• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, memberikan pengetahuan mengenai dismenore dan dampaknya terhadap aktivitas sehari-hari termasuk kualitas tidur, sehingga bisa menjadi landasan dalam memberikan edukasi di kemudian hari.

2. Bagi mahasiswi FK USU, dapat menambah pengetahuan tentang kualitas tidur dan dismenore, sehingga dapat memiliki pemahaman yang lebih baik.

3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya, sehingga menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kualitas tidur pada saat dismenore.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISMENORE

2.1.1 Definisi Dismenore

Dismenore didapatkan dari bahasa yunani. Dys memiliki makna sulit, nyeri, abnormal dan meno maknanya bulan serta orrhea yaitu aliran. Rasa nyeri ataupun rasa sakit di bagian perut hingga panggul yang dapat mengganggu aktivitas dan memerlukan adanya pengobatan atau terapi disebut dengan dismenore (Judha et al., 2012).

Dismenore dapat digambarkan sebagai gejala yang sering kambuh, atau istilah kedokterannya disebut nyeri panggul yang menggambarkan kondisi ketika seorang wanita merasakan nyeri saat menstruasi yang memiliki efek merugikan yang menyebabkan terganggunya kehidupan sehari-hari akibat rasa nyeri yang dirasakannya. Hal ini bisa terjadi selama 2 hari atau lebih lama dari lamanya masa menstruasi setiap bulannya. Nyeri haid ini dapat terjadi di usia berapapun (Afiyanti & Anggi., 2016).

Nyeri sebelum, saat, dan sesudah menstruasi merupakan gangguan menstruasi yang paling sering dikeluhkan. Hormon prostaglandin membuat otot uterus berkontraksi sehingga menimbulkan rasa nyeri. Biasanya rasa nyeri dapat dirasakan di daerah perut bagian bawah, pinggang bahkan punggung. Seorang wanita masih dapat melakukan aktivitas jika nyeri yang dirasakan saat haid masih ringan. Akan tetapi, seorang wanita tidak dapat melakukan aktivitas bila nyeri yang terjadi sangat hebat, maka hal itu termasuk pada gangguan (Judha et al., 2012).

2.1.2 Etiologi Dismenore

Dismenore bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal, biasanya radang panggul, endometriosis, tumor, stress atau cemas yang berlebihan menjadi penyebab terjadinya dismenore. Ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh juga bisa menjadi penyebab lain pada dismenore (Judha et al., 2012).

4

Kadar prostaglandin yang meningkat dalam jumlah yang tinggi pada endometrium bisa menjadi penyebab terjadinya dismenore. Di dalam pengaruh yang diakibatkan oleh progesteron pada saat fase luteal haid, endometrium yang mengandung prostaglandin mengalami peningkatan hingga level yang maksimum pada saat awal masa haid. Prostaglandin ini lah yang menjadi penyebab dari adanya kontraksi miometrium yang kuat sehingga menyempitkan pembuluh darah dan mengakibatkan iskemia, endometrium yang disintegrasi sehingga menyebabkan rasa nyeri (Morgan & Hamilton., 2009).

2.1.3 Klasifikasi Dismenore a. Dismenore Primer

Nyeri saat haid yang ditemukan tanpa adanya gangguan dan kelainan pada organ-organ lainnya disebut dengan dismenore primer. Dismenore primer yang paling sering terjadi dapat ditemukan pada saat berusia 6-12 bulan pertama setelah masa haid yang pertama. Sel-sel endometrium yang terkelupas selama masa haid dapat mengeluarkan prostaglandin.

Prostaglandin ini dapat merangsang otot uterus dan bisa mempengaruhi pembuluh darah. Dengan demikian peningkatan kadar prostaglandin ini telah terbukti dapat ditemukan pada cairan menstruasi pada wanita dengan dismenore yang berat. Kadar prostaglandin memang meningkat pada dua sampai 3 hari pertama setelah menstruasi (Anurogo & Wulandari., 2011).

Hal ini dapat terjadi dikarenakan siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah haid pertama atau menarche bersifat anovulatoir dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri dismenore ini biasanya muncul sebelum atau bersama-sama saat menstruasi. Hal ini biasanya dapat terjadi hingga beberapa jam, walaupun di dalam beberapa kejadian hal ini bisa terjadi hingga beberapa hari. Rasa kejang yang merambat hingga ke perut bawah dan juga biasanya bisa merebak hingga ke bagian pinggang dan paha merupakan sifat nyeri yang terjadi pada saat masa menstruasi. Rasa nyeri ini biasanya dapat disertai dengan mual, muntah, sakit kepala, dan

6

diare. Dismenore primer biasanya menjadi penyebab rasa nyeri saat menstruasi pada remaja (Judha et al., 2012).

b. Dismenore Sekunder

Dismenore dengan temuan kelainan kongenital serta kelainan organik di daerah panggul disebut dengan dismenore sekunder. Kelainan pada daerah panggul inilah yang bisa menyebabkan rasa nyeri pada dismenore sekunder. Biasanya kelainan tersebut meliputi endometriosis, stenosis serviks, serta keluhan yang lainnya. Pada dismenore sekunder, nyeri yang dirasakan sifatnya hilang timbul dan hal itu dikarenakan kontraksi uterus oleh progesteron yang dilepaskan saat pelepasan endometrium. Nyeri ini dapat menyebar dari panggul ke punggung dan paha, seringkali disertai mual pada sebagian wanita (Judha., et al 2012).

Dismenore sekunder dapat didefinisikan sebagai rasa nyeri terjadi pada daerah abdomen yang dikarenakan oleh adanya kelainan pada panggul.

Dismenore sekunder sering terjadi pada usia 20-30 tahunan. Perut membesar, panggul terasa berat, dan punggung terasa nyeri merupakan tanda dari dismenore sekunder. Dismenore sekunder berbeda dengan dismenore lainya. Letak perbedaannya pada bagian nyerinya yang akan semakin kuat pada fase luteal dan akan memuncak pada saat masa menstruasi. Nyerinya bersifat unilateral dan terjadi pada usia lebih dari 20 tahun. Volume darah saat menstruasi mengalami peningkatan dan perdarahan saat menstruasi yang tidak teratur merupakan karakteristik lain yang biasanya terjadi. Rasa nyeri tetap tidak bisa mereda walau diberikan terapi NonSteroidal Anti Inflammatory Drugs atau NSAID (Anurogo &

Wulandari., 2011).

2.1.4 Faktor Risiko Dismenore

Menurut (Judha et al., 2012) faktor risiko dismenore : a. Usia menarche

Folikel ovary primer jumlahnya masih sedikit pada usia kurang dari 11 tahun sehingga estrogen jumlahnya masih sedikit juga. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan hormon.

b. Faktor psikologis

Dalam hal ini lebih banyak dikaitkan dengan faktor psikologis. Pada dismenore, faktor psikologis sangat berpengaruh. Nyeri dapat ditimbulkan atau diperberat oleh keadaan psikologis penderita.

c. Siklus haid

Wanita mempunyai periode atau siklus haid yang normal setiap bulannya jika periode itu memiliki jarak yang tetap dalam setiap 28 hari. Dan biasanya jika lebih atau kurang pun perbedaanya tidak terlalu jauh, sekitar 21-35 hari dalam setiap bulannya. Waktu haid terjadi dalam rentang 2-7 hari, namun apabila darah haid masih tetap keluar lebih dari 10 hari maka hal itu dapat dikatakan sebagai gangguan.

d. Volume darah haid

Darah haid volumenya biasanya sekitar 50 ml – 100 ml, atau tidak lebih dari 5 kali ganti pembalut perharinya. Darah haid yang dikeluarkan seharusnya tidak mengandung bekuan darah, jika darah yang dikeluarkan sangat banyak dan melebihi dari volume biasanya dan juga alirannya sangat cepat, mungkin enzim yang dilepaskan diendometriosis tidak cukup atau terlalu lambat kerjanya.

e. Merokok

Dalam kandungan rokok nikotin bekerja sebagai zat yang membuat seseorang ketagihan merokok. Zat inilah yang menjadi penyebab timbulnya gangguan haid pada wanita perokok. Nikotin bisa mempengaruhi metabolisme estrogen. Jumlah estrogen harus cukup dalam tubuh, hal ini dikarenakan estrogen berfungsi dalam mengatur proses haid.

Gangguan pada metabolisme estrogen akan menyebabkan haid tidak teratur. Bahkan biasanya wanita perokok akan mengalami nyeri yang lebih berat saat haid tiba.

8

f. Riwayat keluarga

Dismenore bisa terjadi karena faktor genetik. Jika seorang ibu atau saudara wanita lainnya pernah mengalami dismenore maka keturunannya memiliki resiko lebih besar mengalami nyeri haid. Adanya gen abnormal yang diturunkan pada tubuh wanita menjadi penyebab nyeri haid ini.

2.1.5 Patofisiologi Dismenore

Menurut (Anurogo & Wulandari., 2011), hormon dapat mengalami peningkatan dan juga bisa mengalami penurunan pada masa subur. Hal ini biasanya terjadi pada fase folikuler atau pada saat fase pertumbuhan folikel sel telur. Kadar FSH (Follicle Stimulating Hormon) akan meningkat dan bisa merangsang sel telur untuk menghasilkan estrogen pada pertengahan fase folikuler. Jika estrogen mengalami peningkatan maka progesteron akan mengalami penurunan. Penurunan dari progesteron ini lah yang menjadi penyebab adanya kadar prostaglandin yang meningkat pada endometrium.

Kontraksi pada uterus yang tidak teratur dan menyebabkan rasa nyeri saat haid biasanya disebabkan oleh adanya peningkatan produksi prostaglandin pada waktu haid. Wanita yang memiliki pengalaman nyeri haid pada masa menstruasi sebelumnya memiliki tekanan intrauterin yang tinggi dan memiliki kadar prostaglandin lebih banyak pada darah menstruasi daripada wanita yang tidak mengalami nyeri haid sebelumnya. Kadar prostaglandin yang banyak pada darah menstruasi menyebabkan uterus berkontraksi secara tidak beraturan. Pasokan aliran darah menjadi berkurang dikarenakan adanya peningkatan aktivitas uterus yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan terjadinya iskemia atau hipoksia uterus yang dapat memunculkan rasa nyeri. Untuk mekanisme nyeri lainnya disebabkan oleh prostaglandin E2 (PGE2) dan hormon lain yang membuat saraf sensorik nyeri di uterus menjadi sangat hipersensitif terhadap kerja bradikinin serta stimulus nyeri fisik dan kimiawi lainnya (Reeder et al., 2013).

Faktor psikologis juga bisa memperparah kondisi dismenore. Salah satu faktor psikologis yang bisa memperparah kondisi dismenore yaitu stress. Saat stress biasanya tubuh bisa memproduksi estrogen dan prostaglandin yang

berlebih. Dua hormon inilah yang bisa menjadi faktor kontraksi miometrium yang meningkat secara berlebihan hingga mengakibatkan rasa nyeri saat haid. Stres dapat menjadi penyebab kelenjar adrenalin yang meningkat dalam pensekresian kortisol. Hal itu menyebabkan adanya peradangan pada otot tubuh serta kontraksi yang berlebihan pada otot rahim. Rasa nyeri yang sangat hebat akan muncul saat menstruasi apabila otot rahim mengalami kontraksi yang berlebihan. Apabila stress meningkat, maka ini bisa menjadi penyebab meningkatnya aktivitas pada saraf simpatis. Ini bisa menyebabkan skala nyeri yang meningkat dengan peningkatan kontraksi pada uterus (Sari., et al 2015).

2.1.6 Tanda dan Gejala Dismenore

Ada beberapa tanda dan gejala seseorang mengalami dismenore tergantung jenisnya, yaitu:

a. Dismenore primer

Memiliki tanda gejala yang bisa mengakibatkan penderitanya tidak dapat menjalani aktivitas dengan baik, antara lain rasa nyeri pada daerah bawah perut dan menjalar kebagian pinggang, punggung hingga ke daerah paha, serta rasa kram yang sangat mengganggu. Hal ini, biasanya terjadi terus-menerus. Rasa nyeri ini dapat dirasakan sebelum dan sesudah haid. Nyeri ini dirasakan terus-menerus dan dapat berlangsung sampai 2 hari hingga 7 hari. Gejala lain yang bisa terjadi adalah sakit kepala, mual, diare, sering berkemih, dan muntah.

b. Dismenore sekunder

Biasanya seseorang mengalami nyeri disertai dengan kelainan patologi.

Dismenore sekunder biasanya gejala paling sering adalah endometriosis dimana peradangan pada bagian rahim yang dapat menimbulkan penyakit, adapun gejala lain dari dismenore sekunder yakni kram pada perut, kram ini biasanya 2 hari atau lebih dari 2 hari ketika haid (Bernardi et al., 2017).

10

2.1.7 Tatalaksana Dismenore

Penatalaksanaan dismenore terbagi dua, yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi (Anurogo & Wulandari., 2011).

a. Terapi Farmakologi

Menurut (Anurogo & Wulandari., 2011) pengobatan dismenore bisa dengan melakukan intervensi secara farmakologi. Ada beberapa upaya secara farmakologi yang dilakukan dalam menangani dismenore. Yaitu dengan pemberian analgetik dan terapi hormonal dengan cara pemberian pil kombinasi kontrasepsi secara oral. Cara kerja kontrasepsi secara oral adalah dengan mengurangi volume darah haid dengan menekan endometrium serta ovum, sehingga kadar dari prostaglandin mengalami penurunan. Sedangkan Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAID) diberikan setelah merasakan adanya nyeri, dan dilanjutkan selama 2-3 hari pertama saat menstruasi (Reeder., 2013).

b. Terapi Non-Farmakologi

Ini biasanya digunakan sebagai terapi alternatif yang bisa dilakukan sebagai upaya dalam menangani dismenore tanpa harus menggunakan obat-obatan kimia. Tujuannya untuk meminimalkan efek dari zat kimia dalam obat. Ada beberapa upaya dalam mengobati dismenore secara non farmakologi, yaitu :

(1). Terapi hangat dan dingin

Ini merupakan dua terapi yang berbeda. Masukkan air hangat ataupun es batu kedalam wadah lalu kompresikan pada bagian yang terasa nyeri. Ini bisa dilakukan karena terapi es dapat menurunkan kadar prostaglandin dan dapat meminimalkan rasa nyeri.

Sedangkan air hangat bisa meningkatkan aliran darah ke suatu daerah dan memungkinkan untuk menurunkan rasa nyeri dengan mempercepat penyembuhan.

(2). Pengobatan Herbal

Karena biasanya yang murah serta bisa dilakukan dengan mudah dan bahan-bahan yang didapatkan juga sangat mudah maka ini

menjadi pengobatan yang diminati banyak masyarakat. Banyak tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai obat herbal yang dapat meredakan rasa nyeri antara lain kayu manis yang dibuat sebagai minuman karena mengandung asam sinemik yang berfungsi sebagai pereda nyeri serta kedelai yang bisa diolah sebagai makanan ataupun minuman karena kedelai berfungsi sebagai penyeimbang hormon pada tubuh serta dapat menggunakan tumbuh-tumbuhan lainnya (Anurogo & Wulandari., 2011).

(3). Relaksasi

Menurut (Anurogo & Wulandari., 2011) Relaksasi menjadi cara yang banyak dipilih sebagai salah satu alternatif dalam mengobati rasa nyeri pada dismenore. Relaksasi cukup mudah untuk dilakukan kapan saja dan dimana saja. Relaksasi bisa dilakukan dengan cara meditasi, yoga, hypnotherapy, dan mendengarkan musik. Relaksasi juga dapat dilakukan untuk mengontrol sistem saraf.

(4). Edukasi

Menjelaskan edukasi berguna sebagai upaya untuk menambah wawasan bagi penderita dismenore. penambahan wawasan untuk penderita dismenore (Judha., 2012) mengatakan bahwa pemberian edukasi tentang dismenore, antara lain pengetahuan faktor penyebab bertambahnya rasa nyeri serta cara mengurangi rasa nyeri. Dapat juga dilakukan dengan berdiskusi mengenai pola makan, makanan yang sehat, olahraga yang sesuai serta istirahat yang cukup.

2.2 TIDUR

2.2.1 Definisi Tidur

Pada kehidupan yang terjadi pada manusia tidur merupakan suatu perilaku yang mempengaruhi dalam kehidupan bahkan sepertiga kehidupan pada manusia memerlukan tidur. Proses yang dibutuhkan oleh otak agar berfungsi dan berjalan

12

dengan baik adalah tidur. Tidur memiliki beberapa perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif. Dan semua jenis tidur mempunyai ciri-ciri yang berbeda, fungsi yang berbeda serta mekanisme yang berbeda (Sadock et al., 2017).

Tidur termasuk dalam keadaan fisiologis. Ditandai dengan pola aktivitas saraf yang tertentu, kesadaran yang menurun pada lingkungan sekitar, kurang peka pada rangsangan dan posisi tubuh yang memiliki ciri khas. Pada siklus atau tahapan tidur dan juga bangun dapat ditentukan oleh beberapa karakter gelombang yang dicatat pada electroencephalogram, lalu pada pergerakan bola mata juga diukur pada elektrookulogram, dan juga aktivitas pada otot dicatat dengan elektromiografi (Benca & Teodorescu., 2019).

Tidur bisa juga disebut pada keadaan seseorang yang berada pada kondisi bawah sadar, namun masih bisa dibangunkan dengan suatu rangsangan sensorik dan rangsangan. Pada definisi ini tidur berbeda dengan koma,yang dimana kondisi bawah sadar juga namun tidak bisa dibangunkkan dengan suatu rangsangan (Guyton & Hall., 2012).

2.2.2 Fisiologi Tidur

Seperti yang diketahui tidur merupakan salah satu aktivitas kehidupan yang sangat penting akan tetapi fungsi biologis pada tidur hingga sekarang masih menjadi misteri. Ada beberapa penyebab seseorang mengalami kurang tidur antara lain karena gaya hidup seperti obat-obatan, gangguan tidur, insomnia, apnea, gangguan psikologis, kecemasan, dan penyakit neurologis (Reza et al., 2019).

Tidur diartikan sebagai kondisi tubuh tak sadar namun masih bisa disadarkan atau dibangunkan dengan cara memberikan rangsangan sensorik atau dengan rangsangan yang lainnya. Ada 2 efek fisiologis utama bagi tubuh individu yang dapat dihasilkan oleh tidur. Yang pertama yaitu efek yang diberikan untuk sistem saraf dan yang kedua dapat memberikan efek untuk sistem fungsional tubuh yang lain. Efek untuk sistem saraf dampaknya jauh lebih berarti, hal itu dikarenakan sistem saraf menjadi peranan dominan di dalam seluruh sistem pada tubuh individu. Tidur dapat memulihkan tenaga yang telah dikeluarkan oleh

individu selama beraktivitas dan hal ini bisa menjadikan individu kembali ke keadaan homeostasis, walau dengan cara apapun individu itu untuk tidur (Guyton

& Hall., 2014).

Pusat tidur terletak pada hipotalamus sehingga sistem saraf pusat mengatur siklus tidur. Tidur akan mensekresikan hipoerektin (oreksin) dan bisa menjadi pengaruh individu dapat terjaga dan mengalami tidur fase REM (Rapid Eye Movement). Terdapat dua mekanisme serebral yang mengatur tidur yaitu Retikular Aktivitas Sistem (RAS) dan juga Bulbar Synchronizing Region (BSR).

RAS atau Retikular Aktivitas Sistem terletak di daerah atas pada batang otak dan sel-sel tubuh merupakan komponen pada RAS yang bisa mempertahankan keadaan tubuh terhadap suatu kewaspadaan. Suatu stimulasi akan diterima oleh RAS melalui sensori, audiori, nyeri, visual, sentuhan, pikiran dan emosi. Siklus bangun dan tidur merupakan suatu proses dari RAS dimana terjadinya pengeluaran hormon katekolamin seperti norepinefrin. Ketika suatu individu menutup mata dan dalam kondisi rileks hal itu akan menimbulkan stimulasi ke RAS yang akan membuat individu itu tertidur,dan ini bisa terjadi dengan didukung oleh ruangan yang gelap dan dalam keadaan yang tenang (Potter &

Perry., 2010).

Tidur merupakan hasil produksi dari pengeluaran serotonin dalam tubuh pada sistem tidur raphe di pons dan otak depan bagian tengah. Pada bagian ini juga disebut dengan bulbar synchronizing region (BSR). Pada saat suatu individu mencoba untuk tertidur, kedua mata mereka akan ditutup dan mereka mencoba dalam keadaan rileks. Hal ini akan menyebabkan penurunan stimulus ke RAS.

Pada ruangan gelap dan tenang aktivasi pada RAS kemudian akan mengalami penurunan. Pada saat keadaan inilah BSR akan mengambil fungsi yang selanjutnya akan menyebabkan tidur (Mubarak et al., 2015).

Tidur dikategorikan dalam dua hal yaitu kuantitas tidur dan juga kualitas tidur. Dalam hal ini kuantitas tidur berbeda dengan kualitas tidur. Durasi tidur termasuk ke dalam kuantitas tidur, sedangkan kualitas tidur mencakup tahapan NREM ( Non Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement) (Kozier et al., 2010).

14

2.2.3. Tahapan atau Siklus Tidur

Manusia memiliki tahapan tidur yang dimana tahapan tidur ini dibagi dalam dua tahapan Yaitu Rapid Eye Movement (REM) dan Non-Rapid Movement (NREM). Dimana tahapan pertama yang biasa dikenal tahapan tidur ringan atau NREM. Tahapan NREM bisa disebut juga dengan tahap yang tidak mengalami mimpi, tapi tahapan ini pada dasarnya sering terjadi mimpi bahkan yang terjadi pada mimpi dalam tahapan ini yaitu mimpi buruk, dan ditahap ini seseorang biasanya tidak dapat mengingat kembali mimpinya. Dan didalam NREM dibagi dalam 4 tahapan kemudian bertambah dalam lagi pada tahap REM (Potter &

Perry., 2010).

Pada Tahap I tidur bisa diartikan sebagai transisi manusia atau seseorang sebagai tidur dangkal dan biasanya mudah sekali untuk terbangun oleh suara atau gangguan lain, dan biasanya selama tahap satu berlangsung, mata bergerak perlahan dan segala aktivitas otot melamba (Patlak., 2011).

Pada Tahap II tidur diartikan sebagai tidur ringan,segala aktivitas yang bergerak dan melambat seperti pergerakan bola mata, pergerakan jantung, nafas dan biasanya suhu dalam tubuh juga turun, dan tahapan ini biasanya berlangsung selama 10-15 menit. Juga pada tidur tahap 3 dan 4 dapat dikelompokkan dalam tahapan ini yaitu perlambatan pada fisiologis dan penurunan system metabolic dalam tubuh (Potter & Perry., 2010).

Pada Tahap III biasanya individu atau seseorang sulit untuk dibangunkan pada tahap ini karena jika seseorang individu terbangun maka sulit bagi individu tersebut menyesuaikan diri dan kerap kali merasa bingung selama beberapa menit.

Dan biasanya gelombang otak lebih teratur dan adanya penambahan gelombang delta yang lambat (Smith & Segal., 2010).

Pada Tahap IV biasanya tahap ini disebut tahap tidur delta dimana pada saat tidur gelombang otak mengalami perlambatan,dan di tahap ini penurunan frekuensi detak jantung dan napas mencapai 20-30 % sehingga dalam kondisi ini seseorang dapat dikatakan mengalami kondisi yang sangat tenang dan biasanya sulit untuk dibangunkan, dan pada tahap ini biasanya seseorang mengalami proses mimpi dan mata berputar (Potter & Perry., 2010).

Ketika tahapan REM, ini berhubungan dengan mimpi yang terasa nyata dan gerakan aktif dari otot penggerak mata. Namun tonus otot lainnya menurun drastis dan frekuensi denyut jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur. Tahap REM terjadi sekitar 5 hingga 30 menit dan mencakup 25 persen dari waktu tidur orang dewasa. Saat tubuh dalam keadaan mengantuk, maka fase ini akan lebih singkat atau tidak terjadi sama sekali. Sebaliknya, saat dalam keadaan istirahat yang cukup, maka fase ini akan lebih lama (Guyton & Hall, 2016). Dimana tahapan REM biasanya ditandai dengan peningkatan aktivitas pada otak dan metabolisme seperti peningkatan jantung, pernapasan sekresi gastrointestinal sebanyak 20% dan biasanya dalam jangka waktu 5-30 dan tahapan REM ini membuat individu terbangun secara tiba-tiba (Potter & Perry., 2010).

Pada siklus tidur yang normal biasanya ditandai dengan rasa kantuk yang memiliki tahapan dan biasanya dalam jangka waktu 10-30 menit. Beda dengan seseorang yang biasanya memiliki masalah tidur,seseorang akan tertidur dengan menghabiskan waktu satu jam atau lebih untuk memulai tertidur. Pada tahap nya seseorang akan melalui 4 sampai 6 tahapan siklus tidur yaitu dari fase NREM 1, NREM 2, NREM 3, NREM 4, kembali ke fase NREM 3, ke NREM 2 dan berakhir pada fase REM. Seseorang yang memiliki siklus tidur normal akan melewati siklus NREM hingga REM dengan jangka waktu 90 menit dan akan melewati 4-6 siklus tidur tergantung dari total waktu tidur (Potter & Perry, 2010). Dalam tidur secara rata tidur paradoks biasanya menempati 20% dari waktu tidur pada masa remaja dan sebagian besarnya pada saat masa dewasa. Dan biasanya bayi menghabiskan waktu tidurnya pada tidur paradoks ini. Sebaliknya dalam tidur paradoks dan tidur gelombang lambat stadium 4 berkurang pada usia lanjut (Sherwood., 2011).

2.3 KUALITAS TIDUR 2.3.1 Definisi Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah suatu kemampuan seseorang dalam menjaga dan mempertahankan keadaan tidur yang sesuai tahap tidur yaitu REM dan NREM yang normal (Khasanah & Hidayati., 2012). Kuantitas tidur yaitu tidur yang

16

cukup ditentukan oleh factor jam tidur dan kualitas tidur seseorang yaitu

cukup ditentukan oleh factor jam tidur dan kualitas tidur seseorang yaitu

Dokumen terkait