• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Manfaat Berwujud 2.Manfaat Tak Berwujud

...

Total manfaat ...

Net Present Value ...

External Rate of Return ...

Benefit Cost Ratio ...

Analisis kelayakan ekonomi dari keberadaan Program Food Estate menggunakan tiga formula sebagai berikut:

1. Net Present Value

Net Present Value atau nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku. Rumus perhitungannya adalah :

Keterangan :

Ʃ = Jumlah keseluruhan dari tahun 1 ke N t = tahun awal proyek

N = tahun terakhir proyek (1,...,20) B = manfaat

C = biaya

r = tingkat diskonto

Proyek yang mempunyai NPV positif adalah proyek yang layak dilaksanakan. Kriteria :

NPV > 0, artinya investasi menguntungkan dan dapat diterima.

2. ERR (External Rate of Return)

Metode ERR merupakan metode dengan cara menghitung tingkat diskonto yang menghasilkan nilai sekarang suatu proyek sama dengan nol.

Rumus yang digunakan adalah :

Proyek akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian (ERR) dan tingkat diskonto (i).

Kriteria :

ERR > i, artinya Program Food Estate dapat dilaksanakan ERR < i, artinya Program Food Estate tidak dapat dilaksanakan 3. Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR)

Metode BCR adalah suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh proyek diperoleh dari proyek tersebut dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek tersebut. Rumus yang digunakan adalah:

∑ ∑ Kriteria :

Proyek akan dilaksanakan apabila BCR menggambarkan NPV > 0 Kriteria :

BCR >1, artinya Program Food Estate menggambarkan NPV > 0 BCR <1, artinya Program Food Estate tidak menggambarkan NPV > 0

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kelayakan proyek bila terjadi perubahan pada penerimaan dan biaya. Menurut Bahasoan (2005) variabel- variabel yang berubah ditentukan batasnya sehingga diketahui toleransi perubahan setiap variabel yang masih menghasilkan keputusan kelayakan pada proyek jika diketahui proyek itu layak, hal ini penting didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Maka pada penelitian ini diasumsikan variabel-variabel yang berubah adalah harga output (beras), biaya bibit dan upah tenaga kerja.

Pay Back Period

Analisis Pay Back Period (PBP) dihitung dengan cara menghitung waktu yang diperlukan pada saat total arus kas masuk sama dengan total arus kas keluar. Pada penelitian ini, umur ekonomis Program Food Estate direncanakan selama 20 tahun dan lama pinjaman 10 tahun. Maka rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Yacob 2003) :

PBP =

dimana :

30 a b c = = = investasi mula-mula

Jumlah investasi mula-mula

Jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke - n Jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke - (n + 1) Kriteria :

Proyek akan dilaksanakan apabila masa pengembalian investasi lebih cepat dari lama pinjaman.

PBP > 10 tahun, artinya Program Food Estate tidak layak dilaksanakan PBP < 10 tahun, artinya Program Food Estate layak dilaksanakan

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif bertujuan memberikan deskripsi data yang meliputi tabulasi, peringkasan dan penyajian dalam bentuk grafis, gambar-gambar serta menghitung ukuran-ukuran deskripsinya. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisa dan menjabarkan fenomena-fenomena yang diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang realistis (Nasir, 2003). Pada penelitian ini, analisis deskriptif yang digunakan bersifat eksploratif dengan tujuan untuk menggambarkan perkembangan Program Food Estate di Kalimantan Barat serta kehidupan masyarakat di sekitar proyek.

Analisis Input Output

Analisis input output menggunakan Tabel IO Tahun 2010 Provinsi Kalimantan Barat atas dasar transaksi harga produsen dengan klasifikasi lima puluh empat sektor yang diagregasi menjadi delapan belas sektor.

Analisis Keterkaitan

Analisis keterkaitan dapat memberi gambaran mengenai suketerkaitan antar sektor yang terdiri dari keterkaitan ke depan langsung dan langsung tidak langsung, keterkaitan ke belakang langsung dan langsung tidak langsung. Analisis keterkaitan menggunakan rumus sebagai berikut (Rustiadi et all 2011):

1. Keterkaitan ke Depan Langsung

Dimana:

= keterkaitan langsung ke depan sektor i

= koefisien input

2. Keterkaitan ke Depan Langsung dan Tidak Langsung

Dimana:

= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor i

= invers matriks leontif

Dimana:

= keterkaitan langsung ke belakang sektor j

= koefisien input

n = jumlah sektor

4. Keterkaitan ke Belakang Langsung dan Tidak Langsung

Dimana :

= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor j

= invers matriks leontif

Analisis penyebaran 1. Koefisien Penyebaran

= ∑

Dimana :

Pd = Koefisien penyebaran sektor j

ɑij = matriks kebalikan Leontif sektor n = jumlah sektor 2. Kepekaan Penyebaran = ∑ ∑ Dimana :

Sd = Kepekaan penyebaran sektor i

ɑij = matriks kebalikan Leontif sektor n = jumlah sektor

Analisis Multiplier

Nilai multiplier baik untuk multiplier output, pendapatan maupun tenaga kerja ditentukan berdasarkan matriks Kebalikan Leontif baik untuk model terbuka ( ) ataupun untuk model tertutup ( ) dengan menggunakan rumus - rumus sebagai berikut:

32

Tabel 3.9 Rumus Multiplier output, pendapatan dan tenaga kerja

Tipe Dampak Multiplier

Output Pendapatan Tenaga Kerja

Dampak Awal 1

Dampak Langsung ∑ ∑ ∑

Dampak Tidak Langsung ∑ - 1 - ∑ - - ∑ - - ∑ Efek Induksi Konsumsi ∑ - 1 - ∑ - ∑ - ∑

Dampak Total ∑ Dampak Lanjutan ∑ - 1 ∑ - ∑ - Sumber : Daryanto (1990) Keterangan : = Koefisien output = Koefisien pendapatan

= Koefisien Tenaga Kerja

= Matriks Kebalikan Leontif Terbuka

= Matriks Kebalikan Leontif Tertutup

Sedangkan untuk melihat hubungan antar dampak awal dan dampak lanjutan per unit pengukuran dari sisi output, pendapatan dan tenaga kerja dapat dihitung dengan menggunakan rumus multiplier tipe I dan II sebagai berikut :

Tipe I

=

Tipe II

=

Analisis Simulasi Investasi

Analisis simulasi investasi bertujuan untuk melihat dampak investasi terhadap perekonomian wilayah. Analisis simulasi pada penelitian ini menggunakan pendekatan investasi Program Food Estate dengan melakukan shock nilai investasi pada sektor padi, menggunakan rumus sebagai berikut (Kartinah 2004):

1. Dampak terhadap pembentukan Output ( )

= ( (Fid)

3. Dampak terhadap Tenaga Kerja

= e ( (Fid)

Dimana :

( = Matriks Kebalikan Leontif Terbuka

= Matriks Koefisien Tenaga Kerja Sektor i pada Matriks Koefisien Teknis

Fid = Nilai Investasi Program Food Estate pada Sektor Padi

= Nilai Upah dan Gaji Sektor i pada Matriks Transaksi Total = Nilai Tambah Bruto sektor i pada matriks transaksi total

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Proyek

Program Food Estate merupakan proyek investasi pada sub sektor tanaman pangan dalam bentuk kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (> 25 Ha) yaitu komoditi padi yang dilakukan dengan konsep industri yang berbasis ilmu pengetahuan, modal serta organisasi dan manajemen modern. Konsep dasar Food Estate diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Food Estate diarahkan kepada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.

Proyek ini dikembangkan melalui skema kerjasama antara pemerintah, BUMN dan petani. Pemerintah berperan dalam memfasilitasi pembebasan lahan dan mendukung pembangunan sebagian infrastruktur, perusahaan dalam hal ini BUMN berperan sebagai pemilik modal sekaligus mengelola kegiatan ini sepenuhnya, sedangkan petani terlibat sebagai pemilik lahan yang menyediakan lahan pertanian untuk proses produksi dan dapat terlibat sebagai tenaga kerja. Kerjasama dalam proyek ini menekankan peran perusahaan atau BUMN sebagai penyedia modal dalam bentuk investasi, namun perusahaan bersifat “nonkapitalis farming”, dimana tidak terjadi pengalihan kepemilikan lahan oleh BUMN, melainkan hanya mengelola lahan untuk menghasilkan produk sehingga mendorong aktivitas perekonomian di perdesaan dan melibatkan masyarakat lokal secara langsung yang berkontribusi dalam sharing modal berupa lahan sekaligus memperoleh imbal jasa sehingga memberikan manfaat atau keuntungan bagi petani dan masyarakat.

34

Berdasarkan hasil kesepakatan, pemenuhan hak dan kewajiban dalam proyek ini menganut sistem pembagian hasil antara pemilik modal dan pemilik lahan sebagai imbal jasa dari modal yang telah dikeluarkan berupa pembagian sebesar 60:40, dimana pemilik modal yaitu perusahaan menerima hasil sebesar 60% dari hasil produksi dan pemilik lahan menerima hasil sebesar 40%. Adapun kewajiban pemilik modal terhadap pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah terkait yaitu Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura berupa laporan progress kegiatan per bulan, kemudian pemerintah mengevaluasi kegiatan dan bertindak sebagai pengawas. Selain itu, pemerintah daerah juga memberi dukungan berupa keringanan pajak, bea maupun tarif serta pemberian subsidi.

BUMN yang terlibat dalam proyek ini merupakan BUMN yang tergabung dalam sinergi BUMN Peduli yang ditunjuk langsung olah pemerintah pusat untuk berpartisipasi sebagai investor yaitu PT. Sang Hyang Seri, PT. Yodya Karya, PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya dan PT. Pupuk Indonesia, sedangkan petani yang terlibat adalah petani yang memiliki lahan dan bersedia menyediakan lahan yang digunakan untuk keperluan proyek.

Payung hukum yang mendasari Program Food Estate berdasarkan Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009, kemudian dilanjutkan PP No. 18/2010 tentang usaha budidaya tanaman skala luas. Selain itu terdapat beberapa dasar hukum lainnya yang mengatur dan mendukung sebagai berikut (Deptan 2011):

1. UU No. 32 dan No.41 Th 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

2. UU No. 39 Th 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),

3. UU No. 25 dan No. 26 Th 2007 tentang Penanaman Modal dan tentang Penataan Ruang

4. 27/2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Penanaman Modal.

Luas lahan Garapan

Kegiatan penanaman dimulai pada tahun 2012 dengan luas penanaman 1407,59 Ha pada tahun pertama kemudian meningkat menjadi 1586,86 Ha pada tahun kedua hingga mencapai seluas 4482,39 Ha pada tahun ketiga. Umur ekonomis proyek direncanakan 20 tahun, dimulai tahun 2011 sampai 2031 yang ditentukan berdasarkan kemampuan infrastruktur.

Tabel 4.10 menampilkan secara rinci luas lahan garapan berdasarkan kecamatan dan desa. Lokasi proyek Food Estate terletak di Kabupaten Ketapang yang meliputi 3 kecamatan dan 10 desa dengan masing-masing kecamatan terdapat 3 - 4 desa yang terlibat. Luas lahan garapan masing-masing kecamatan dan desa tidak sama, hal ini dikarenakan ketersediaan lahan dan kesesuaian lahan setiap desa berbeda. Adapun status kepemilikan lahan garapan tersebut merupakan hak milik rumah tangga tani (petani) yang bersertifikat dengan luas lahan rata-rata 2-5 ha per rumah tangga tani.

Tabel 4.10 Luas lahan garapan Food Estate menurut kecamatan dan desa (ha)

Kecamatan Desa Luas lahan

Matan Hilir Selatan Pelang Jawi Sungai Besar Harapan Baru 224,77 416,10 183,65 762,34 Muara Pawan Sungai Awan Kanan

Sungai Awan Kiri Suka Maju Tempurukan 324,03 112,12 1.496,08 517,57 Matan Hilir Utara Kuala Satong

Sungai Putri

316,38 129,35 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Ketapang (2015)

Intensitas Tanam

Indeks penanaman pada Program Food Estate sebanyak 3 kali musim tanam dalam setahun. Hal ini dikarenakan adanya infrastruktur seperti jaringan irigasi yang memadai sehingga ketersediaan air pada lahan terpenuhi sepanjang tahun. Selain itu adanya penggunaan teknologi seperti alat mesin pertanian dan penggunaan bibit varietas unggul serta penggunaan dosis pemupukan berimbang sehingga mampu mendorong proses produksi dalam satu kali masa tanam lebih singkat. Peningkatan indeks tanam dari satu hingga dua kali menjadi tiga kali dalam setahun telah meningkatkan intensitas tanam menjadi 300 persen dari semula yang hanya 100 hingga 200 persen. Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang menyatakan bahwa sebelum adanya proyek sebagian besar petani padi yang berusahatani secara tradisional hanya melakukan penanaman sebanyak 1-2 kali per tahun.

Penggunaan Sarana Produksi

Pada dasarnya sarana produksi yang digunakan untuk pada Food Estate sama seperti yang digunakan pada umumnya pada usahatani padi secara tradisional yaitu benih, pupuk, kapur, pestisida, alat dan mesin pertanian serta tenaga kerja. Benih padi menggunakan varietas unggul yaitu varietas Inpara-2, Inpara-3 dan Cibogo yang merupakan benih yang telah disesuaikan dengan jenis tanah yang akan ditanami berdasarkan rekomendasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Ketapang. Kebutuhan rata-rata benih per ha sebesar 15 Kg. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk organik yaitu pupuk kandang dan anorganik (pupuk kimia) yaitu pupuk urea dan pupuk phonska dengan dosis pemupukan berimbang. Adapun kebutuhan pupuk urea sebesar 150 kg per Ha dan pupuk phonska sebesar 100 kg per Ha, sedangkan kebutuhan pupuk organik sebanyak 2 ton per ha.

Alat dan mesin pertanian yang digunakan mulai dari alat dan mesin yang bernilai tinggi hingga peralatan pertanian tradisional atau yang bernilai rendah. Penggunaan teknologi ini mulai dari pembukaan lahan, pengolahan lahan, penanaman hingga panen dan pasca panen. Adapun alat dan mesin pertanian yang termasuk bernilai tinggi yaitu excavator, rice transplanter, hand traktor, tresher, mesin pengering dan mesin penggiling, sedangkan alat-alat pertanian yang bersifat tradisional atau yang biasa dimiliki petani meliputi cangkul, arit dan sprayer.

36

Selain Excavator, teknologi yang bernilai tinggi tersebut disediakan oleh unit pelayanan jasa alsintan (UPJA) yang penggunaanya dengan sistem sewa. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk memberdayakan unit usaha tingkat desa sehingga keberadaan Program Food Estate mampu meningkatkan aktivitas usaha yang dimiliki desa, sedangkan arit, cangkul dan sprayer merupakan aset yang disediakan oleh perusahaan.

Sistem Pengelolaan

Sistem pengelolaan budidaya padi pada Program Food Estate merupakan adopsi dari metode SRI (System of Rice Intensification). Bibit yang digunakan pada program ini disemai terlebih dahulu mempergunakan baki plastik dengan tujuan untuk mempermudah pemindahan, pencabutan, dan penanaman. Penanam menggunakan pola bujur sangkar dengan jarak tanam 30 x 30 cm, kedalaman 1- 1,5 cm dan jumlah satu bibit per lubang tanam.

Kegiatan pemeliharaan budidaya padi pada program ini meliputi pengapuran, pemupukan, penyiangan, pengairan dan pengendalian hama penyakit. Pemupukan organik dilakukan satu minggu sebelum penanaman atau pada saat pengolahan tanah, kemudian dilanjutkan pemupukan kedua saat padi berumur 4 minggu. Sedangkan pemupukan anorganik dilakukan secara bertahap, tahap I dilakukan pemupukan urea dan phonska pada pada umur 7-15 HST, tahap II pemupukan urea lanjutan pada umur 20-30 HST dan tahap III pemupukan phonska pada umur 40-45 HST. Penggunaan pupuk organik dan anorganik pada Food Estate dengan tujuan selain menambah kesuburan juga memperbaiki struktur tanah sehingga dapat mengikat air/menghemat air serta mencegah terjadinya erosi lapisan tanah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Munanto (2013) bahwa langkah terbaik dalam pemupukan adalah mengkominasikan pemakain pupuk kimia dan pupuk organik secara tepat sehingga tujuan awal untuk menambah kesuburan tanah dan peningkatan produktivitas tanaman terbukti nyata disertai dengan pencegahan terjadinya degradasi lahan.

Sebelum dilakukan pemupukan organik, lahan yang telah diolah diberikan pengapuran menggunakan kapur pertanian (kaptan) dengan tujuan untuk menetralkan keasaman tanah pada lahan sawah. Adapun kebutuhan kaptan sebesar 4200 kg per ha yang merupakan dosis pengapuran untuk jenis tanah yang berstruktur lempung berpasir yaitu jenis tanah yang terletak di lokasi Food Estate. Dosis yang digunakan untuk pemupukan dan pengapuran juga merupakan anjuran dari petugas penyuluh lapangan (PPL) dan hasil koordinasi dengan pihak pengelola proyek, begitu juga dengan dosis penggunaan pestisida.

Penyiangan mulai dilakukan pada umur 10 HST sebanyak 2-3 kali dengan interval 10 hari menggunakan alat penyiang rotary weeder sekaligus penggemburan tanah. Pengairan sawah pada program ini tidak dilakukan secara terus menerus, hanya memberikan kondisi lemab (macak-macak) pada tanah dengan pemberian air maksimal 2 cm terutama pada saat malai mulai muncul sampai saat padi sudah mulai terisi. Berdasarkan hasil wawancara dengan PPL, pengaturan air ini dilakukan bertujuan memberikan air sesuai kebutuhan padi dan merupakan upaya untuk menekan kehilangan air dipetakan sawah guna mempertahankan atau meningkatkan hasil gabah per satuan luas dan volume air. Hal ini jarang dilakukan petani lokal pada umumnya, dimana sawah dibiarkan dalam keadaan tergenang terus menerus. Menurut Akmal et al (2014)

penggenangan air pada sawah berpotensi mengurangi efisiensi serapan hara nitrogen, meningkatkan emisi gas metan ke atmosfer dan menaikkan rembesan yang menyebabkan makin banyak air irigasi yang dibutuhkan. Pengurangan air akibat perkolasi, rembesan, dan aliran permukaan dapat menekan penggunaan air irigasi sehingga ketersediaan air berkurang. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida sebagai usaha preventif/pencegahan untuk penanggulangan. Panen dilakukan saat padi mencapai umur sekitar 30-35 hari setelah berbunga atau saat 90% padi sudah menguning.

Identifikasi Manfaat dan Biaya Manfaat Proyek

Manfaat proyek pada penelitian ini merupakan manfaat yang diperoleh dari keberadaan Program Food Estate yang terdiri dari manfaat yang bersifat berwujud (tangibel benefit) dan manfaat tak bewujud (intangible benefit). Manfaat berwujud merupakan manfaat nyata yang secara langsung mempengaruhi profitabilitas perusahaan dan mengakibatkan biaya secara langsung, sedangkan manfaat tak berwujud merupakan manfaat yang tidak timbul secara langsung dan sulit diukur dalam satuan moneter. Manfaat tak berwujud sangat sulit diukur karena efektivitasnya ditentukan oleh kekuatan eksternal. Pada penelitian ini manfaat tak terwujud dimasukkan sebagai salah satu komponen manfaat dengan tujuan untuk melihat dampak keberadaan proyek secara tidak langsung bagi masyarakat lokal. Manfaat tak berwujud merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi yang timbul akibat adanya suatu kegiatan dan hanya berdampak jika dilihat dari segi peningkatan kinerja dan pelayanan (Murphy dan Simon 2002). Manfaat berwujud berupa hasil produksi (beras) yang merupakan manfaat langsung dari Program Food Estate, sedangkan manfaat tak berwujud berupa peningkatan kesempatan kerja, peningkatan aktivitas UPJA dan peningkatan pendapatan pedagang sekitar.

1. Hasil Produksi

Hasil produksi pada penelitian ini merupakan jumlah beras yang dihasilkan proyek dikali dengan harga beras per kg. Jumlah beras tersebut merupakan jumlah produksi selama tiga tahun yaitu dari tahun kesatu hingga tahun ketiga dengan skala luas lahan sawah sebesar 4.882 ha. Harga yang digunakan untuk menilai beras pada penelitian ini berbeda setiap tahunnya sesuai dengan harga bayangan yang telah dihitung berdasarkan nilai ekspor dan impor beras di Indonesia.

Tabel 4.11 Hasil produksi Program Food Estate pada tahun ke 1 - ke 3 di Provinsi Kalimantan Barat

Periode Harga (Rp/Kg) Jumlah produksi (Kg) Hasil produksi (Juta Rp) Tahun 1 7.824 1662261 13.005,53 Tahun 2 6.611 746542 49.367,92 Tahun 3 6.973 20845766 145.357,53

38

Berdasarkan Tabel 4.11 di atas, nilai manfaat dari hasil produksi yang diperoleh pada tahun kesatu jauh lebih rendah dibanding tahun kedua demikian juga pada tahun ketiga. Selain harga jual beras jauh lebih rendah, tingginya jumlah serangan hama dan penyakit berakibat hampir gagal panen juga menjadi penyebab rendahnya jumlah produksi pada tahun kesatu sehingga nilai manfaat masih rendah dibandingkan tahun kedua dan tahun ketiga. Pada tahun ketiga nilai manfaat hasil produksi adalah paling tinggi hal ini dikarenakan adanya perluasan lahan garapan yang lebih luas sehingga mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ghoshal (2014) bahwa pada tingkat makro, produksi dapat ditingkatkan dengan baik hanya dengan perluasan areal dan peningkatan produktivitas, sehingga akan mendorong peningkatan hasil. Peningkatan hasil produksi merupakan salah satu tujuan Program Food Estate yang disebabkan adanya perluasan lahan garapan sehingga akan mendorong peningkatan pendapatan bagi pemiliknya dalam hal ini adalah petani pemilik lahan (Deptan 2011). Hasil produksi yang diperoleh tersebut merupakan manfaat langsung yang diterima perusahaan sebagai pemilik modal sebesar 60 persen sedangkan untuk petani sebagai pemilik lahan sebesar 40 persen yang merupakan hasil kesepakatan kerjasama yang telah ditetapkan diawal. Dari hasil wawancara, 73 persen responden menyatakan bahwa pembagian hasil sebesar 40 persen sebagai kepemilikan lahan memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Hal ini dikarenakan sebelum adanya proyek lahan tersebut merupakan lahan tidur (menganggur) sehingga tidak memberikan hasil bagi pemilik lahan.

2. Peningkatan Kesempatan Kerja

Kesempatan kerja pada penelitian ini dinilai dari curahan waktu bekerja petani yang dihitung dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK). Menurut Bahasoan (2010) kesempatan kerja dapat dilihat dari seberapa besar penggunaan tenaga kerja yang diserap oleh proyek dengan pendekatan curahan waktu kerja untuk masing-masing tenaga kerja. Manfaat dari peningkatan kesempatan kerja dinilai berdasarkan selisih curahan waktu bekerja petani sebelum adanya Proyek Food Estate dan sesudah adanya Proyek Food Estate yang dihitung berdasarkan upah yang diterima per HOK.

Tenaga kerja yang terlibat dalam proyek terdiri dari tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita mulai dari pembukaan lahan, perbaikan infrastruktur dan kegiatan usahatani padi. Pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur dilakukan oleh tenaga kerja pria dengan alasan tingkat pekerjaan yang dilakukan memiliki kesulitan yang tinggi sehingga tenaga kerja wanita tidak dibutuhkan pada tahap ini. Pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur dilakukan pada tahun ke-nol dengan menyerap tenaga kerja sebesar 200.792 HOK. Kegiatan usahatani padi pada daerah penelitian terdiri dari (1) pengolahan tanah, (2) penyemaian, (3) penanaman, (4) pemupukan, (5) penyiangan, (6) penyemprotan, dan (7) panen dan pasca panen meliputi perontokan padi, pengeringan dan penggilingan yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja pria dan wanita dengan sistem upah yang dibayarkan secara tunai langsung pada saat pekerjaan selesai.

Jumlah tenaga kerja yang butuhkan pada usahatani padi ini tergantung luas lahan yang digarap dan intensitas tanam yang dilakukan. Secara keseluruhan kegiatan usahatani padi pada proyek ini menyerap tenaga kerja total sebesar 50 HOK per Ha per musim tanam dengan upah yang berlaku pada daerah penelitian

yaitu Rp 50.000 perhari untuk tenaga kerja pria dan Rp. 45 000 per hari untuk wanita dengan waktu bekerja selama 7- 8 jam per hari.

Gambar 4.2 Penggunaan tenaga kerja pada Program Food Estate di Provinsi

Dokumen terkait