• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.3. Tujuan Penelitian

1.4.4. Manfaat Kepada Peneliti

1. Memberikan pengetahuan tentang kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia, langkah pencegahan miopia, dan langkah yang perlu diambil agar tingkat miopia yang dideritai kini tidak menjadi semakin parah. 2. Membiasakan diri dalam melakukan penelitian, dan menulis karya tulis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habituasi 2.1.1 Definisi

Istilah habituasi atau kebiasaan sering digunakan di kalangan masyarakat untuk menunjukkan perilaku yang sering dilakukan oleh seseorang. Istilah habituasi ini sering diberi definisi oleh banyak pihak. Namun, menurut James W. (2009), seorang psikolog atau ahli psikologi di dalam bukunya, Biological Psychology, menulis bahwa habituasi merupakan penurunan respon/ tanggapan terhadap rangsangan/ stimulus yang diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang diberikan.

Sedangkan menurut Ganong W. (2006) pula, habituasi merupakan pengurangan respon dari respon sebelumnya yang ditampilkan pada saat tidak ada diberikan ganjaran atau hukuman setelah rangsangan diberikan.

Misalnya, jika diberikan makanan yang pedas pada seseorang, pada awalnya seseorang itu tidak dapat menahan pedas yang dirasakannya. Jika stimulus diberikan berulang-ulang tanpa diikuti pemberian hadiah atau hukuman setelah diberikan stimulus (pedas), lama kelamaan rasa pedas yang dirasakan oleh seseorang itu akan semakin berkurang dan akhirnya tidak terasa pedas sama sekali apabila tahap kepedasan (stimulus) yang sama diberikan seperti sebelumnya.

Kurangnya tanggapan (rasa pedas) ini tidak berasal dari hasil kelelahan atau pun adaptasi indera, dan bertahan lama; ketika sepenuhnya terbiasa, seseorang tidak akan

menanggapi rangsangan/stimulus walaupun stimulus tersebut tidak diberikan selama beberapa minggu atau bulan sejak stimulus terakhir diberikan.

2.1.2 Mekanisme Terjadinya Habituasi

Menurut Ganong W.F. juga, apabila sesuatu rangsangan fisik atau kimia diberikan pada hujung presenaptik yang berperan dalam ingatan tanpa merangsang ujung presenaptik yang berperan dalam sistem pensensitisasi (ganjaran atau hukuman), didapati sinyal yang dihantar begitu besar untuk rangsangan kali pertama. Namun apabila rangsangan yang sama diberikan secara berterusan pada hujung presenaptik yang sama (presinaptik yang berperan dalam ingatan), didapati transmisi sinyal semakin berkurang sehingga pada satu tahap transmisi sinyal hampir berhenti. Habituasi terjadi apabila hal seperti ini terjadi.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Habituasi

Habituasi secara umumnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang di dalam kegiatannya sehari-hari. Apabila kita menelusuri tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan / habituasi, kita dapati ada pelbagai pendapat di kalangan masyarakat termasuk pendapat dari kalangan ahli, guru, maupun dari tokoh agama mengatakan bahwa kebiasaan seseorang itu dapat dipengaruhi melalui oleh beberapa faktor seperti faktor agama/ kepercayaan, budaya, lingkungan, keluarga, rakan-rakan seusia, dan sebagainya.

2.1.4 Klasifikasi Habituasi Berdasarkan Akibat

Masyarakat juga sering membagikan kebiasaan kepada dua jenis kebiasaan berdasarkan akibat yang dapat terjadi dari kebiasaan seseorang, yaitu kebiasaan yang membawa kebaikan/ manfaat dan kebiasaan yang dapat merugikan seseorang.

Antara contoh kebiasaan yang merugikan adalah seperti kebiasaan merokok, kebiasaan meminum minuman keras, dan kebiasaan melihat sesuatu benda dengan jarak yang dekat pada waktu lebih 30-40 menit tanpa diselangi dengan istirahat sehingga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Kebiasaan yang bersifat negatif harus diubah meskipun dampaknya mungkin sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap kehidupan seseorang individu maupun terhadap masyarakat sekitarnya.

2.1.5 Habituasi yang Dapat Meningkatkan Risiko Terjadinya Miopia

Seperti yang tertulis sebelumnya, selain faktor yang dapat menyebabkan miopia (rabun jauh) pada diri seseorang seperti genetik, dan asupan nutrisi yang tidak adekuat, habituasi (kebiasaan) seseorang dalam menggunakan organ penglihatannya juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia.

Diantara kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia:

1. Menghabiskan banyak waktu untuk membaca (melihat dengan jarak yang dekat) tanpa diselangi dengan istirahat setelah 30-40 menit membaca.

2. Sering bekerja di hadapan komputer, atau

3. Sering melakukan pekerjaan lain di hadapan objek yang memiliki intensitas visual dengan jarak yang dekat.

Pada kebanyakan kasus, bekerja dengan menumpukan fokus terhadap sesuatu objek pada jarak yang dekat seperti membaca, dan menggunakan komputer untuk waktu yang lama (melebihi 30-40 menit) dapat menyebabkan miopia. Akomodasi yang berlebihan terjadi karena upaya pemfokusan diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang melibatkan pemfokusan objek pada jarak yang dekat. Hal ini dapat menghasilkan perpanjangan progresif dan ireversibel pada struktur mata.

2.2 Miopia 2.2.1 Definisi

Gambar 2.1: Miopia

Miopia merupakan salah satu dari kelainan refraksi. Kelainan refraksi terjadi apabila mata tidak sanggup untuk memfokuskan imej tepat pada retina. Miopia adalah kesulitan dalam melihat objek yang jauh dengan jelas. Ini terjadi apabila imej dari objek yang terletak jauh terbentuk berada di hadapan retina dan bukan terletak tepat pada retina. Seseorang yang mengalami miopia dapat melihat objek yang terletak dekat dengan jelas tetapi kabur apabila melihat objek yang terletak jauh.

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi miopia sangat bervariasi, ini karena prevalensi miopia tergantung kepada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan miopia seperti faktor usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan pencapaian pendidikan seseorang. Miopia biasanya dimulai di masa anak-anak.

Dari hasil penelitian dengan tidak menggunakan agen sikloplegik (agen yang dapat melumpuhkan otot silia sehingga fokus terhadap objek dekat tidak akan terjadi) yang telah dilakukan oleh ahli penelitian terdahulu, dijumpai beberapa derajat miopia dapat terjadi pada sejumlah besar bayi. Miopia yang dimiliki bayi didapati cenderung menurun sejalan dengan peningkatan usianya, dan sebagian besar bayi tersebut mencapai penglihatan yang normal (emmetropia) setelah mencapai usia 2-3 tahun.

Selain daripada itu, didapati bayi-bayi prematur dapat memiliki prevalensi miopia yang tinggi. Untuk anak-anak yang berusia 5 tahun, prevalensi miopia dengan minimal 0,50 D memiliki prevalensi yang lebih rendah (< 5%) berbanding kelompok usia yang lain. Penelitian secara kohort pada kelompok anak yang berada dalam usia persekolahan dan remaja, di dapati prevalensi miopia mereka mencapai sehingga 20-25 persen pada usia pertengahan hingga akhir usia remaja.

Untuk negeri-negeri maju dan Amerika Serikat, didapati remaja di negeri-negeri tersebut memiliki prevalensi miopia sekitar 25-35 persen. Manakala di beberapa daerah di Asia mempunyai prevalensi miopia yang lebih tinggi seperti di Republik China.

Prevalensi miopia pada populasi di atas usia 45 tahun di dapati agak menurun, yaitu mencapai sekitar 20 persen dalam usia 65 tahun. Pada populasi di atas usia 70 tahun, didapati prevalensi miopia semakin menurun sehingga serendah 14 persen.

Berdasarkan jenis kelamin pula, beberapa penelitian menemukan perempuan mempunyai prevalensi miopia yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Tingkat pendapatan dan pencapaian pendidikan mempunyai hubungan langsung dengan peningkatan prevalensi miopia. Ini berarti, semakin tinggi tingkat pendapatan dan pencapaian pendidikan, semakin tinggi prevalensi miopia.

Selain dari itu, jenis pekerjaan juga dapat memainkan peran dalam prevalensi miopia. Dari penelitian terdahulu, didapati seseorang yang bekerja dengan pekerjaan yang memerlukan untuk melihat objek dengan jarak yang dekat mempunyai prevalensi miopia yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain.

2.2.3 Klasifikasi

Penyebab terjadinya miopia itu sangat banyak, dan kejadian miopia di dalam populasi dunia sangat bervariasi dan dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok. Menurut pembahagian miopia yang dilakukan oleh American Optometric

Association (2006), miopia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tipe

klasifikasi miopia seperti:

1. Miopia Sederhana

Miopia sederhana dapat terjadi pada individu yang mempunyai kelainan pada kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya, serta panjang aksial matanya.

Pengaruh kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada miopia sederhana:

Seseorang individu dapat menjadi miopia sederhana jika kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih besar dari kekuatan optik yang normal/ rata-rata.

Apabila ini terjadi, imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina sehingga objek yang terletak jauh terlihat kabur walaupun panjang aksial matanya normal/ seperti panjang aksial mata yang rata-rata.

Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih besar dari kekuatan optik yang normal/ rata-rata, dapat menjadi emmetropia (penglihatan normal) jika panjang aksial matanya lebih pendek dari panjang aksial mata normal/ rata-rata dan cukup pendek untuk imej dari objek yang terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya.

Pengaruh panjang aksial mata pada miopia sederhana:

Seseorang individu dapat menderita miopia sederhana jika panjang aksial mata lebih panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata. Apabila ini terjadi, imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina sehingga objek yang terletak jauh terlihat kabur walaupun kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya memiliki kekuatan yang normal/ seperti kekuatan rata-rata.

Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai panjang aksial matanya lebih panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata, dapat menjadi emmetropia (penglihatan normal) jika kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih lemah dari kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada mata normal/ rata-rata dan cukup lemah untuk imej dari objek yang terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya walaupun panjang aksial matanya lebih panjang dari normal/ rata-rata.

Dari fenomena yang ditulis diatas, dapat dibuat kesimpulan bahwa panjang aksial mata berhubungan secara terbalik dengan kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada mata dengan penglihatan normal (emmetropia).

Dari sekian banyak jenis-jenis miopia, didapati miopia sederhana merupakan jenis miopia yang paling umum dijumpai dikalangan masyarakat. Secara umumnya, pasien

dengan kelainan refraksi kurang dari 0 D hingga -6 dioptri (D); dan kebanyakannya kurang dari 0 D hingga -4 atau -5 D merupakan penderita miopia sederhana.

Astigmatisma dapat terjadi bersamaan pada miopia sederhana, misalnya:

1. Astigmatik miopik sederhana (simple myopic astigmatism): Kondisi di mana sebahagian sinar cahaya yang masuk ke dalam mata ada yang dapat difokuskan tepat pada retina sedangkan (emmetropik) dan ada sebahagian yang lain terbentuk di hadapan retina (miopik).

2. Campuran miopik astigmatisme (compound myopic astigmatism): Kondisi dimana semua sinar cahaya yang masuk hanya terlalu sedikit sahaja yang dapat menyentuh retina, sedangkan yang lainnya berada dihadapan retina.

Di dalam kasus miopia, dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai miopia anisometropik (anisomiopia) yaitu apabila derajat miopia satu mata tidak sama dengan derajat miopia mata yang satu lagi.

Sedangkan anisometropia miopik sederhana (simple myopic anisometropia) dapat terjadi apabilasatu mata adalah normal (emmetropik), manakala mata yang satu lagi miopik.

Menurut American Optometric Association (1997), anisometropia mungkin tidak membawa arti klinis yang signifikan selagi perbedaan antara derajat miopia kedua belah mata tidak menghampiri 1D.

3. Miopia Nokturnal

Miopia nokturnal adalah kondisi di mana seseorang itu mengalami rabun jauh hanya pada kondisi lingkungan yang malap/ redup/ tidak terang, seperti pada malam hari.

Miopia dipercayai dapat disebabkan oleh akibat dilatasi pupil. Dilatasi pupil merupakan refleks pupil ketika mata berada pada lingkungan gelap/ kurang intensitas cahaya agar lebih banyak cahaya dapat masuk ke dalam mata, yang akhirnya dapat menyebabkan rabun jauh disebabkan terjadinya penambahan penyimpangan cahaya dalam mata. Berdasarkan kadar prevalensi, didapati orang muda mempunyai prevalensi yang lebih banyak berbanding pada orang tua.

4. Pseudomiopia

Pseudomiopia terjadi akibat dari spasme silia atau stimulasi yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi mata sehingga terjadinya peningkatan pada kekuatan refraksi okular (mata). Keadaan seperti ini dinamakan pseudomiopia karena miopia hanya muncul pada pasien apabila respons akomodsi yang tidak memadai terjadi. 5. Miopia Degeneratif

Miopia degeneratif atau miopia patologis adalah suatu kondisi di mana terjadinya perubahan akibat kerusakan pada segmen posterior mata. Biasanya penderita miopia degeneratif memiliki derajat miopia tahap tinggi (-6 D, -6,1 D dan seterusnya).

Fungsi visual yang abnormal seperti penurunan ketajaman visus/ visual atau lapangan pandang mengalami perubahan abnormal dapat terjadi akibat daripada kerusakan (degeneratif) pada segmen posterior mata. Gejala sisa (sequelae) yang relatif umum terjadi pada miopia degeneratif adalah seperti perlepasan retina dan glauko ma.

6. Miopia didapat

Miopia didapat sering bersifat sementara dan dapat menjadi normal/ emmetropia. Antara penyebab yang dapat menyebabkan miopia didapat adalah seperti terpaparnya terhadap berbagai agen farmasi, kadar gula darah pada tahap tertentu, terjadinya sklerosis pada inti lensa kristal, atau kondisi anomali yang lainnya.

2.2.4 Etiologi

Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia diduga berasal dari faktor genetik dan faktor lingkungan. American Optometric Association (1997) menulis etiologi yang diduga menyebabkan miopia berdasarkan jenis-jenis miopia:

Tabel 2.1: Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya

Jenis-jenis miopia Etiologi-etiologi

Miopia Sederhana Keturunan/ Warisan

Sering bekerja dengan melihat sesuatu objek dengan jarak yang

dekat

Idiopatik

Miopia Nokturnal Akomodasi untuk fokus gelap pada tahap yang signifikan

Pseudomiopia Kelainan akomodasi

Agen kolinergik agonis

Miopia Degeneratif Keturunan/ Warisan

Retinopati akibat prematuritas

Gangguan pada hantaran cahaya melalui media okular

Idiopatik

Miopia Didapat Katarak nuclear akibat peningkatan usia

Terpapar kepada sulfonamid dan agen farmaseutikal yang lain

2.2.5 Faktor Risiko

Meskipun etiologi pasti miopia masih belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor risiko yang diduga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang itu mengalami miopia.

Faktor risiko yang dapat menyebabkan miopia antaranya adalah faktor genetik, jika terdapat salah seorang dari orang tua atau keduanya menderita miopia, maka kemungkinan anak untuk menderita miopia akan menjadi lebih tinggi.

Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi kejadian miopia pada diri seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi kemungkinan seseorang itu mengalami miopia. Begitu juga halnya dengan pekerjaan seseorang, seseorang yang

sering bekerja dengan melihat sesuatu pada jarak yang dekat dapat meningkatkan terjadinya miopia.

Selain dari faktor risiko di atas, seseorang yang tidak memakai cermin mata hitam (sunglasses) ketika berada ditempat/ melihat sesuatu yang terang/ sangat terang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia, selain faktor risiko yang lain seperti status gizi, penyakit tertentu, kelainan genetik, dan seseorang yang lahir prematur.

2.2.6 Gejala dan Tanda

Seseorang yang miopia sering mengeluhkan gejala-gejala tertentu dan terdapat tanda-tanda klinis yang dapat menunjukkan seseorang itu mengalami miopia.

Gejala miopia adalah seperti sering mengatakan bahwa dia nyeri kepala, matanya kelelahan, mengecilkan bukaan kelopak mata untuk melihat sesuatu yang terletak agak jauh seperti melihat tulisan di papan tulis, kelelahan mata saat mengemudi, berolahraga, atau ketika melihat sesuatu yang jauhnya lebih dari beberapa meter/kaki. Manakala tanda seseorang itu miopia adalah seseorang yang memiliki nilai kekuatan visus kurang dari 6/6 atau 5/5 tergantung kartu snellen yang digunakan untuk pemeriksaan.

2.2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis

Untuk mengetahui seseorang itu mendapat miopia, harus ditanyakan kepada pasien berkaitan dengan gejala yang dihadapinya secara mendalam serta dikenal pasti ada tidaknya pasien memiliki faktor risiko miopia, riwayat penyakit yang dialami dan

obat yang diambil pasien sebelumnya. Terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukuan seperti dengan menggunakan phoropter dan retinoskop.

Beberapa prosedur dalam pengujian miopia bertujuan untuk mengukur fokus mata terhadap cahaya dan untuk memperbaiki kekurangan visus/ penglihatan dengan menentukan kekuatan lensa optik yang diperlukan.

Phoropter dan retinoskop

Phoropter dan retinoskop sering digunakan selama pemeriksaan mata yang

dilakukan secara menyeluruh untuk menentukan lensa yang memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas.

Kartu Carta Snellen (Snellen’s Chart merupakan sebahagian dari alat yang digunakan untuk mendiagnosis miopia dengan pasien disuruh untuk mengidentifikasi huruf-huruf yang terdapat pada kartu tersebut. Di setiap baris terdapat pecahan-pecahan tertentu seperti 20/24 dan sebagainya. Tujian tes ini adalah untuk mengukur ketajaman visus.

Ketika tes dilakukan, pasien diminta untuk mengidentifikasi huruf-huruf bermula dari baris yang paling atas dan diikuti dengan baris-baris huruf dibawahnya. Tes dihentikan apabila pasien sudah tidak mampu mengidentifikasi sebagian besar dari huruf-huruf yang terdapat pada sesuatu baris. Bacaan visus pasien adalah pecahan yang terdapat pada baris yang terakhir dimana huruf pada baris tersebut dapat diidentifikasi semuanya/ sebagian besarnya oleh pasien dengan tanpa menggunakan bantuan sebarang alat maupun lensa kontak. Jarak antara pasien dan kartu tes adalah 5 atau 6 meter tergantung kepada kartu snellen yang digunakan, dan pasien diposisikan bertentangan tepat dengan kartu tes.

Seseorang dengan ketajaman visus 20/40 hanya dapat melihat sesuatu huruf/ objek yang jaraknya 40 meter dari pasien apabila dia berada pada jarak 20 meter dari huruf/objek tersebut. Normal jarak ketajaman visus adalah 20/20, namun kebanyakan orang juga mempunyai ketajaman visus 20/15 (lebih baik dari visus normal).

Dengan menggunakan phoropter, di depan mata pasien akan diletakkan serangkaian lensa dan dokter akan mengukur nilai fokus cahaya pasien dengan menggunakan retinoskop yang dipegang oleh dokter. Selain dari cara manual tadi, dokter juga dapat memilih untuk menggunakan mesin yang dapat mengevaluasi kekuatan fokus mata pasien secara otomatis.

Setelah kekuatan fokus telah berhasil dievaluasi, daya kekuatan fokus yang telah diditeksi oleh mesin akan disempurnakan oleh pasien, yaitu lensa yang memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas akan ditentukan berdasarkan respon pasien terhadap lensa yang diletakkan dihadapan matanya.

Dengan menggunakan pemeriksaan ini, tetes mata tidak perlu digunakan untuk menentukan respon mata pasien pada kondisi normal. Tetes mata dapat digunakan jika terdapat beberapa kesulitan ketika pemeriksaan penglihatan dilakukan, antaranya jika pasien tidak dapat merespons secara verbal, atau jika terdapat kemungkinan tersembunyinya beberapa kekuatan fokus mata. Tetes mata untuk kasus-kasus seperti ini diberikan agar perubahan fokus mata dapat dielakkan untuk sementara waktu yaitu pada saat uji coba dilakukan.

Informasi yang diperoleh dari tes ini, bersama dengan hasil tes lainnya, dapat digunakan untuk menentukan seseorang pasien itu miopia atau tidak. Selain itu, apapun kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoreksi agar penglihatan pasien kembali jelas dapat ditentukan dengan menggunakan informasi ini, sehingga pilihan untuk pengobatan miopia juga dapat disarankan kepada pasien.

2.2.8 Diagnosis banding

Dalam menegakkan diagnosis miopia, terdapat beberapa penyakit yang mempunyai gejala dan tanda mirip seperti pada miopia. Maka, seseorang dokter harus berhati-hati dalam menegakkan diagnosis karena jika diagnosisnya tidak benar, maka pengobatan yang diberikan terhadap pasien tidak tepat dan seterusnya dapat merugikan pasien. Antara penyakit-penyakit yang mirip dengan miopia seperti diplopia, dan degenerasi makula (macular degeneration).

2.2.9 Penatalaksanaan

Pada masa ini, terdapat beberapa pilihan yang tersedia agar pasien miopia dapat kembali melihat dengan jelas apabila melihat sesuatu yang jauh seperti orang normal. Antara pilihan penatalaksanaan miopia adalah seperti pemakaian kacamata, lensa kontak, ortokeratologi, laser dan prosedur operasi refraktif lainnya, serta terapi visus/ penglihatan untuk pasien yang mengalami miopia akibat stress penglihatan.

Pilihan utama untuk mengkoreksi miopia adalah kacamata dengan lensa sferis negatif. Umumnya, diresepkan sebuah lensa tunggal agar pasien dapat memiliki penglihatan yang jelas pada setiap jarak.

Namun, terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan pasien miopia perlu menggunakan lensa bifokal atau lensa tambahan yang progresif, antaranya seperti pada pasien yang usianya sekitar lebih dari 40 tahun, atau anak-anak, dan orang dewasa yang miopia akibat stres kerja karena sering melihat sesuatu pada jarak dekat. Untuk memungkinkan penglihatan yang jelas ketika melihat sesuatu yang jauh maupun yang dekat dapat diberikan lensa-lensa multifokal karena lensa-lensa ini

dapat memberikan kekuatan yang berbeda atau kekuatan seluruh lensa yang diperlukan oleh pasien.

Pada masa ini, selain alatan medis yang digunakan untuk memperbaiki penglihatan, kacamata juga dapat digunakan untuk menunjukkan penampilan (fashion) seseorang karena pada masa ini sudah tersedia pelbagai jenis lensa dan desain bingkai yang berbeda dari segi ukuran, bentuk, warna dan bahan yang dapat dipilih oleh pasien dari segala usia.

Lensa kontak dapat memberikan penglihatan yang lebih baik dan mungkin memberikan visi yang lebih jelas dan lapangan pandang yang lebih luas berbanding kacamata pada beberapa individu. Namun, lensa kontak perlu dilakukan pembersihan dan perawatan rutin agar kesehatan mata dapat dijaga karena lensa kontak dipakai langsung pada mata.

Terapi refraksi kornea atau juga dikenal sebagai ortokeratologi (Ortho-k) adalah terapi yang melibatkan pemasangan dari serangkaian lensa kontak kaku agar kornea yaitu permukaan luar depan mata dapat dibentuk kembali.

Jangka waktu pemakaian lensa kontak adalah terbatas, karena lensa kontak harus dikeluarkan dari mata seperti pada malam hari. Penglihatan yang jelas yang bersifat sementara untuk sebahagian besar kegiatan sehari-hari pada pasien miopia tahap

moderate mungkin dapat diperolehi apabila menggunakan lensa kontak ini.

Dengan menggunakan sinar cahaya laser juga dapat membentuk kembali kornea dan seterusnya dapat membaiki miopia. Keratectomy photorefractive (PRK) dan laser keratomileusis in situ (LASIK) merupakan dua prosedur yang umum dilakukan. Lapisan tipis jaringan dari permukaan kornea dihilangkan dengan menggunakan laser dalam prosedur PRK bertujuan untuk mengubah bentuk jaringan tipis dari kornea dan memfokuskan cahaya yang masuk ke dalam mata. Meskipun begitu,

jumlah pembuangan jaringan tipis ini terdapat batas amannya. Apabila sebagian jaringan kornea ini dibuang, maka sejumlah kasus miopia dapat diatasi.

PRK membuang lapisan tipis dari permukaan kornea sedangkan LASIK tidak.

Dokumen terkait