HUBUNGAN KEBIASAAN SEMASA MELIHAT DENGAN
MIOPIA PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2007-2009
Oleh:
MOHD REDZUAN BIN NORAZLAN 070100305
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN KEBIASAAN SEMASA MELIHAT DENGAN
MIOPIA PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2007-2009
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
MOHD REDZUAN BIN NORAZLAN NIM: 070100305
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Latar belakang: Miopia atau rabun jauh dapat disebabkan oleh pelbagai faktor
antaranya faktor kebiasaan. Miopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang dijangkakan paling umum dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i karena pada usia persekolahan seseorang itu lebih cenderung untuk melakukan pekerjaan dekat dengan lebih kerap.
Tujuan: Mengetahui bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan
miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
Metode: Penelitian ini menggunaan teknik Proporsive Sampling dimana populasi
sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia. Hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 (7,12 %) orang mahasiswa dijadikan responden dalam penelitian ini.
Hasil: Responden terdiri dari 42,7 % laki-laki dan 57,3 % responden perempuan.
Miopia lebih sering dijumpai pada jenis kelamin perempuan (52,7% dari keseluruhan responden perempuan) berbanding responden laki-laki (46,3 % dari keseluruhan responden laki-laki). Responden miopia yang mempunyai tingkat keparahan miopia ringan mempunyai persentase tertinggi yaitu 72,9 % (35 dari 48 responden miopia). Juga didapatkan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 93,7 % dan didapatkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia secara perlahan mempunyai persentase tertinggi yaitu 81,2 % di kalangan responden miopia.
Kesimpulan: Berdasarkan Fisher’s Exact Test dengan menggunakan nilai
pembatasan (α = 0,10), hasil penelitian ini menunjukkan tiada terdapat pengaruh yang signifikan pada kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
Saran: Peneliti lain diharap dapat meneruskan penelitian ini dengan menambah
jumlah sampel meliputi anak di bawah usia persekolahan, anak dalam usia persekolahan, golongan usia diatas 40 dan 60 tahun. Peneliti lain juga dapat menambah variabel-variabel lain seperti faktor genetik, penyakit, penggunaan obat, dan sebagainya.
ABSTRACT
Background: Myopia or nearsightedness may be caused by various factors including
habit factor. Myopia is a refractive disorder of the eye are most common founds in younger age groups, including students and the university students because at the age of schooling a person is more likely to do close work with more often.
Objective: To know how the relationship between habits during seeing something
with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.
Methods: This technique uses proporsive sampling where the sample population was
taken from the sample population who had previously been known characteristics or properties. Traits that are intended student group that myopia and non myopia. The result of calculation to determine the required minimum number of respondents with 90% confidence interval fulfilled as much as 96 (7.12%) respondents in this study.
Results: The respondents consist of 42.7% men and 57.3% female respondents.
Myopia is more often found in the female sex (52.7% of the total female respondents) compared to male respondents (46.3% of total male respondents). Respondents who have myopia severity of mild myopia have the highest percentage, 72.9% (35 of 48 myopic respondents). Also obtained the first occurrence of myopia at the age between 5-20 years had the highest percentage, 93.7% and obtained a history of gradually increasing severity of myopia has the highest percentage, 81.2% among respondents myopia.
Conclusion: Based on Fisher's Exact Test using restriction value (α = 0.10), the
results of this study indicate there is no relationship between habits during seeing something with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.
Recommendation: Other researchers are encouraged to continue this research by
increasing the number of samples included children under the age of schooling, children in school age, the age group above 40 and 60 years. Other researchers can also add other variables such as genetic factors, diseases, medications, and so forth.
KATA PENGHANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum w.b.t. dan selamat sejahtera
Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. yang telah memberi
petunjuk, bimbingan, dan kekuatan kepada diri penulis, akhirnya karya tulis ilmiah
ini berjaya disiapkan dengan jayanya dan disusun sebagaimana yang diharuskan.
Selawat dan salam ditujukan kepada junjungan kita penghulu segala nabi, nabi
Muhammad S.A.W., para sahabat, dan pengikut setianya sehingga hari kiamat.
Tujuan dibuat karya tulis ilmiah adalah untuk memenuhi salah satu bentuk
pembelajaran mahasiswa FK USU S-1 Pendidikan Dokter sebagai mana yang telah
ditetapkan oleh pihak fakultas. Pada karya tulis ini dibahaskan teori habituasi, teori
miopia, rancangan penelitian dan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengkaji
bagaimanakah hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada
mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
Segulung ucapan jutaan terima kasih diucapkan kepada ibu bapa dan keluarga diri
penulis kerana telah memberi sokongan yang padu kepada diri penulis sepanjang
proses penyusunan karya tulis ilmiah ini. Ucapan jutaan terima kasih yang tidak
terhingga diucapkan kepada dosen pembimbing, dr. Zulkifli dan dosen-dosen penguji
karena sangat membantu dalam membimbing, memberi tunjuk ajar, teguran, dan
saranan sepanjang penyusunan karya tulis ilmiah ini dilakukan sehingga karya tulis
ilmiah ini menjadi lebih terarah dan layak disahkan. Juga tidak lupa diucapkan
ucapan terima kasih kepada responden-responden, sahabat-sahabat, dan semua pihak
yang telah membantu diri penulis dalam menjayakan penulisan karya tulis ilmiah ini.
Wabillahi taufik wal hidayah, assalamualaikum w.b.t dan selamat sejahtera.
Medan, Disember 2010
2.2. Miopia……….
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 36
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 48
6.1. Kesimpulan………. 6.2. Saran………...
48 49
DAFTAR PUSTAKA……….. 50
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya…..……… 14
Tabel 5.1 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia………..….... 37
Tabel 5.2 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Jenis
Kelamin………. 38
Tabel 5.3 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun
Angkatan Responden…...………. 39
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur………... 39
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Tingkat
Keparahan Miopia……… 40
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Pertama
Terjadinya Miopia……….………...…………. 41
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Riwayat
Terjadinya Peningkatan Keparahan Miopia……….………….. 42
Tabel 5.8 Distribusi Tingkat Perilaku/ Kebiasaan Responden Berdasarkan Jumlah
Kebiasaan Seharian yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya Miopia….. 43
Tabel 5.9 Distribusi Responden yang Memiliki Perilaku Seharian yang Berisiko Miopia dan yang Tidak Mempunyai Perilaku Seharian yang Berisiko
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Miopia……… 8
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup………..………. 55
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian………. 56
Lampiran 3. Lembar Penjelasan……… 59
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)……... 61
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian (Ethical Clearance)………. 62
Lampiran 6. Data Induk………. 63
Lampiran 7. Uji Validitas Kuesioner……… 67
Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kuesioner………. 70
Lampiran 9. Frekuensi dan Deskriptif Responden……… 72
Lampiran 10. Statistika Soal……… 74
Lampiran 11. Statistika Responden Miopia………. 78
Lampiran 12. Perbandingan Nilai Skor Responden Berdasarkan Perilaku yang Berisiko Miopia dengan Kejadian Miopia……… 82
ABSTRAK
Latar belakang: Miopia atau rabun jauh dapat disebabkan oleh pelbagai faktor
antaranya faktor kebiasaan. Miopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang dijangkakan paling umum dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i karena pada usia persekolahan seseorang itu lebih cenderung untuk melakukan pekerjaan dekat dengan lebih kerap.
Tujuan: Mengetahui bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan
miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
Metode: Penelitian ini menggunaan teknik Proporsive Sampling dimana populasi
sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia. Hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 (7,12 %) orang mahasiswa dijadikan responden dalam penelitian ini.
Hasil: Responden terdiri dari 42,7 % laki-laki dan 57,3 % responden perempuan.
Miopia lebih sering dijumpai pada jenis kelamin perempuan (52,7% dari keseluruhan responden perempuan) berbanding responden laki-laki (46,3 % dari keseluruhan responden laki-laki). Responden miopia yang mempunyai tingkat keparahan miopia ringan mempunyai persentase tertinggi yaitu 72,9 % (35 dari 48 responden miopia). Juga didapatkan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 93,7 % dan didapatkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia secara perlahan mempunyai persentase tertinggi yaitu 81,2 % di kalangan responden miopia.
Kesimpulan: Berdasarkan Fisher’s Exact Test dengan menggunakan nilai
pembatasan (α = 0,10), hasil penelitian ini menunjukkan tiada terdapat pengaruh yang signifikan pada kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
Saran: Peneliti lain diharap dapat meneruskan penelitian ini dengan menambah
jumlah sampel meliputi anak di bawah usia persekolahan, anak dalam usia persekolahan, golongan usia diatas 40 dan 60 tahun. Peneliti lain juga dapat menambah variabel-variabel lain seperti faktor genetik, penyakit, penggunaan obat, dan sebagainya.
ABSTRACT
Background: Myopia or nearsightedness may be caused by various factors including
habit factor. Myopia is a refractive disorder of the eye are most common founds in younger age groups, including students and the university students because at the age of schooling a person is more likely to do close work with more often.
Objective: To know how the relationship between habits during seeing something
with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.
Methods: This technique uses proporsive sampling where the sample population was
taken from the sample population who had previously been known characteristics or properties. Traits that are intended student group that myopia and non myopia. The result of calculation to determine the required minimum number of respondents with 90% confidence interval fulfilled as much as 96 (7.12%) respondents in this study.
Results: The respondents consist of 42.7% men and 57.3% female respondents.
Myopia is more often found in the female sex (52.7% of the total female respondents) compared to male respondents (46.3% of total male respondents). Respondents who have myopia severity of mild myopia have the highest percentage, 72.9% (35 of 48 myopic respondents). Also obtained the first occurrence of myopia at the age between 5-20 years had the highest percentage, 93.7% and obtained a history of gradually increasing severity of myopia has the highest percentage, 81.2% among respondents myopia.
Conclusion: Based on Fisher's Exact Test using restriction value (α = 0.10), the
results of this study indicate there is no relationship between habits during seeing something with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.
Recommendation: Other researchers are encouraged to continue this research by
increasing the number of samples included children under the age of schooling, children in school age, the age group above 40 and 60 years. Other researchers can also add other variables such as genetic factors, diseases, medications, and so forth.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penglihatan merupakan salah satu dari panca indera kita selain pendengaran,
penciuman, sentuhan, dan pengecapan. Penglihatan sangat penting dalam kehidupan
manusia, tanpa penglihatan manusia akan mengalami kesulitan dan tidak dapat
menikmati kehidupannya dengan sempurna.
Sepanjang tempoh kehidupan manusia, ternyata kebanyakan manusia
menderita penyakit dan/ atau kelainan pada organ penglihatannya setidaknya sekali
sepanjang hidupnya. Penyakit-penyakit dan kelainan-kelainan yang melibatkan
sistem penglihatan sangat banyak sehingga dapat dikelompokkan secara umum
kepada beberapa kelompok.
Penyakit-penyakit dan kelainan-kelainan mata dapat dibagi kepada beberapa
kelompok seperti mata merah dengan visus normal, mata merah dengan visus
menurun, mata tenang dengan visus menurun perlahan, mata tenang dengan visus
menurun mendadak, trauma pada mata, penyakit kelopak mata, kelainan refraksi, dan
tumor pada mata (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001).
Dari sekian banyaknya penyakit mata, ternyata kelainan refraksi pada mata
merupakan salah satu kelainan mata yang sangat umum dijumpai di seluruh dunia.
Kelainan refraksi pada mata pula terdiri daripada beberapa jenis seperti presbiopia,
miopia, hiperopia, hiperopia laten, dan astigmatisme (WHO, 2003).
Di antara jenis-jenis kelainan refraksi pada mata, miopia atau dikenali sebagai
dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i (American
Optometric Association ®, 2010).
Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan miopia (rabun jauh) pada
diri seseorang diantaranya adanya hubungan keluarga (genetik), asupan nutrisi yang
tidak adekuat, dan habituasi (kebiasaan) seseorang dalam menggunakan organ
penglihatannya (George, 2010).
Dari riset-riset yang dilakukan sebelumnya di seluruh dunia termasuk di
Amerika Serikat, Singapura, China, dan Taiwan menunjukkan bahwa kebanyakan
golongan usia muda seperti siswa/i dan mahasiswa/i menderita miopia dikarenakan
oleh faktor lingkungan seperti habituasi/ kebiasaan disamping terdapatnya
faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang itu menderita miopia seperti
faktor genetik.
Oleh itu, penelitian ini dirasakan penting dilakukan pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan tahun 2007-2009 untuk
menilai ada tidaknya hubungan yang bermakna di antara faktor kebiasaan semasa
melihat dengan miopia pada Mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, secara garis besar dapat dirumuskan satu
masalah:
1. Bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini adalah:
1. Mencari bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan
miopia pada mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui jenis kelamin yang paling banyak menderita miopia pada
mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
2. Untuk mengetahui tingkat keparahan miopia yang paling banyak dijumpai
pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita miopia.
3. Untuk mengetahui kejadian pertama miopia yang paling banyak dijumpai
pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita miopia.
4. Untuk mengetahui tingkat peningkatan keparahan miopia yang paling banyak
dijumpai pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita
miopia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada responden,
masyarakat, instansi kesehatan, pemerintah, penelitian, dan peneliti.
1.4.1 Manfaat Kepada Responden dan Masyarakat
langkah pencegahan miopia serta langkah-langkah untuk mengelakkan
peningkatan keparahan miopia.
2. Menunjukkan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara miopia dengan
kebiasaan yang dapat mempengaruhinya.
1.4.2 Manfaat Kepada Instansi Kesehatan dan Pemerintah
1. Menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan promosi terhadap pentingnya
melakukan mencegah miopia melalui perilaku terutama dalam usaha
pencegahan miopia.
1.4.3 Manfaat Kepada Penelitian
1. Menjadi dasar untuk penelitian yang berikutnya agar lebih baik.
1.4.4 Manfaat Kepada Peneliti
1. Memberikan pengetahuan tentang kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya miopia, langkah pencegahan miopia, dan langkah yang perlu
diambil agar tingkat miopia yang dideritai kini tidak menjadi semakin parah.
2. Membiasakan diri dalam melakukan penelitian, dan menulis karya tulis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Habituasi 2.1.1 Definisi
Istilah habituasi atau kebiasaan sering digunakan di kalangan masyarakat untuk
menunjukkan perilaku yang sering dilakukan oleh seseorang. Istilah habituasi ini
sering diberi definisi oleh banyak pihak. Namun, menurut James W. (2009), seorang
psikolog atau ahli psikologi di dalam bukunya, Biological Psychology, menulis
bahwa habituasi merupakan penurunan respon/ tanggapan terhadap rangsangan/
stimulus yang diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain
dari rangsangan yang diberikan.
Sedangkan menurut Ganong W. (2006) pula, habituasi merupakan pengurangan
respon dari respon sebelumnya yang ditampilkan pada saat tidak ada diberikan
ganjaran atau hukuman setelah rangsangan diberikan.
Misalnya, jika diberikan makanan yang pedas pada seseorang, pada awalnya
seseorang itu tidak dapat menahan pedas yang dirasakannya. Jika stimulus diberikan
berulang-ulang tanpa diikuti pemberian hadiah atau hukuman setelah diberikan
stimulus (pedas), lama kelamaan rasa pedas yang dirasakan oleh seseorang itu akan
semakin berkurang dan akhirnya tidak terasa pedas sama sekali apabila tahap
kepedasan (stimulus) yang sama diberikan seperti sebelumnya.
Kurangnya tanggapan (rasa pedas) ini tidak berasal dari hasil kelelahan atau pun
menanggapi rangsangan/stimulus walaupun stimulus tersebut tidak diberikan selama
beberapa minggu atau bulan sejak stimulus terakhir diberikan.
2.1.2 Mekanisme Terjadinya Habituasi
Menurut Ganong W.F. juga, apabila sesuatu rangsangan fisik atau kimia diberikan
pada hujung presenaptik yang berperan dalam ingatan tanpa merangsang ujung
presenaptik yang berperan dalam sistem pensensitisasi (ganjaran atau hukuman),
didapati sinyal yang dihantar begitu besar untuk rangsangan kali pertama. Namun
apabila rangsangan yang sama diberikan secara berterusan pada hujung presenaptik
yang sama (presinaptik yang berperan dalam ingatan), didapati transmisi sinyal
semakin berkurang sehingga pada satu tahap transmisi sinyal hampir berhenti.
Habituasi terjadi apabila hal seperti ini terjadi.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Habituasi
Habituasi secara umumnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang di dalam
kegiatannya sehari-hari. Apabila kita menelusuri tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kebiasaan / habituasi, kita dapati ada pelbagai pendapat di kalangan
masyarakat termasuk pendapat dari kalangan ahli, guru, maupun dari tokoh agama
mengatakan bahwa kebiasaan seseorang itu dapat dipengaruhi melalui oleh beberapa
faktor seperti faktor agama/ kepercayaan, budaya, lingkungan, keluarga, rakan-rakan
2.1.4 Klasifikasi Habituasi Berdasarkan Akibat
Masyarakat juga sering membagikan kebiasaan kepada dua jenis kebiasaan
berdasarkan akibat yang dapat terjadi dari kebiasaan seseorang, yaitu kebiasaan yang
membawa kebaikan/ manfaat dan kebiasaan yang dapat merugikan seseorang.
Antara contoh kebiasaan yang merugikan adalah seperti kebiasaan merokok,
kebiasaan meminum minuman keras, dan kebiasaan melihat sesuatu benda dengan
jarak yang dekat pada waktu lebih 30-40 menit tanpa diselangi dengan istirahat
sehingga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Kebiasaan yang bersifat negatif
harus diubah meskipun dampaknya mungkin sedikit atau tidak berpengaruh sama
sekali terhadap kehidupan seseorang individu maupun terhadap masyarakat
sekitarnya.
2.1.5 Habituasi yang Dapat Meningkatkan Risiko Terjadinya Miopia
Seperti yang tertulis sebelumnya, selain faktor yang dapat menyebabkan miopia
(rabun jauh) pada diri seseorang seperti genetik, dan asupan nutrisi yang tidak
adekuat, habituasi (kebiasaan) seseorang dalam menggunakan organ penglihatannya
juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia.
Diantara kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia:
1. Menghabiskan banyak waktu untuk membaca (melihat dengan jarak
yang dekat) tanpa diselangi dengan istirahat setelah 30-40 menit
membaca.
2. Sering bekerja di hadapan komputer, atau
3. Sering melakukan pekerjaan lain di hadapan objek yang memiliki
Pada kebanyakan kasus, bekerja dengan menumpukan fokus terhadap sesuatu objek
pada jarak yang dekat seperti membaca, dan menggunakan komputer untuk waktu
yang lama (melebihi 30-40 menit) dapat menyebabkan miopia. Akomodasi yang
berlebihan terjadi karena upaya pemfokusan diperlukan untuk melakukan pekerjaan
yang melibatkan pemfokusan objek pada jarak yang dekat. Hal ini dapat
menghasilkan perpanjangan progresif dan ireversibel pada struktur mata.
2.2 Miopia 2.2.1 Definisi
Gambar 2.1: Miopia
Miopia merupakan salah satu dari kelainan refraksi. Kelainan refraksi terjadi
apabila mata tidak sanggup untuk memfokuskan imej tepat pada retina. Miopia
adalah kesulitan dalam melihat objek yang jauh dengan jelas. Ini terjadi apabila imej
dari objek yang terletak jauh terbentuk berada di hadapan retina dan bukan terletak
tepat pada retina. Seseorang yang mengalami miopia dapat melihat objek yang
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi miopia sangat bervariasi, ini karena prevalensi miopia tergantung kepada
beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan miopia seperti faktor usia, jenis
kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan pencapaian pendidikan
seseorang. Miopia biasanya dimulai di masa anak-anak.
Dari hasil penelitian dengan tidak menggunakan agen sikloplegik (agen yang dapat
melumpuhkan otot silia sehingga fokus terhadap objek dekat tidak akan terjadi) yang
telah dilakukan oleh ahli penelitian terdahulu, dijumpai beberapa derajat miopia dapat
terjadi pada sejumlah besar bayi. Miopia yang dimiliki bayi didapati cenderung
menurun sejalan dengan peningkatan usianya, dan sebagian besar bayi tersebut
mencapai penglihatan yang normal (emmetropia) setelah mencapai usia 2-3 tahun.
Selain daripada itu, didapati bayi-bayi prematur dapat memiliki prevalensi miopia
yang tinggi. Untuk anak-anak yang berusia 5 tahun, prevalensi miopia dengan
minimal 0,50 D memiliki prevalensi yang lebih rendah (< 5%) berbanding kelompok
usia yang lain. Penelitian secara kohort pada kelompok anak yang berada dalam usia
persekolahan dan remaja, di dapati prevalensi miopia mereka mencapai sehingga
20-25 persen pada usia pertengahan hingga akhir usia remaja.
Untuk negeri-negeri maju dan Amerika Serikat, didapati remaja di negeri-negeri
tersebut memiliki prevalensi miopia sekitar 25-35 persen. Manakala di beberapa
daerah di Asia mempunyai prevalensi miopia yang lebih tinggi seperti di Republik
China.
Prevalensi miopia pada populasi di atas usia 45 tahun di dapati agak menurun, yaitu
mencapai sekitar 20 persen dalam usia 65 tahun. Pada populasi di atas usia 70 tahun,
Berdasarkan jenis kelamin pula, beberapa penelitian menemukan perempuan
mempunyai prevalensi miopia yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.
Tingkat pendapatan dan pencapaian pendidikan mempunyai hubungan langsung
dengan peningkatan prevalensi miopia. Ini berarti, semakin tinggi tingkat pendapatan
dan pencapaian pendidikan, semakin tinggi prevalensi miopia.
Selain dari itu, jenis pekerjaan juga dapat memainkan peran dalam prevalensi
miopia. Dari penelitian terdahulu, didapati seseorang yang bekerja dengan pekerjaan
yang memerlukan untuk melihat objek dengan jarak yang dekat mempunyai
prevalensi miopia yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain.
2.2.3 Klasifikasi
Penyebab terjadinya miopia itu sangat banyak, dan kejadian miopia di dalam
populasi dunia sangat bervariasi dan dapat diklasifikasikan kepada beberapa
kelompok. Menurut pembahagian miopia yang dilakukan oleh American Optometric
Association (2006), miopia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tipe
klasifikasi miopia seperti:
1. Miopia Sederhana
Miopia sederhana dapat terjadi pada individu yang mempunyai kelainan pada
kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya, serta panjang aksial matanya.
Pengaruh kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada miopia sederhana:
Seseorang individu dapat menjadi miopia sederhana jika kekuatan optik kornea dan
Apabila ini terjadi, imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina
sehingga objek yang terletak jauh terlihat kabur walaupun panjang aksial matanya
normal/ seperti panjang aksial mata yang rata-rata.
Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai kekuatan optik kornea dan lensa
kristalinnya lebih besar dari kekuatan optik yang normal/ rata-rata, dapat menjadi
emmetropia (penglihatan normal) jika panjang aksial matanya lebih pendek dari
panjang aksial mata normal/ rata-rata dan cukup pendek untuk imej dari objek yang
terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya.
Pengaruh panjang aksial mata pada miopia sederhana:
Seseorang individu dapat menderita miopia sederhana jika panjang aksial mata
lebih panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata. Apabila ini terjadi,
imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina sehingga objek yang
terletak jauh terlihat kabur walaupun kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya
memiliki kekuatan yang normal/ seperti kekuatan rata-rata.
Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai panjang aksial matanya lebih
panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata, dapat menjadi emmetropia
(penglihatan normal) jika kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih lemah
dari kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada mata normal/ rata-rata dan cukup
lemah untuk imej dari objek yang terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya
walaupun panjang aksial matanya lebih panjang dari normal/ rata-rata.
Dari fenomena yang ditulis diatas, dapat dibuat kesimpulan bahwa panjang aksial
mata berhubungan secara terbalik dengan kekuatan optik kornea dan lensa kristalin
pada mata dengan penglihatan normal (emmetropia).
Dari sekian banyak jenis-jenis miopia, didapati miopia sederhana merupakan jenis
dengan kelainan refraksi kurang dari 0 D hingga -6 dioptri (D); dan kebanyakannya
kurang dari 0 D hingga -4 atau -5 D merupakan penderita miopia sederhana.
Astigmatisma dapat terjadi bersamaan pada miopia sederhana, misalnya:
1. Astigmatik miopik sederhana (simple myopic astigmatism): Kondisi di mana
sebahagian sinar cahaya yang masuk ke dalam mata ada yang dapat difokuskan
tepat pada retina sedangkan (emmetropik) dan ada sebahagian yang lain terbentuk
di hadapan retina (miopik).
2. Campuran miopik astigmatisme (compound myopic astigmatism): Kondisi
dimana semua sinar cahaya yang masuk hanya terlalu sedikit sahaja yang dapat
menyentuh retina, sedangkan yang lainnya berada dihadapan retina.
Di dalam kasus miopia, dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai miopia
anisometropik (anisomiopia) yaitu apabila derajat miopia satu mata tidak sama
dengan derajat miopia mata yang satu lagi.
Sedangkan anisometropia miopik sederhana (simple myopic anisometropia) dapat
terjadi apabilasatu mata adalah normal (emmetropik), manakala mata yang satu
lagi miopik.
Menurut American Optometric Association (1997), anisometropia mungkin tidak
membawa arti klinis yang signifikan selagi perbedaan antara derajat miopia kedua
3. Miopia Nokturnal
Miopia nokturnal adalah kondisi di mana seseorang itu mengalami rabun jauh hanya pada
kondisi lingkungan yang malap/ redup/ tidak terang, seperti pada malam hari.
Miopia dipercayai dapat disebabkan oleh akibat dilatasi pupil. Dilatasi pupil
merupakan refleks pupil ketika mata berada pada lingkungan gelap/ kurang intensitas
cahaya agar lebih banyak cahaya dapat masuk ke dalam mata, yang akhirnya dapat
menyebabkan rabun jauh disebabkan terjadinya penambahan penyimpangan cahaya
dalam mata. Berdasarkan kadar prevalensi, didapati orang muda mempunyai
prevalensi yang lebih banyak berbanding pada orang tua.
4. Pseudomiopia
Pseudomiopia terjadi akibat dari spasme silia atau stimulasi yang berlebihan
terhadap mekanisme akomodasi mata sehingga terjadinya peningkatan pada kekuatan
refraksi okular (mata). Keadaan seperti ini dinamakan pseudomiopia karena miopia
hanya muncul pada pasien apabila respons akomodsi yang tidak memadai terjadi.
5. Miopia Degeneratif
Miopia degeneratif atau miopia patologis adalah suatu kondisi di mana terjadinya
perubahan akibat kerusakan pada segmen posterior mata. Biasanya penderita miopia
degeneratif memiliki derajat miopia tahap tinggi (-6 D, -6,1 D dan seterusnya).
Fungsi visual yang abnormal seperti penurunan ketajaman visus/ visual atau
lapangan pandang mengalami perubahan abnormal dapat terjadi akibat daripada
kerusakan (degeneratif) pada segmen posterior mata. Gejala sisa (sequelae) yang
relatif umum terjadi pada miopia degeneratif adalah seperti perlepasan retina dan
6. Miopia didapat
Miopia didapat sering bersifat sementara dan dapat menjadi normal/ emmetropia.
Antara penyebab yang dapat menyebabkan miopia didapat adalah seperti terpaparnya
terhadap berbagai agen farmasi, kadar gula darah pada tahap tertentu, terjadinya
sklerosis pada inti lensa kristal, atau kondisi anomali yang lainnya.
2.2.4 Etiologi
Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia diduga berasal
dari faktor genetik dan faktor lingkungan. American Optometric Association (1997)
menulis etiologi yang diduga menyebabkan miopia berdasarkan jenis-jenis miopia:
Tabel 2.1: Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya
Jenis-jenis miopia Etiologi-etiologi
Miopia Sederhana Keturunan/ Warisan
Sering bekerja dengan melihat
sesuatu objek dengan jarak yang
dekat
Idiopatik
Miopia Nokturnal Akomodasi untuk fokus gelap pada
tahap yang signifikan
Pseudomiopia Kelainan akomodasi
Agen kolinergik agonis
Miopia Degeneratif Keturunan/ Warisan
Retinopati akibat prematuritas
Gangguan pada hantaran cahaya
melalui media okular
Idiopatik
Miopia Didapat Katarak nuclear akibat peningkatan
usia
Terpapar kepada sulfonamid dan
agen farmaseutikal yang lain
2.2.5 Faktor Risiko
Meskipun etiologi pasti miopia masih belum diketahui, namun terdapat beberapa
faktor risiko yang diduga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang itu mengalami
miopia.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan miopia antaranya adalah faktor genetik, jika
terdapat salah seorang dari orang tua atau keduanya menderita miopia, maka
kemungkinan anak untuk menderita miopia akan menjadi lebih tinggi.
Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi kejadian miopia pada diri seseorang,
semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi kemungkinan seseorang itu
sering bekerja dengan melihat sesuatu pada jarak yang dekat dapat meningkatkan
terjadinya miopia.
Selain dari faktor risiko di atas, seseorang yang tidak memakai cermin mata hitam
(sunglasses) ketika berada ditempat/ melihat sesuatu yang terang/ sangat terang dapat
meningkatkan risiko terjadinya miopia, selain faktor risiko yang lain seperti status
gizi, penyakit tertentu, kelainan genetik, dan seseorang yang lahir prematur.
2.2.6 Gejala dan Tanda
Seseorang yang miopia sering mengeluhkan gejala-gejala tertentu dan terdapat
tanda-tanda klinis yang dapat menunjukkan seseorang itu mengalami miopia.
Gejala miopia adalah seperti sering mengatakan bahwa dia nyeri kepala, matanya
kelelahan, mengecilkan bukaan kelopak mata untuk melihat sesuatu yang terletak
agak jauh seperti melihat tulisan di papan tulis, kelelahan mata saat mengemudi,
berolahraga, atau ketika melihat sesuatu yang jauhnya lebih dari beberapa meter/kaki.
Manakala tanda seseorang itu miopia adalah seseorang yang memiliki nilai
kekuatan visus kurang dari 6/6 atau 5/5 tergantung kartu snellen yang digunakan
untuk pemeriksaan.
2.2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis
Untuk mengetahui seseorang itu mendapat miopia, harus ditanyakan kepada pasien
berkaitan dengan gejala yang dihadapinya secara mendalam serta dikenal pasti ada
obat yang diambil pasien sebelumnya. Terdapat beberapa pengujian yang dapat
dilakukuan seperti dengan menggunakan phoropter dan retinoskop.
Beberapa prosedur dalam pengujian miopia bertujuan untuk mengukur fokus mata
terhadap cahaya dan untuk memperbaiki kekurangan visus/ penglihatan dengan
menentukan kekuatan lensa optik yang diperlukan.
Phoropter dan retinoskop
Phoropter dan retinoskop sering digunakan selama pemeriksaan mata yang
dilakukan secara menyeluruh untuk menentukan lensa yang memungkinkan
penglihatan kembali menjadi jelas.
Kartu Carta Snellen (Snellen’s Chart merupakan sebahagian dari alat yang
digunakan untuk mendiagnosis miopia dengan pasien disuruh untuk mengidentifikasi
huruf-huruf yang terdapat pada kartu tersebut. Di setiap baris terdapat
pecahan-pecahan tertentu seperti 20/24 dan sebagainya. Tujian tes ini adalah untuk mengukur
ketajaman visus.
Ketika tes dilakukan, pasien diminta untuk mengidentifikasi huruf-huruf bermula
dari baris yang paling atas dan diikuti dengan baris-baris huruf dibawahnya. Tes
dihentikan apabila pasien sudah tidak mampu mengidentifikasi sebagian besar dari
huruf-huruf yang terdapat pada sesuatu baris. Bacaan visus pasien adalah pecahan
yang terdapat pada baris yang terakhir dimana huruf pada baris tersebut dapat
diidentifikasi semuanya/ sebagian besarnya oleh pasien dengan tanpa menggunakan
bantuan sebarang alat maupun lensa kontak. Jarak antara pasien dan kartu tes adalah
5 atau 6 meter tergantung kepada kartu snellen yang digunakan, dan pasien
Seseorang dengan ketajaman visus 20/40 hanya dapat melihat sesuatu huruf/ objek
yang jaraknya 40 meter dari pasien apabila dia berada pada jarak 20 meter dari
huruf/objek tersebut. Normal jarak ketajaman visus adalah 20/20, namun kebanyakan
orang juga mempunyai ketajaman visus 20/15 (lebih baik dari visus normal).
Dengan menggunakan phoropter, di depan mata pasien akan diletakkan serangkaian
lensa dan dokter akan mengukur nilai fokus cahaya pasien dengan menggunakan
retinoskop yang dipegang oleh dokter. Selain dari cara manual tadi, dokter juga dapat
memilih untuk menggunakan mesin yang dapat mengevaluasi kekuatan fokus mata
pasien secara otomatis.
Setelah kekuatan fokus telah berhasil dievaluasi, daya kekuatan fokus yang telah
diditeksi oleh mesin akan disempurnakan oleh pasien, yaitu lensa yang
memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas akan ditentukan berdasarkan
respon pasien terhadap lensa yang diletakkan dihadapan matanya.
Dengan menggunakan pemeriksaan ini, tetes mata tidak perlu digunakan untuk
menentukan respon mata pasien pada kondisi normal. Tetes mata dapat digunakan
jika terdapat beberapa kesulitan ketika pemeriksaan penglihatan dilakukan, antaranya
jika pasien tidak dapat merespons secara verbal, atau jika terdapat kemungkinan
tersembunyinya beberapa kekuatan fokus mata. Tetes mata untuk kasus-kasus seperti
ini diberikan agar perubahan fokus mata dapat dielakkan untuk sementara waktu yaitu
pada saat uji coba dilakukan.
Informasi yang diperoleh dari tes ini, bersama dengan hasil tes lainnya, dapat
digunakan untuk menentukan seseorang pasien itu miopia atau tidak. Selain itu,
apapun kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoreksi agar penglihatan pasien
kembali jelas dapat ditentukan dengan menggunakan informasi ini, sehingga pilihan
2.2.8 Diagnosis banding
Dalam menegakkan diagnosis miopia, terdapat beberapa penyakit yang mempunyai
gejala dan tanda mirip seperti pada miopia. Maka, seseorang dokter harus berhati-hati
dalam menegakkan diagnosis karena jika diagnosisnya tidak benar, maka pengobatan
yang diberikan terhadap pasien tidak tepat dan seterusnya dapat merugikan pasien.
Antara penyakit-penyakit yang mirip dengan miopia seperti diplopia, dan degenerasi
makula (macular degeneration).
2.2.9 Penatalaksanaan
Pada masa ini, terdapat beberapa pilihan yang tersedia agar pasien miopia dapat
kembali melihat dengan jelas apabila melihat sesuatu yang jauh seperti orang normal.
Antara pilihan penatalaksanaan miopia adalah seperti pemakaian kacamata, lensa
kontak, ortokeratologi, laser dan prosedur operasi refraktif lainnya, serta terapi visus/
penglihatan untuk pasien yang mengalami miopia akibat stress penglihatan.
Pilihan utama untuk mengkoreksi miopia adalah kacamata dengan lensa sferis
negatif. Umumnya, diresepkan sebuah lensa tunggal agar pasien dapat memiliki
penglihatan yang jelas pada setiap jarak.
Namun, terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan pasien miopia perlu
menggunakan lensa bifokal atau lensa tambahan yang progresif, antaranya seperti
pada pasien yang usianya sekitar lebih dari 40 tahun, atau anak-anak, dan orang
dewasa yang miopia akibat stres kerja karena sering melihat sesuatu pada jarak dekat.
Untuk memungkinkan penglihatan yang jelas ketika melihat sesuatu yang jauh
dapat memberikan kekuatan yang berbeda atau kekuatan seluruh lensa yang
diperlukan oleh pasien.
Pada masa ini, selain alatan medis yang digunakan untuk memperbaiki penglihatan,
kacamata juga dapat digunakan untuk menunjukkan penampilan (fashion) seseorang
karena pada masa ini sudah tersedia pelbagai jenis lensa dan desain bingkai yang
berbeda dari segi ukuran, bentuk, warna dan bahan yang dapat dipilih oleh pasien dari
segala usia.
Lensa kontak dapat memberikan penglihatan yang lebih baik dan mungkin
memberikan visi yang lebih jelas dan lapangan pandang yang lebih luas berbanding
kacamata pada beberapa individu. Namun, lensa kontak perlu dilakukan pembersihan
dan perawatan rutin agar kesehatan mata dapat dijaga karena lensa kontak dipakai
langsung pada mata.
Terapi refraksi kornea atau juga dikenal sebagai ortokeratologi (Ortho-k) adalah
terapi yang melibatkan pemasangan dari serangkaian lensa kontak kaku agar kornea
yaitu permukaan luar depan mata dapat dibentuk kembali.
Jangka waktu pemakaian lensa kontak adalah terbatas, karena lensa kontak harus
dikeluarkan dari mata seperti pada malam hari. Penglihatan yang jelas yang bersifat
sementara untuk sebahagian besar kegiatan sehari-hari pada pasien miopia tahap
moderate mungkin dapat diperolehi apabila menggunakan lensa kontak ini.
Dengan menggunakan sinar cahaya laser juga dapat membentuk kembali kornea
dan seterusnya dapat membaiki miopia. Keratectomy photorefractive (PRK) dan laser
keratomileusis in situ (LASIK) merupakan dua prosedur yang umum dilakukan.
Lapisan tipis jaringan dari permukaan kornea dihilangkan dengan menggunakan
laser dalam prosedur PRK bertujuan untuk mengubah bentuk jaringan tipis dari
jumlah pembuangan jaringan tipis ini terdapat batas amannya. Apabila sebagian
jaringan kornea ini dibuang, maka sejumlah kasus miopia dapat diatasi.
PRK membuang lapisan tipis dari permukaan kornea sedangkan LASIK tidak.
LASIK membuang sebagian lapisan jaringan dari lapisan dalamnya. Untuk
melakukan hal ini, bagian dari permukaan luar kornea dipotong dan dilipat agar
jaringan lapisan dalam terdedah. Kemudian sebagian jaringan lapisan dalam yang
diperlukan untuk membentuk kembali kornea dibuang pada jumlah yang tepat dengan
menggunakan laser, dan kemudian jaringan luar ditutup dan ditempatkan semula
dalam posisi untuk menyembuhkan. Jumlah miopia yang dapat dikoreksi LASIK
dibatasi oleh jumlah jaringan kornea yang dapat dihapus dengan cara yang aman.
Pada masa ini, orang yang sangat rabun dekat atau korneanya terlalu tipis sehingga
tidak memungkinkan penggunaan prosedur laser sudah memiliki pilihan lain selain
untuk memperbaiki rabun jauhnya. Dengan melakukan prosedur penanaman lensa
kecil di dalam mata mereka, rabun jauh yang mereka miliki mungkin dapat dikoreksi.
Lensa intraokular ini dapat memberikan koreksi optik yang diperlukan secara
langsung di dalam mata dan lensa intraokular ini terlihat seperti lensa kontak kecil.
Dari segi pengobatan secara farmakologi, berdasarkan laporan dari dua hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Association for Research in Vision and
Ophthalmology menunjukkan bahawa pirenzepin berpotensi dalam mengurangkan
perkembangan miopia pada anak-anak. Pirenzepin (PIR), merupakan satu zat yang
relatif selektif M1-muskarinik antagonis, zat tersebut dapat mengurangkan
perkembangan miopia pada anak karena pirenzepin dapat mengawal perpanjangan
aksis (axis) bola mata. Dosis yang didapati aman untuk anak terhadap gel ophtalmik
2% (2% ophthalmic gel) adalah penggunaan dengan 2 kali/ hari selama 28 hari.
Selain itu, menurut laporan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh the Atropine
in the Treatment Of Myopia (ATOM) menunjukkan bukti yang jelas bahwa
setiap malam) dapat mengawal perpanjangan aksis (axis) bola mata sehingga
perkembangan miopia pada anak dapat dikurangkan.
Selain dari terapi yang ditulis sebelumnya, terdapat suatu pilihan terapi lain yang
dapat dipilih bagi orang-orang yang miopia yang disebabkan oleh kejangnya otot-otot
yang mengendalikan fokus mata yaitu terapi penglihatan (vision therapy).
Vision therapy merupakan terapi perilaku. Antara yang dapat dilakukan pasien dari
segi terapi perilaku adalah dengan melakukan berbagai senam mata dan mengelakkan
dari terjadinya kelelahan mata yang berpanjangan agar pasien dapat meningkatkan
kemampuan fokus mata yang lemah dan mengembalikan penglihatan yang jelas.
Penjagaan gizi juga memberikan peranan dalam mengatasi miopia. Semua anak
miopia harus diberikan makanan tambahan berupa kalsium dan vitamin D yang boleh
didapati dari beberapa jenis makanan seperti produk susu, sayuran hijau, ikan dan
telur. Sebuah diet seimbang akan memperlambatkan kenaikan tahap miopia meskipun
tidak mampu menghentikan peningkatan tingkat miopia.
Berbagai pilihan yang dapat diambil oleh pasien miopia untuk memperbaiki
masalah penglihatan mereka dan setiap pilihan itu tergantung kepada kondisi dan
penyebab miopianya.
2.2.10 Pencegahan
Terdapat pelbagai cara yang dapat dilakukan untuk mencegah miopia sejak dari
anak-anak. Selain faktor keturunan yang tidak dapat diubah, setidaknya ada dua
faktor miopia lain yang dapat dimodifikasi yaitu faktor lingkungan dan faktor gizi.
Selain dari mencegah faktor-faktor risiko miopia, faktor lingkungan seperti stress
menanggalkan kacamata dan lensa kontak atau menggunakan kacamata baca ketika
membaca tanpa menggunakan lensa kontak.
Selain faktor lingkungan, penjagaan gizi juga dapat membantu mencegah miopia
karena mata memiliki struktur kolagen, dan mengkonsumsi zat-zat yang dapat
memperkuat kolagen juga mungkin dapat membantu mencegah bola mata menjadi
memanjang. Zat-zat yang dapat digunakan untuk mencegah miopia adalah seperti
kalsium, magnesium, boron, silika, selenium, mangan dan vitamin D, vitamin C dan
bioflavonoid.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Daubs (1984), rendahnya tingkat
kalsium, fluorida dan selenium dapat meningkatkan risiko miopia progresif. Menurut
Politzer(1977) pula, perkembangan miopia pada anak-anak dapat diperlambat dengan
vitamin E. Selain itu, konsumsi rendah protein, lemak, vitamin B1, B2 dan C, fosfor,
besi, dan kolesterol, serta kurang paparan sinar matahari, menurut Edwards (1996)
kekurangan zat-zat ini juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan miopia
pada anak-anak.
Selain daripada penjagaan gizi anak, ibu-ibu disarankan agar mengambil beberapa
vitamin/ mineral yang dapat mencegah miopia selama beberapa bulan sebelum
terjadinya kehamilan karena diet ibu sebelum dan selama kehamilan juga mungkin
memainkan peran dalam kekuatan struktural mata si anak.
2.2.11 Komplikasi
Terdapat banyak komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miopia. Diantara
dapat terjadi dalam kehidupan seorang dewasa setelah menderita miopia sepenuhnya
sejak bertahun-tahun lamanya.
Selain itu, perdarahan dan thrombosis khoroid dapat terjadi. Perdarahan berulang
mungkin saja dapat terjadi. Apabila perdarahan di daerah tengah yaitu tempat sering
terjadinya perdarahan berulang berlaku, pembentukan atau perluasan daerah atropik
bekas luka dapat terjadi. Efek kumulatif dari peristiwa ini sering membawa bencana
kepada penglihatan pasien walaupun daerah atropik itu kecil dan tunggal. Apabila
perdarahan besar terjadi, semakin tragislah efek yang terjadi kepada pasien.
Selain dari thrombosis dan perdarahan koroid, kekeruhan vitreous dapat juga
terjadi. Kekeruhan vitreous sering terjadi pada beberapa derajat miopia tinggi.
Kekeruhan vitreous dapat meningkat secara tiba-tiba dan komplikasi serius dapat
terjadi akibat kejadian seperti ini. Perlu juga diketahui bahwa kekeruhan vitreous
kadang-kadang dapat disertai dengan pengisian darah di dalamnya.
Perlepasan retina merupakan salah satu komplikasi yang paling umum dari miopia,
dan inilah komplikasi yang paling ditakuti terjadi. Sir Stewart Duke-Elder
menyatakan bahwa 5% dari miopia dapat terjadi perlepasan retina. Glaukoma
sederhana juga boleh terjadi, dan ini adalah komplikasi lebih lanjut dari miopia
tinggi. Glaukoma sederhana terjadi dalam derajat yang lebih tinggi setelah
pertengahan usia.
Sebenarnya risiko kebutaan di usia tua pada pasien-pasien ini sangat sedikit. Perlu
disadari bahwa masalah sebenar mereka dimulai pada masa anak-anak yaitu ketika
kali pertama mereka dipakaikan dengan sepasang lensa korektif (negatif) oleh
seseorang yang mungkin tidak peduli tentang tragis yang akan terjadi akibat dampak
jangka panjang pemberian lensa korektif tersebut. Setiap kali lensa pasien diperkuat,
semakin buruk keadaan mata pasien. Kondisi ini sering tidak disadari pasien, jarang
Apabila tingkat keparahan miopia semakin meningkat dan sudah terlambat untuk
melakukan pencegahan, pasien sering dijumpai di kamar bedah untuk memperbaiki
penglihatannya. Hal ini sering merupakan akibat dari kesalahan orang lain yang
mencoba untuk terus menambah pemburukan pada retina pasien. Akhirnya pasien
telah menjadi korban seumur hidupnya akibat ketidaktahuannya dan menjadi korban
eksploitasi dari orang yang tidak peduli tentang tragis yang akan menimpa dirinya
(diri pasien).
2.2.12 Prognosis dan Tindak lanjutan (Follow up)
Prognosis miopia sederhana adalah sangat baik. Pasien miopia sederhana yang telah
dikoreksi miopianya selalunya dapat melihat objek jauh dengan lebih baik. Prognosis
bagi pasien miopia, astimatigma, anisometropia, dan akomodasi pasien serta fungsi
vergence (gerakan satu mata dalam kaitannya dengan mata yang lain) berdasarkan
derajat keparahannya, mungkin atau mungkin tidak melihat dengan lebih baik apabila
melihat benda dekat selepas koreksi dilakukan koreksi.
Setiap tahun sekali, anak-anak dengan miopia sederhana harus diperiksa. Namun,
tindak lanjut yang mungkin sesuai untuk anak-anak yang mengalami perkembangan
miopia tingkat tinggi secara luar biasa adalah setiap 6 bulan. Setidaknya pemeriksaan
harus dilakukan setiap 2 tahun bagi orang dewasa dengan miopia sederhana. Bagi
pasien yang memakai lensa kontak, agar evaluasi lensa cocok dan fisiologi kornea
dapat dilakukan, umumnya mereka lebih sering memerlukan tindak lanjut. Pasien
miopia sederhana dari tingkat rendah yang dijangkakan miopianya akan meningkat
(misalnya, anak muda miopia dengan -0,50 -0,75 D), pada interval sekitar 6 bulan
tindak lanjut dapat dijadwalkan apabila pasien tidak diberikan resep.
Untuk menentukan apakah koreksi telah menghilangkan gejala penglihatan lemah
koreksi untuk melihat jelas pada malam hari, pasien dengan miopia malam harus
dievaluasi 3-4 minggu. Kemudian pasien harus diperiksa setiap tahun setelah gejala
miopia mereda. Prognosis miopia pada malam hari adalah baik selepas dikoreksi.
Pseudomiopia biasanya dapat diobati dengan sukses, namun pasien mungkin
memerlukan beberapa minggu untuk sembuh karena perjalanan pengobatan mungkin
lambat. Sebelum komodatif berlebihan dan gejala dieliminasi, tindak lanjut harus
dilakukan pada interval yang sering (misalnya, setiap 1-4 minggu). Pemeriksaan
harus dilakukan secara tahunan setelah akomodasi telah membaik (relax).
Pada pasien miopia degeneratif, prognosisnya bervariasi dengan perubahan yang
terjadi pada retina dan mata. Tergantung kepada sifat dan keparahan perubahan retina
dan mata, pemeriksaan harus dilakukan setiap tahun atau lebih sering. Aspek penting
dalam tindak lanjut adalah seperti pemeriksaan retina secara regular, bidang
pengujian visual, dan pengukuran tekanan intraokular. Dalam kasus miopia yang
didapat, prognosisnya baik dan kekerapan tindak lanjut yang direkomendasikan
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, maka
kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 3.1: Kerangka Konsep Penelitian Faktor kebiasaan yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya miopia:
1. Melihat pada keadaan cahaya yang suram/ itensitas cahaya tidak memadai.
2. Melihat pada keadaan cahaya yang terlalu terang.
3. Melihat sesuatu dengan jarak yang terlalu dekat.
4. Melakukan pekerjaan dekat (close work) melebihi 30-40 menit tanpa diselangi rehat.
5. Sering melihat objek yang terletak lebih tinggi dari tingkat mata.
3.2. Definisi Operasional Definisi variabel:
1. Habituasi/ kebiasaan adalah penurunan respon terhadap rangsangan yang
diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan
yang diberikan (James W., 2009). Habituasi juga bermaksud terjadinya pengurangan
respon dari respon sebelumnya terjadi pada saat tidak diberikan sebarang bentuk
ganjaran atau hukuman sesudah pemberian sesuatu rangsangan itu dilakukan (Ganong
W., 2006).
Kebiasaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kebiasaan semasa melihat yang
dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia.
2. Miopia adalah kesulitan dalam melihat objek yang jauh dengan jelas. Seseorang
yang mengalami miopia dapat melihat objek yang terletak dekat dengan jelas tetapi
kabur apabila melihat objek yang terletak jauh.
Jenis miopia yang ingin dinilai dalam penelitia ini adalah miopia yang tidak disertai
kelainan refraksi mata lainnya seperti astigmatisme dan sebagainya.
3. Mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009 adalah semua mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang masih aktif dalam kegiatan akademik di
Fakultas Kedokteran mulai dari tahun 2007 (bagi mahasiswa FK-USU tahun
angkatan 2007), 2008 (bagi mahasiswa FK-USU tahun angkatan 2008), atau 2009
(bagi mahasiswa FK-USU tahun angkatan 2009).
Setiap tahun angkatan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden
16 orang dari 32 orang responden tadi diambil dari responden yang miopia murni,
manakala 16 orang lagi diambil dari responden yang tidak mengalami miopia.
Meskipun penelitian ini meneliti responden yang miopia, akan tetapi sangat
diperlukan juga responden yang tidak mengalami miopia karena kelompok responden
yang tidak miopia akan berfungsi sebagai kelompok kontrol dan akan menjadi
kelompok pembanding kepada kelompok penelitian.
Alat Pengukuran:
Alat pengukuran untuk megukur seberapa banyak jumlah kebiasaan semasa melihat
yang dapat meningkatkan risiko miopia yang dilakukan oleh seseorang responden
adalah dengan menggunakan sebuah lembar soal yang telah dikonsultasi kepada
dokter spesialis mata di RSUP H Adam Malik, Medan.
Sebelum lembar soal digunakan untuk penelitian, lembar soal ini terlebih dahulu
diuji validitas dan realibilitasnya dengan menggunakan program statistik berkomputer
yaitu dengan menggunakan program SPSS for windows versi 17.0
Hasil uji validitas dan realibilitas lembar soal penelitian ini dapat dilihat di bagian
lampiran.
Cara pengukuran:
Jika responden itu mempunyai kebiasaan semasa melihat yang berisiko miopia
seperti yang terdapat pada sesuatu soalan, nilai 1 akan diberikan untuk soalan tersebut
Untuk mengetahui seseorang itu miopia murni (hanya memiliki kelainan refraksi
miopia dan tidak disertai kelainan refraksi lainnya) atau tidak adalah dengan
menanyakan kepada responden “jika dia seorang yang rabun jauh (miopia), adakah
dia juga memiliki kelainan refraksi lainnya seperti astigmatisme dan sebagainya?”
Jika seseorang responden miopia yang memiliki kelainan refraksi mata yang lain,
maka responden ini tidak akan diambil datanya meskipun datanya lengkap dan
diganti dengan responden lain yang mengalami miopia murni.
Cara untuk menentukan tahun angkatan responden adalah dengan meminta
responden menulis Nomor Induk Mahasiswanya (NIM).
Hasil Pengukuran:
Setelah responden menjawab setiap soalan, jumlah total skor akan dihitung.
Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh oleh responden berarti semakin banyak
kebiasaan semasa melihat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia yang
dimiliki oleh responden tersebut.
Dari jumlah skor total yang diperoleh, seseorang responden itu dikategorikan ke
dalam salah satu dari 3 kategori berikut:
1. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 0-3.
2. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 3-6.
3. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 7-9.
Data dari lembar soal ini akan diambil dan akan dipresentasikan secara deskriptif
Data yang bersifat deskriptif (soal 1-5) akan dianalisa dengan statistic frekuensi dan
distribusi, manakala data yang bersifat analitik akan dianalisa dengan tabel 2x2, dan
uji hipotesa.
3.3. Hipotesis
Terdapat dua hipotesis yang dapat diperoleh:
1. Ho: Terdapat hubungan antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan
miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.
2. Ha: Tiada hubungan antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian survei, dimana penelitian ini dilakukan terhadap
populasi sampel. Populasi sampel ini dianggap dapat mewakili keseluruhan
populasinya dan hasil dari penelitian ini digeneralisasikan sebagai hasil keseluruhan
populasi tersebut.
Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian servei yang bersifat
deskriptif-analitik karena penelitian ini akan menggambarkan gambaran miopia secara umum di
kalangan mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009. Selain itu penelitian ini
juga akan menganalisa data untuk menentukan ada tidaknya hubungan yang
bermakna di antara faktor habituasi/kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada
mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009.
Pendekatan lain yang akan digunakan pada penelitian ini adalah studi retrospektif,
dimana penelitian dilakukan bermula dari efek yang sudah terjadi pada masa ini
(miopia) kemudian dicari penyebab/ variabel-variabel yang mempengaruhi efek
tersebut yang mungkin wujud pada saat sebelumnya terjadinya efek yang sudah
terjadi pada masa ini.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi dilakukan penelitian ini adalah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
2010, sebanyak 34 orang responden sebagai kelompok percobaan telah diambil untuk
menjawab lembar kuesioner. Data dari 34 orang responden ini kemudian diproses dan
diuji dengan tes validitas dan reliabilitas dengan menggunakan program berkomputer
SPSS for windows versi 17.0
Dari hasil uji validitas dan reliabilitas, sebanyak 3 soal yang terdapat dalam lembar
soal yang asli adalah tidak valid. Setelah soal yang tidak valid ini dibuang dari lembar
soal, lembar soal ini menjalani uji berikutnya yaitu uji reliabilitas. Dari uji reliabilitas,
didapati semua soalan terdapat dalam lembar soal yang telah melalui proses
perbaikan adalah valid adalah reliabel.
Setelah semua soal telah dipastikan valid dan reliabel, pada bulan September 2010,
penelitian diteruskan dengan memberikan lembar soal yang baru kepada para
responden sehingga jumlah responden minimum tercapai.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini, populasi yang menjadi target penelitian adalah mahasiswa FK
USU tahun angkatan 2007-2009 yang mengalami miopia murni dan juga yang tidak
mengalami miopia sama sekali.
Penelitian ini menggunakan teknik Proporsive Sampling dimana populasi sampel
diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau
sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan
Terdapat kriteria yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu:
A. Kriteria inklusi:
1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK
USU) tahun angkatan 2007-2009.
B. Kriteria eksklusi:
1. Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 yang memiliki
miopia campuran (miopia yang disertai dengan kelainan refraksi
lainnya seperti astigmatisme).
2. Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 yang menolak untuk
dijadikan responden penelitian atau yang tidak menjawab lembar soal
dengan sempurna.
Untuk menetukan jumlah sampel yang mencukupi (populasi kurang dari
10 000), formula yang digunakan adalah seperti berikut:
n = N / [1 + N (d2)]
Keterangan:
n = Besar sampel
N = Besar Populasi
Populasi penelitian:
Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007: 456 orang
Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2008: 428 orang
Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2009: 465 orang
Jumlah keseluruhan populasi penelitian: 1349 orang
(Sumber: Subbag Pendidikan FK USU)
Maka jumlah minimum yang perlu diambil sebagai sampel:
n = 1349 / [1 + 1349(0.12)] = 93.0987
Maka sampel minimum digenapkan menjadi 96 orang. Dari 96 orang ini,
48 orang akan diambil dari orang yang mengalami rabun jauh murni
sebagai kelompok penelitian/ eksperimental, dan 48 orang lagi diambil
dari orang yang tidak mengalami rabun jauh sebagai kelompok kontrol.
4.4 Metode Pengumpulan Data:
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan lembar soal kepada
populasi sampel secara acak. Walaupun begitu kelompok populasi sampel akan
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok miopia (hanya miopia murni- tidak
termasuk mahasiswa miopia yang disertai oleh kelainan refraksi yang lain) sebagai
kelompok studi dan kelompok tidak miopia sebagai kelompok kontrol. Lembar soal
(seperti yang terlampir di dalam lampiran) yang telah diresponsi kemudiannya di
cross-check oleh peneliti sebelum lembar soal dikumpulkan semula untuk dilakukan
4.5 Metode Analisis Data:
Data dari setiap lembar soal yang telah diresponsi akan dicatat dan dianalisa dengan
menggunakan program statistik berkomputer yaitu dengan menggunakan program
SPSS for windows versi 17.0
Data bersifat diskriptif (soal 1-5) akan dianalisa dengan statistik frekuensi dan
distribusi, manakala data yang bersifat analitik akan dianalisa dengan tabel 2x2, dan
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran USU yang terletak di Jalan
Dr. T. Mansur 5.Kampus USU. Medan 20155Medan. Fakultas Kedokteran ini
merupakan sebuah Perguruan Tinggi Kedokteran negeri untuk wilayah Sumatera
Utara dan juga berperan sebagai pusat pembelajaran dan kegiatan pendidikan bagi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Fakultas kedokteran ini
telah ditubuhkan secara resminya pada tanggal 20 Agustus1952 dan merupakan
Fakultas Kedokteran yang tertua di kepulauan Sumatera.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini terdiri dari sebagian mahasiswa angkatan
tahun 2007-2009 Fakultas Kedokteran USU. Penelitian ini telah dilakukan dengan
menggunakan teknik Proporsive Sampling dimana populasi sampel diambil dari
populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang
dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia dan dari
hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan
dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 orang mahasiswa dijadikan
responden dalam penelitian ini.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dilakukan penelitian ini
adalah untuk menilai ada tidaknya hubungan antara perilaku/ kebiasaan seseorang
kontrol, manakala kelompok responden yang miopia bertindak sebagai kelompok
penelitian. Dalam penelitian ini data responden yang menderita dan tidak menderita
miopia diambil dari lembar soal (angket) yang telah diisi lengkap oleh para
responden.
Khusus untuk responden yang mengalami miopia, responden-responden ini
diamati dalam beberapa gambaran karakteristik yaitu kejadian pertama responden itu
mengalami miopia, tingkat keparahan miopia, dan ada tidak terjadinya peningkatan
tahap miopia yang dihadapi oleh responden.
Manakala bagi keseluruhan responden yang ada dapat diperoleh gambaran
mengenai karakteristiknya meliputi: jenis kelamin responden, usia responden, dan
tahun angkatan seseorang responden yang secara tidak langsung dapat
menggambarkan tingkat pembelajaran yang telah dilalui oleh responden tersebut di
Fakultas Kedokteran USU.
Pada penelitian ini peneliti hanya ingin melihat gambaran perilaku responden
tentang penggunaan mata semasa melakukan aktivitas seharian yang terkait dengan
sistem penglihatan, peneliti juga tidak membandingkan perilaku responden
berdasarkan jenis kelamin. Maka jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang
5.1.2.1. Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia
No. Miopia atau
Tabel 5.1 menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, jumlah
responden yang miopia dan tidak miopia adalah sama. Dalam penelitian ini jumlah
responden miopia dan tidak miopia di batasi.
5.1.2.2. Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia
Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan
Hasil penelitian menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, didapati
jumlah responden jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu seramai 55 orang
responden (57,3 %) dibandingkan jumlah responden jenis kelamin laki-laki yaitu
seramai 41 orang responden (42,7 %) .
Hasil penelitian menunjukkan juga dari 41 responden jenis kelamin laki-laki,
responden yang tidak mengalami miopia lebih tinggi yaitu seramai 22 orang (53,7
%), manakala responden yang mengalami miopia seramai 19 orang (46,3 %).
Hail penelitian juga menunjukkan bahwa dari 55 responden jenis kelamin perempuan,
responden yang mengalami miopia lebih tinggi yaitu seramai 29 orang (52,7 %),
manakala responden yang tidak mengalami miopia seramai 26 orang (47,3 %).
5.1.2.3. Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun Angkatan Respoden
Tabel 5.3 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun
Tabel 5.3 menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, jumlah
responden yang miopia dan tidak miopia dibagi setiap angkatan adalah sama. Dalam
penelitian ini jumlah responden miopia dan tidak miopia bagi setiap angkatan adalah di
batasi.
5.1.2.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Umur sampel yang paling muda adalah 18 tahun dan sampel yang tertua
adalah 23 tahun. Jumlah responden yang paling banyak didapatkan pada kelompok
umur 19-20 tahun yaitu seramai 49 orang (51,0 %) responden. Manakala untuk
responden yang paling sedikit didapatkan pada kelompok umur <18 tahun yaitu 3
orang (3,1 %) responden. Dalam penelitian ini jumlah responden berdasarkan umur tidak
di batasi.
No. Kelompok Umur Frekuensi
(orang)
Persentase (%)
1 < 18 tahun 3 3,1
2 19-20 tahun 49 51,0
3 21-22 tahun 35 36,5
4 > 23 tahun 9 9,4