• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian selalu di harapkan memberikan manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan perluasan wawasan, serta pemahaman terhadap satu disiplin keilmuan.

1. Manfaat Teoretis

a. Untuk mengembangkan ilmu pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kususnya dalam bidang kesastraan.

b. Mampu memberikan pandangan pemikiran berupa konsep atau teori di bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya mengenai kajian sastra terhadap novel-novel Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk penigkatan apresiasi sastra Indonesia bagi masyarakat yaitu dalam hal mengeritik karya sastra, khususnya dalam kritik sastra feminisme.

b. Untuk menambah perbendaharaan kajian-kajian tentang sastra khusus dalam permasalahan sastra dan sebagai bahan kajian terhadap masalah ketidakadilan gender perempuan dalam karya sastra.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Keberhasilan sebuah penelitian bergantung pada teori yang mendasarinya. Teori sesungguhnya merupakan landasan suatu penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini tersebar diberbagai pustaka yang erat kaitannya dengan masalahnya yang dibahas. Di dalam usaha menunjang pelaksanaan dan penggarapan penelitian ini, perlu mempelajari pustaka yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Sehubungan dengan uraian di atas, aspek teoretis yang akan dibicarakan pada tinjauan pustaka ini meliputi: (1) analisis feminisme dan gerakan feminisme, (2) novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, (3) gaya bahasa, (4) novel sebagai sarana pencitraan perlawanan simbolis, (5) sosiologi sastra dan realitas kultural, (6) peranan perempuan dalam pembangunan berwawasan gender, (7) pendekatan kritik sastra feminisme, (8) teori hermeneutik.

Sehubungan dengan masalah yang ingin diteliti, maka kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Analisis Feminisme dan Gerakan Feminisme

Istilah “feminisme” pertama kali digunakan dalam literatur barat baru pada tahun 1780, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan laki-laki; istilah ini masih terus diperdebatkan, namun secara umum bisa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan penindasan perempuan ( Hakeem, 2005: 27).

Gerakan feminisme (perempuan) merupakan gerakan yang muncul di kalangan perempuan sebagai reaksi terhadap pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat (Hakeem, 2005: 26).

Terjadi ketidakadilan gender dalam struktur sosial yang timpang, mengakibatkan tindakan kekerasan terhadap perempuan muncul kepermukaan realitas sehingga melahirkan perlawanan keras dari kaum laki-laki maupun perempuan yang dinamakan gerakan feminisme.

Feminisme menurut Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti dan Suharto (2005:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan disegala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang memertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Perempuan juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.

Menurut Wolf (dalam Sofia, 2009: 13) mengartikan feminize sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga

diri semua perempuan. Istilah “menjadi feminis” , bagi Wolf, harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Sementara itu, Budianti, (dalam Sofia, 2009:13) mengartikan feminisme sebagai suatu kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

Kajian feminisme menurut Hollows (dalam Sofia, 2009: 28) dianggap sebagai bentuk politik yang bertujuan untuk mengintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara lelaki dan perempuan.

Dalam spektrum sosial, gerakan feminisme menampilkan beberapa ide, nilai, dan perspektif. Secara umum, gerakan feminisme dipandang sebagai gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Gerakan ini telah mengalami diverifikasi, berkaitan dengan perbedaan-perbedaan konteks budaya dan ideologi.

Gerakan feminisme ini pada awalnya berkembang di Negara Barat seperti di Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada perkembangannya Tong (dalam Arivia, 2003: 84) mengungkapkan tiga gelombang feminisme, yaitu gelombang pertama dimulai pada tahun 1880-an dan merupakan dasar bagi gerakan-gerakan perempuan berikutnya. Pada fase ini para perempuan sibuk sebagai aktivis gerakan-gerakan perempuan.

Gelombang kedua berkembang di tahun 1960-an yang ditandai dengan

pencarian refresentasi citra perempuan dan kedudukan perempuan oleh kaum feminisme. Pada masa inilah teori-teori mengenai kesetaraan perempuan mulai tumbuh. Gelombang ketiga teori-teori yang muncul ini mengikuti pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari sana kemudian lahir teori-teori feminisme yang lebih plural misalnya feminisme postmodernisme, postkolonial, multikultural dan global.

Pergerakan perempuan ditahun 1960-an merupakan pembaharuan tradisi pemikiran dan tindakan lama yang telah memiliki buku-buku klasik sendiri yang mendiagnosis masalah ketidaksetaraan posisi perempuan dalam masyarakat serta solusi yang diusulkan. Kritik sastra feminis merupakan akibat langsung dari pergerakan perempuan pada tahun 1960-an. Pergerakan tersebut bersifat sastrawi sejak awal, artinya itu menyadari cerita perempuan yang disebarluaskan sastra dan memandang bahwa penting sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya. Kritik feminis sebagai salah satu cara yang paling praktis untuk memengaruhi perilaku dan sikap sehari-hari.

Barry mengungkapkan, refresentasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasi terpenting karena membiarkan model peranan yang mengondisikan perempuan dan laki-laki versi feminim yang sasarannya dapat diterima dan aspirasi feminim yang sah (Barry, 2010: 143-144).

Sastra feminis merupakan refresentasi perempuan yang ada dimasyarakat. Sastra feminis juga mampu memengaruhi para

pembacanya sekaligus menawarkan solusi melalui pemikiran pengarang.

Maka melalui sastra, tujuan gerakan feminis dapat dicapai. Sementara kritik sastra feminis digunakan untuk melihat citra perempuan dan usahanya meraih eksistensi dalam perspektif sastra. Kritik sastra feminis juga merupakan pendekatan pada studi sastra yang mengaplikasikan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra.

Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (Woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female ( sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden, 1989: 132).

Selama seribu tahun terakhir, banyak muncul bentuk feminisme,.

Namun feminisme dalam terminologi umum dapat didefenisikan sebagai advokasi hak-hak bagi perempuan kepada kesetaraan dengan laki-laki dalam kehidupan (Giddens, 1989:72-132).

Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk yang penulis himpun dari berbagai sumber:

a. Feminisme Barat

Feminisme Barat merupakan kelanjutan dari sebuah proses sejarah dan merupakan produk dominasi ekslusifitas gender oleh

gereja dan diskriminasi yang fulgar laki-laki dan perempuan serta pengingkaran terhadap perempuan dalam konteks hal-hal sosial barat (Hakeem, 2005: 27). Feminisme Barat bertolak dari asumsi bahwa laki-laki dari kelas tertentu memerintah serta mendominasi kekuasaan secara eksklusif dan kepemilikan dalam semua aspek kehidupan sosial-ekonomi. Sedangkan perempuan dipandang sebagai kelas rendahan dan tercabut dari segala jenis hak, mulai dari mengekspresikan pendapatnya, hingga seluruh bentuk partisipasinya.

b. Feminisme Amazon

Feminisme Amazon peduli terhadap “kesetaraan fisik gender”. Menolak ide bahwa karakteristik atau perhatian tertentu secara inheren adalah maskulin, seraya meyakini dan mengembangkan sebuah imajinasi epik (kisah kepahlawanan) keperempuanan. Mary, menjadikan feminisme Amazon sebagai metafora yang melukiskan perempuan yang berjuang untuk menentukan identitas sejak dari nenek moyang kita (Hakeem, 2005: 29).

c. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan. Faqih, (dalam Sofia, 2009: 14). Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan memunyai hak yang

sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antar laki-laki dan perempuan.

d. Feminisme Sosialis

Dikalangan feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas dianggap merupakan penindasan utama. Feminisme sosialis berpandangan bahwa perlu melakukan transformasi, bukan hanya kepemilikan alat-alat terletak dalam sistem ekonomi kapitalisme (Hakeem, 2005:30).

e. Feminisme Radikal

Feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laki atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik psikologis kepada laki-laki Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2005 : 97).

f. Feminisme Marxis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologis sebagai dasar perbedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 2007: 86). Persoalan

perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme.

g. Feminisme Kultural

Feminisme kultural adalah pandangan bahwa feminitas merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk memperoleh pandangan ideal melalui maskulinitas dan cap-cap yang diberikan pada feminisme oleh dunia patriarkis, kaum feminisme kultural mendefenisikan kembali feminisme dalam suatu kerangka positif feminisme kultural meyakini untuk mempertajam feminisasi atas maskulinitas, harus dibangun basis pengetahuan yang dikonstruksikan oleh kaum perempuan dan terpisah dari perspektif laki-laki. Karena itu lebih otentik bagi perempuan dan bagi masyarakat memandang perempuan.

h. Feminisme Pascastrukturalisme

Kaum feminis pascastrukturalisme memfokuskan pada cara-cara pemecahan secara-cara individual, seperti diskriminasi ekonomi.

Tidak ada jalan keluar dari “keperempuanan seseorang dan pembatasan-pembatasan yang telah dibuat masyarakat patriarkis bagi perempuan. Apabila seorang perempuan menginginkan untuk berhenti menjadi jenis kelamin kedua (the second sex), yakni sebagai orang lain” ia harus mengatasi kekuatan-kekuatan keadaan strukturnya. Dalam hal ini, (De Beauvoir, 1974: 32), menganjurkan tiga strategi, pertama, perempuan meski bekerja,

meskipun pekerjaan di dalam sistem kapitalis bersifat eksploitatif dan menindas, hanya melakukan pekerjaan perempuan mampu mengontrol nasib mereka sendiri. Kedua, perempuan mampu menjadi intelektual; sebab aktifitas intelektual meliputi berfikir, mencari dan mendefinisikan. Ketiga, perempuan harus berusaha menjadi sosialis yang mentransformasikan masyarakat, yang akan membantu menanggapi konflik-konflik subjek/objek dan diri sendiri/orang lain.

i. Feminisme Apolegetik

Feminisme apolegetik pada dasarnya merupakan liberal perempuan muslim.perspektif liberal dan sekuler intelektual muslim telah membawa mereka kearah sebuah reaksi apolegetik.

Kelompok ini mencoba mengadopsi agama agar cocok dengan prinsip-prinsip feminis atau menerima feminisme sebagai sebuah jalan kehidupan yang tidak terbantahkan bagi perempuan muslim;

apakah prinsip-prinsip agama dapat disesuaikan dengannya ataukah tidak. Kelompok feminis ini membaca ulang teks-teks syariat dengan tujuan memperkenalkan hak-hak perempuan berdasarkan nilai-nilai islam.

j. Feminisme Strukturalis

Merujuk pada strukturalis, masyarakat sebagai keseluruhan termasuk laki-laki dan perempuan dihubungkan oleh tanggung jawab sosial dan individual tanpa adanya tendensi monoseksual.

Strukturalisme melihat suatu posisi yang komprehensif bagi perempuan dan laki-laki dalam ruang publik dan privat, di tengah masyarakat dan ranah politik. Perbedaan utama antara feminisme Barat dan para strukturalis muslim dapat dilihat pada metodologi pemehaman dan penetapan atas hak-hak dan tanggung jawab.

Feminisme barat, tidak melihat ajaran religius memertahankan perempuan dan peran mereka di masyarakat, sementara strukturalis muslim melihat itu sebagai kesinambungan tolak ukur.

k. Feminisme Eksistensialis

Beranggapan bahwa manusia adalah esensi yang mengmbangkan eksistensi. Eksistensi melampaui esensi. Di dalam feminisme ini, laki-laki makhluk bebas yang mendefinisikan diri sebagai subjek dan mendefenisikan pihak lain atau perempuan.

Lahirnya feminisme ini kemudian menjadikan perempuan membuka mitos-mitos yang menetapkan posisinya sebagai “yang lain”.

Perempuan keluar bertendensi dari kungkungan tubuh.

l. Feminisme Moderat

Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo (1994) memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan dan perlakuan. Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kemitra-sejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender.

2. Novel sebagai Salah Satu Ragam Sastra

Novel berasal dari bahasa Italia, novella, secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa, Abrams (dalam Nurgiantoro, 2000: 9).

Novel sebagai suatu jenis kesastraan yang merupakan karya panjang yang sifatnya kompleks dalam unsur-unsur utamanya seperti tema , plot , latar, perwatakan, amanat, dan sudut pandang. Novel menceritakan suatu fase dari kehidupan tokohnya.

Novel menurut Stanton (dalam Sumardjo, 1994: 43) mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter dan berbagai peristiwa yang rumit yang terjadi beberapa waktu silam secara lebih mendetail. Dengan demikian dalam novel, pelukisan tentang perkembangan watak tokoh digambarkan secara lebih lengkap. Novel menawarkan sebuah dunia, dunia imajinatif yang menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan dan penonjolan watak setiap tokohnya.

Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi modal kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melelui berbagai unsur. Novel dapat juga memberikan ide atau wawasan yang luas dari sekedar fakta yang bersifat pengetahuan. Dari novel

mungkin manusia akan mendapatkan nilai-nilai dari sesuatu yang mungkin diluar perhatian manusia. Nilai-nilai yang dimaksudkan dalam novel adalah persepsi dan beberapa pengertian yang diperoleh pembaca lewat sastra seperti nilai pendidikan, agama, budaya dan lain-lain.

Dalam sebuah novel dapat muncul berbagai aspek kehidupan yang di dalamnya terdapat amanah yang ingin disampaikan oleh pengarang pada pembaca. Oleh karena itu, sebuah novel pada dasarnya merupakan cerita atau laporan mengenai kejadian atau suatu pengalaman. Artinya novel adalah cerita yang menggambarkan sebagian dari kehidupan seorang atau beberapa orang yang memunyai arti yang sangat penting.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012: 968) dikatakan bahwa novel adalah karangan yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Penciptaan karya sastra digunakan untuk mengekspresikan kepribadian pengarang melalui imajinasi pengarang sehingga menjadi media jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang yang ditunjukkan untuk pembaca. Selain itu, karya sastra diciptakan pengarang untuk dimaknai oleh pembaca dan diciptakan secara kreatif oleh pengarangnya.

Penciptaan karya sastra merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang terjadi disekitar lingkungannya. Sastra

merekam penderitaan dan harapan suatu masyarakat sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra (Sumardjo, 1994:15). Dengan demikian, karya sastra menjadi hubungan sistem kehidupan dengan realitas sejarah dan realitas sosial suatu masyarakat.

Realitas sosial itu dutuangkan pengarang kedalam sebuah teks. Teks-teks itulah merupakan gambaran fenomena sosial yang akan dibaca dan dimaknai oleh pembaca.

Sebuah karya sastra mampu memilki daya gugah terhadap batin dan jiwa seseorang. Daya gugah itu sering tampil dalam karya sastra dengan menyimpan misteri yang berhubungan dengan manusia dan kehidupannya serta berbagai kemungkinan dengan konfliknya (Sumardjo, 1994 : 20). Jadi karya sastra merupakan media untuk mengutarakan sisi-sisi kehidupan manusia. Karya sastra sering memuat kebenaran-kebenaran kehidupan manusia yang kadang-kadang kebenaran-kebenaran itu bersifat sejarah. Karya sastra juga dipandang sebagai dunia imajiner.

Dunia yang dijadikan oleh pengarang sifatnya imajinatif, namun sastra sama sekali tidak lepas dari kenyataan konkret. Sastra merupakan hasil pengekspresian antara kesadaran dan realitas. Semi (1988: 21), menyebutkan sastra adalah hasil konfrontasi manusia dengan masalah-masalah nyata kehidupan. Sedangkan pada Wellek dan Werren (1989:

22), menyatakan karya sastra sebagai seni bukanlah objek yang sederhana, tetapi mendekati suatu organisasi yang berlapis-lapis dan rumit susunannya dengan banyak kemungkinan makna hubungannya.

3. Gaya Bahasa

Berbahasa pada dasarnya merupakan pencetusan pikiran, gagasan, dan maksud. Pencetusan ini dijelmakan secara konkret kedalam bentuk ucapan atau tulisan. Seperti dikatakan Nieuwenhuis (dalam Nafiah, 1981: 4) “Bahasa itu kadang-kadang berupa bunyi, kadang-kadang berupa tanda, akan tetapi senantiasa berupa pikiran”.

Kedua bentuk ini memunyai kedudukan sejajar dan merupakan aspek produktif. Pada saat tertentu digunakan bentuk lisan; pada saat lain memunyai kedudukan sejajar, namun efektifitas dan efesiensi masing-masing bersifat situasional.

Pikiran, gagasan, dan maksud yang dikemukakan dalam bentuk tulisan memerlukan waktu berpikir sehingga pembahasannya lebih diperhatikan. Sehingga karya tulis dapat ditata lebih rapi dan lebih sistematis, ia dapat dibaca ulang dan dikaji secara lebih teliti, sampai waktu yang cukup lama.

Istilah gaya bahasa diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa stilus dan mengandung arti leksikal ”alat untuk menulis”. Dalam karya sastra istilah gaya bahasa mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

Penggunaan gaya bahasa dalam wacana tidak dapat dilepaskan dari fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan atau ide.

Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau memengaruhi penyimak dan pembaca. Sarana retorik klasik ini telah digunakan oleh novelis Romawi Cicero dan Suetanius yang memakai figura dalam pengertian “bayangan, gambar, sindiran, kiasan” ( Tarigan, 2009: 4).

Gaya bahasa menurut Kridalaksana (2008: 70) yang mengatakan bahwa pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, atau pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu dan keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra, jadi dapat dipahami bahwa gaya bahasa adalah ciri khusus yang dilakukan oleh seseorang penutur atau penulis dalam memilih kata-kata yang akan diungkapkannya atau dalam menyampaikan maksud-maksudnya.

Secara leksiologis yang dimaksud gaya bahasa, yakni : (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra, (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan.

Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan

suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.

Keindahan sebuah karya sastra sebagian besar disebabkan oleh kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasanya sehingga menimbulkan kekuatan bahasa dan keindahan seni.

Masalah gaya bahasa banyak dibicarakan dalam sastra, karena sastra lebih bertujuan untuk menggugah perasaan pembacanya agar menimbulkan efek-efek tertentu seperti yang diharapkan penulisnya. Agar tujuan itu tercapai, maka penulis karya sastra berusaha memilih kata/ungkapan yang bukan hanya tepat, tetapi kata tersebut harus dalam maknanya, sehingga pembaca memiliki perasaan-perasaan tertentu.

4. Novel Sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis

Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan manusi, sebuah novel sastra diciptakan bukan untuk tujuan estetis semata, seperti diyakini oleh teori struktural objektif atau sebagai refleksi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, seperti yang diyakini oleh teori Marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan novel memiliki posisi yang cukup penting, yaitu mengemban fungsi sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu mengonstruksi masyarakat yang diidealkan sering kali harus

melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dan dominan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.

Menurut Ollenburger dan Moore (1996: 139) struktur pendidikan menentukan pola kehidupan perempuan, dengan pendidikan tinggi seorang perempuan dapat memiliki mobilitas vertikal untuk memerbaiki status sosial ekonomi. Tidak hanya itu saja, perempuan juga harus berperan sebagai identitas diri serta ilmu akan tumbuh dan berkembang.

Kemudian sempurnalah ketika ilmu tersebut dijiwai oleh empunya dalam menjalankan hidup dan mampu meleburkan diri dengan masyarakat.

sehingga membuat ilmu menjadi mulia.

Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra (novel) merupakan perlawanan yang bersifat sombolis. Hal ini karena perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata dan gagasan yang diungkapkan dalam novel.. Sebagai mana dikemukakan oleh Damono bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang tinggi, karya sastra yang dihasilkan juga mencerminkan kritik sosial yang (barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakat.

5. Sosiologi Sastra dan Realitas Kultural

Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius,

kemudian dengan elegannya mencipta suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi dan rekaman budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri dan masyarakat.

Hubungan sastra dan kehidupan sebagaimana realitas kultural, memberikan pemahaman bahwa setiap karya sastra adalah perwujudan realitas kehidupan yang diimajinasikan oleh pengarang melalui penggunaan bahasa sebagai medium. Hubungan sastra dan kehidupan lebih lanjut dijelaskan oleh Warren dan Wellek (dalam Sofia 2009: 31) bahwa sastra adalah intuisi sosial yang memaknai medium bahasa.

Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konversi dan norma masyarakat. Lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia. Dalam masyarakat primitif kita tidak dapat membedakan puisi dan ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra memunyai fungsi sosial atau “manfaat” yang sepenuhnya tidak bersifat pribadi. Jadi

Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konversi dan norma masyarakat. Lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia. Dalam masyarakat primitif kita tidak dapat membedakan puisi dan ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra memunyai fungsi sosial atau “manfaat” yang sepenuhnya tidak bersifat pribadi. Jadi

Dokumen terkait