BAB I PENDAHULUAN
1.5 Manfaat Penelitian
Biofuel yang dihasilkan dari catalytic cracking minyak goreng bekas diharapkan dapat menjadi bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Selain itu juga dapat meningkatkan daya guna zeolit alam yang cukup melimpah di Indonesia.
6 Energi Panas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Goreng Bekas (Jelantah)
Minyak goreng merupakan minyak yang bersumber dari tumbuhan dan berbentuk cair pada suhu kamar (Widayat, 2009). Minyak goreng pada umumnya digunakan selama 3-4 kali kemudian tidak dimanfaatkan lagi dan sering disebut minyak jelantah. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah rusak akibat proses oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis, yang menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang dapat merugikan kesehatan (Suirta, 2009). Kerusakan utama ditimbulkan oleh bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi pembentukan radikal bebas yang bersifat tidak stabil. Radikal bebas ini dapat merusak komponen – komponen sel tubuh melalui oksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya penyakit (Wijana, 2005). Berikut adalah reaksi pembentukan radikal bebas dari asam lemak tidak jenuh.
R–CH2–CH = CH–CH2–R R–CH* –CH = CH–CH2 – R +H*
Minyak goreng yang digunakan di industri maupun rumah tangga akan menjadi minyak jelantah dalam jumlah tinggi dan adanya bahaya konsumsi minyak goreng bekas, maka perlu dilakukan upaya untuk memanfaatkan minyak goreng bekas tersebut agar tidak terbuang dan mencemari lingkungan.
Pemanfaatan minyak goreng bekas ini dapat dilakukan dengan pemurnian agar
Asam lemak tidak jenuh Radikal bebas
dapat digunakan kembali dan digunakan sebagai bahan baku produk berbasis minyak seperti sabun, sampo, dan bahan bakar diesel (Suirta, 2009).
Menurut Siswani et al. (2012) minyak goreng bekas memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi bahan bakar karena mengandung asam lemak yang tinggi. Komposisi asam lemak minyak jelantah ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak jelantah (Taufiqurrahmi dan Bhatia, 2011)
Biofuel adalah bahan bakar yang dihasilkan dari bahan-bahan organik yang juga disebut non-fosil energi. Biofuel dapat ditemukan dalam bentuk cair, padatan dan gas yang dihasilkan dari material organik baik secara langsung dari tanaman ataupun secara tidak langsung dari proses industrial, komersial, domestik atau sisa-sisa hasil pertanian (Supraningsih, 2012).
Biofuel merupakan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. Biofuel dapat memproduksi energi tanpa meningkatkan karbon dioksida di atmosfer karena berbagai tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel mengurangi kadar karbon dioksida tersebut (Saputra et al., 2013). Fathinah dan Hartono (2016) menuturkan bahwa
8 peningkatan proporsi penggunaan bahan bakar terbarukan akan menyebabkan penurunan emisi karbon dioksida yang cukup signifikan.
Biofuel baik digunakan sebagai bahan bakar alternatif karena memiliki kandungan fraksi gasolin sebesar 59,75%, fraksi kerosein 27,26% dan fraksi diesel 6,76%. Variasi waktu dan suhu reaksi akan mempengaruhi persentase yield yang dihasilkan (Nurjannah, 2010).
2.2.1 Biogasolin
Biogasolin (bio-bensin) merupakan suatu jenis gasolin (bensin) yang terbuat dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Biogasolin merupakan suatu campuran yang kompleks yang tersusun atas hidrokarbon rantai lurus antara 5 sampai 12 atom karbon dengan rumus kimia CnH2n+2 (Sundaryono dan Budiyanto, 2010).
Kualitas suatu gasolindilihat dari angka oktan. Angka oktan merupakan suatu parameter antiknocking yang terjadi pada mesin. Angka oktan ini merupakan perbandingan antara iso-oktana dengan n-oktana dalam suatu gasolin (Saipullah, 2008). Angka oktan dapat terbagi menjadi 2, yaitu RON (Research Octane Number) dan MON (Motor Octane Number). Di Indonesia sendiri umumnya nilai RON digunakan untuk menentukan kualitas dari bahan bakar, Premium mempunyai nilai RON sebesar 88, Pertamax 92, dan Pertamax Plus 95 (Prihandara etal., 2007).
2.2.2 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif pengganti minyak diesel yang dapat diproduksi dari minyak nabati atau lemak hewan yang dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi (Isyarandi, 2013). Reaksi ini adalah reaksi
bolak-balik antara molekul trigliserida dengan metanol yang menghasilkan alkil ester dan gliserol. Biodiesel yang dihasilkan harus memiliki kualitas sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Tabel 2 menunjukkan mutu biodiesel yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 7182:2015 tentang biodiesel.
Tabel 2. Standar mutu biodiesel (SNI 7182:2015)
No Parameter Uji Satuan min/maks Persyaratan 1
Viskositas kinematika pada 40oC
Kerosin atau yang umumnya disebut minyak tanah adalah produk minyak yang mempunyai rantai atom karbon C9-C16 dan memiliki titik didih sekitar 150-290 oC. Kerosin biasa digunakan sebagai bahan bakar kompor dan minyak lampu dalam rumah tangga. Kerosin merupakan produk minyak bumi yang stabil dan memerlukan penambahan aditif untuk memperbaiki mutunya. Sifat-sifat kerosin antara lain mudah terbakar, uapnya dalam campuran udara akan mudah meledak
10 pada suhu di atas 37 oC, warnanya kuning pucat serta mempunyai aroma yang khas dan dapat menghasilkan muatan elektrostatis jika mengalami pengadukan.
Biokerosin merupakan kerosin yang diproduksi dari minyak nabati. Bahan yang berpotensi di Indonesia untuk dijadikan bahan baku pembuatan biokerosin salah satunya adalah minyak kelapa (Pratiwi et al., 2016).
2.3 Katalis
Katalis adalah suatu zat yang berfungsi mempercepat laju reaksi dengan menurunkan energi aktivasi, namun tidak menggeser letak kesetimbangan. Katalis bekerja dengan memperbesar kecepatan reaksi dengan memperkecil energi aktivasi suatu reaksi. Dengan menurunkan energi aktivasi maka pada suhu yang sama reaksi dapat berlangsung lebih cepat (Triyono, 2002). Katalis untuk suatu proses akan berbeda dengan proses yang lain, karena itulah menentukan suatu katalis yang tepat sangatlah penting untuk mempercepat suatu reaksi.
Terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk menilai layak atau tidaknya suatu katalis untuk digunakan dalam suatu reaksi (Tarigan, 2003), diantaranya:
1 Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk yang diinginkan.
2 Selektivitas, yaitu kemampuan katalis mempercepat reaksi yang diinginkan diantara beberapa reaksi yang mungkin terjadi.
3 Yield, yaitu jumlah produk yang terbentuk untuk setiap satuan reaktan yang terkonsumsi.
4 Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas seperti keadaan semula.
5 Kemudahan diregenerasi, yaitu proses mengembalikan aktivitas dan selektivitas katalis seperti keadaan semula.
Secara umum katalis dapat dibagi menjadi 2 kelompok (Tarigan, 2003). Yaitu : 1. Katalis Homogen
Pada katalis homogen, reaksi kimia terjadi pada fasa yang sama antara reaktan dan katalis, yang pada umumnya berada pada fasa cair. Reaksi katalis jenis ini terjadi secara spesifik dan dapat menghasilkan selektivitas yang tinggi, mudah dioperasikan dan mudah dipelajari. Namun, katalis homogen ini jarang digunakan dalam industri. Hal ini disebabkan karena fasa katalis dan pereaksinya sama sehingga diperlukan proses pemisahan untuk memperoleh kembali katalis di akhir proses dan perlunya peralatan tambahan untuk memurnikan produk dari kristalis
2. Katalis Heterogen
Katalis heterogen adalah katalis yang memiliki fasa berbeda dengan reaktan.
Reaktan akan teradsorpsi pada permukaan aktif katalis, selanjutnya akan terjadi interaksi baik berupa reaksi sebenarnya pada permukaan katalis ataupun terjadi pelemahan ikatan dari molekul yang teradsorpsi. Setelah reaksi terjadi, molekul hasil reaksi dilepas dari permukaan katalis. Oleh karena itu katalis yang baik perlu memiliki kemampuan mengadsorpsi dan mendesorpsi yang baik.
12 2.4 Zeolit Alam
Zeolit merupakan kelompok mineral aluminium silikat terhidrasi yang secara umum memiliki rumus empiris Mx.Dy. Alx+2y.Six+2y.O2.n.mH2O, dimana M dan D adalah ion golongan I atau II, x dan y adalah jumlah bilangan kation tertentu, n muatan ion logam, dan m adalah jumlah molekul air kristal dalam rongga zeolit (Susanti, 2010).
Zeolit merupakan kristal alumina silikat berpori terhidrat yang mempunyai struktur tiga dimensi terbentuk dari tetrahedral [SiO4]4- dan [AlO4]5- yang dihubungkan oleh atom-atom oksigen, menghasilkan struktur tiga dimensi terbuka dan berongga (Gambar 1). Rongga-rongga tersebut diisi oleh atom-atom logam alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas (Scott et al., 2003).
Gambar 1. Bentuk tetrahedral silika alumina (Las dan Zamroni, 2002) Zeolit alam merupakan zeolit yang terbentuk karena adanya proses kimia dan fisika dari batuan-batuan yang mengalami berbagai macam perubahan di alam. Zeolit merupakan produk gunung berapi yang membeku menjadi batuan vulkanik dan batuan sedimen yang selanjutnya mengalami proses pelapukan karena pengaruh panas dan dingin (Lestari, 2010). Zeolit alam memiliki beberapa kelemahan, diantaranya mengandung pengotor seperti Na, K, Ca, Mg dan Fe serta
kristalinitas yang kurang baik. Untuk memperbaiki karakteritas zeolit alam biasanya dilakukan aktivasi dan modifikasi terlebih dahulu (Mockovciakova et al., 2007).
Zeolit alam dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu zeolit yang terdapat diantara celah-celah lapisan batuan dan zeolit yang berupa batuan. Zeolit yang terdapat diantara celah batuan biasanya terdiri dari beberapa jenis mineral zeolit seperti kalsit, kwarsa, renit, klorit, flourit, dan mineral sulfida. Sedangkan zeolit yang berupa batuan diantaranya adalah klinoptilolit, analsit, laumotit, mordenit, filipsit, erionit, kabasit, dan heulandanit (Setiadi dan Dariu, 2006).
Pada umumnya jenis zeolit alam Indonesia termasuk jenis mordenit dan klinoptilolit (Gambar 2). Zeolit jenis mordenit dapat digunakan untuk mengadsorpsi gas H2O, CO, CO2, dan CH4,sedangkan jenis klinoptilolit dapat digunakan untuk mengadsorpsi gas CO, CO2, dan NO (Trisunaryati et al., 2005).
Pada penelitian ini digunakan zeolit alam Lampung yang berasal dari PT.
Winatama. Zeolit alam Lampung memiliki komposisi 78% klinoptilolit, 14%
analsit dan 8% modernit.
Gambar 2. Struktur stereotip klinoptilolit (Las dan Zamroni, 2002)
Aktivasi zeolit alam dilakukan untuk menghilangkan pengotor dan untuk meningkatkan sifat khusus zeolit sebagai adsorben (Rosita et al., 2004). Aktivasi
14 zeolit alam dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan pengecilan ukuran butir, perengkahan, pengayakan, dan pemanasan pada suhu tinggi yang bertujuan untuk menghilangkan pengotor organik, memperbesar pori, dan memperluas permukaan. Sedangkan aktivasi secara kimia dilakukan dengan pengasaman. Pengasaman ini bertujuan sebagai proses dealuminasi. Pengasaman ini akan menyebabkan rasio Si/Al menjadi tinggi (Ertan dan Ozkan, 2005). Luas permukaan dan keasaman yang meningkat akan menyebabkan aktivitas katalitik dari zeolit meningkat (Yunita, 2010).
Zeolit sebagai katalis umumnya digunakan dalam reaksi yang memerlukan katalis. Aktivitas katalitik zeolit dapat dipengaruhi oleh situs asam Bronsted dan Lewis. Situs asam Bronsted adalah situs yang melepaskan ion H+ dan situs asam Lewis adalah situs yang dapat menerima pasangan elektron (Akpolat et al., 2014).
Zeolit dimanfaatkan sebagai katalis karena tersedianya pusat aktif dalam sistem pori katalis yang berhubungan dengan sifat kristal dari zeolit. Zeolit dapat berfungsi sebagai katalis asam karena dapat terjadi pertukaran kation. Contohnya pada zeolit alam dengan kation jenis alkali (Na+), jika terjadi pertukaran kation dengan NH4+
yang diikuti pemanasan, maka pada permukaan zeolit akan terdapat ion H+. Secara katalitik, ion H+ berfungsi sebagai pusat aktif (Togar, 2012).
2.5 Perengkahan (Cracking)
Reaksi perengkahan (cracking) adalah reaksi memecah senyawa hidrokarbon yang memiliki berat molekul besar dan rantai panjang menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih kecil dan rantai yang lebih pendek (Nazarudin, 2000). Reaksi perengkahan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
perengkahan termal (thermal cracking) dan perengkahan katalitik (catalytic cracking).
a. Perengkahan Termal (Thermal Cracking)
Perengkahan termal dilakukan pada temperatur yang tinggi, yaitu pada rentang 425-650 oC (Sadeghbeigi, 2000), sehingga menghasilkan fragmen-fragmen radikal bebas yang akan mengalami oligomerisasi (Wigoyatmo, 1995).
Hidrokarbon akan mengalami perengkahan termal melalui pembentukan radikal bebas pada temperatur tinggi. Awalnya terjadi pemecahan pada ikatan C-C seperti persamaan berikut:
R1 – CH2 – CH2 –CH2 – R2 R1 – CH2* + H2C*–CH2– R2 Radikal-radikal tersebut dapat membentuk etilena dan radikal primer selanjutnya. Menurut aturan β empiris, pemutusan ikatan terjadi pada ikatan C-C yag posisinya β terhadap atom C yang memiliki elektron tidak berpasangan.
Persamaan berikut menggambarkan terjadinya pemutusan ikatan C-C.
R1 – CH2 – CH2 –CH2*
R1 – CH2*
+ CH2 = CH2
Radikal primer yang baru terbentuk akan mengalami pemutusan β sehingga menghasilkan etilena dan radikal dengan jumlah atom C lebih kecil sampai radikal metil terbentuk, radikal metil selanjutnya akan mengambil radikal hidrogen sehingga terbentuk metana dan radikal sekunder. Radikal sekunder ini akan menghasilkan olefin dan radikal primer yang dapat dilihat pada persamaan berikut.
CH3– RCH2(CH2)5 CH3 CH4 + RCH2(CH2)2 CH* CH2 CH3
R – CH2 – CH2 – CH2*
+ CH2 = C H CH2 CH3
16 b. Perengkahan Katalitik (catalytic cracking)
Perengkahan katalitik terjadi melalui pembentukan ion karbonium. Ion karbonium dapat dibentuk melalui serangan langsung proton dari situs katalis Bronsted (asam) (Sadeghbeigi, 2000), seperti pada persamaan reaksi berikut:
R1 – CH = CH– R2 + H + R1 – CH2 – CH+ – R2
Ion karbonium yang sudah tebentuk dapat mengalami pemutusan rantai pada posisi beta untuk membentuk olefin dan ion karbonium baru (Sadeghbeigi, 2000).
R1 – CH2 – CH+ – R2 R1+
+ CH2 = CH2 – R2
Kestabilan karbonium meningkat seiring dengan urutan karbonium tersier
> sekunder > primer > metil. Hal ini menyebabkan karbonium primer memiliki kecenderungan berisomerisasi menjadi karbonium sekunder atau tersier melalui penataan ulang yang melibatkan pergeseran hidrogen maupun pergeseran metil.
Peningkatan stabilitas ion tersier menyebabkan tingginya percabangan yang terkait dengan perengkahan katalitik, begitu terbentuk, ion karbonium bisa membentuk sejumlah reaksi yang berbeda. Sifat dan kekuatan situs asam katalis mempengaruhi sejauh man masing-masing reaksi ini terjadi (Sadeghbeigi, 2000).
2.6 Gas Chromathography-Mass Spectrometry (GC-MS) 2.6.1 Kromatografi Gas (GC)
Pada kromatografi gas, komponen-komponen suatu cuplikan yang berupa uap difraksinasi sebagai hasil distribusi atau partisi komponen-komponen tersebut antara fase gerak berupa gas dan fase diam yang berada dalam kolom (Hermanto, 2009). Prinsip dasar kromatografi gas melibatkan penguapan sampel dalam
injektor, pemisahan komponen dalam campuran, dan deteksi tiap komponen dengan detektor. Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran kimia dalam suau bahan berdasarkan polaritas campuran (Eaton, 1989).
Komponen-komponen utama pada komatografi gas meliputi:
1. Fase gerak
Fase gerak pada GC juga disebut dengan gas pembawa karena tujuan awalnya adalah untuk membawa zat terlarut ke kolom (Rohman, 20009). Faktor yang menyebabkan suatu senyawa bergerak melalui kolom kromatografi gas adalah sifat mudah menguap dari cuplikan. Aliran gas pembawa melalui kolom dapat terjadi karena perbedaan tekanan pada ujung masuk dan ujung keluar dari kolom tersebut. Gas pembawa yang sering digunakan adalah Helium (He), Nitrogen (N2), dan karbon diosida (CO2). Gas pembawa yang dipakai harus disesuaikan dengan jenis detektornya (Roy, 1997).
2. Ruang Suntik Sampel
Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan efisien.
3. Kolom
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada GC (Rohman, 2009). Keberhasilan suatu proses pemisahan terutama ditentukan oleh pemisahan kolom (Mulja, 1995). Kolom dapat dibuat dari tembaga, kuningan, aluminium, zat sintetik atau gelas, berbentuk lurus, melengkung, ataupun gulungan spiral sehingga lebih menghemat ruang (Hermanto, 2009).
18 4. Detektor
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.
Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik (Rohman, 2009). Fungsi detektor untuk mengukur kuantitas dari komponen yang telah dipisahkan yang ada dalam aliran gas pembawa yang meninggalkan kolom. Kolom dari detektor diumpan ke sebuah perekam yang menghasilkan suatu kurva yang disebut kromatogram (Roy, 1997).
5. Komputer
Kromatografi gas modern menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunaknya (software) unuk digitalisasi sinyal detektor.
2.6.2 Spektrometri Massa (MS)
Spektometri massa adalah suatu alat yang berfungsi untuk mendeteksi masing-masing molekul komponen yangtelah dipisahkan pada sistem kromatografi gas. Spektrometri massa adalah suatu instrumen yang menghasilkan berkas ion dari suatu zat uji, memilah ion tersebut menjadi spektrum sesuai dengan perbandingan massa terhadap muatan (m/z) dan merekam kelimpahan relatif tiap jenis ion yang ada. Spektrometri massa dapat digunakan untuk menukar perbandingan massa ion terhadapmuatan, untuk menetapkan kelimpahan ion dan untuk mempelajari proses ionisasi (Mulja, 1995). Spektrometri massa pada umumnya digunakan untuk menentukan massa molekul, menentukan rumus molekul dengan menggunakan spektrum massa beresolusi tinggi (high
resolutionmass spectra) dan mengetahui informasi dari struktur dengan melihat pola fragmentasinya (Silverstein et al., 1989). Spektrometri massa bekerja melalui 4 tahap yaitu :
1. Ionisasi
Metode ionisasi untuk analisis spektrometri massa pada umumnya menggunakan metode Electron Impact ionization (EI). Sampel diuapkan pada kondisi hampa udara pada tekanan 10-4 sampai 10-6 mmHg pada suhu tertentu.
Sampel yang berupa uap akan diteruskan ke dalam ruang pengion. Di dalam ruang pengion ini, uap sampel dihantam oleh elektron sekitar 70 eV sehingga terbentuk ion molekul. Kemudian ion molekul tersebut terpecah lagi menjadi ion-ion yang lebih kecil (Hermanto, 2009).
2. Akselerasi
Ion yang terbentuk akan diakselerasi sehinga seluruhnya akan mempunyai energi kinetik yang sama. Ion positif akan ditolak dari ruang ionisasi dan seluruh ion diakselerasikan menjadi sinar ion yang terfokus dan tajam (Mulja, 1995) 3. Defleksi
Ion didefleksikan (dibelokkan) oleh medan magnet sesuai dengan massanya. Besarnya defleksi tergantung padamassa ion, yaitu yang memiliki massa kecil akan lebih terdeteksi dari yang berat dan muatan ion yang mempunyai 2 atau lebih muatan positif akan lebih terdefleksi dari yang hanya mempunyai satu muatan positif. Kedua faktor ini digabung menjadi rasio massa/muatan. Rasio massa/muatan diberi simbol m/z. Sebagai contoh, jika suatu ion memiliki massa 56 dan muatannya adalah 2+ , maka ion ini akan mempunyai rasio m/z 28 (Mulja, 1995).
20 4. Deteksi
Ion yang melewati mesin akan dideteksi secara elektrik. Hasil analisis GC-MC akan diperoleh dua informasi dasar, yaitu hasi analisis kromatografi gas yang ditampilkan dalam bentuk kromatogram dan hasil analisis spektrometri massa yang ditampilkan dalam bentuk spektrum massa. Berdasarkan kromatogram dapat diperoleh informasi mengenai jumlah komponen kimia yang terdapat dalam campuran yang dinalisis yang ditunjukkan oleh jumlah puncak yang terbentuk pada kromatogram dengan kuantitasnya masing-masing. Spektrum massa hasil analisis sistem spektrometri massa merupakan gambaran mengenai jenis dan jumlah fragmen molekul yang terbentuk dari suatu komponen kimia. Setiap fragmen yang terbentuk dari pemecahan suatu komponen kimia memiliki berat molekul (m/z) yang berbeda. Selanjutnya, spektrum massa komponen kimia yang diperoleh dari hasil analisis diidentifikasi dengan cara dibandingkan dengan spektrum massa suatu bank data (Mulja, 1995).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tepat Penelitian
Penelitian ini lakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, BPPT Pusat Teknologi Material dan BPPT PTSEIK pada bulan September 2018 sampai Maret 2019.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set reaktor catalytic cracking, Gas Crimatoraphy Mass Spectroscopy (GC-MS) Shimadzu QP 2010, Mini Flash Point, Lauda Pour Point, oven, piknometer, dan alat-alat gelas.
Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak goreng bekas (jelantah) yang didapatkan dari rumah makan Hosen, zeolit yang diperoleh dari PT Winatama Lampung, akuades, etanol teknis, dan aseton.
3.3 Prosedur Kerja
Penelitian ini secara garis besar dilakukan melalui 3 tahapan yaitu: uji sifat fisik dan sifat kimia sampel minyak jelantah, optimasi proses catalytic cracking, dan analisis sifat fisik dan kimia produk biofuel.
22 3.3.1 Skema Kerja
Gambar 3. Skema kerja penelitian
Catalytic cracking Uji densitas
Analisis komponen kimia (GCMS)
Waktu reaksi t= 1, 2 dan 3 jam, T = 350 oC,
= 180 m, k = 5%
Suhu reaksi
t = 3 jam, T = 325, 350 dan 375
oC, = 180 m, k = 5 %
Konsentrasi katalis t = 3 jam, T = 375 oC, = 180
m, k = 3, 5, dan 7 %
Ukuran katalis
t = 3 jam, T = 375 oC, = 180 , 250, 630 m, k = 7 %
Analisis komponen kimia (GC-MS)
Uji sifat fisik : Uji densitas Titik nyala Titik tuang Minyak goreng
bekas 50 mL
Biofuel pada kondisi optimum
3.3.2 Analisis Komponen Kimia Minyak Goreng Bekas (Shimadzu, 2010) Sampel minyak jelantah dianalisis komponen kimianya dengan menggunakan GC-MS. Sebanyak 0,1 mL sampel cair minyak jelantah diinjeksikan dengan injector ke dalam kolom melalui injection port. Fasa diam yang digunakan adalah DB-5MS dengan panjang 30 m, diameter internal 0,32 mm dan tebal 0,25. Sedangkan fasa gerak yang digunakan adalah gas helium dengan kecepatan alir 1,02 mL/menit. Mass Spectrometry menggunakan metode pengion electron impact dengan 70 eV. Sampel akan berinteraksi dengan fase diam dalam kolom, kemudian fase gerak akan membawa sampel sampai ke detektor dan menghasilkan kromatogram melalui sistem operasi komputer. Data yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan standar yang ada dalam Library sehingga dapat ditentukan senyawa kimianya.
3.3.3 Uji Densitas Minyak Goreng Bekas (ASTM D 1298)
Analisis densitas dilakukan dengan menggunakan piknometer. Awalnya dilakukan kalibrasi volume piknometer dengan cara menimbang piknometer kosong dan mencatat beratnya. Kemudian dimasukkan air ke dalam piknometer sampai batas sampel. Piknometer ditutup dan dipastikan tidak ada gelembung udara. Piknometer + air dicatat beratnya. Volume piknometer dihitung dengan cara sebagai berikut:
( ) ( )
(1)
Setelah itu piknometer dibersihkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer dan pastikan tidak ada gelembung udara. Massa piknometer + sampel ditimbang dan dicatat serta dihitung densitasnya dengan cara berikut:
24 ( ) ( )
(2)
3.3.4 Proses Optimasi Catalytic Cracking
Proses optimasi catalytic cracking dilakukan dengan menggunakan sampel berupa minyak jelantah yang diperoleh dari rumah makan Hosen. Zeolit alam yang digunakan adalah zeolit yang sudah diaktivasi dengan metode pengasaman menggunakan NH4Cl (Dyer et al., 2000).Sebanyak 50 mL sampel minyak jelantah dan 2,5 g H-Zeolit (5% dari berat sampel) dimasukkan ke dalam reaktor catalytic cacking. Pemanas reaktor dijalankan hingga mencapai suhu 350
oC, kemudian pengaduk dinyalakan pada kecepatan 400 rpm. Proses berlangsung selama 1, 2 dan 3 jam, setelah itu pengadukan dihentikan dan dilanjutkan dengan proses distilasi selama 3 jam. Destilat (biofuel) ditampung dan ditimbang massanya serta dihitung rendemennya dengan rumus:
(3)
Produk dengan rendemen tertinggi ditetapkan sebagai waktu terbaik proses. Proses catalytic cacking kemudian dijalankan dengan variasi lain, yaitusuhu (325, 350 dan 375 oC), konsentrasi katalis (3, 5 dan 7%), dan ukuran katalis (180, 250 dan 630 ). Produk yang dihasilkan dengan kondisi optimum kemudian dilihat komposisi kimianya dengan menggunakan GC-MS dan diuji sifat fisiknya yang meliputi densitas, titik nyala dan titik tuang.
3.3.5 Karakterisasi Biofuel
3.3.5.1 Analisis Senyawa Kimia Biofuel dengan GC-MS (Shimadzu, 2010) Produk dariproses catalytic cracking yang diperoleh dianalisis kandungan senyawa kimianya menggunakan GCMS dengan cara yang sama seperti pada
3.3.5.1 Analisis Senyawa Kimia Biofuel dengan GC-MS (Shimadzu, 2010) Produk dariproses catalytic cracking yang diperoleh dianalisis kandungan senyawa kimianya menggunakan GCMS dengan cara yang sama seperti pada