serangan terror, baik yang sungguhan maupun yang palsu, untuk membangun sebuah rezim totalitarian. Dalam telepon pertamanya antara Donald Trump dan Vladimir Putin, mereka menyatakan diri akan bersama-sama memerangi musuh nomor satu: ektremis dan teroris internasional.

James Madison menyimpulkan bahwa para tiran muncul atas nama kondisi darurat. Bagi para tiran, pelajaran dari api Reichstag adalah satu momen

34

Manajer Teror

keterkejutan bisa menjadi pintu menuju penundukan total. Bagi kita, pelajarannya adalah rasa takut tidak boleh menghalangi kita untuk mengenali dan menolak manajemen terror sejak awal, meski pada awalnya sulit untuk melakukannya.

Saat serangan di dunia Barat dan di tempat lain semakin meningkat, terorisme tampaknya justru menjadi anugerah bagi kekuatan Barat dan Timur. Dari Putin dan Assad hingga As-Sisi, terorisme menjadi sekutu strategis penting para diktator di seluruh dunia, meskipun mereka mengklaim memeranginya.

Pada tingkat lebih rendah, hal yang sama berlaku untuk negara-negara demokratis termasuk Perancis, di mana para pemimpin politik mengambil manfaat dari keberadaan musuh di dalam dan luar negeri.

Di tengah iklim ketakutan, para penguasa tersebut yang mengklaim sebagai benteng melawan jihadis, meski dalam kenyataannya mereka adalah teroris mampu membuai kita untuk melupakan fakta bahwa kekerasan mereka jauh lebih mematikan daripada pihak yang mereka sebut 'teroris'.

Teroris memberikan dalih yang nyaman bagi pemerintah untuk membangun kembali legitimasi mereka, dan membenarkan kecenderungan otokratis mereka sendiri.

Kondisi ini bukan berarti bahwa pemerintah bersukacita dalam serangan-serangan mematikan, atau bahwa mereka berharap, secara rahasia, untuk terjadinya tragedi tersebut. Hanya, mereka memiliki banyak keuntungan dari terjadinya serangan ini dan mahir mengubahnya untuk keuntungan mereka. Sebenarnya, bukan kepentingan mereka untuk memberantas terorisme. Justru sebaliknya.

Pemerintah menuai banyak manfaat atas obsesi publik terhadap ancaman jihad . Banyak sekali buku yang membahas tentang topik ini. Dari Machiavelli sampai Hume, para pemikir politik besar telah lama memahami dan berteori akan perlunya rasa takut dalam melembagakan pemerintahan dan dominasi.

Sebagaimana ungkapan ekonom Robert Higgs, tanpa rasa takut rakyat, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan lebih dari 24 jam .

35

Manajer Teror

Dalam buku baru mereka The Exercise of Fear: Political Uses of an Emotion, filsuf dan sejarawan Patrick Boucheron dan Corey Robins mengingatkan kita bahwa pelaksanaan kekuasaan politik, baik pemerintah demokratis maupun despotik, sering bersandar pada ketakutan dan mekanisme membangkitkan, memperburuk, serta menguatkannya.

Kekuatan politik terus memanfaatkan ketakutan, baik dengan menunjuk ancaman yang mungkin melemahkan kohesi nasional, atau dengan memfokuskan perhatian penduduk pada kekuatan politik yang berpotensi mampu memecah semangat kebangsaan dan cara hidup kita," tulis mereka.

"Ketakutan adalah proyek politik yang berkembang melalui pembangunan tatanan, wacana ideologis dan tindakan kolektif.

Hari ini, di Barat dan belahan dunia lainnya, rasa takut dan retorika ancaman teroris telah melahirkan modus tertentu pemerintahan dan bahkan rezim politik.

Dan ketika ancaman itu tidak cukup kuat, pihak berwenang mendapatkan ide kreatif, sebagaimana polisi Kanada dan AS, yang merekayasa ancaman jihad dan serangan palsu.

Tindakan keras berdarah As-Sisi terhadap demonstran di Mesir, pembantaian Assad dan Putin terhadap warga sipil Suriah, dan pemboman mematikan koalisi pimpinan Saudi di Yaman, adalah diantara contoh-contohnya.

Pemerintah kriminal tersebut menggunakan IS, Boko Haram dan Al-Qaeda, untuk mengalihkan perhatian kita dari kejahatan mereka sendiri terhadap kemanusiaan, yang umumnya jauh lebih buruk.

Rasa takut terhadap pria berjenggot juga membenarkan pengambilalihan negara dengan kekerasan, seperti kudeta berdarah As-Sisi di Mesir yang mengakhiri eksperimen demokrasi di negara itu dan mencerabut tunas Arab Spring.

Demikian juga, ketakutan ini digunakan untuk melestarikan tatanan warisan pemerintah kolonial Sykes-Picot.

36

Manajer Teror

Meskipun tatanan ini tidak mampu menahan pertumbuhan jumlah populasi di Timur Tengah, ia adalah anugerah untuk beberapa pemimpin mereka yang berusaha untuk melestarikan perbatasan di mana kelangsungan hidup mereka bergantung.

Ketakutan ilusi terorisme juga berfungsi untuk memaksa seluruh rakyat untuk memilih di antara dilema palsu seperti 'kebebasan atau keamanan', 'terorisme atau negara polisi' dan bahkan, di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Suriah, kediktatoran negara berdarah, sebagaimana Assad, atau gerakan ekstremis, seperti IS. Rakyat perlu untuk memilih," ujar Pangeran Hicham Alaoui dari Maroko.

Pilihan ini, yang menjebak masyarakat untuk memilih antara batu dan tempat keras, sama saja dengan pemerasan totaliter yang digunakan untuk mengamankan kepatuhan dan ketaatan sipil. Dalam banyak kasus, mereka memberikan alasan yang mudah untuk mempertahankan rezim otokratis (Mesir, negara-negara Teluk, Suriah, Irak, dll).

Dilema palsu tersebut (pilih saya atau kekacauan) dan taktik pemerasan (Assad atau IS) memungkinkan penguasa otoriter untuk membangun konsensus nasional palsu tentang ancaman IS, yang memungkinkan mereka untuk secara efektif mengejar tujuan-tujuan politik mereka sendiri: untuk tetap berkuasa, untuk merebut kekuasaan melalui kekerasan, dan untuk secara brutal menindas kelompok oposisi.

Di sisi lain di belahan Atlantik, perang melawan teror telah menyebabkan langkah-langkah pertahanan seperti Homeland Security untuk menyenangkan pengembangan militer dan semua orang yang berhubungan dengan itu, termasuk berbagai think tank, akademisi dan peneliti. Ia juga membenarkan perluasan kekuasaan eksekutif yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Akibatnya, presiden dan bagian intelijennya dapat memutuskan pembunuhan (bahkan secara diam-diam) terhadap setiap warga AS atau orang asing yang dianggap sebagai ancaman teroris . Itu semua, tentu saja, dilakukan di luar sistem pengadilan.

37

Manajer Teror

Ada beberapa alasan kenapa ilusi ketakutan terhadap terorisme perlu dijaga. Rasa takut memungkinkan pemerintah untuk mengalihkan perhatian publik dan perdebatan dari masalah sosial-ekonomi yang belum terselesaikan.

Tirani muncul dari kondisi darurat yang menyenangkan mereka, sebagaimana yang ditulis James Madison. Bagi para tiran, pelajaran penting dari api Reichstag adalah bahwa satu momen kejut bisa membawa pada ketundukan total dan abadi. Yang dibutuhkan oleh para tiran untuk mendapatkan tumpuan adalah diamnya orang-orang baik. Dunia adalah tempat yang berbahaya, bukan dikarenakan mereka yang melakukan kejahatan, tapi karena mereka yang menyaksikan dan tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, yang kita ingat bukanlah apa yang dikatakan musuh kita, tapi diamnya teman kita.

Sebagaimana tulisan teoris politik setelah peristiwa Reichstag, Hannah Arendt, Saya tidak lagi berpendapat bahwa kita hanya bisa jadi penonton. Keberanian bukan berarti tidak takut. Tapi keberanian berarti mengenali dan melawan manajemen teror, sejak serangan teror terjadi, tepat disaat paling sulit untuk melakukannya.

38

Kesimpulan

Kesimpulan

Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk, mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah. Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.

Pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.

Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai, disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara danproxymereka di sejumlah wilayah seperti Chechnya, Afghanistan, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.

Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh. Pertumbuhan terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II dilakukan oleh negara. Sejak tahun 1945, kekerasan yang disponsori oleh negara terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah menyebabkan kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar dibanding semua konflik mematikan lainnya, bahkan termasuk perang internasional, perang kolonial, maupun perang sipil sekalipun.

Dalam dokumen Lapsus edisi 6 2017 state terror (Halaman 34-41)

Dokumen terkait