• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kondom

2.2.2 Manfaat Kondom

Mencegah penularan HIV&AIDS dan juga memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi menular lain seperti infeksi gonore, chlamydia, sifilis dan herpes serta merupakan metode lain dalam keluarga berencana, mencegah kehamilan,

memberikan rasa nyaman sehingga mengurangi rasa cemas, menghemat dana untuk perawatan dan obat-obatan bila seseorang tertular IMS (Depkes RI, 2004).

2.2.3 Jenis – Jenis Kondom

Dapat dijumpai beberapa jenis kondom yaitu :

a. Kondom Laki – Laki

Kondom merupakan sarung dari latex yang tipis, digunakan pada penis ketika melakukan hubungan sexual. Kondom berguna untuk mengumpulkan semen sebelum, selama dan sesudah ejakulasi dan menghalangi sperma memasuki vagina. Penggunaan kondom yang benar dapat mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit sexual dan dapat juga digunakan sebagai alat kontrasepsi. Kondom yang terbuat dari latex, efektif memberikan perlindungan terhadap virus termasuk HIV dan banyak tersedia di pasaran.

Kondom latex dirancang mempunyai permeabilitas membran yang dapat menghambat lewatnya organisme dalam berbagai ukuran seperti spermatozoa dengan diameter 0,003 mm (3000 nm) dan juga pathogen penyebab penyakit sexual seperti N. gonorrhoeae (800 nm), C. trachomatis (200 nm), HIV (125 nm) dan Hepatitis B (40 nm) (Dumasari, 2008).

a.1. Cara Penggunaan Kondom yang Benar:

a.1.1 Perhatikan tanggal kadaluwarsa, bila sudah kadaluwarsa jangan digunakan. a.1.2 Buka dengan hati-hati dari bungkusnya.

a.1.4 Setelah alat kelamin laki-laki menegang pasangkan kondom pada ujung alat kelamin dan lepaskan gulungannya ke pangkal.

a.1.5 Lepas kondom setelah ejakulasi dengan hati-hati agar cairan sperma tidak tumpah.

a.1.6 Dan bungkus kondom setelah dipakai lalu dibuang di tempat sampah.

a.1.7 Jangan menggunakan pelumas bahan dari minyak, misalnya handbody, lotion, dll. Bahan ini dapat merusak kondom. Gunakanpelumas dengan bahan cair.

b. Kondom Wanita

Terdiri dari bahan polyurethane berbentuk seperti sarung atau kantong dengan panjang 17 cm (6,5 inci). Bahan polyurethane kurang menyebabkan reaksi alergi dibandingkan kondom latex. Bahan tersebut juga kuat dan jarang robek. Kondom wanita ini dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit seksual termasuk HIV apabila digunakan secara benar.

Pada tiap ujung dari kondom terdapat cincin/lingkaran yang lentur. Ujung yang tertutup dengan cincin yang lentur, dimasukkan kedalam vagina untuk membantu supaya kondom tersebut tetap pada tempatnya. Sedangkan pada ujung yang terbuka, cincin tetap berada disebelah luar vulva (pintu masuk kedalam vagina).

2.2.4 Efektivitas Kondom Sebagai Alat Pelindung

Menurut prosedur tetap yang berlaku (pada pabrik di negara maju tanpa krisis), satuan produk (batch) kondom dijual di pasar apabila dalam 1.000 buah kondom tidak ada yang dapat dilewati barang sebesar 5 mikron. Dalam kajian dilapangan, hanya satu dari 10.000 kondom yang mampu melewatkan virus HIV.

Disimpulkan bahwa efektivitas kondom untuk pencegahan kehamilan rata-rata sebesar 87%, sedangkan efektivitas kondom untuk penularan IMS rata-rata sebesar 69%. Penambahan pelumas (lubrication) menurunkan proporsi robek, namun bisa meningkatkan proporsi meleset dan penambahan spermisida baik yang sudah ada dalam kondom maupun yang ditambahkan kemudian dapat membunuh hampir semua sperma dan sebagian kuman penyebab IMS (Satoto, 2001).

Program 100% kondom di Thailand dirancangkan untuk menerapkan penggunaan kondom 100% disetiap pertemuan seks komersial di negeri itu. Karena poros utama penularan HIV di Thailand itu dari pekerja seks komersial dengan laki- laki, dari laki-laki untuk istri-istri mereka dan dari istri ke anak-anak mereka. Dengan mengurangi risiko penularan HIV dalam seks komersial akan menjadi efektif dalam memperlambat penyebaran epidemik HIV.

Di Thailand program tersebut sangat efektif. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun, penggunaan kondom pada aktifitas seks komersial di Thailand meningkat, dari 15% menjadi lebih dari 90% sedangkan jumlah orang yang terkena infeksi menular sesksual sangat menurun (Ray, 2009).

Di Virginia, Juni 2000 dilaksanakan worksop yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas kondom laki-laki dalam mencegah penularan penyakit seksual hasilnya : Davis dan Welle memperkirakan penggunaan kondom dapat menurunkan penularan HIV/AIDS sebanyak 85% dibanding dengan yang tidak pernah menggunakan kondom.

Dua penelitian cross-sectional dan satu penelitian case control menemukan adanya penurunan resiko mendapat gonorrhoe pada laki-laki yang menggunakan sebanyak 49-75% dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kondom. Penelitian

cross-sectional pada PSK di Indonesia, adanya penurunan syphilis pada PSK yang menggunakan kondom sebanyak 8% dan yang tidak menggunakan kondom sebanyak 14% (Dumasari, 2008).

Kondom di setiap lokalisasi sebelum hubungan seks berlangsung perlu diperhatikan jumlah kondom yang disediakan dengan mempertimbangkan frekuensi hubungan seksual, jarak dari klinik/tempat pelayanan dan permintaan khusus. Kondom diberikan dalam jumlah yang cukup untuk melindungi pasangan selama 6 bulan di lokalisasi. Ketersediaan kondom di lokasi berisiko sudah menajdi salah satu keharusan. Karena dalam kebijakan penanggulangan HIV/AIDS penggunaan kondom sudah termasuk dalam isu penting. Hal ini dapat dilihat dari KPA Nasional 2006 bahwa penggunaan kondom merupakan salah satu kebijakan nasional berupa penggunaan kondom 100% atau Condom Use 100% dilaksanakan terutama di lokasi- lokasi transaksi seksual dengan banyak pasangan berisiko. Oleh karenanya sangat penting mempromosikan penggunaan kondom secara konsisten dan memeriksakan IMS di klinik yang tepat di setiap bulannya bahkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS (2007-2010) membuat prioritas arah pencegahan HIV/AIDS ke program peningkatan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko (KPA Nasional, 2006).

2.3. Perilaku

Perilaku merupakan segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan dan tindakan manusia sebagai mahluk hidup yang dilengkapi dengan akal yang berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku agar sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat dan bersikap) maupun aktif ( melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan tersebut, perilaku kesehatan dapat diartikan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 1997).

Perilaku dilihat dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism (mahluk hidup) yang bersangkutan. Dari sudut pandang biologis, semua mahluk hidup mulai dari tumbuhan, hewan dan manusia berperilaku karena punya aktivitas masing-masing. Perilaku (manusia) adalah semua tindakan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Sedangkan perilaku dilihat dari segi psikologis menurut Skiner (1938) dalam Maulana yaitu respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Pergertian itu dikenal dengan teori S-O-R (Stimulus-Organism-Respons).

Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organism yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi obyek tersebut. Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati obyek yang sama (Notoatmodjo, 1993).

Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

2.3.1 Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior “ atau “covert behavior” yang

dapat diukur dari pengetahuan dan sikap.

2.3.2 Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”.

2.4. Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), tetapi dalam memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama, tetapi respons setiap orang akan berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan mejadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan seperti ras, sifat fisik, sifat kepribadian (pemalu, pemarah dan penakut), bakat bawaan, tingkat kecerdasan dan jenis kelamin. Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Faktor lingkungan sering merupakan faktor yang dominan terhadap perilaku seseorang. Perilaku merupakan totalitas penghayatan atau aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama atau resultan antara faktor internal dan eksternal.

Benyamin Bloom (1908) seperti dikutip Notoatmodjo, membagi perilaku manusia dalam tiga domain (ranah) yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Urutan pembentukan perilaku baru khususnya pada orang dewasa diawali oleh domain kognitif. Individu terlebih dahulu mengetahui stimulus untuk menimbulkan pengetahuan, selanjutnya timbul domain afektif dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya. Pada akhirnya, setelah objek diketahui dan disadari sepenuhnya, timbul respons berupa tindakan atau keterampilan (domain psikomotor).

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Menurut Gielen dan McDonald (1996) perilaku seseorang dilandasi oleh latar belakang yang dimilikinya, termasuk pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Seseorang yang berpengetahuan HIV/AIDS lebih baik diharapkan mempunyai tingkat pemahaman dan kesadaran tentang HIV/AIDS yang lebih baik dan akhirnya diharapkan mempunyai perilaku seksual yang aman yang terhindar dari infeksi HIV. Sementara itu, Cognitive Dissonance Theory dari Festinger (1997) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilakunya. Menurut teori tersebut seseorang dapat mempunyai kesejajaran dalam pengetahuan, sikap dan perilaku. Namun demikian, bisa juga seseorang yang mempunyai pengetahuan dan sikap positif tetapi negative di dalam perilakunya.

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang ada pada manusia tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan manusia yang dihadapi sehari- hari dan digunakan untuk kemudahan-kemudahan. Pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat digunakan oleh WPS dalam memahami bagaimana cara mencegahnya agar terhindar penyakit tersebut. Pengetahuan dapat diketahui seseorang melalui melihat, mendengar atau mengalami suatu kejadian yang nyata, selain itu dapat pula diperoleh

melalui belajar di bangku pendidikan baik formal maupun informal. Pengetahuan lebih bersifat pengenalan suatu benda atau sesuatu hal secara objektif.

2.4.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Menurut Sarwono (1997) dalam Maulana sikap merupakan kecenderungan merespons (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu sering kali memperlihatkan tindakan bertentangan dengan sikapnya.

Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berfikir tertentu dan pola berfikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman, pendidikan dan pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (1997) bahwa sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Sikap dapat terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami individu. Interaksi disini tidak hanya berupa kontak sosial dan hubungan antarpribadi sebagai anggota kelompok sosial, tetapi meliputi juga hubungan dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis sekitarnya (Maulana, 2009).

Sikap yang utuh dipengaruhi oleh pengetahuan, keyakinan dan emosi seseorang. Sebagai contoh seorang WPS yang memperoleh penyuluhan mengenai

HIV/AIDS, bila WPS tersebut telah mendengar mengenai penyebab, akibat/bahaya, pencegahan HIV/AIDS dan sebagainya, maka pengetahuan ini akan membawa WPS tersebut untuk berfikir kearah pencegahan HIV/AIDS pada dirinya. Dengan demikian WPS ini mempunyai sikap tertentu terhadap obyek berupa pencegahan HIV/AIDS.

2.4.3 Tindakan

Praktik atau tindakan adalah merupakan salah satu dari tiga perilaku berbentuk perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar. Perbuatan atau praktik tidak sama dengan perilaku, melainkan hanya sebagian dari perwujudan perilaku. Perwujudan dari perilaku yang lain dapat melalui pengetahuan dan sikap. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam sutu tindakan, untuk terwujudnya suatu sikap agar menjadi tindakan perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain seperti fasilitas dan dukungan dari pihak lain: sebagai contoh disini adalah penggunaan kondom pada WPS, dalam hal ini perlu biaya untuk membeli kondom dan dukungan dari pengasuh ataupun pelanggan.

Tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a. Praktik terpimpin (guided response), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. b. Praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. c. Adopsi (adoption), Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya apa yang dilakukan tidak sekadar

rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu : a. Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan

yang bersifat bawaan, misalnya tingkat emosional, jenis kelamin, tingkat kecerdasan.

b. Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.5. Model Green

Faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu :

2.5.1 Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan.

a. Pengetahuan

Penelitian yang dilakukan Soelistijani Tahun 2003 di Bali menyatakan bahwa pengetahuan tentang HIV/AIDS menunjukkan hubungan yang bermakna dengan perilaku responden dalam penggunaan kondom (p = 0,008).

Hasil analisis multivariat diperoleh nilai OR = 2,923 artinya responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang HIV/AIDS berpeluang 2,923 kali berperilaku selalu menggunakan kondom dibandingkan responden dengan kategori pengetahuan

kurang tentang HIV/AIDS. Desain penelitian tersebut adalah cross sectional study

dengan jumlah sampel sebanyak 227 responden.

Hasil penelitian yang dilakukan Evianty terhadap PSK di Lokalisasi Teleju Kota Pekan Baru Tahun 2008 menunjukkan bahwa ada pengaruh pengetahuan terhadap tindakan Pekerja Seks komersial (PSK) menggunakan kondom (p = 0,005).

b. Sikap

Hasil penelitian yang dilakukan Lokollo Tahun 2009 di PUB dan Karaoke, Café dan Diskotek di Kota Semarang menunjukkan bahwa sebagian besar WPS Tidak Langsung mengakui bahwa mereka termasuk dalam kelompok resiko tinggi akan tetapi pengetahuan, dan praktik mereka terhadap upaya pencegahan IMS dan HIV&AIDS masih kurang.

Walaupun mereka setuju dengan pemakaian kondom sebagai upaya pencegahan yang baik, akan tetapi dalam prakteknya ketika beraktivitas seksual tidak selalu kondom mereka gunakan.

Dokumen terkait