BAB I PE+DAHULUA+
D. Manfaat Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk menggambarkan bagaimana peran ziarah sebagai salah satu sumber coping dalam mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari. Peran ziarah ini akan sangat bermanfaat terutama bagi para praktisi psikologi dalam memahami pemeliharaan
kesehatan mental yang berasal dari kekayaan lokal. Pemahaman ini juga bermanfaat bagi pemuka agama. Pemuka agama diharapkan mampu mengelola peziarahan ini secara lebih baik sehingga selain dapat mengembangkan bidang rohani juga dapat mendukung bagi pemeliharaan kesehatan mental umatnya.
8 BAB II
KERA+GKA TEORITIS
A. Ziarah
1. Pengalaman Berziarah
Pengalaman merupakan sebuah peristiwa yang disadari dan dialami (VandenBosch, 2007). Secara detail, Brenanto (Ashworth, 2008) menggambarkan pengalaman sebagai berikut :
“conscious experience as a process; experiencing was an act, so that different kinds of experience are to be distinguished by the particular way in which we gain consciousness of the object of experience. In particular, the ‘kind’of consciousness act involved in relating ourselves to something so as to form a judgment about it is different from the conscious act by which we achieve a perception of something. So judgment and perception and other modes of conscious experience involve different orientations to the object.”
Pengalaman digambarkan sebagai sebuah proses dan merupakan tindakan.
Dimana perbedaan pengalaman sangat ditentukan lewat bagaimana seseorang meraih kesadaran dari objek pengalaman. Pengalaman juga merupakan sebuah proses yang terus berkembang. Tema yang sedang menjadi fokus seseorang saat itu akan menentukan arti dari pengalaman tersebut (James dalam Ashworth, 2008).
Meminjam cerita dari Sindhunata (2007), ada sebuah pengalaman menarik yang dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai berziarah.
“Panikkar adalah mantan professor studi agama-agama di Universitas California, yang kemudian hidup menepi di sebuah desa Pyrenea.
Pertengahan tahun sembilan puluhan, abad lalu, ia menyempatkan diri berziarah ke Kaliasa, tempat ziarah yang telah menjadi simbol suci bagi agama-agama di Asia Selatan, baik agama Hindu, Buddha maupun Sikh.
Tak seperti gereja, pura atau masjid, yang dibuat oleh tangan manusia, Kaliasa ada begitu saja, tanpa ada yang membuatnya.
Mendaki Kaliasa, gunung yang tinggi itu, Panikkar mengalami dirinya berada dalam situasi yang oleh Katha Upanisad disebut sebagai asti, nasty, keadaan di antara ada dan tiada. Kaliasa memberi suasana, dimana ia merasa kematian itu ada. Dan bukan dalam dirinya. Kematian itu ada dimana-mana. Seperti sebuah atmosfer yang melingkupinya. Karenanya, kematian itu bukan ancaman: ia adalah pelukan, yang membunuh dengan kedamaian. Di Kaliasa ia juga mengalami bagaimana rasanya terlepas dari sejarah. Sejarah ada karena adanya urutan-urutan waktu. Di sana waktu seakan tiada. Sungai-sungai, bukit-bukit, puncak-puncak, karang dan pepohonan ada begitu saja. Tak tahu, kapan mereka mulai ada, dan kapan mereka akan berakhir. Mereka seakan berada di luar sejarah.
Dalam keadaan demikian, Panikkar disadarkan, bahwa hidup tak bisa lagi ditentukan oleh target dan pencapaian. Ini lain dengan pengalaman kita sehari-hari, dimana kita merasa hidup karena kita hendak mengejar sesuatu. Hari ini kita bekerja untuk bisa hidup di hari esok, kita membanting tulang untuk masa depan, bersusah payah untuk meraih sesuatu di kelak kemudian. Kematian menjadi mengancam, karena kematian mematahkan kesinambungan hidup kita yang mengejar cita-cita itu. Di Kaliasa, semuanya itu menghilang. Di sana orang seakan berada dalam kepenuhan hari ini. Karena itu, ia tidak mengharapkan datangnya pemenuhan di hari esok. Ia tidak perlu me-reservasi tenaga untuk kesempurnaan di hari depan. Matahari, bulan, dan bintang-bintang ada dan bergerak tanpa terburu-buru.
Berada dalam keadaan demikian orang pasti merasa ia tidak perlu terburu-buru melangkah. Ia maju langkah demi langkah. Dan setiap langkah dibuat bukan demi langkah yang akan datang, tapi demi langkah yang ia ambil saat itu juga. Dan langkah itu amat kecil dan pendek, bukan langkah raksasa Dewa Wisnu. Tapi kendati kecil, setiap langkah itu adalah definitif. Dalam setiap langkah tersebut orang merasa ditantang, apakah ia mau menikmati langkahnya itu sebagai pemenuhan dan kesempurnaan. Memang, kata Panikkar, kepenuhan hidup tidak berada lagi di luar atau di depan kita, sesuatu hal yang masih harus kita raih.
Kepenuhan itu tersedia, dalam setiap langkah yang kita ambil itu.”
Penulis lain merumuskan ziarah sebagai amaliah mengunjungi suatu tempat suci yang mengandung makna mengingat kembali, memperkuat
10
keyakinan, menyadari kefanaan hidup di dunia, dan memperoleh berkat keselamatan (Sunyoto, 2007).
Dari dua makna yang muncul setidaknya ada beberapa aspek yang menjadi inti dari arti ziarah tersebut.
a. Keterpisahan dari dunia
Setiap peziarahan memiliki tempat khusus. Tempat dimana seseorang bisa terpisah dari kehidupan sehari-hari. Di tempat tersebut orang dapat mengambil jarak terhadap dunia dan seluruh isinya, karena dunia bersifat “sementara”. Ia tidak mengikat diri pada sebuah proyek yang terbatas dan sementara (Jakob, 2007). Jarak yang diambil karena adanya perbedaan antara realitas sehari-hari dengan harapan yang dimiliki atau antara kenyataan dengan diri. Jarak ini kemudian dibuat dengan mengadakan “pengungsian” sementara ke tempat-tempat yang dapat menampung harapan akan diri tersebut.
b. Perubahan
Perubahan ini dapat berupa memperoleh berkat keselamatan maupun kesadaran akan diri dengan realitas yang ada. Memperoleh berkat keselamatan dapat digambarkan dengan terkabulnya permohonan atau keinginan. Permohonan ini biasanya dimintakan kepada tokoh yang dapat menjadi perantara kepada Tuhan. Sedang, kesadaran diri lebih menunjukkan bagaimana seseorang menyadari jarak antara kenyataan dengan dirinya.
c. Pengharapan
Pengharapan ini ingin menunjukkan bagaimana seseorang dalam menghadapi kenyataan yang ada. Pengharapan ini menjadi jembatan antara kenyataan dengan diri.
2. Kepercayaan dan Ziarah dalam Tradisi Kristen
Ziarah dalam Kristen merupakan salah satu cara menuju ke tempat suci yang di dalamnya merupakan praktik asketis yang mengajak orang mencari keselamatan lewat kesukaran dan bahaya dari pengasingan sementara. Hal ini juga berarti kembali mengadakan hubungan dengan yang Mahatinggi, sehingga mendapatkan rahmat akibat dari kumpulan kekuatan supernatural yang ada di tempat peziarahan tersebut. Selain itu, ketika berkat yang diminta telah diberikan, ziarah juga dapat merupakan tindakan untuk menyatakan rasa terima kasih. Pertemuan antara Tuhan dan manusia ini lewat medium dari Santo/Santa/orang kudus (Eliade dan Adam, 1987).
Bentuk ziarah Kristen berakar dari devosi rakyat dan ibadat kepada para pahlawan Yunani dan Romawi kuno. Pada masa kekristenan, ziarah ini ditujukan kepada para martir. Penghormatan terhadap makam maupun peninggalan (relikui) tumbuh subur tahun 200 M. Orang percaya bahwa tempat ataupun barang mereka terpilih. Keduanya merupakan tempat dimana surga dan bumi bergabung. Disana, Allah dan Daya Ilahi menjadi lebih dekat kepada manusia untuk menolong dan mengerjakan mukjizat (Groenen, 1986).
12
3. Kepercayaan dan Ziarah dalam Kultur masyarakat Jawa
Gambaran Kasiyo “Sarkub”(Sarjana Kubur) dapat mewakili gambaran orang Jawa yang kini berziarah. Ia menghabiskan waktu di tempat–tempat keramat tertentu, membakar kemenyan dan mencari barokah dari sang Khalik yang dirumuskan dalam khasanah spiritual Jawa yaitu “Kyai Slamet” dan
“4yai Tentrem”(Laksana 2007). Hampir kurang lebih setengah abad lalu, C.
Geertz (terj., 1983) juga menceritakan bagaimana orang di Mojo kuto menghormati “Mbah Buda” (kakek Buda), makhluk halus yang tinggal di pusat kota. Orang juga mendatanginya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan seperti juga Kasiyo. C. Geertz menceritakan sebagai berikut :
Kalau seseorang menginginkan mbah Buda mengabulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu- sekalipun beberapa orang mengatakan bahwa orang bisa melakukannya di rumah- minta pengampunan serta maaf dari demit itu, dan berjanji akan mengadakan selamatan untuk menghormati demit itu kalau permohonannya dikabulkan. Sangat penting untuk keberhasilan maksud itu kalau orang mengharap dengan sungguh-sungguh, memohon dengan pikiran manunggal dan tidak tergoyahkan, dan tidak memikirkan apa pun lainnya sampai permohonannya dikabulkan.” (p. 30-31)
Orang Jawa melihat dunia empiris tidak terpisahkan dari dunia meta empiris (alam gaib) dan keduanya saling melengkapi. Hal ini menyebabkan
orang Jawa merasa bahwa kesejahteraan tergantung pada kekuatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi dirinya. Orang Jawa menjaga hubungan terhadap kekuatan gaib itu dengan memberikan sesajen, menggunakan jimat/ pusaka-pusaka tertentu maupun melaksanakan upacara selamatan pada situasi tertentu (Magnis Suseno,1984).
Dengan dasar ini, ziarah menjadi kegiatan yang umum dalam masyarakat Jawa. Intinya bahwa orang mendatangi suatu tempat untuk mendapatkan barokah dari kekuatan gaib. Dimana barokah merupakan proses tawar menawar sendiri terhadap kekuatan gaib. Hal ini muncul terus menerus.
Pada masa pra sejarah penghormatan kepada nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan di desa. Sedang pada masa Majapahit, seorang raja menjelajah kerajaannya. Ia mengunjungi candi-candinya untuk berhubungan dengan dewa yang bersangkutan dan memperoleh kekuasaan gaib dari para pendahulunya (Magnis Suseno, 1984). Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang juga tetap mengunjungi raja (misalnya pangeran samudra atau makam raja-raja Mataram di Imogiri) maupun para wali (dalam pengaruh Islam), masih tetap untuk mendapatkan barokah dari sosok/ tokoh kekuatan yang di tempat tersebut.
14
B. Sosok Wanita
1. Maria
Ada perdebatan tentang kemunculan sosok Maria ini. Beberapa ilmuwan menjelaskan bahwa penyembahan kepada Maria berkaitan dengan sejarah pada masa neolitik. Dimana terjadi perubahan dari masa berburu ke masa pertanian. Arkeolog tidak menutup kemungkinan bahwa ada tempat pemujaan terhadap dewa-dewi pada masa tersebut. Masyarakat mengidentikkan bumi sebagai wanita. Mereka mengidentikkan tanah dengan kesuburan dan regenerasi. Sebagian ilmuwan lain menganggap bukti itu kurang kuat. Tema bumi yang identik dengan wanita tidak berlaku umum di semua belahan dunia. Dewi yang muncul sedikit kurang populer dan penting dalam penyembahan (Carrol, 1986).
Dalam diri umat Kristen sendiri, kemunculan sosok Maria merupakan sebuah imajinasi. Hal ini perlu disadari karena selama ini cerita mengenai Maria sangat terbatas terungkap di dalam kitab suci. Groenen (1988) menyebutkan bahwa dalam kitab suci perjanjian baru tidak ada bekas suatu
“devosi” kepada orang kudus khususnya kepada Maria. Bahkan Yesus sendiri relatif jarang menjadi sasaran kebaktian umat beriman.
Para sejarawan melihat perkembangan devosi Maria lewat sejarah agama kekaisaran Romawi. Empat abad pertama tidak ada penghormatan terhadap Maria. Ada dua alasan mengapa hal ini tidak muncul. Pertama agama Kristen menjadi agama yang minoritas. Kedua, penganutnya
kebanyakan adalah kaum ekonomi menengah. Pada situasi tersebut, kaum menengah umumnya memiliki struktur keluarga dengan kedudukan figur otoritas ayah cukup dekat dengan anak. Seorang ayah Romawi akan mengikuti perkembangan si anak karena berada didekatnya. Ayah biasanya bekerja di sekitar rumah. Ibu memiliki peran tidak hanya berada di dalam urusan rumah tangga saja dan poligami jarang terjadi (Carrol, 1986).
Baru kemudian terjadi perubahan sekitar akhir abad keempat.
Gelombang kaum proletar (kelas bawah) mulai masuk di dalam Gereja.
Perubahan ini membawa suasana baru. Figur Maria mulai muncul di sini. Hal ini merupakan hal wajar. Bentuk keluarga proletar, umumnya memiliki peran ibu yang lebih besar di dalam keluarga. Anak memiliki jarak dengan figur otoritas dari sang ayah (father-in effective family). Kelekatan kepada ibu lebih besar. Dorongan keinginan anak untuk menginginkan ibunya menjadi lebih besar. Dalam psikoanalis, keinginan ini kemudian tersalurkan lewat penyembahan kepada sosok wanita (Carrol, 1986).
Pada awalnya, kemunculan figur ini tidak menjadi masalah karena tidak menyentuh doktrin-doktrin Kristologi dalam Gereja. Bagi para pemimpin Gereja, figur ini dapat menjadi jalan untuk merawat kesatuan dalam Gereja terutama pada kaum proletar. Baru kemudian pada tahun 431 M di konsili Efesus, Maria disebut Theotokos atau Ibu Tuhan. Dimana terdapat hubungan yang erat antara Maria dengan Tuhan. Hal ini menyebabkan figur Maria menjadi lebih penting dan tinggi dari sebelumnya. Pada Konsili Chlasedon (451 M), Maria ditetapkan melahirkan dalam keadaan perawan
16
dan terus tetap perawan. Dogma ini menunjukkan bahwa keilahian Maria tidak lagi memiliki hubungan dengan seksualitas. Dalam psikoanalitik, fakta tersebut disebut sebagai sebuah keinginan kepada ibu yang kuat tetapi dipendam secara kuat (Carrol, 1986).
Pada masa berkembangnya devosi kepada Maria terdapat kemunculan dua hal yang cukup berkaitan. Pertama adalah ketertarikan terhadap “kisah sengsara Yesus” dan kedua adalah munculnya hidup selibat. Kedua hal tersebut dipandang sebagai simbol kastrasi. Dimana sang anak memiliki sebuah ketakutan untuk dikebiri dan terwujud di dalam keinginan untuk menghayati sengsara dan juga selibat (Carrol, 1986).
Sejak abad VII sampai sepanjang zaman pertengahan devosi kepada Maria pada orang Kristen semakin berkembang. Devosi rakyat mempengaruhi berbagai perayaan ibadat resmi. Peristiwa tentang hidup Maria mulai dirayakan dan ditandai. Misalnya saja, salah satu contoh adalah doa salam Maria yang cukup populer sampai sekarang. Doa ini muncul pada Abad ke 12 dan 13. Doa salam Maria ini pertama kali muncul hanya dengan ucapan malaikat : “Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu” dan ucapan Elisabeth : “terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu.
Pada abad ke 15, muncul tambahan di dalam doa tersebut permohonan untuk kematian dengan baik. Doa tersebut menjadi lengkap pada abad ke 16 dengan muncul bagian ke dua yang biasa diucapkan sampai sekarang (Darminto,1993).
2. Maria dalam Teks Gereja
Secara khusus Gereja memiliki ajaran tentang Maria. Lazim dalam Gereja katolik, ajaran ini disebut sebagai Mariologi. Di dalamnya ajaran bersifat dogma dan kebenaran bukan dogma, dipelajari. Ada empat macam dogma mariologis yaitu: Kebundaan ilahinya, keperawanannya, kebebasannya dari dosa asal, dan terangkatnya ke surga dengan jiwa raganya. Selain itu ada juga ajaran Gereja yang lain: kebebasannya dari dosa pribadi, kebundaan rohaninya, cara kepengantaraannya dan juga gelar-gelarnya (Dister, 2004) Ajaran ini ditujukan kepada anggota Gereja baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk ajaran dapat berupa renungan maupun doa yang sering digunakan sebagai pegangan atau panduan. Doa maupun renungan yang resmi berasal dari Gereja dibandingkan dengan gambaran dari peziarah. Hal ini akan sangat membantu dalam melihat bagaimana pengaruh Gereja tentang Maria terhadap penghayatan peziarah yang kebanyakan merupakan anggota Gereja Katolik.
3. Wanita dalam Kultur Jawa
Peran wanita dalam kultur Jawa sangat kuat. H. Geertz (terj., 1983) menunjukkan dengan peran wanita yang cukup luas dalam bidang pekerjaan.
Hal ini juga berlaku di dalam urusan rumah tangga. Wanita memiliki peranan besar dalam segala macam keputusan yang diambil dalam keluarga (somah).
Dalam menerima anggota di luar somah, ada kecenderungan bahwa lebih mudah untuk menerima anggota keluarga yang berasal dari pihak istri dari
18
pada suami. Demikian pula ketika terjadi perceraian, anak akan lebih baik jika bersama dengan ibunya. Hal ini menyebabkan ikatan terhadap seorang ibu kepada anak menjadi lebih kuat daripada bapanya.
C. Ziarah ke Gua Maria dalam Sudut Pandang Psikologi
Ziarah muncul ketika sosok figur Maria semakin menonjol sebagai sasaran devosi rakyat. Gua Maria merupakan salah satu dari tiga tipe tempat ziarah Kristen, selain tempat ziarah pada kuburan atau relikui yang berisi jasad atau potongan tubuh orang kudus dan juga tempat peziarahan berdasar devosi tertentu (misalnya devosi Hati Kudus Yesus Ganjuran). Kemunculan ini bisa disebabkan karena penghormatan kepada patung Maria yang dianggap ajaib maupun karena penampakan oleh Bunda Maria kepada seseorang yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan (Eliade et al., 1987).
Kebanyakan di Indonesia sendiri dibangun lebih karena penghormatan kepada Maria. Pendirian gua Maria di Indonesia merupakan sebuah warisan budaya yang berasal dari misi Gereja Katolik yang datang dari Eropa. Salah satu contohnya adalah Sendangsono. Gua Maria ini merupakan salah satu tampat yang diprioritaskan dibangun selain sekolah, gereja dan pastoran serta lonceng-lonceng oleh Romo Prennthaler, seorang imam yang berasal dari Austria (Sindhunata, 2004).
Hermkens, Jansen, dan Noterman (2008) menemukan bahwa bagi umat Katolik sendiri, sosok Maria ini menyediakan Jawaban atas keseluruhan
masalah. Mereka mengikatkan diri dengan Maria untuk mendapatkan peneguhan serta perbaikan atas hidup. Hal ini berkaitan dengan kenyataan modernisasi yang mempertajam ketidaksetaraan gender, etnis, kelas, religi dan umur. Orang mengutarakan masalah tersebut dalam kegiatan religius peziarahan Maria.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori Argyle (1964). Ia mengungkapkan bahwa ada tujuh dasar psikologi dari religi, sebagai berikut:
1. Pengurangan kebutuhan secara langsung (Direct need-reduction)
Ada sebuah fakta bahwa orang lebih suka untuk menerima pola-pola perilaku yang dipandang dapat memuaskan kebutuhan maupun motivasi.
2. Pengurangan kecemasan (Anxiety Reduction)
Situasi yang memicu kecemasan dapat mengurangi rasa aman.
Orang dapat mengatasi rasa kecemasan tersebut dengan mengadopsi sistem kepercayaan yang dimilikinya.
3. Konflik Internal (Internal Conflict)
Religi dapat dimunculkan melalui konflik di dalam diri seseorang.
Konflik ini dapat muncul melalui dua cara:
20
a. Perasaan takut dapat muncul dan dapat dikurangi lewat doktrin dan praktik Protestan. Doktrin dalam Protestan ini menekankan akan dosa dan keselamatan
b. Reaksi religi pada konflik adalah ketika seseorang menghadapi konflik antara diri mereka dengan tuntutan akan kesadaran. Hal ini kemudian akan diproyeksikan melalui religi.
4. Tuhan sebagai fantasi dari sosok orang tua (God as fantasy parent figur)
Tuhan adalah sosok re-proyeki dari figur orang tua. Dimana sebelumnya diinternalisasi sebagai super ego. Proyeksi ini mungkin untuk terjadi jika ada perbedaan besar antara harapan dengan diri dan kesadaran.
5. Identitas Ego (ego identity)
Orang memiliki kebutuhan untuk memiliki konsep tentang diri yang jelas dan berbeda dari konsepsi orang lain. Erikson menunjukkan pada akhir masa remaja muncul krisis identitas.
Orang muda tiba-tiba mengubah atau memantapkan identitas Ego mereka.
6. Kebutuhan kognitif/ pengetahuan (Cognitive clarity/ need of understanding)
Orang dapat menerima kepercayaan pertama kali karena menyediakan pemahaman untuk menyusun situasi yang secara kognitif membingungkan mereka. Dalam masyarakat primitif, hal ini dapat menjelaskan tentang kemunculan fenomena alam yang terjadi. Misalnya dapat menjelaskan tentang kemunculan petir.
Dalam situasi modern ini, orang cenderung mengarah kepada masalah motivasi, seperti arah tujuan hidup.
7. Faktor biokimia (Biochemical factor)
Pengalaman religius yang emosional dan mistik dapat dijelaskan lewat perubahan dalam zat-zat kimia dalam tubuh. Eksperimen dengan mescaline dan LSD memberikan pengaruh halusinasi secara visual, persepsi yang luar biasa hebat, pengalaman tanpa batas waktu, depersonalisasi dan euphoria.
Dengan latar belakang ini, simbol Maria cukup mengakar kuat dan populer di dalam hidup orang Kristen sendiri. Hal ini dapat mengungkapkan betapa figur seorang wanita (ibu) dapat memberi pengaruh yang cukup kuat di dalam struktur psikis manusia. Figur seorang ibu ini juga sangat mudah muncul dan berkembang di dalam imajinasi manusia. Misalnya saja dalam mitologi-mitologi, terungkap dimana simbol-simbol mengenai ibu juga banyak muncul.
Simbol ibu juga memberi peran besar di dalam mitologi tersebut. Dalam kisah Mahabharata, Kunthi (ibu dari Pandawa) memiliki peran yang besar bagi munculnya perang Baratayudha (Setyawati, 2008).
22
Jung (terj., 1969) melihat beberapa unsur dalam mitologi yang mengungkapkan simbol ibu yaitu kota, kayu atau pohon kehidupan, dan air.
Berbagai bentuk simbol tersebut sebenarnya bukan sebuah simbol riil dari ibu sendiri tetapi merupakan sebuah simbol dari libido anak terhadap objek libido yaitu ibunya sendiri. Hal ini merupakan sebuah kerinduan anak akan keinginannya hidup bersama ibunya. Tentu saja hal ini memunculkan incest yang kemudian memunculkan pelarangan seperti dalam bentuk totem pada suku Aborigin (Freud, terj., 2002). Libido tersebut memerlukan suatu saluran yang tepat. Libido kemudian hanya dapat digantikan oleh simbol-simbol lewat ketidaksadaran.
Dengan cara tersebut libido menjadi lebih progresif dan dapat mencapai kesadaran lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, lewat simbol-simbol tersebut, Jung (terj., 1969) memberikan penjelasan bahwa keinginan untuk incest tidak sekadar karena menginginkan hidup bersama dengan ibunya seperti dalam pandangan Freud. Jung menekankan bahwa keinginan ini berasal dari anak sendiri untuk masuk kembali ke dalam rahim ibu untuk dilahirkan kembali. Di dalam fantasi, satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam kandungan ibu hanya bisa dilakukan dengan melakukan incest dengan ibunya.
Penyaluran libido terhadap simbol-simbol lewat ketidaksadaran ini menghasilkan fantasi yang cukup kreatif di dalam diri manusia. Misalnya saja bentuk larangan akan incest ini digambarkan dengan kelahiran sang tokoh utama tanpa ayah dan yang membuat kehamilan tersebut merupakan dewa atau Roh Tuhan. Dalam kisah Kunthi dan Maria setidaknya ada persamaan tersebut.
Kedua tokoh tersebut melahirkan putranya tanpa campur tangan seorang ayah yang berwujud manusia. Kunthi memperoleh anak-anaknya, Pandawa, lewat dewa-dewa akibat anugerah untuk memanggil dewa dari seorang pertapa (Setyawati, 2008). Sedangkan Maria memperoleh putra lewat roh kudus dimana dirinya dipilih oleh Tuhan untuk mengandung putra pilihannya. Libido semacam ini akan mudah terekspresikan di dalam kesadaran karena bentuknya yang aman dan dapat diterima oleh masyarakat.
Maria sebagai sosok konkret seorang ibu. Ia mewakili simbol anak untuk penyaluran libidonya. Carrol (1986) memberikan penjelasan lewat tiga
Maria sebagai sosok konkret seorang ibu. Ia mewakili simbol anak untuk penyaluran libidonya. Carrol (1986) memberikan penjelasan lewat tiga