• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lapsus edisi 6 2017 state terror

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lapsus edisi 6 2017 state terror"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

TERORISME NEGARA

K. Mustarom

Laporan Khusus

Edisi 6 | Mei 2017

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: lk.syamina@gmail.com.

(3)

Daftar Isi

Executive Summary_____________________________________________________ 1

Pendahuluan__________________________________________________________ 3

Sejarah Terorisme ______________________________________________________ 8

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat________________________________________ 12

Diskursus Terorisme Negara _____________________________________________ 21

Moralitas Terorisme Negara _____________________________________________ 28

Manajer Teror ________________________________________________________ 31

(4)

01

Executive Summary

Executive Summary

Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme . Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak. Definisi ini bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.

Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat. Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah bentuk terorisme negara.

Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan kelaparan, dan genosida di abad ke 20. Pada dua dekade terakhir abad ke-20 sendiri, sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.

(5)

02

Executive Summary

daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.

Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.

Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk, mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah. Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.

Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.

Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai, disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara danproxymereka di sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.

Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.

(6)

03

Pendahuluan

Pendahuluan

Topik mengenai terorisme meningkat secara tajam sejak serangan 11 September 2001. Sejak saat itu, George W. Bush mendeklarasikan perang melawan teror untuk memburu musuh peradaban yang berpartisipasi dalam terorisme. Banyak yang lupa bahwa perang melawan teror juga sudah dideklarasikan oleh Ronald Reagen pada tahun 1980-an untuk memerangi kelompok yang ia tuduh teroris di Timur Tengah dan Amerika Latin.

Retorika dan narasi tunggal yang luar biasa tentang perang melawan teror membuat kita kadang-kadang lupa akan beberapa pertanyaan kunci. Tidak banyak yang berani bertanya, apa itu definisi terorisme? Apa yang membedakannya dengan perjuangan perlawanan yang sah? Siapa yang sebenarnya melakukan aksi teror, negara ataukah non-negara? Apakah Amerika Serikat, yang menjadi dirigen utama perang melawan teror dan mengklaim sebagai wakil dari masyarakat beradab, pernah melakukan atau mensponsori terorisme? Ataukah terorisme memang mutlak hanya dilakukan oleh kelompok Islam radikal?

Para politisi dan penguasa di banyak negara sering menggunakan segala cara untuk mempengaruhi rakyatnya bahwa terorisme adalah perkara kriminal dalam bentuk yang unik dan spesial.

Mereka memposisikan teroris dalam kategori kejahatan psikopat, dengan menonjolkan sisi kekerasan tidak beradabnya. Mereka memposisikan teroris melakukan hal di luar batas masyarakat beradab, dan karenanya tidak bias dilakukan negosiasi dan perdamaian terhadap mereka. Mereka mengatakan bahwa terorisme adalah masalah yang paling berbahaya di zaman ini.

Konsep mengenai terorisme ini banyak dibicarakan, namun tidak banyak yang memahami. Ide mengenai terorisme terus menerus berubah, dibentuk, dan didistorsi untuk mendukung agenda politik tertentu.

(7)

04

Pendahuluan

untuk menghancurkan citra lawan politiknya. Arab Saudi, Mesir dan kebanyakan negara-negara teluk menyebut partai politik yang menganjurkan perubahan demokratis yang damai sebagai teroris .1

Pada saat yang sama, di Inggris, konsep terorisme telah diubah sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya berlaku untuk aksi kekerasan, namun juga berlaku terhadap aktifitas lain yang tidak memenuhi kriteria untuk disebut kekerasan .2

Teroris didefinisikan tidak hanya untuk orang yang melakukan kekerasan, namun juga orang-orang yang pandangannya dapat menjadi ancaman bagi negara Inggris atau nilai-nilai dan cara hidup mayoritas masyarakat Inggris. Di sini, konsep terorisme telah berubah menjadi bagian dari alat penindasan oleh negara.

Studi mengenai teror negara seringkali diabaikan di kalangan para akademisi. Mereka cenderung hanya menyematkan istilah tersebut pada pemerintah teror pada masa Revolusi Prancis, atau pemerintahan Stalin di Rusia. Seiring dengan waktu, istilah tersebut hilang ditelan masa dan dana, terutama pasca peristiwa 11 September.

Gagasan bahwa terorisme adalah senjata bagi yang lemah seolah telah menjadi sebuah kebenaran yang mutlak, tidak bisa disangkal lagi. Kita sering diberitahu bahwa para aktor non-negara yang sudah putus asa, dengan kekuatan dan sumber daya yang terbatas, lah yang nekad melakukan kekerasan yang ngawur dan mengerikan. Sedangkan negara digambarkan hanya sekadar melakukan pembelaan diri untuk melindungi orang-orang tak berdosa.

Jadi, jika Anda memiliki legitimasi politik, mampu mengkomando pasukan militer dengan persenjataan yang kuat dan canggih, serta mampu mempengaruhi dunia internasional, maka Anda tidak bisa disebut sebagai teroris. Terorisme bukan lagi soal metodologi, tapi kini bergeser ke ideologi. Bukan lagi apa yang dilakukan, tapi siapa yang melakukan. Tak peduli berapa banyak korban yang sudah

1

https://www.pri.org/stories/2010-12-22/political-activists-charged-terror-saudi-arabia 2

(8)

05

Pendahuluan

dijatuhkan, jika yang melakukan adalah others , pihak lain, maka itu adalah terorisme, jika yang melakukan us , kita, bukanlah terorisme. Narasi tunggal tentang terorisme begitu dominan, hingga kita kehilangan pandangan akan adanya alternatif. Konsep mengenai terorisme pun menjadi hanya satu dimensi , tidak ada lagi konten selain kata-kata yang sudah dipublikasikan dan distandarisasi penggunaannya.3

Memang, terorisme bisa jadi taktik bagi pihak yang lemah. Tapi, ia bukanlah bentuk yang dominan, apalagi sampai masuk dalam definisi spesifik.

Departemen Luar Negeri AS mengestimasi bahwa kematian yang disebabkan oleh terorisme transnasional secara global antara tahun 1975 hingga tahun 2003 mencapai 13.971 jiwa. Sedangkan US National Consortium for the Study of Terrorism Database menyatakan bahwa korban tewas akibat insiden terorisme di AS sejak tahun 1970 hingga tahun 2007 mencapai 3.292, dan sebagian besar diantaranya akibat serangan 11 September 2001.4Di sisi lain, sebagai contoh, sejak

tahun 1975 hingga tahun 1999, pemerintah Indonesia yang diback-up oleh Amerika melakukan represi di Timor Timur yang menyebabkan terbunuhnya 200 ribu jiwa atau seperempat dari total populasi waktu itu.5 Kesimpulannya, bahwa si

kuat bisa melakukan teror yang jauh lebih mengerikan dibanding si lemah teroris non-negara adalah fakta yang sulit dibantah. Namun, akhir-akhir ini kita dihadapkan pada satu ketidakseimbangan pembahasan mengenai berbagai bentuk terorisme.

Dalam sebagian besar diskursus, pikiran bahwa negara bisa melakukan terorisme cenderung dikesampingkan. Misalnya, pemerintah AS mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan yang dimotivasi secara politik yang dilakukan

3

Herbert Marcuse, “One-Dimensional Man,” Boston: Beacon Press, 1964, hal.87. 4

Mark G. Stewart, John Mueller, “Acceptability of Terrorism Risks and Prioritising Protective Measures for Key Infrastructure,” 2010.

5

(9)

06

Pendahuluan

terhadap target non kombatan oleh kelompok non-negara atau agen rahasia.6

Departemen Luar Negeri AS dan CIA mengambil definisi ini. Mereka membatasi bahwa terorisme hanya dilakukan oleh kelompok non-negara, dan mengesampingkan pelaku dari pihak negara.

Dalam pandangan hukum AS, dan juga sebagian besar negara di dunia, negara dan agen-agennya yang melakukan kekerasan yang sama atau bahkan lebih kejam dibandingkan kekerasan yang dilakukan kelompok non-negara tidak diklasifikasikan sebagai teroris.7

Lain lagi dengan FBI. Mereka mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekuatan dan kekerasan yang tidak sah secara hukum terhadap orang atau harta benda untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat sipil, atau segmen masyarakat lainnya, untuk mencapai tujuan politik atau sosial.8

Definisi ini seolah-olah tidak mengesampingkan kemungkinan dilakukannya terorisme oleh negara, namun penggunaan kata tidak sah secara hukum membawa sejumlah implikasi. Hal ini dikarenakan:

(a) pasukan keamanan negara dianggap tidak melakukan terorisme atas dalih menjalankan tugas yang sah secara hukum;

(b) jika otoritas negara mengeluarkan legislasi sementara atau darurat atas nama alasan keamanan, atau bahkan membentuk aparat teror di bawah sistem hukum yang sah, maka tindakan-tindakan mereka akan mendapat dukungan hukum.

The US Army Field Manuals juga mengikuti jalur yang sama, dengan menyatakan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang tidak sah secara hukum untuk menancapkan ketakutan... yang

6

US Code, Title 22, Section 2656f 7

Robert E. Goodin, “What’s Wrong with Terrorism?”, Cambridge: Polity Press, 2006, hal.55

8

(10)

07

Pendahuluan

diniatkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat. Mereka juga mengklaim bahwa musuh yang tidak bisa bersaing dengan tentara konvensional lah yang seringkali menggunakan taktik teror. Kemungkinan bahwa pihak negara, atau pihak non-negara yang bukan musuh, melakukan tindakan teror tidak pernah dipertimbangkan.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa fokusnya pada terorisme? Kenapa bukan genosida atau kejahatan perang? Satu alasan yang jelas adalah kata terorisme mempunyai signifikansi retorika yang luar biasa, terutama di Amerika Serikat sebagai pemilik hegemoni dunia saat ini. Sejak Presiden Ronald Reagen mendeklarasikan perang melawan terorisme internasional pada awal tahun 1980-an, terorisme menjadi pusat bagi pencitraan Amerika. Terorisme menjadi alat yang dipakai untuk mendefinisikan musuh. Dalam proses pencitraan tersebut, mereka , musuh Amerika lah, yang teroris, bukan Amerika. Pola ini kemudian dipakai oleh rezim tiran lain sekutu Amerika untuk menggunakan hal yang sama.

Istilah terorisme juga memegang peran signifikan karena ia adalah sebuah aksi yang didefinisikan oleh tujuan politiknya. Dengan kata lain, terorisme bukan hanya membunuh atau menciderai, tapi bagaimana tindakan tersebut berkaitan dengan strategi yang lebih luas.

Secara umum ada beberapa parameter yang menjadi pusat dari konsep terorisme: (a) kesengajaan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan; (b) diarahkan terhadap warga sipil; (c) dengan tujuan untuk menancapkan ketakutan di kalangan masyarakat di luar korban langsung; (d) untuk meraih tujuan politik.9

Dengan parameter tersebut paling tidak kita bisa menentukan mana tindakan negara yang bisa dipandang sebagai bentuk terorisme.

9

(11)

08

Sejarah Terorisme

Sejarah Terorisme

Kata terorisme pertama kali disebut setelah revolusi Prancis. Setelah jatuhnya dinasti Bourbon pada tahun 1793, pemerintah Republik Prancis jatuh ke tangan orang-orang yang radikal dan ekstrim, yang rata-rata memiliki basis politik yang dangkal. Dikepalai oleh Robespierre, mereka membentuk divisi khusus untuk mengeksekusi lawan politiknya tanpa pengadilan. Mereka menyebut diri mereka sebagai Terror dan kebijakan mereka disebut Terorisme .

Kata ini pada awalnya berawalan huruf T kapital, yang didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan yang terorganisir, bukan kelompok pemberontak.

Definisi ini bahkan pernah diakomodir dalam Kamus Oxford, yang mendeskripsikan terorisme sebagai pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan . Jika definisi ini tetap bertahan, kebanyakan pemerintahan yang ada di dunia saat ini tentu dapat didefinisikan sebagai teroris.

Istilah tersebut muncul kembali pada pertengahan abad 19. Kali ini, istilah tersebut dilabelkan kepada cara yang digunakan oleh kelompok anarkis untuk melawan Rezim Tsar di Rusia. Istilah terorisme tanpa awalan huruf kapital tersebar 50 tahun sebelum Perang Dunia I, sebagai efek dari serangan tingkat tinggi terhadap para pemimpin di Eropa dan terhadap Presiden Amerika, James A Garfield10dan William McKinley.11

Novel Joseph Conrad,The Secret Agent, menyebut kelompok teroris tersebut sebagaimana definisi di atas. Istilah tersebut meliputi banyak variasi pelaku

10

https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/jamesgarfield 11

https://www.whitehouse.gov/1600/presidents/williammckinley

“Terorisme adalah

pemerintahan intimidatif yang diarahkan dan dilaksanakan oleh partai yang memiliki kekuatan”

(12)

09

Sejarah Terorisme

kekerasan, mulai dari pembunuhan rahasia atas inisiatif pribadi, maupun gerakan teroganisir yang memiliki tujuan politik, seperti Irish Fenians.

Patut dicatat bahwa banyak gerakan teroris pada saat itu terutama di Rusia diinfiltrasi dan bahkan disponsori oleh pemerintah.

Kata teroris dan terorisme kembali hilang setelah pecahnya Perang Dunia I. Hilangnya istilah tersebut memiliki arti yang besar. Perang dunia dan totalitarianisme mengubah perspektif. Pertumpahan darah dan kebrutalan yang terjadi pada tahun 1914 sampai tahun 1945 sangat mengerikan, yang membuat pembunuhan dan kekerasan lain yang dilakukan oleh kelompok anarkis dan nasionalis di Barat sebelum 1914 atau bahkan teroris yang dituduhkan terhadap kelompok Islam setelah tahun 2001 seolah tidak ada apa-apanya.

Ada hal menarik yang patut diperhatikan. Makna awal terorisme yang berarti penggunaan kekerasan oleh pemerintah demi tujuan politik untuk melawan musuh-musuh internalnya menerangkan dengan jelas apa yang terjadi setelah 1914 secara akurat. Penyerangan terhadap warga Rusia oleh Stalin,12 kekejaman

partai komunis Mao,13 serangan tentara Hitler terhadap rakyat sipil Eropa

semuanya cocok dengan definisi asli terorisme dalam kamus Oxford, yaitu teror yang dilakukan oleh negara.14

Namun pemerintah-pemerintah tersebut jarang sekali disebut sebagai teroris.

George Orwell, novelis, wartawan, dan penulis politik Inggris, pernah berkunjung ke Spanyol pada akhir 1930an dan mendeskripsikan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Franco dan partai komunis oposisinya pada Perang Sipil di Spanyol.15Di situ, ia sama sekali tidak menggunakan istilah terorisme .

12

http://www.ibtimes.com/how-many-people-did-joseph-stalin-kill-1111789 13

http://www.nytimes.com/2004/01/09/opinion/a-bleak-anniversary-mao-the-mass-murderer.html?_r=0

14

https://www.nytimes.com/2016/11/22/books/review/a-new-look-at-civilian-life-in-europe-under-hitler.html

15

(13)

10

Sejarah Terorisme

Padahal banyak hal dalam laporannya yang hari ini bisa dianggap sebagai terorisme. Memang, Orwell sendiri bisa diklasifikasikan sebagai teroris menurut hukum Inggris sebagai konsekuensi keikutsertaannya bersama milisi anarkis dalam Perang Sipil Spanyol.

Segera setelah Perang Dunia II, Inggris menghadapi perlawanan bersenjata di Kenya, Aden, Malaysia, Palestina dan beberapa tempat lainnya.16 Perlawanan

tersebut hari ini pasti akan disebut sebagai pergerakan teroris.

Namun, Inggris jarang menggunakan istilah ini hal ini dikarenakan perlawanan-perlawanan tersebut terjadi di koloni jauh yang memang akan ditinggalkan. Bahkan, dunia internasional mulai simpati terhadap gerakan anti kolonialisme melawan Inggris.

Kekuatan imperial lain, seperti Prancis di Aljazair, lebih teguh untuk tetap memegang apa yang dimilikinya dan menganggap koloni itu sebagai bagian dari negaranya. Mereka mencitrakan lawannya sebagai teroris dan seringkali menggunakan metode teroris (dalam arti sebenarnya) terhadap mereka. Terhadap Aljazair, Prancis menjalankan terorisme dalam definisi originalnya, yaitu terorisme yang dilakukan oleh negara.17

Konsep dan persepsi mengenai terorisme berubah secara drastis sejak peristiwa 11 September.

Sejak serangan 11 September pada tahun 2001, dunia menggeser persepsinya bahwa aktor non-negara pelaku kekerasan, yang biasa dilabeli terorisme global, adalah ancaman utama bagi kebebasan dan keamanan. Dengan demikian, aksi kekerasan yang dilakukan oleh selain aktor non-negara dan tidak dilabeli sebagai aksi terorisme jarang diberitakan dan jarang mendapat perhatian.

16

https://www.theguardian.com/uk/gallery/2012/apr/18/colonial-archives-kenya-malaya-aden

17

(14)

11

Sejarah Terorisme

Jika ditelaah, asumsi ini berakar dari definisi negara yang disampaikan oleh Max Webber. Menurutnya, negara adalah komunitas manusia dalam wilayah tertentu yang mengklaim monopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah. Monopoli ini dianggap absolut. Karenanya, penggunaan kekerasan oleh aktor non-negara dianggap tidak sah.

(15)

12

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk, mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah. Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.

Pada abad kedua puluh, negara modern kembali melanjutkan terornya. Mereka bertanggungjawab atas terbunuhnya 170 juta hingga 200 juta manusia.18

Sebagian besar dari mereka dibunuh melalui kampanye terorisme negara seperti yang dilakukan oleh Stalin di Rusia, Pol Pot di Kamboja, hingga rezim diktator di Chili, Argentina, Afrika Selatan, Uganda, dan puluhan negara lainnya.

Selain itu, pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.19

Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai, disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara danproxymereka di sejumlah wilayah seperti Chechnya, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, dan sejumlah tempat lainnya.

18

Rummel, R.J. (1994) Death by Government, New Brunswick, NJ: Transaction Books. 19

Grosscup, B. (2006) Strategic Terror: The Politics and Ethics of Aerial Bombardment. London: Zed Books.

(16)

13

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

Begitu juga dengan kampanye kontraterorisme akhir-akhir ini. Pemerintah seringkali justru melakukan bentuk terorisme negara dengan membunuh rakyat sipil dan mengintimidasi mereka, atas nama perang melawan teror.20

Anehnya, meski terorisme negara jauh lebih mematikan dan merusak dibanding terorisme non-negara, perhatian atasnya akhir-akhir ini justru semakin melemah dan cenderung menghilang.

Dalam ilmu politik, ada semacam konvensi yang membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dan kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara. Kekerasan pertama disebut sebagai teror, yang terakhir disebut terorisme. Namun, akhir-akhir ini seiring dengan masifnya literatur tentang terorisme non-negara, teror negara banyak dikesampingkan oleh para akademisi, media, dan pemerintah. Alasan akan hal ini bukanlah pada fakta empirik, tapi lebih kepada alasan politik dan ideologi.

Satu-satunya alasan yang dipaksa untuk membedakan antara teror negara dan teror non-negara adalah karena teror negara dilakukan untuk mempertahankan status quo, sedangkan teror non-negara dilakukan dalam rangka mencapai perubahan politik. Selain itu, skala teror negara pun jauh lebih besar dibanding teror non-negara. Penjelasan tentang ini diungkapkan dengan sangat baik oleh Noam Chomsky dan Edward Herman, yang membedakan teror negara sebagai

teror grosir , sedangkan teror non-negara sebagai teror retail .

Jika terorisme diartikan sebagai intimidasi politik dengan menggunakan kekerasan atau ancaman, dan jika kita mengijinkan definisi tersebut meliputi kekerasan oleh negara atau pejabat negara, maka kita akan menemukan bahwa bentuk terorisme terbesar di dunia hari ini justru dilakukan oleh negara, para agennya, atau aliansinya. Dan terorisme non-negara, jika dihitung secara kuantitas, jumlahnya jauh lebih kecil dibanding teror negara. Bahkan, negara sekecil apapun lebih mempunyai kekuatan untuk melakukan teror dibanding organisasi teroris

20

(17)

14

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

non-negara paling maju sekalipun. Contoh, hanya negara teroris yang memiliki senjata pemusnah massal atau memiliki kemampuan untuk mencabut kebutuhan dasar manusia, melakukan boikot pangan yang berujung pada kelaparan, malnutrisi, tingkat kematian bayi yang tinggi, dan penyakit kronik lainnya, sebagai alat untuk mengintimidasi dan melakukan kontrol.

Definisi kamus tentang terorisme yang menghindarkan diri dari dalih ideologis yang mengesampingkan teror negara menyebutkan bahwa terorisme adalah kebijakan yang menggunakan tindakan untuk menanamkan rasa takut yang dahsyat sebagai metode untuk mengatur atau melakukan oposisi politik. 21

Tapi jika kita ingin definisi teror negara yang lebih spesifik yang membedakannya dengan terorisme non-negara, definisinya adalah penggunaan atau ancaman kekerasan oleh negara atau oleh agen atau pendukungnya, yang terutama diarahkan terhadap warga sipil, sebagai sarana untuk intimidasi dan kontrol politik (atau sarana untuk melakukan represi).

Teror negara adalah masalah dunia yang utama dan terus bertumbuh. Jika penyiksaan dan pembunuhan yang dimotivasi oleh politik didefinisikan sebagai terorisme, maka banyak negara otoriter yang melakukannya, dan bahkan pada dekade ini eskalasinya meningkat sangat besar. Ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah yang diarahkan terhadap rakyatnya sendiri. Sudah banyak diakui, sebagaimana yang disampaikan oleh Herman, bahwa Pertumbuhan terorisme yang sangat masif dan signifikan sejak Perang Dunia II dilakukan oleh negara.

Nagengast juga mengamati bahwa Sejak tahun 1945, kekerasan yang disponsori oleh negara terhadap etnis tertentu atau kelompok politik tertentu telah menyebabkan kematian, cedera, dan penderitaan manusia yang lebih besar

21

(18)

15

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

dibanding semua konflik mematikan lainnya, bahkan termasuk perang internasional, perang kolonial, maupun perang sipil sekalipun. 22

Terorisme negara tidak jauh berbeda dengan terorisme non-negara dalam tiga fitur pokok terorisme.

Pertama, mengancam atau melakukan kekerasan yang diarahkan terhadap "korban yang dilindungi".

Kedua, pelaku menggunakan kekerasan untuk menancapkan teror terhadap para saksi yang secara umum berbeda dengan korban.

Ketiga, pelaku kekerasan berniat atau berharap agar saksi yang terteror mengubah perilakunya dalam beberapa cara.

Satu-satunya perbedaan antara terorisme negara dan non-negara adalah pelaku yang melakukan aksi tersebut. Karenanya, untuk bisa disebut sebagai terorisme negara, harus ada elemen keempat: aksi tersebut dilakukan oleh agen atas nama atau bersama dengan negara, termasuk oleh paramiliter dan agen keamanan swasta, yang diarahkan terhadap pihak-pihak yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Sepanjang sejarah, kekerasan negara biasa digunakan untuk memaksa penduduk agar mendukung agenda politik dan ekonomi kelompok elit. Mereka menggunakan kekerasan untuk menanamkan ketakutan pada masyarakat. Kekerasan negara semacam ini ditujukan untuk mencapai tujuan politik tertentu dan membungkam keluhan politik masyarakat. Ini adalah terorisme negara.

Namun sayangnya, literatur akademis tentang terorisme jarang sekali memberi perhatian kepada terorisme yang dilakukan oleh negara, meskipun terorisme negara terbukti telah membunuh jiwa yang jauh lebih banyak dibanding terorisme non-negara. Pada abad ke-20, sekitar 170 juta hingga 200 juta nyawa telah menjadi korban keganasan terorisme negara, baik melalui pembunuhan massal, pemaksaan

22

(19)

16

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

kelaparan, dan genosida di abad ke 20.23 Pada dua dekade terakhir abad ke-20

sendiri sekitar 300.000 orang "dihilangkan" oleh agen negara di seluruh dunia.24

Kalaupun terorisme negara didiskusikan, fokusnya seringkali pada rezim totalitarian. Terorisme negara yang dilakukan oleh negara demokrasi liberal jarang sekali diungkapkan. Memang, rezim seperti Stalin, Hitler, dan Pol Pot bertanggungjawab atas kekerasan negara dalam skala yang besar. Mereka melakukan genosida dan meneror penduduk agar tunduk pada rezim. Namun yang seringkali luput dari perhatian adalah kekuatan kolonial Barat juga menggunakan terorisme secara masif untuk membangun dan memelihara imperium mereka, serta menumpas pejuang kemerdekaan di negara koloni mereka. Inggris, Prancis, Jerman, Portugal, dan Amerika Serikat, serta kekuatan kolonial lainnya banyak menggunakan teror dalam rangka melakukan kontrol sosial di berbagai wilayah jajahannya.

Pada Perang Dunia II, pasukan sekutu mengebom masyarakat sipil di Jerman agar mereka mau melawan Hitler. Pada waktu Perang Dingin, dengan dukungan penuh dari Amerika, aparat keamanan negara di kawasan Amerika Latin juga menggunakan kekerasan, termasuk penculikan dan penyiksaan, untuk membungkam gerakan politik yang mengancam kepentingan Amerika dan rezim lokal bonekanya.

Negara liberal demokrasi terus menggunakan dan mensponsori terorisme pada dua dekade terakhir abad ke-20 dan pada awal abad ke-21 sebagai sebuah proses untuk menjaga akses ke sumber daya dan pasar global. Terorisme yang disponsori oleh Amerika dan sekutunya digunakan terhadap banyak sekali tersangka atas nama "perang melawan teror".

23

R. Rummel,”Death by Government,” New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2011.

24

(20)

17

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

Terorisme menjadi sentra dari proses neoliberalisasi. Proses neoliberalisasi di seluruh dunia seringkali diiringi dengan sejumlah kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh negara dan paramiliter yang disponsori negara. Inti dari proyek imperialis negara-negara kapitalis tersebut adalah keinginan untuk mengamankan akses ke sumber daya alam strategis, seperti minyak. Stokes dan Raphael mendokumentasikan bagaimana penggunaan negara teror yang disponsori oleh AS di wilayah-wilayah yang kaya minyak untuk melindungi proses globalisasi neo-liberal, melindungi elit lokal dari keluhan masyarakat, dan menstabilisasi produksi minyak yang mengukuhkan hegemoni AS. Bahkan, Raphael juga berhasil mengeksplorasi peran para ahli terorisme, termasuk para akademisi, untuk mengalihkan perhatian dunia dari terorisme AS dan sekutunya.

Fokus utama para ahli terorisme pada terorisme nonnegara saja, akan memperkuat perspektif negara, cara pandang state-centric yang memandang terorisme sebagai masalah sosial atau individu yang perlu dipecahkan oleh negara, bukan sebagai praktik kekuasaan negara. Dari perspektif ini, ia berfungsi untuk mempertahankan legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara dan mendelegitimasi semua bentuk kekerasan nonnegara, yang pada akhirnya akan memiliki dampak ideologis.25

Dari sudut pandang etis-normatif, pemahaman terorisme yang terbatas pada terorisme nonnegara juga berfungsi untuk mengaburkan dan membungkam suara dan perspektif orang-orang yang kesehariannya hidup dalam kondisi teror dari kesewenang-wenangan pemerintah mereka, yang beberapa di antaranya didukung oleh Barat. Ia juga bisa berfungsi untuk membungkam suara orang-orang yang mengalami teror atas kebijakan Barat baik secara langsung, seperti mereka yang disiksa atas perang melawan teror, maupun secara tidak langsung, seperti mereka yang menderita di bawah rezim pendukung Barat. Artinya, ia mengalihkan

25

(21)

18

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

perhatian publik dari terorisme negara yang jauh lebih besar dan jauh lebih menghancurkan terhadap kehidupan puluhan juta orang di seluruh dunia saat ini.

Terkait dengan efek normatif dan ideologis yang lebih luas ini, perlakuan terhadap terorisme negara dan diamnya mereka atasnya dan konstruksi sempit mereka terhadap 'terorisme yang disponsori negara', juga berfungsi untuk memposisikan terorisme negara sebagai hal yang kurang begitu penting dibanding terorisme nonnegara. Selain itu, ia juga bisa berfungsi untuk memberikan legitimasi terhadap kebijakan Barat seperti sanksi, diplomasi koersif, dan perang pre-emptive terhadap "negara sponsor terorisme" yang ditentukan secara politis yang mungkin menjadi bentuk teror sendiri, serta mengabaikan keterlibatan negara sponsor terorisme dari pihak Barat sendiri.

Dari sudut pandang normatif politik, diamnya para akademisi dan pakar terorisme atas terorisme negara, dan argumen banyak pakar terorisme yang menyatakan bahwa tindakan negara tidak dapat didefinisikan sebagai 'terorisme', sebenarnya berfungsi untuk memberikan pembenaran retoris kepada negara untuk melakukan teror kepada lawan dan rakyatnya tanpa takut akan celaan dan hukuman. Kelonggaran inilah yang banyak dieksploitasi oleh banyak negara seperti Israel, Rusia, China, Uzbekistan, Zimbabwe, dan banyak negara untuk melakukan kekerasan dalam rangka mengintimidasi lawan politik atau rakyatnya.

(22)

19

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

alasan bahwa tindakan tersebut telah dicakup oleh undang-undang lain seperti hukum perang.26

Heningnya wacana terorisme negara memiliki efek politik lain, yaitu bagaimana ia berfungsi dan dan terus berfungsi, untuk mengalihkan perhatian dan menolak sejarah panjang keterlibatan Barat dalam terorisme. Kondisi ini memberi keuntungan kepada Barat untuk terus menggambarkan diri bahwa kebijakan luar negeri mereka pada dasarnya ramah, bukan bertujuan untuk memperkuat struktur kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki dalam sistem internasional. Artinya, dengan mencegah kritik terhadap kebijakan Barat, ia berupaya mempertahankan mitos yang berbahaya tentang eksepsionalisme Barat. Rasa eksepsionalisme dan dukungan dari studi terorisme ini memungkinkan negara-negara Barat dan sekutu-sekutu mereka untuk terus mengejar serangkaian proyek politik dan kepentingan partisan yang bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka dalam sistem internasional. Misalnya, dengan memperkuat pandangan bahwa terorisme nonnegara adalah ancaman dan masalah yang jauh lebih besar daripada terorisme negara, dan dengan mengaburkan cara-cara di mana kontraterorisme bisa berubah menjadi terorisme negara. Diskursus ini berfungsi untuk melegitimasi perang melawan teror dan kebijakan lain yang terkait, seperti intervensi militer, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan sejenisnya. Lebih khusus lagi, diskursus tersebut juga dapat memberikan legitimasi terhadap program kontraterorisme yang lebih luas, dimana tujuan sebenarnya terletak pada pemeliharaan tatanan ekonomi-politik tertentu seperti yang terjadi di Kolombia saat ini.27

26

Tal Becker, “Terrorism and the State: Rethinking the Rules of State Responsibility,” Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2006

27

Di Kolombia, AS sudah lama menggunakan perang kontrainsurgensi untuk melindungi formasi sosial yang kondusif bagi kepentingan politik dan ekonomi AS.

(23)

20

Terorisme, Senjata Pihak Yang Kuat

Keheningan yang terjadi pada terorisme negara juga berfungsi untuk mendelegitimasi semua bentuk perjuangan kontrahegemonik atau perjuangan revolusioner, dengan mempertahankan anggapan bahwa kekerasan negara secara otomatis sah dan semua kekerasan nonnegara secara otomatis tidak sah, yang artinya tatanan internasional internasional liberal saat ini masih bisa terjaga.28

Terakhir, diskursus tersebut juga dapat digunakan secara selektif membenarkan proyek-proyek tertentu mengenai perubahan rezim, sanksi ekonomi, perluasan basis militer, pendudukan militer, bantuan militer untuk mitra strategis, dan pengisolasian gerakan politik yang tidak disetujui Barat seperti Hamas. Pada akhirnya, wacana tersebut berfungsi untuk memungkinkan perluasan hegemoni negara baik, secara internasional maupun domestik, dan yang lebih penting lagi, kepercayaan bahwa kekerasan adalah alat politik yang efektif.

Terlepas dari niat para pakar terorisme, yang mungkin merasa bahwa mereka terlibat dalam analisis akademis obyektif mengenai fenomena yang jelas, diskursus tersebut sebenarnya menyajikan sejumlah tujuan politik yang jelas dan memiliki beberapa konsekuensi ideologis bagi masyarakat.

28

(24)

21

Diskursus Terorisme Negara

Diskursus Terorisme Negara

Terorisme negara banyak didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan secara sengaja oleh agen negara atau proxy mereka terhadap individu atau kelompok yang menjadi korban dengan tujuan untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti audien yang lebih luas. Efek yang diinginkan dari kekerasan tersebut adalah tercapainya tujuan politik atau politik-ekonomi tertentu.

Dalam konteks politik dan intelektual hari ini, banyak peneliti terorisme dan pejabat pemerintah yang menolak ide bahwa negara melakukan terorisme. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terkait hal ini.

Pertama, sejumlah akademisi berpendapat bahwa salah satu inti dari fitur terorisme adalah kekerasan politik yang dilakukan oleh aktor non-negara, dan negara tidak mungkin melakukan terorisme. Alasannya, negara dianggap mereka mempunyai hak yang sah untuk menggunakan kekerasan, berkebalikan dengan aktor non-negara yang tidak memiliki hak tersebut.

Pendapat ini bisa dibantah dengan beberapa argumen. Memang, terorisme adalah strategi kekerasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Ia adalah strategi yang sering digunakan oleh kelompok pemberontak dan gerilyawan. Namun, pendapat bahwa saat agen negara melakukan strategi yang sama sebagaimana teroris non-negara seperti meledakkan pesawat sipil (pengeboman Lockerbile yang dilakukan atas perintah Moammar Qaddafi), pengeboman yang dilakukan oleh intelijen Prancis terhadap kapal Greenpeace yang melakukan perjalanan untuk memprotes uji coba nuklir Perancis, rangkaian pengeboman di tempat publik (Lavon Affair)29 maka mereka tetap tidak bisa disebut sebagai

teroris, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah.

29

(25)

gedung-22

Diskursus Terorisme Negara

Sebagai sebuah fenomena, terorisme hanya bisa diidentifikasi menurut karakter kekerasan yang didefinisikan secara konseptual, bukan dari keistimewaan politik aktor yang melakukannya. Jika sebuah kekerasan memiliki semua karakteristik terorisme, maka ia harus dimasukkan dalam kategori terorisme, siapapun pelakunya.

Jika yang dimaksudkan dengan terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diarahkan terhadap warga sipil untuk menancapkan teror atau mengintimidasi sebuah populasi dengan alasan politik sebuah definisi yang disepakati secara umum dalam literatur akademis maka negara pun bisa menjadi teroris. Sebagai contoh, saat negara berusaha menciptakan rasa takut dan intimidasi pada sebagian penduduknya dalam rangka menekan dukungan terhadap gerakan oposisi, melalui kampanye kekerasan yang meliputi pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan, maka ini termasuk bentuk terorisme. Dan jika masyarakat yang berusaha diintimadasi adalah penduduk negara lain, maka ini juga termasuk bentuk terorisme.30

Dengan memahami terorisme sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan terhadap sekelompok orang dalam rangka menakut-nakuti atau mengintimidasi sekelompok orang yang lain sebagai cara untuk mencegah atau mengubah perilaku politik maka jelas bahwa sejumlah tindakan negara bisa masuk dalam kategori terorisme. Contoh, saat penyiksaan banyak digunakan oleh negara tidak sekadar sebagai alat untuk mengumpulkan data intelijen tentang ancaman yang bersifat segera, tapi juga sebagai sarana untuk menurunkan moral para pemimpin dan para pendukung kelompok oposisi dengan menyebarkan ketakutan, maka penyiksaan jelas menjadi alat terorisme negara.

gedung bioskop, perpustakaan, dan pusat-pusat pendidikan Amerika Serikat. Serangan-serangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar yang disalahkan adalah kelompok Islamis. Israel berharap dengan adanya pengeboman ini Amerika dan Inggris akan menyerang Mesir.

30

(26)

23

Diskursus Terorisme Negara

Penting juga untuk dicatat bahwa meskipun negara berusaha menyembunyikan keterlibatannya dalam kekerasan yang diarahkan terhadap warga sipil, seperti penyiksaan, dari audien eksternal, mereka masih tetap mengirimkan pesan yang sangat kuat pada masyarakat lokal atau kelompok masyarakat yang ingin mereka intimidasi.

Selain itu, negara juga bisa dianggap melakukan teror dengan pola penghilangan orang. Penghilangan orang sebagai sebuah strategi terorisme berfungsi untuk mengirimkan pesan simbolis bahwa negara bersifat omnipotent, omnipresent, dan tidak berbelaskasihan terhadap siapapun yang melawannya.

Praktik lain dari negara yang bisa masuk dalam kategori terorisme adalah bom teror yang diarahkan terhadap masyarakat sipil di saat perang dalam rangka mengintimidasi masyarakat agar mereka tunduk atau menakut-nakuti mereka untuk memberi tekanan pada para pemimpin mereka, terutama jika kota yang disasar dipilih secara acak. Dengan pemahaman ini, beberapa pengeboman strategis yang dilakukan oleh AS, sebagaimana strategi shock and awe , yang banyak menyerang masyarakat sipil Irak, dan praktik pengeboman yang dilakukan oleh Rusia dan Bashar Assad di Suriah, serta pengeboman yang dilakukan NATO pada masyarakat sipil Kosovo, masuk dalam kategori terorisme. Dalam semua kasus di atas, mereka menakut-nakuti sekelompok orang dalam rangka menghasilkan perubahan politik di pihak lain. Ini adalah esensi dari taktik terorisme. Kontraterorisme dan kontrainsurgensi juga bisa menjadi bentuk terorisme jika ia gagal membedakan antara mereka yang bersalah dan mereka yang tidak bersalah, dilakukan secara sangat tidak proporsional, dan bertujuan untuk menakut-nakuti populasi yang lebih luas atau sekelompok masyarakat agar mereka tunduk.31

Berikutnya, pendapat bahwa negara memiliki hak yang sah untuk menggunakan kekerasan sedangkan aktor non-negara tidak memilikinya adalah pendapat yang tidak tepat. Alasannya, meskipun negara memiliki hak yang

31

(27)

24

Diskursus Terorisme Negara

legitimate untuk menggunakan kekerasan, hak tersebut sangat dibatasi dan tidak termasuk hak untuk menggunakan kekerasan terhadap target sipil yang dipilih secara acak. Mereka juga tidak boleh melakukan genosida, pembersihan etnis, kejahatan perang, dan aksi sejenis lainnya.

Alasan berikutnya, ada sebuah prinsip moral yang sudah lama dipegang bahwa aktor non-negara boleh menggunakan kekerasan melawan rezim yang sangat represif jika metode lainnya gagal atau negara lain gagal melakukan intervensi. Kenyataannya, negara Barat memiliki sejarah panjang mengakui dan bahkan mendukung kelompok kekerasan non-negara yang beberapa diantaranya melakukan terorisme, seperti ANC di Afrika Selatan, SWAPO di Afrika Barat Daya, kelompok Contra di Nikaragua, kelompok anti-Castro, UNITA di Angola, dan kelompok lain yang mendapat dukungan militer dan politik dari Barat.

Kedua,pendapat lain yang beredar seputar terorisme negara adalah pendapat yang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan negara dianggap berbeda dengan terorisme non-negara karena korbannya tidak dipilih secara acak (yaitu semua pihak yang menjadi musuh negara), dan mereka tahu apa yang bisa dilakukan agar terhindar dari kekerasan negara, tidak sebagaimana kasus terorisme non-negara. Padahal, fakta empiris yang terjadi justru agen negara seringkali melakukan aksi kekerasan secara acak (mengebom pesawat sipil misalnya), dan secara reguler memberikan bantuan material kepada aktor proxynon-negara untuk melakukan hal yang sama. Sedangkan aktor non-negara seringkali memilih target secara spesifik, bukan acak. ETA dan IRA contohnya, mereka banyak menargetkan tentara dan polisi, serta pejabat pemerintah.

(28)

25

Diskursus Terorisme Negara

era Pol Pot, misalnya, seluruh rakyat hidup dalam suasana penuh dengan ketakutan, tidak seorangpun merasa aman.

Beberapa juga berpendapat bahwa kalaupun negara melakukan serangan, mereka tidaklah secara sengaja menyasar masyarakat sipil. Korban sipil yang terjadi lebih karena ketidakkesengajaan. Faktanya adalah bahwa betapapun presisi sebuah serangan, jika target yang akan diserang berkerumun dengan masyarakat sipil, atau berpotensi menyebabkan korban sipil, maka pelaku serangan memang berniat melakukan teror. Sebagaimana argumen ahli terorisme, Ruth Blakeley, saat [intimidasi] tidak menjadi niat utama, tapi menjadi efek sekunder yang dianggap wajar dari sebuah tindakan jahat, maka ini tetap merupakan bentuk terorisme negara. 32

Pendapat ketiga, kekerasan negara bukanlah terorisme karena agen negara tidak mencari publisitas. Bahkan mereka cenderung menyembunyikan keterlibatan, tidak sebagaimana aktor non-negara yang justru ingin memaksimalkan publisitas.

Argumen ini tidak bisa membedakan antara publisitas dan komunikasi. Salah satu elemen kunci dari terorisme adalah komunikasi, bukan publisitas. Bagi aktor non-negara yang kurang begitu bisa melakukan penetrasi di tengah masyarakat, publisitas adalah cara terbaik untuk berkomunikasi. Hal yang sama tidak diperlukan oleh negara. Kekerasan mereka tidak harus membutuhkan publisitas agar sampai kepada audien. Pada kenyataannya, saat seseorang dalam sebuah negara teror tiba-tiba diculik dan kemudian hilang, mereka kembali dalam keadaan penuh siksaan atau jenazah mereka dibiarkan terpotong-potong di tempat umum. Masyarakat tahu secara pasti siapa target audien yang diinginkan, pesan apa yang ingin disampaikan, dan siapa yang mengirim pesan tersebut. Tubuh yang penuh dengan bekas siksaan menjadi pengingat langsung akan kekuasaan negara dan perlunya ketundukan total.

32

(29)

26

Diskursus Terorisme Negara

Kurangnya publisitas dan penyangkalan oleh negara biasanya dilakukan terhadap audien eksternal agar mereka tetap mendapatkan bantuan internasional atau terhadap konstituen domestik yang negara mengharap dukungannya seperti komunitas kulit putih di Afrika Selatan yang tidak begitu peduli dengan kekerasan yang menimpa penduduk non-kulit putih.

Pendapat keempat adalah bahwa apa yang kita sebut sebagai 'terorisme negara' sudah tercakup dalam istilah seperti 'represi' dan 'pelanggaran hak asasi manusia', dan tindakan terorisme negara telah dibatasi dalam hukum internasional dan tidak memerlukan konsep hukum atau analisis baru. Ini adalah argumen politik atau pragmatis yang mengabaikan prinsip dasar ilmiah untuk memasukkan semua kasus yang sesuai dengan kriteria dalam rangka mempertahankan konsistensi analitis. Selain itu, argumen tersebut juga mengabaikan fakta bahwa situasi yang sama berlaku untuk terorisme non-negara: semua tindakan dan aktivitas yang dilakukan oleh teroris non-negara juga telah dibatasi dalam undang-undang dan ada berbagai istilah lain yang bisa menggambarkan tindakan mereka.

Bisa juga dikatakan bahwa tindakan negara (dan non-negara) tidak pernah murni 'terorisme', pelanggaran hak asasi manusia ', atau represi'. Mereka bisa merupakan bentuk tindakan 'terorisme' dan 'pelanggaran hak asasi manusia' pada saat yang bersamaan. Tidak ada kontradiksi untuk menggunakan kedua istilah tersebut. Pada akhirnya, sebagaimana pendapat Robert Goodin dan Ruth Blakeley, terorisme, baik yang dilakukan oleh aktor negara atau aktor non-negara, melibatkan sejumlah kesalahan moral tertentu, mulai dari pembunuhan di luar hukum, instrumentalisasi penderitaan manusia, niat untuk menimbulkan ketakutan yang meluas, dan pengkhianatan terhadap tugas untuk melindungi dan menjaga sesama warga negara.33

Pendapat kelima adalah bahwa walaupun negara-negara dapat terlibat dalam terorisme yang jauh lebih merusak daripada terorisme non-negara, secara kualitatif mereka berbeda dalam tujuan, mode, dan hasil. Terorisme negara merupakan

33

(30)

27

Diskursus Terorisme Negara
(31)

28

Moralitas Terorisme Negara

Moralitas Terorisme Negara

Saat pertama kali masuk dalam diskursus politik, kata terorisme dimaksudkan terhadap pemerintah teror rezim Jacobin Prancis. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, teror negara nampak lebih sulit ditemukan. Bukannya tidak terjadi, tapi istilah tersebut mulai jarang sekali terdengar di publik. Diskusi mengenai terorisme di kalangan akademisi cenderung hanya fokus pada terorisme non-negara. Di media juga demikian, terorisme diasumsikan sebagai aktivitas aktor-aktor non-negara saja. Jika pasukan keamanan melakukan suatu tindakan yang jika dilakukan oleh kelompok non-negara selalu disebut sebagai teroris, jawabannya selalu: tapi aksi tersebut dilakukan atas nama negara, demi tercapainya tujuan negara yang sah. Pasukan keamanan atau aparat keamanan menangkal ancaman demi keamanan kita bersama. Dengan kata lain,

Melempar bom itu buruk

Menjatuhkan bom itu baik

Teror, tak perlu ditambahkan lagi,

Tergantung pada siapa yang memakai kerudung.

Semua bentuk terorisme secara moral bisa dikatakan salah. Tapi tidak semua hal yang secara moral salah, salah dengan derajat yang sama. Terorisme negara bisa dikatakan secara moral lebih buruk dibanding terorisme non-negara.

Ada tiga alasan yang mendukung argumen tersebut:

(32)

non-29

Moralitas Terorisme Negara

negara berusaha untuk memperkaya peralatannya dan meningkatkan organisasi, perencanaan, dan metode aksinya, mereka tidak akan banyak mengubah skor secara signifikan. Tidak ada pemberontak, betapa pun mereka didanai, terorganisir, diiringi dengan tekad yang kuat, dan berpengalaman dalam metode terorisme, bisa berharap untuk mendekati pembunuhan dan kerusakan yang pernah ditimbulkan oleh angkatan udara Inggris dan AS di kota-kota di Jerman dan Jepang pada Perang Dunia II, atau bisa mendekati kerusakan psikologis jutaan penghuni kamp Soviet dan Nazi.

Serangan 11 September tahu 2001 adalah aksi yang dilakukan oleh aktor non-negara. Jumlah korbannya dianggap belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini dikarenakan media menyoroti serangan tersebut sebagai kasus terorisme terburuk yang pernah ada . Jumlah korban yang terbunuh waktu itu, diyakini sekitar 3.000, terdengar cukup mengejutkan. Mantra kasus terorisme terburuk yang pernah ada adalah contoh lain kecenderungan media untuk menyamakan terorisme sebagai aksi eksklusif yang hanya mungkin dilakukan oleh aktor non-negara saja.

Jika kita membuang asumsi bahwa hanya pemberontak atau kelompok non-negara saja yang bisa melakukan terorisme, gambar keseluruhan akan berubah secara signifikan. Contoh, saat pasukan Sekutu melakukan teror bom terhadap Jerman. Pada malam tanggal 27 Juli 1943, Angkatan Udara Inggris menyerang Hamburg. Pada pagi harinya, saat serangan reda, 40.000 rakyat sipil tewas.

(33)

30

Moralitas Terorisme Negara
(34)

31

Manajer Teror

Manajer Teror

Tiran modern adalah manajer terror, kata Timothy Snyder dalam bukunya, On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Para manajer terror mampu mengubah keterkejutan masyarakat menjadi alat untuk membungkam kebebasan mereka. Saat serangan teror terjadi, para tiran mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengkonsolidasikan kekuatan.

Api Reichstag adalah momen saat pemerintahan Hitler, yang terpilih melalui jalur demokratis, akhirnya berubah menjadi rezim Nazi permanen. Inilah pola dasar dari manajemen teror.

Pada tanggal 27 Februari 1933 pukul 9 malam, gedung parlemem Jerman, Reichstag, mulai terbakar. Siapa yang membakar? Kita tidak tahu, dan tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah aksi terror tersebut menginisiasi politik darurat. Menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: Api ini hanyalah sebuah awalan. Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler melihat sebuah peluang politik: Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun yang menghalangi jalan kami akan dipotong. Hari berikutnya, sebuah dekrit mencabut hak asasi warga Jerman, yang membuat mereka bisa ditangkap oleh polisi atas nama pencegahan.

(35)

32

Manajer Teror

Para otoritarian hari ini adalah para manajer terror, bahkan mereka lebih kreatif. Vladimir Putin merengkuh kekuasaan melalui sebuah insiden yang mirip dengan api Reichstag, ia menggunakan serangkaian serangan terror baik yang riil maupun yang palsu untuk menyingkirkan segala hambatan menuju kekuasaan total.

Putin ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Boris Yeltsin pada bulan Agustus 1999. Beberapa bulan berikutnya, sejumlah bangunan di Rusia dibom, kemungkinan besar oleh polisi rahasia Rusia. Beberapa pejabat kepolisian ditangkap oleh rekannya sendiri atas bukti kesalahan mereka. Bahkan dalam salah satu kasus, Parlemen Rusia mengumumkan adanya ledakan beberapa hari sebelum ledakan tersebut terjadi. Dengan dalih tersebut, Putin mendeklarasikan balas dendam terhadap populasi Muslim di Chechnya dan berjanji untuk menggosok mereka di tempat pembuangan kotoran.

Warga Rusia tergalang. Dukungan pada Putin meningkat tajam, yang membawanya ke tampuk kursi kepresidenan. Pada tahun 2002, saat pasukan keamanan Rusia membunuh sejumlah warga sipil saat mencoba menangani serangan terror di sebuah teater Moscow, Putin mengeksploitasi peristiwa tersebut untuk mengontrol televisi swasta. Saat sekolah di Beslan disandera oleh pejuang Chechnya pada tahun 2004, Putin menghapus posisi gubernur regional terpilih. Putin berhasil memperkuat kekuasaannya dan mengeliminasi dua institusi besar televisi swasta dan gubernur regional terpilih dengan manajemen terror, baik yang asli maupun yang palsu.

Setelah Putin kembali menjadi presiden pada tahun 2012, Rusia juga menggunakan manajemen terror dalam kebijakan luar negerinya. Saat invasi ke Ukraina tahun 2014, Rusia menjadikan tentara regular mereka sebagai pasukan teroris, dengan menanggalkan seragam dan menyangkal segala tanggung jawab atas kebiadaban yang dilakukan.

(36)

33

Manajer Teror

cybercaliphate , sehingga rakyat Prancis semakin ketakutan. Tujuannya adalah untuk menggiring warga Prancis agar memilih partai sayap kanan yang disponsori oleh Rusia. Setelah 130 orang tewas dan 368 cedera dalam serangan di Paris bulan November 2015, pendiri sebuah lembaga think tank yang dekat dengan Kremlin menyatakan kegembiraannya, bahwa terorisme akan membawa Eropa menuju fasisme dan Rusia.

Pada awal tahun 2016, Rusia merekayasa terror palsu di Jerman. Saat mereka terus mengebom rakyat Suriah, yang membuat para pengungsi Muslim melakukan migrasi ke Eropa, Rusia mengeksploitasi sebuah drama keluarga untuk meyakinkan rakyat Jerman bahwa Muslim adalah pemerkosa. Tujuannya sama, melakukan destabilisasi dan mempromosikan partai ekstrim sayap kanan.

Beberapa bulan sebelumnya, pemerintah Jerman mengumumkan untuk menampung setengah juta pengungsi Suriah. Rusia kemudian mulai melakukan banyak pengeboman di Suriah yang menyasar rakyat sipil, yang membuat sebagian mereka terpaksa mengungsi. Pada bulan Januari 2016, media massa Rusia mulai menyebarkan cerita bahwa seorang gadis Rusia di Jerman diperkosa oleh imigran Muslim. Tak lama setelahnya, dengan penuh kesigapan yang mencurigakan, organisasi sayap kanan mulai mengorganisir protes melawan pemerintah. Saat pemerintah Jerman mengumumkan bahwa tidak ada pemerkosaan seperti yang dituduhkan, media Rusia menuduh bahwa mereka menutup-nutupi. Bahkan para diplomat Rusia pun ikut dalam sandiwara tersebut.

Kini, saat presiden AS, Donald Trump, menyatakan bahwa mereka akan bersama dengan Rusia memerangi terorisme, apa yang sejatinya mereka rencanakan adalah manajemen terror: eksploitasi atas serangan terror, baik yang sungguhan maupun yang palsu, untuk membangun sebuah rezim totalitarian. Dalam telepon pertamanya antara Donald Trump dan Vladimir Putin, mereka menyatakan diri akan bersama-sama memerangi musuh nomor satu: ektremis dan teroris internasional.

(37)

34

Manajer Teror

keterkejutan bisa menjadi pintu menuju penundukan total. Bagi kita, pelajarannya adalah rasa takut tidak boleh menghalangi kita untuk mengenali dan menolak manajemen terror sejak awal, meski pada awalnya sulit untuk melakukannya.

Saat serangan di dunia Barat dan di tempat lain semakin meningkat, terorisme tampaknya justru menjadi anugerah bagi kekuatan Barat dan Timur. Dari Putin dan Assad hingga As-Sisi, terorisme menjadi sekutu strategis penting para diktator di seluruh dunia, meskipun mereka mengklaim memeranginya.

Pada tingkat lebih rendah, hal yang sama berlaku untuk negara-negara demokratis termasuk Perancis, di mana para pemimpin politik mengambil manfaat dari keberadaan musuh di dalam dan luar negeri.

Di tengah iklim ketakutan, para penguasa tersebut yang mengklaim sebagai benteng melawan jihadis, meski dalam kenyataannya mereka adalah teroris mampu membuai kita untuk melupakan fakta bahwa kekerasan mereka jauh lebih mematikan daripada pihak yang mereka sebut 'teroris'.

Teroris memberikan dalih yang nyaman bagi pemerintah untuk membangun kembali legitimasi mereka, dan membenarkan kecenderungan otokratis mereka sendiri.

Kondisi ini bukan berarti bahwa pemerintah bersukacita dalam serangan-serangan mematikan, atau bahwa mereka berharap, secara rahasia, untuk terjadinya tragedi tersebut. Hanya, mereka memiliki banyak keuntungan dari terjadinya serangan ini dan mahir mengubahnya untuk keuntungan mereka. Sebenarnya, bukan kepentingan mereka untuk memberantas terorisme. Justru sebaliknya.

Pemerintah menuai banyak manfaat atas obsesi publik terhadap ancaman jihad . Banyak sekali buku yang membahas tentang topik ini. Dari Machiavelli sampai Hume, para pemikir politik besar telah lama memahami dan berteori akan perlunya rasa takut dalam melembagakan pemerintahan dan dominasi.

(38)

35

Manajer Teror

Dalam buku baru mereka The Exercise of Fear: Political Uses of an Emotion, filsuf dan sejarawan Patrick Boucheron dan Corey Robins mengingatkan kita bahwa pelaksanaan kekuasaan politik, baik pemerintah demokratis maupun despotik, sering bersandar pada ketakutan dan mekanisme membangkitkan, memperburuk, serta menguatkannya.

Kekuatan politik terus memanfaatkan ketakutan, baik dengan menunjuk ancaman yang mungkin melemahkan kohesi nasional, atau dengan memfokuskan perhatian penduduk pada kekuatan politik yang berpotensi mampu memecah semangat kebangsaan dan cara hidup kita," tulis mereka.

"Ketakutan adalah proyek politik yang berkembang melalui pembangunan tatanan, wacana ideologis dan tindakan kolektif.

Hari ini, di Barat dan belahan dunia lainnya, rasa takut dan retorika ancaman teroris telah melahirkan modus tertentu pemerintahan dan bahkan rezim politik.

Dan ketika ancaman itu tidak cukup kuat, pihak berwenang mendapatkan ide kreatif, sebagaimana polisi Kanada dan AS, yang merekayasa ancaman jihad dan serangan palsu.

Tindakan keras berdarah As-Sisi terhadap demonstran di Mesir, pembantaian Assad dan Putin terhadap warga sipil Suriah, dan pemboman mematikan koalisi pimpinan Saudi di Yaman, adalah diantara contoh-contohnya.

Pemerintah kriminal tersebut menggunakan IS, Boko Haram dan Al-Qaeda, untuk mengalihkan perhatian kita dari kejahatan mereka sendiri terhadap kemanusiaan, yang umumnya jauh lebih buruk.

Rasa takut terhadap pria berjenggot juga membenarkan pengambilalihan negara dengan kekerasan, seperti kudeta berdarah As-Sisi di Mesir yang mengakhiri eksperimen demokrasi di negara itu dan mencerabut tunas Arab Spring.

(39)

36

Manajer Teror

Meskipun tatanan ini tidak mampu menahan pertumbuhan jumlah populasi di Timur Tengah, ia adalah anugerah untuk beberapa pemimpin mereka yang berusaha untuk melestarikan perbatasan di mana kelangsungan hidup mereka bergantung.

Ketakutan ilusi terorisme juga berfungsi untuk memaksa seluruh rakyat untuk memilih di antara dilema palsu seperti 'kebebasan atau keamanan', 'terorisme atau negara polisi' dan bahkan, di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Suriah, kediktatoran negara berdarah, sebagaimana Assad, atau gerakan ekstremis, seperti IS. Rakyat perlu untuk memilih," ujar Pangeran Hicham Alaoui dari Maroko.

Pilihan ini, yang menjebak masyarakat untuk memilih antara batu dan tempat keras, sama saja dengan pemerasan totaliter yang digunakan untuk mengamankan kepatuhan dan ketaatan sipil. Dalam banyak kasus, mereka memberikan alasan yang mudah untuk mempertahankan rezim otokratis (Mesir, negara-negara Teluk, Suriah, Irak, dll).

Dilema palsu tersebut (pilih saya atau kekacauan) dan taktik pemerasan (Assad atau IS) memungkinkan penguasa otoriter untuk membangun konsensus nasional palsu tentang ancaman IS, yang memungkinkan mereka untuk secara efektif mengejar tujuan-tujuan politik mereka sendiri: untuk tetap berkuasa, untuk merebut kekuasaan melalui kekerasan, dan untuk secara brutal menindas kelompok oposisi.

Di sisi lain di belahan Atlantik, perang melawan teror telah menyebabkan langkah-langkah pertahanan seperti Homeland Security untuk menyenangkan pengembangan militer dan semua orang yang berhubungan dengan itu, termasuk berbagai think tank, akademisi dan peneliti. Ia juga membenarkan perluasan kekuasaan eksekutif yang belum pernah terjadi sebelumnya.

(40)

37

Manajer Teror

Ada beberapa alasan kenapa ilusi ketakutan terhadap terorisme perlu dijaga. Rasa takut memungkinkan pemerintah untuk mengalihkan perhatian publik dan perdebatan dari masalah sosial-ekonomi yang belum terselesaikan.

Tirani muncul dari kondisi darurat yang menyenangkan mereka, sebagaimana yang ditulis James Madison. Bagi para tiran, pelajaran penting dari api Reichstag adalah bahwa satu momen kejut bisa membawa pada ketundukan total dan abadi. Yang dibutuhkan oleh para tiran untuk mendapatkan tumpuan adalah diamnya orang-orang baik. Dunia adalah tempat yang berbahaya, bukan dikarenakan mereka yang melakukan kejahatan, tapi karena mereka yang menyaksikan dan tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, yang kita ingat bukanlah apa yang dikatakan musuh kita, tapi diamnya teman kita.

(41)

38

Kesimpulan

Kesimpulan

Dengan hitungan apapun, terorisme negara adalah salah satu sumber penderitaan dan kehancuran umat manusia pada lima abad terakhir. Mereka melakukan kekerasan secara ekstrem terhadap rakyat dan kelompok tertentu untuk membangun ketundukan politik terhadap nation state yang baru terbentuk, mentransfer penduduk, dan melakukan kerja paksa di wilayah yang dijajah. Kekuatan imperium dan negara modern telah membunuh jutaan manusia dan menghancurkan peradaban di Amerika, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.

Pada masa perang besar abad kedua puluh, jutaan manusia terbunuh oleh serangan bom atom dan kampanye pengeboman yang ditujukan untuk meruntuhkan moral dan melakukan intimidasi. Mereka membunuh secara acak untuk mempengaruhi pihak lain. Hal ini pada prinsipnya adalah strategi teroris.

Jika dibandingkan, ratusan hingga ribuan manusia yang terbunuh dan cedera oleh terorisme yang dilakukan oleh non-negara, jauh lebih sedikit dibanding ratusan ribu hingga jutaan manusia yang dibunuh, diculik, dihilangkan, dicederai, disiksa, diperkosa, diintimidasi, dan diancam oleh agen negara danproxymereka di sejumlah wilayah seperti Chechnya, Afghanistan, Kashmir, Palestina, Irak, Kolombia, Zimbabwe, Kongo, Somalia, Uzbekistan, Irak, Suriah, dan sejumlah tempat lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

mencapai 451, di seluruh provinsi dan kabupaten/kota diharapkan kenaikan harga yang mengarah ke inflasi lebih cepat di kenali dan diatasi.171 Hasil penelitian ini sesuai dengan

Essential oil Lemon sebagai antibakteri terhadap bakteri pembusukan buah Melon potong segar lebih baik dibanding Jeruk, ditunjukkan oleh daya hambat

Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter..., hlm.. Begitu juga dengan orang tua yang hobi membaca dan mengajarkan anaknya untuk

Menerusi kertas kerja ini juga, beberapa konsep kajian berkaitan kemahiran generik, program ijazah sarjana muda pendidikan yang merangkumi kajian tentang

Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik

Impressed current menggunakan rectifier, yang berfungsi untuk menyearahkan tegangan AC menjadi DC. Rectifier berperan untuk ”menggantikan” fungsi sejumlah anode sebagai

Mulia (pembelian tgl. Dijual barang dagangan secara kredit pd CV. Biaya sewa kantor bulan Desember 1998 Rp. Diterima kembali brg dagangan yang dijual tgl 17 Des. Diterima pembayaran

Langkah pengumpulan data adalah satu tahap yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam melaksanakan