• Tidak ada hasil yang ditemukan

NET = (NGL + NGTL + NP) + NBG

Dalam dokumen Sustainable dry land agricultural management (Halaman 43-132)

Dimana:

NET = Nilai Ekonomi Total NG = Nilai Guna

NBG = Nilai Bukan Guna NGL = Nilai Guna Langsung NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NP = Nilai Pilihan

Teknik penilaian ekonomi lingkungan walaupun baru, tetapi cukup berkembang. Prinsip yang perlu dipahami adalah kesediaan membayar (willingnessto pay) dari individu dalam memberikan penilaian. Hufschmidt (1987), mengelompokkan dalam tiga kategori yaitu (1) teknik yang langsung didasarkan pada nilai pasar atau produktivitas, (2) teknik yang menggunakan nilai pasar atau barang subtitusi, dan (3) pendekatan yang menggunakan teknik survey. Dalam memberikan penilaian maka dianjurkan untuk pertama-tama harus menggunaka nilai pasar. Bila tidak tersedian nilai pasar baru digunakan nilai pasar barang subtitusi dan selanjutnya bila tidak nilai barang subtitusi baru menggunakan nilai berdasarkan teknik survey. Dalam memberikan penilaian nilai ekonomi, Munasinghe (1993) membuat taksonomi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Taksonomi teknik penilaian yang relevan

Keterangan Pasar Pasar Implisit Pasar yang dibangun

Berdasarkan perilaku aktual Efek produksi Efek kesehatan Biaya devensif Biaya preventif Biaya perjalanan Perbedaan upah Nilai kepemilikan Barang pasar Pengganti Pasar artifisial Berdasarkan perilaku potensial Biaya pengganti Proyek bayangan Penilaian kontingensi lain-lain Sumber: Munasinghe (1993).

Penggunaan teknik penilaian seperti dikemukakan dalam Tabel 2 disesuaikan dengan kebutuhan penilaian terhadap jasa lingkungan dan sumberdaya alam yang ada. Penilaian ekonomi terhadap pengelolaan lahan yang rusak akibat erosi dilakukan dengan menggunakan teknik penilaian biaya pengganti (Dixon dkk. 1993). Teknik ini digunakan bila manfaat sosial bersih pemanfaatan tertentu tidak dapat diperkirakan secara langsung. Berdasarkan penilaian teknik ini nilai barang atauj asa lingkungan adalah sebesar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti atau membuat barang atau jasa lingkungan yang dapat memberikan manfaat setara dengan sebelumnya.

Analisis Pendapatan

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa walaupun penerapan konservasi dapat dikatakan syarat mutlak dalam pelaksanaan pertanian berkelanjutan tetapi oleh petani hal itu dilihat sebagai suatu tambahan kerja yang tidak memberikan tambahan pendapatan. Kondisi seperti ini dapat dipahami karena selama ini petani selalu berada pada kondisi kesejahteraan yang kurang menguntungkan. Pendapatan yang diperoleh dari usahatani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan pada waktu-waktu tertentu mereka masih dihadang oleh masa paceklik.

Kadariah dan Clive (1978) menyatakan bahwa analisis finansial penting dalam memperhitungkan insentif, karena tidak ada gunanya melaksanakan suatu kegiatan bila keuntungan hanya dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan tetapi petani yang menjalankan aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya. Kondisi marginalitas dan subsisten minded, merupakan suatu kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan petani masih memprihatinkan karena aktivitasnya pada usahatani belum dapat memberikan kehidupan yang layak.

Sajogyo dalam Singarimbun (1978) membedakan tingkat pengeluaran penduduk atas miskin sekali dan miskin. Kategori miskin sekali bila pengeluaran setara 180 kg/kapita bagi penduduk pedesaaan dan 270 kg/kapita bagi penduduk perkotaan. Sedang yang tergolong miskin adalah bila tingkat pengeluaran rata-rata 320 kg/kapita bagi penduduk pedesaaan dan 480 kg/kapita bagi penduduk perkotaan. Sedang Biro Pusat Statistik (1985) menetapkan garis kemiskinan

berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori/kapita. Suatu keluarga dianggap sangat miskin bila pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum kalori yang ditetapkan. Sedang bila pendapatan keluarga selain bisa mencukupi kebutuhan minimum kalori dapat juga memenuhi kebutuhan pokok seperti perumahan, air bersih, sandang dan pendidikan dikategorikan sebagai keluarga miskin.

Dewasa ini Pemerintah menetapkan sistim upah minimum yang didefinisikan sebagai upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01/MEN/1999 menyebutkan bahwa penetapan upah minimum dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup minimum, indeks harga konsumen, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, kondisi pasar dan tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita. Sedang secara teknis penetapan masing-masing daerah ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka melalui Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor: 512 Tahun 2000, ditetapkan Upah Minimum Propinsi sebesar Rp. 275.000,-/bulan atau Rp 3.300.000,-/tahun. Jumlah pendapatan berdasarkan ukuran upah minimum ini nampak lebih menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik disbanding dengan ukuran-ukuran lainnya seperti disebutkan terdahulu. Dengan demikian bila kesejahteraan petani akan ditingkatkan maka ukuran upah minimum sebaiknya yang dipergunakan sebagai patokan dalam mendorong produksinya dalam konteks pertanian berkelanjutan.

Analisis Investasi

Dalam pengelolaan lingkungan pertanian lahan kering, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pola tanam, penerapan teknik konservasi dan penggunaan tenaga kerja perlu direncanakan secara matang untuk mendapatkan pola penggunaan lahan dan produksi yang optimum. Ruslan, dkk (2002) mengemukakan bahwa penggunaan lahan optimal baik secara fisik rnaupun sosial ekonomi pada suatu wilayah seyogyanya diwujudkan secara dini, sebelum wilayah tersebut mengalami pencemaran, ditinjau dari penggunaan lahan.

Perencanaan lebih awal untuk penggunaan lahan atau sumberdaya lain, berarti menyangkut penentuan alternatif dan keputusan-keputusan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dikemudian hari. Secara ekonomi keputusan untuk melaksanakan suatu kegiatan atau suatu proyek ditentukan melalui suatu kriteria investasi. Ada lima ukuran yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan dalam melakukan suatu investasi untuk menentukan apakah investasi itu layak atau tidak. Kelima kriteria investasi tersebut adalah (l) Net Present Value

(NPV), (2) Internal Rate of Return (IRR) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), (4)

Gross Benefit-Cost Ratio (Gross B/C) dan (5) Profitabilitas Ratio (PV’/K) (Kadariah dkk 1978; Gittinger 1986; Dixon dan Hufschmidt 1993).

Randal (1991) melihat pemanfaatan sumberdaya secara lestari dengan memberikan keuntungan secara ekonomi dan sosial sebagai upaya pengalokasian pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Pengalokasian sumberdaya secara optimal adalah pengalokasian intertemporal, dimana faktor waktu menentukan dalam melihat manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu kegiatan. Pendapat ini sangat berkaitan erat dengan analisis investasi, dimana faktor waktu merupakan suatu time preference, bagi investor.

Disamping faktor waktu, faktor diskonto juga sangat penting dalam analisis investasi. Faktor waktu berkaitan erat dengan umur guna kegiatan untuk suatu jangka waktu analisis, sedang pemilihan tingkat diskonto adalah sebagai perekat analisis proyek. Hubungan antara faktor waktu dan diskonto dalam analisis proyek terletak pada manfaat yang akan diberikan proyek tersebut. Bila hasil proyek yang bermanfaat menjadi kecil atau hilang sama sekali, maka umur proyek efektif dapat dikatakan habis. Sedang untuk faktor diskonto makin tinggi tingkatannya, makin pendek cakrawala waktu ekonomi, hal ini karena tingkat bunga yang progresif mengurangi nilai sekarang hasil dan manfaat yang diperoleh dimasa yang akan datang.

Dalam melakukan analisis investasi untuk proyek-proyek pertanian, terutama yang berkaitan dengan usaha-usaha perlindungan terhadap lingkungan, factor penting yang harus diperhatikan adalah menentukan pendekatan terhadap penilaian kualitas lingkungan. Pada prinsipnya ada dua pendekatan yang

dipergunakan yaitu; (l) pendekatan dari sisi manfaat atau pendekatan produktivitas,dan (2) pendekatan dari sisi biaya (Hufschmidt 1987).

Dalam kajian mengenai analisis investasi yang dilakukan oleh Gittinger (1982); Hufschmidt dkk. (1987); Dixon (1993) telah memasukan faktor-faktor lingkungan berupa biaya dan manfaat lingkungan, tetapi tidak memperhitungkan tingkat optimasi biofisik. Sedang beberapa penelitian mengenai tingkat optimasi biofisik seperti dikemukakan terdahulu, tidak diikuti dengan analisis optimasi penggunaan lahan dan analisis investasi. Demikian juga penelitian lahan kering yang dilakukan oleh Nasendi dan Anwar (1985) yang melihat optimasi penggunaan lahan, tidak didahului dengan analisis biofisik dan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji suatu sistem pengelolaan lahan kering yang optimal dengan pendekatan biofisik dan sosial ekonomi secara terpadu, menuju sistem pertanian yang berkelanjutan.

Analisis Agrosistem Rumah Tangga Petani

Petani lahan kering atau peladang diidentifikasikan sebagai petani subsistem, yang produksinya sulit dimasukan dalam sistem perekonomian secara luas, karena hanya cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri (non-market oriented). Kondisi seperti ini lebih banyak disebabkan oleh kehidupan sosial masyarakat yang cenderung dibatasi oleh kendala infrastruktur dan terbatasnya informasi. Kopndisi ini menyebabkan terbatasnya orientasi mereka terhadap peran dan kebutuhan pasar akan produk yang seharusnya dapat mereka pasok. Sebagai contoh produksi beras padi ladang dengan aroma yang khas memiliki nilai jual yang tinggi dipasar. Peluang seperti ini tidak dimanfaatkan oleh peladang, tetapi sebaliknya oleh para pedagang yang mengetahui permintaan pasar.

Dalam memenuhi kebutuhannya peladang tidak hanya tergantung pada produksi ladangnya tetapi juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitarnya seperti hutan, sagu yang tumbuh disekitar pemukiman, rawa, sungai dan lahan pekarangannya. Pengambilan hasil hutan seperti madu, binatang buruan, sagu, ikan di rawa atau disungai umumnya dilakukan setelah musim

tanam. Hal ini karena ladan tidak dapat memberikan produksi yang layak untuk mendukung kehidupan mereka sepanjang tahun.

Hubungan antara rumah tangga petani lahan kering atau peladang dengan sumber-sumber energi disekitar mereka telah diteliti oleh Deshmukh (1998) di daerah Tsembaga Papua New Guinea dan Ladamay (1993) di Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa subsidi energi dalam sistem perladangan menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaatan energi dan nisbah input output yang tinggi yaitu 15:1. Hal ini disebabkan karena disamping energi yang dihasilkan dari produksi pertanian tanaman pangan, para peladang juga memanfaatkan sumber-sumber energi dari lingkungan sekitar. Diagram hubungan input-output energi rumah tangga peladang di Sulawesi Tenggara dikemukakan pada Gambar 8.

Gambar 6 Diagram input-output sistem perladangan di Sulawesi Utara.

Hubungan antara kondisi iklim dan aktivitas peladang ini cukup signifikan, mengingat keterbatasan mereka terhadap penguasaan teknologi dan pengetahuannya untuk mengembangkan sumberdaya yang dimiliki. Dilain pihak kondisi ini dapat terjadi karena daya dukung lingkungan masih mampu menyediakan energy bagi kehidupan peladang dengan cara meramu. Pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung seperti ini tidak dapat terus bertahan karena pertambahan penduduk menyebabkan makin besarnya tekanan terhadap dan

Rumah Sagu Hutan Ternak R a w a Ladang Bunggu P a s a r Tepung Madu, Rotan, Daging

Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja Penjualan (uang) Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja Padi, Jagung, Ubi

Ubi Hortikulturan U ang / B art er K ebut uha n Ru m ah T angga

sumberdaya yang tersedia secara alami. Selain itu berbagai kebijakan pemerintah membatasi aktivitas peladang dalam mengelola lahan pada areal yang luas.

Pemberlakuan berbagai peraturan pemerintah telah membatasi ruang gerak para peladang dan menuntut adanya perubahan atau pergeseran dalam sistem bercocok tanam serta mendapatkan sumber-sumber energi pengganti. Cara bercocok tanam dengan menggunakan sistem berpindah harus berubah menjadi sistem yang menetap dan sumber-sumber energi yang selama ini diperoleh dari hutan, rawa dan lingkungan sekitar harus diperoleh dengan upaya-upaya yang lebih intensif. Pembatasan yang terjadi melalui penetapan peraturan juga diikuti dengan kampanye tentang pelestarian lingkungan, telah memaksa para peladang untuk meninggalkan kebiasaan mereka bercocok tanam dengan cara bertani berpindah dan tebas bakar. Hal ini sebenarnya memberikan dampak positif dalam pelestarian dan perlindungan lingkungan.

Perubahan dalam bercocok tanam yang terjadi akibat berbagai peraturan pemerintah dan kampanye pelestarian lingkungan di kalangan peladang ini, perlu diikuti dengan pembinaan terhadap cara bercocok tanam dengan secara menetap dan intensip. Penggantian terhadap energi yang selama ini diperoleh dari alam harus diperhitungkan, sehingga tidak berpengaruh terhadap kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan yang selama ini mereka rasakan dalam mendapatkan energi bagi kebutuhan rumah tangganya dari alam sekitar.

Dukungan analisis terhadap pola pertanian pada lahan kering untuk mendorong perubahan sistem pertanian agar sesuai dengan kondisi lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat merupakan bagian penting dalam pembinaan para peladang. Karena perladangan bagi kaum peladang bukan sekedar untuk mendapatkan sumber energi dalam memenuhi rumahtangganya, tetapi juga terkait dengan sistem sosial dan kebudayaanya. Tradisi sesajen dalam memulai membuka lahan, pemilihan lokasi yang dianggap sesuai, bercocok tanam tanpa menggunakan pupuk kimia dan melaksanakan perayaan pada panen raya, merupakan bagian dari kehidupan pertanian mereka yang perlu dihormati. Kalaupun ada perubahan dari sistem berpindah menjadi menetap, maka mungkin saja ada pergeseran dalam sistem sosial budayanya, tetapi diharapkan sistem pertanian yang baru itu tidak sampai mengurangi tingkat kesejahteraannya.

Dengan demikian maka usaha menerapkan sistem pertanian secara berkelanjutan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh petani lahan kering (peladang) merupakan kebutuhan yang mendesak. Bagi mereka perlu ada upaya mengembangkan teknologi pertanian pada lahan kering yang dapat mendukung kehidupan mereka, minimal untuk mengganti sumber-sumber energi yang selama ini dimanfaatkannya dari lingkungan sekitar. Perlu ada suatu sistem pertanian dengan ukuran lahan tertentu, yang mampu dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan tingkat kesejahteraan yang memadai. Tentu saja sistem pertanian berkelanjutan yang dimaksud akan lebih baik bila bersesuaian dengan tradisi mereka.

Wilayah Sulawesi Tenggara

Letak dan Administrasi Wilayah

Sulawesi Tenggara terdiri atas Jazirah dan kepulauan terletak antara 3o- 6 Lintang selatan dan 120

o o

45' bujur timur, dengan total luas wilayah daratan 38,140 km2 dan wilayah laut 110.000 km2

Keadaan Geografi

. Propinsi Sulawesi Tenggara berbatasan dengan sebelah utara Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah sebelah selatan Propinsi NTT, sebelah timur Propinsi Maluku dan sebelah barat berbatasan dengan Sulawesi Selatan. Secara administrasi dibagi atas 10 kabupaten dan dua kota yang meliputi 184 kecamatan dan 1.486 desa/kelurahan.

Topografi Jazirah dan kepulauan Sulawesi Tenggara sebagian besar (49%) terdiri dari pegunungan dan selebihnya (26%) merupakan dataran sampai berombak serta (25%)merupakan tanah berbukit. Dari aspek geologi 67,64% merupakan batuan sediment (sediment stone), 19,78% batuan metamorfosis tanah berbukit dan 12,58% batuan beku. Sebagian besar (66,30 %) jenis tanah di Sulawesi Tenggaraa dalah Podsolik Merah Kuning, selebihnya terdiri dari jenis Organosol (3,04%), Alluvial (3,40%) Grumosol (0,52%), Mediteran (23,57%) dan latosol (9,17%).

Keadaan lklim

Secara umum keadaan iklim di Sulawesi Tenggara dibedakan atas musim hujan antara bulan November hingga Maret dan musim kemarau antara bulan Mei Oktober. Secara umum curah hujan di Sulawesi Tenggara dapat dibedakan atas curah hujan > 2.000mm, untuk wilayah Kabupaten Kolaka dan Utara Kabupaten Konawe, Utara Pulau Buton dan pulau Wawonii. Sedang untuk wilayah dan curah hujan< 2.000 mm, meliputi bagian selatan jazirah dan kepulauan sulawesi Tenggara. Keadaan curah hujan di Sulawesi Tenggara disajkan pada Lampiran 1 rata-rata suhu udara tertinggi di Sulawesi Tenggara pada tahun 1999 adalah 31oC, dan rata-rata suhu udara terendah adalah 25oC,dengan rata-rata kelembaban udara

83 %. Rata-rata tekanan udara adalah 1.009,6 milibar. Rata-rata kecepatan angin adalah 8 m/detik.

Demografi

Jumlah penduduk Sulawesi Tenggara (hasil Sesunas, 2008) berjumlah 2.108.879 jiwa, terdiri dari 574.257 rumah tangga, tersebar sebanyak tercatat sebanyak 290.358 jiwa di Kabupaten Muna, 271.657 jiwa di Kabupaten Buton, 273.168 jiwa di Kabupaten Kolaka, 265.646 jiwa di Kabupaten Konawe, 244.586 jiwa di Kota Kendari, 234.400 jiwa di Kabupaten Konawe Selatan, 122.339 jiwa di Kota Bau-Bau, 107.294 jiwa di Kabupaten Bombana, 94.190 jiwa di Kabupaten Kolaka Utara, 95.876 jiwa di Kabupaten Buton Utara dan 98.180 jiwa di Kabupaten Wakatobi.

Penggunaan Lahan

Ada 12 jenis penggunaan lahan di Sulawesi Tenggara yaitu : sawah, kebun/tegalan, ladang/huma, tambak/kolam, perkebunan (estate), pekarang, padang rumput, lahan tanaman kayu, hutan, rawa, lahan yang dimanfaatkan, lain-lain. Hutan masih merupakan lahan yang terluas yaitu 1.863.689 ha (48,86%), perkebunan 418.660 ha (10,98%) dan tanah yang tidak diusahakan seluas 280.546 ha (7,36%) Hasil sensusnam senunjukkan bahwa konversi lahan dari lahan hutan untuk budidaya pertanian cukup besar. Lahan sawah terjadi pertambahan seluas 8.770 ha, lahan tegalan/kebun terjadi pertambahan seluas 40.576 ha dan lahan ladang/huma terjadi pertambahan seluas 22.789 ha. Secara rinci data penggunaan lahan di Sulawesi Tenggara disajikan pada lampiran.

Produksi Pertanian dan Kehutanan

Tanaman Pangan

Ada delapan jenis tanaman pangan yang diusahakan petani yaitu: padi sawah dan padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau. Produktivitas padi sawah 4,213 ton/ha dan produktivitas padi

ladang l,774 ton/ha. Untuk tanaman ubi kayu produktivitasnya adalah 14,21 ton/ha dan produktivitas jagung 2,42 ton/ha.

Tanaman Buah-Buahan

Jenis buah-buahan yang dikembangkan di Sulawesi Tenggara adalah mangga, rambutan, langsat, jeruk, jambu, durian, pepaya, pisang, nenas, salak, nangka dan lain-lain. Pisang merupakan komoditas yang paling menonjol total produksi dalam tahun 2008 sebesar 31.114 ton, dengan sentra produksi di Kabupaten Kolaka yaitu 12,957 ton (45,60%), Kabupaten Konawe 7.04 ton (24,78%), Kabupaten Muna 5.311 ton (18,69%), Kabupaten Buton 2.888 ton (l0,l6%) dan Kota Kendari 0.501 ton (0,77%) Selain itu jenis buah-buahan yang cukup potensial adalah rambutan, durian, mangga dan langsat.

Tanaman Sayuran

Jenis sayuran yang banyak diusahakan petani adalah kacang panjang, cabe, tomat, terung, buncis, ketimun, labu, kangkung, bayam dan bawang merah. Produksi sayuran yang paling banyak adalah kacang panjang, pada tahun 2008 tercacat sebanyak 5.462 ton, dengan sentra produksi. di Kabupaten Konawe 1.596 ton (48,08%), Kolaka 0,727 ton (21,90%), Kabupaten Muna 0,670 ton (20,18%), Kabupaten Buton 0,725 ton (8,28%) dan Kota Kendari 0,501 ton (1,56%).

Tanaman Perkebunan

Jenis tanaman perkebunan yang banyak terdapat adalah kelapa dalam, kopi, kapuk, lada, pala, cengkeh, jambu mete, kemiri, kakao, enau, tembakau, kelapa hibrida, kapas, jahe dan tebu. Produksi tanaman perkebunan yang cukup menonjol adalah kelapa dalam, kakao dan jambu mete. Dalam tahun 1998 produksi kelapa dalam mencapai 37.815 ton dalam bentuk kopra, dengan sentra produksi di Kabupaten Konawe dan Buton. Produksi kakao pada tahun 1998 mencapai 75.766 ton dengan sentra produksi di Kabupaten Kolaka dan produksi jambu mete mencapai 14.421 ton dengan sentra produksi di Kabupaten Buton dan Muna. Ketiga komoditas ini sebagian besar berasal dari perkebunan rakyat.

Peternakan

Jenis ternak yang banyak dikembangkan adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi dan unggas (ayam kampung, ayam ras dan itik). Jenis ternak besar yang paling banyak adalah sapi. Pada tahun 1998 tercacat 292.046 ekor, jumlah terbanyak di Kabupaten Konawe yaitu 142.520 ekor (48,80%) Kabupaten Kolaka 86.400 ekor (29.58%), Kabupaten Buton 32.172 ekor (11,01), kabupaten Muna (9,59%) dan Kota Kendari 5.967 ekor (1,02).

Populasi ternak kecil yang menonjol adaiah kambing. Padat ahun 1998 tercatat popuiasi kambing 121.967 ekor, dengan populasi terbanyak di Kabupaten Buton yaitu 46.825 ekor (38,39%), Kabupaten Konawe 37.548 ekor (30,86%), Kabupaten Kolaka 27.561 ekor(22,59%), Kabupaten Muna 7.344 ekor( 6,02%) dan Kota Kendari 2.589 ekor (2,14%). Produksi ternak kecil lainnya yang cukup menonjol yaitu ternak babi. Pada tahun 1998 tercatat 22.056 ekor, dengan sentra produksi di Kabupaten Konawe yaitu tercatat 14.819 ekor (67,18%), di Kabupaten Kolaka 5.954 ekor (26,99%), Kabupaten Buton 1.259 ekor (5,7l%) dan Kabupaten Muna 24 ekor (0,12%). Di Kota Kendari tidak ada peternakan babi.

Populasi temak unggas yang terbanyak adalah ayam kampung yaitu 5.511.864 ekor, kemudian itik 273.672 ekor dan ayam ras yaitu 173.170 ekor atau total 7.058.706 ekor. Populasi unggas terbanyak di Kabupaten Konawe yaitu 2.405.860 ekor atau (34,08%), kemudian di Kabupaten Buton 1.537.160 ekor (21.17%), Kabupaten Muna 1.353.076 ekor (19,16%) Kabupaten Kolaka 1.165.649 ekor (16,51%) dan Kota Kendari 596.961 ekor (8.48%).

Kehutanan

Kawasan hutan di Sulawesi Tenggara dibedakan atas hutan produksi biasa, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi, hutan lindung dan hutan wisata/PPA. Total luas hutan adalah 2.600.137 ha (68,17%) dari total luas daratan. Kabupaten Konawe memiliki hutan yang terluas yaitu 1.179.153 ha (45,35%), Kabupaten Kolaka 746.765,16 ha (29.41%), Kabupaten Buton 420 460 ha (16,17%) dan Kabupaten Muna 235.759 ha (9,07%). Produksi kayu di Sulawesi Tenggara meliputi kayu jati logs sebanyak 3.074,99 m3, kayu jati gergajian 1.908,15 m3, kayu rimba logs 81.313,24 m3 dan kayu rimba gergaijan 1.515,31 m3.

Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Talumbinga Kecamatan Landono Kabupaten Konawe. Desa ini merupakan desa yang dikembangkan dari pemukiman transmigrasi Sabulakoa II, yang telah menjadi desa definitif pada tahun 1977, terletak pada ketinggian 500 dpl. Luas Desa Talumbinga 538,25 ha, dengan jumlah penduduk jiwa dari 178 kepala keluarga.

Tanah

Sebagian besar wilayah Desa Talumbinga terletak pada lahan dengan topografi bergelombang (8-20%) dan berbukit (15-30%). Berdasarkan peta tanah dan kesesuaian lahan lokasi Kabupaten Konawe, jenis tanah diwilayah ini adalah podsolik merah kuning dari bahan induk sedimen. Tanah bertekstur liat. Sangat masam (pH 4-5,5), struktur tanah gumpal halus sampai kasar, solum tanah dangkal (< 60 cm), dengant ingkat kesesuaian lahan S3

Iklim

, (lahan hampir sesuai).

Berdasarkan peta iklim Sulawesi Tenggara (Oldeman dan Darmyaty, 1977), lokasi penelitian termasuk pada tipe iklim D. dengan 3-4 bulan basah dan 3-5 bulan kering. Kategori bulan basah bila curah hujan > 200 mm/bulan dan bulan kering bila curah hujan < 200 mm/bulan. Hasil pengukuran curah hujan di lokasi penelitian dan pengukuran pada stasiun penakar terdekat (Desa Mowila Kecamatan Landono) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Curah hujan di lokasi penelitian desa talumbinga dan penakar hujan terdekat desa Mowila

Bulan Talumbinga Mowila *

JH HH JH HH Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 176 185 100 166 151 193 117 99 29 0 32 109 14 23 12 18 13 20 10 8 3 0 9 11 189 143 110 130 122 179 108 67 0 0 27 90 18 16 14 13 11 18 12 6 0 0 7 11

Sumber : * Unit Hidrologi Sub Dinas Pengairan Sulawesi Tenggara 1997.

Penggunaan Lahan

Sebagian besar lahan 350 ha (64,96%) di Desa Talumbinga merupakan lahan usaha pertanian, 43,75 ha (8,12%) pekarang dan selebihnya 15 ha (2,78%) lahan fasilitas umum dan 130 ha (24,14%) masih berupa hutan.

Pencaharian

Sebahagian besar mata pencaharian penduduk Desa Talumbinga adalah petani. Dari 178 KK tercatat 151 KK (84,83%) sebagai petani dan selebihnya 27 KK (15,17%) pegawai negeri. Umumnya mereka bertani sambil beternak. Penguasaan lahan rata-rata 1,25 ha (hasil pembagian pemerintah/Dep. Trans). Komoditas yang diusahakan adalah ubikayu, jugung, padi ladang, kedelai. Tanaman buah-buahan yang banyak dikembangkan adalah rambutan, nangka dan pisang.

Pendapatan

Sumber pendapatan utama petani di lokasi penelitian berasal dari komoditas ubi kayu, ternak (penggemukan sapi) dan buah-buahan. Pendapatan pertahun yang diperoleh dari ketiga jenis komoditas tersebut berkisar antara Rp 9.500.000,- sampai Rp 12.800.000,-.

Kondisi Sosial Budaya

Desa penelitian ini merupakan perpaduan dari desa transmigrasi dan desa dengan penduduk setempat. Sebelumnya desa ini bernama Desa Sabulakoa yang penduduk setempatnya adalah suku Tolaki, yang merupakan penduduk asli Jaziah

Dalam dokumen Sustainable dry land agricultural management (Halaman 43-132)

Dokumen terkait