• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN FEMINISME DALAM JALAN BANDUNGAN. KARYA Nh. Dini TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN FEMINISME DALAM JALAN BANDUNGAN. KARYA Nh. Dini TESIS"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Oleh :

RAMLI RASYID 04.08.930.2013

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

(2)

Written by Nh. Dini

Tesis

Oleh :

RAMLI RASYID 04.08.930.2013

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

(3)

KRITIK FEMINISME DALAM JALAN BANDUNGAN KARYA Nh. Dini

Yang disusun dan diajukan

RAMLI RASYID

Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.930.2013

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Pada tanggal……,………2015

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H.M. Ide Said, D.M., M.Pd. Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.

Mengetahui

Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. Abdul Rahman Rahim, M. Hum.

NBM. 922 699

(4)

KRITIK FEMINISME DALAM JALAN BANDUNGAN KARYA Nh. Dini

Yang disusun dan diajukan oleh

RAMLI RASYID

Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.930.2013

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal……,………2015

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H.M. Ide Said, D.M., M.Pd. Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Prof. Dr. H.M. Ide Said, D.M., M.Pd. Dr. Abdul Rahman Rahim, M. Hum.

NBM. 988 463 NBM. 922 699

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv

MOTO... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 14

A. Tinjauan Pustaka... 14

B. Penelitian yang Relevan... 54

C. Kerangka Pikir... 56

BAB III. METODE PENELITIAN... 59

(6)

D. Teknik Pengumpulan Data... 62

E. Teknik Analisis Data... 62

F. Keabsahan Data... 67

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 68

A. Hasil Penelitian... 68

B. Analisis dan Pembahasan... 69

1. Karakter Tokoh Perempuan dalam Novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini... 70

2. Bentuk Gaya Bahasa dalam Novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini... 84

3. Korelasi Feminisme dalam Novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini... 93

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN... 101

A. Simpulan... 101

B. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA... 104

RIWAYAT HIDUP... 107

LAMPIRAN... 108

(7)

Ramli Rasyid. 2015. “Kritik Feminisme dalam Jalan Bandungan Karya Nh.

DINI”. Tesis, dibimbing oleh M. Ide Said D.M., sebagai pembimbing I dan Sitti Aida Azis sebagai pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk perjuangan tokoh perempuan serta upaya perempuan, gagasan dan pandangannya untuk melawan penindasan yang tertuang dalam novel Jalan Bandungan Karya Nh. Dini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif berbentuk kualitatif dengan pendekatan kritik sastra feminisme. Berdasarkan hasil analisis data, maka dihasilkan simpulan sebagai berikut. (1) Bahwa karakter tokoh perempuan berdasarkan eksistensinya sebagai perempuan dalam memecahkan permasalahannya dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini yakni memiliki karakter: rasa ingin tahu yang tinggi, berani , menghormati , cerdas, rendah hati, patuh dan taat pada orang tua, tegar menghadapi cobaan, sabar, tabah, berjiwa sosial, suka membantu atau menolong , ramah dalam bergaul, mandiri, dermawan, keras dalam sisi positif, terbuka, suka berkorban, dan bertanggungjawab. (2) Gaya bahasa dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini. (a) pemakaian gaya bahasa muncul pada saat melukiskan adegan percintaan untuk menghindari kesan pornografi, (b) Pemakaian gaya bahasa muncul untuk menggantikan acuan-acuan yang dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan, (c) pemakaian gaya bahasa muncul untuk menggantikan kata yang dianggap kasar menjadi halus. (3) Korelasi feminisme dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini berdasarkan realitas sosial di masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Bahwa gender merupakan pembagian sifat, peran kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.

(8)

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Kritik Feminisme dalam Jalan Bandungan Karya Nh. Dini”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memeroleh Gelar Magister Pendidikan pada Program Bahasa dan Sastra Indonesia, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. Dengan keberadaan tesis ini dapat menambah perbendaharaan keilmuawan penulis sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.

Dalam merampungkan penyusunan tesis ini, bukan tanpa hambatan, dan tantangan, bahkan telah banyak menuntut pengorbanan, namun penulis berusaha mengambil hikmahnya bahwa ini merupakan romantika dalam mengarungi dunia pendidikan yang serba kompleks. Seirama dengan derap waktu perjalanandalam mengarungi dunia pendidikan yang terjal, telah banyak menelan waktu, biaya, dan tenaga. Dengan mengarahkan semua potensi yang dimiliki penulis. Alhamdulillah hambatan dan tantangan itu dapat dilalui dan terwujudlah tesis ini.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat masukan,

kritikan, dan saran dari berbagai pihak, terutama Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd., dan Dr. Sitti Aida Azis, M.Pd., masing-

masing sebagai pembimbing pertama dan kedua yang penuh kesabaran dan ketulusan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan

(9)

Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Direktur Program

Pascasarjana Prof. Dr. H. Ide Said D. M., M.Pd., Ketua Program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Abdul Rahman Rahim, M. Hum., dan para dosen serta para karyawan

Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ucapan terima kasih teristimewa kepada Ayahanda A.Rasyid Siriwa dan Ibunda Singara S., istri tercinta Nurwira S.Pd., serta ketiga buah hatiku yang tersayang: Nazwa Nur Fathiyah, Rifa Alfayruz, dan Nur Khayla Nafisah yang merupakan sumber energi terbesar penulis dalam menekuni semua kegiatan perkuliahan sampai saat ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tesis ini sifatnya masih sederhana, namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin menyempurnakannya. Penulis senantiasa menantikan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga gerak dan langkah kita bernilai ibadah dan mendapat ridha Allah Swt. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Makassar, Mei 2015

Penulis,

(10)

Ramli Rasyid, lahir di Majannang Kelurahan Limbung Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa pada tanggal 28 November 1976 dari ayah Abdul Rasyid Siriwa dan ibu Singara Sangging. Sebagai anak tunggal.

Penulis mulai mengenyam pendidikan di SD Negeri Doja tahun 1982-1989.

Penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Limbung pada tahun 1989- 1992. Selanjutnya ke SMA Bajeng Raya tahun 1992-1995. Pada tahun itu pula penulis diterima di Universitas Negeri Makassar, Fakultas FPBS, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Perjuangan di bangku Perguruan Tinggi selesai pada tahun 2000. Pada saat ini penulis adalah salah seorang mahasiswa pada program pascasarjana (S-2) Unismuh Makassar, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Setelah memeroleh gelar sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 2003 penulis kembali ke tengah-tengah masyarakat yang beragam menerapkan ilmu yang telah didapat. Penulis mulai mengajar di SMAN I Polut Kecamatan Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar tahun 2003 sampai sekarang.

(11)

Jadilah guru bagi dirimu sendiri dan keluargamu sebelum menjadi guru bagi orang lain

Kupersembahkan kepada buah hatiku tersayang: Nazwa Nur Fathiyah, Rifa

Alfayruz, dan Nur Khayla Nafisah sebagai kado & sumber energi

(12)

Nh. Dini

Nama : Ramli Rasyid

Nim : 04.08.930.2013

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 11 Mei 2015 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 27 Juli 2015 TIM Penguji : Dr...

Dr...

Prof...

Dr...

(13)

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Ramli Rasyid

Nomor Pokok : 04.08.930.2013

Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Juli 2015 Yang menyatakan,

Ramli Rasyid

(14)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

RAMLI RASYID

Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.930.2013

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVESSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR 2015

(15)

anakku penuh gelora api. Dua pengertiannya. Api revolusi dan api dalam arti kata yang sesungguhnya.

Aku sebagai anak tertua tidak pernah mempunyai waktu senggang.

Sebegitu menyelesaikan tugas yang diberikan ibuku, ayahku memanggil untuk mengerjakan sesuatu yang lain. Tetapi aku masih merasa memiliki waktu untuk bermain-main. Sekolah membikin aku terbebas dari tugas mencuci baju. Pekerjaan rumah tangga yang harus kulunasi ialah memandikan adikku, kadangkala menimba untuk mengisi bak di samping sumur dan sore hari mengambilkan jatah minuman teh dari dapur umum.

Kata seorang ibu yang bertugas di dapur, sudah kodrat kaum perempuan tidak selalu dituruti dan dipatuhi oleh anak-anak lelaki. Aku masih muda waktu itu. Tetapi karena pengalaman zaman pengungsian dan juga karena pengamatan terhadap adik-adikku sendiri, aku menyetujui pendapat perempuan itu.

Kebiasaan dan alur hidup baru segera terbentuk. Anak-anak didaftarkan masuk sekolah. Setahun berlalu, aku langsung ke pendidikan khusus yaitu sekolah pendidikan guru atau SPG. Satu tahun di SPG aku puas. Tidak kuragukan lagi bahwa memang itulah jalanku. Ketika kenaikan kelas, tanpa kesukaran aku menjadi murid yang terbaik dari tiga kelas yang sejajar. Bagiku itu bukan kebanggaan yang paling penting. Tetapi ayah ibuku menganggapnya sebagai prestasi hebat. Aku semakin dijadikan teladan.

(16)

mungkin mereka menghendaki anaknya mengalami perkawinan yang tidak membahagiakan. Seandainya waktu itu yang melamar bukan mas Wid, kukira aku juga bertindak sama, yakni menyerahkan persoalan kepada bapak dan ibu.

Kepergian Bapak mengubah banyak hal dalam kehidupan kami.

Tanpa ribut-ribut, dan tanpa menunggu selamatan serarus harinya, ibu menyuruh tukang membangun kios di lorong samping rumah.

Dengan kepergian Bapak, Mas Wid lebih menunjukkan kemesraannya terhadapku. Pada hari pemakaman, dia bahkan memelukku di depan umum.

Sebulan setelah bapak meninggal, dalam percakapan antar keluarga di meja makan, dia mengatakan bahwa sebaiknya pernikahan kami dipercepat.

Pernikahan dilangsungkan. Aku mengenang malam pertama yang memedihkan, yang disusul oleh malam-malam lain yang menyebabkan aku tidak haid sebegitu menikah.

Hampir setahun kawin, bayiku yang pertama lahir. Laki-laki. Kami memanggilnya Eko. Aku berhenti mengajar. Pada mulanya aku tidak menyesali keputusan meninggalkan pekerjaanku. Hidupku barangkali sama dengan kehidupan kebanyakan istri. Apabila aku mempunyai prakarsa yang berhubungan dengan keluarga, jarang sekali bisa terlaksana. Berkat petunjuk ibuku, hidupku terasa lebih santai. Tekanan batinku bisa kuringankan. Eko masuk sekolah. Wido sudah mulai sering kutitipkan kepada

(17)

muka terbentur ke tanah. Sungguh aku sukar menerima kenyataan tersebut.

Mengapa hal seperti ini kualami? Pilihan orangtuaku meleset sama sekali.

Dua paman kami terbunuh dalam peristiwa Madiun di tahun empat puluhan.

Barangkali seharusnya aku bersyukur karena tidak masuk tahanan juga selama itu. Apa pun jenis hinaan, bagaimanapun lemahnya sindiran yang kuterima, baik secara terang-terangan atau diucapkan di belakangku yang bersangkutan dengan kenyataan bahwa “suamiku terlibat”, kupingku memanas mendengarnya.

Pertemuanku dengan Handoko dan kedua kawannya amat mengesankan. Tidak ada kekakuan atau keenganan yang terasa dipihakku.

Keperhatikan bahwa mereka pun seperti menganggap aku sebagai kenalan lama. Mau atau tidak, seringkali aku membandingkan Handoko dengan kakaknya, suami yang kuakui semakin tidak kuanggap sebagai suami lagi.

Bersama Handoko aku mendapat kesan, seolah-olah hidup ini bisa disedehanakan meskipun penuh masalah dan tantangannya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa tertarik kepadanya.

“Dalam keadaan saya seperti sekarang, apa pun yang saya kerjakan, saya tetap terikat. Itulah ketidakadilan. Atau anggaplah sebagai tambahan ketidaksamaan nasib perempuan dan lelaki”.

(18)
(19)
(20)
(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perempuan, di berbagai belahan dunia mana pun, ternyata menarik untuk dibicarakan dan merupakan salah satu issue paling aktual dewasa ini. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila- gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksplorasi keindahannya.

Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang walaupun cantik tidak diakui eksistensinya sebagai manusia. Di antara para filosof pun ada beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan untuk menyertai laki-laki. Aristoteles menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu. St. Thomas Aquinas juga mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna. (Sugihastuti & Suharto, 2005: 32).

Perempuan selalu dianggap sebelah mata dan hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu saja yaitu, kasur, dapur, dan sumur. Budaya patriarki memarginalkan peranan perempuan yang begitu terbatas. Tubuh perempuan seringkali diartikan sebagai kecantikan yang “murah”. Ukuran cantik bagi seorang perempuan diukur dari bentuk tubuh sedangkan

(22)

akhlak hal yang kesekian. Perempuan dianggap pengacau dan pembuat masalah. Bahkan di beberapa daerah kelahiran seorang perempuan merupakan pertanda kesialan yang akan diperoleh bagi keluarga tersebut.

Solusi yang mereka lakukan ialah membuang bayi perempuan tersebut dengan harapan kesialan yang akan menimpa mereka buang. Anggapan ini sungguh tidak manusiawi. Setiap kelahiran seorang bayi pasti membawa keburuntungan, baik bayi laki-laki maupun perempuan. Wolf (dalam Sofia, 2009: 27).

Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Era sebelum gerakan feminisme muncul hak-hak perempuan begitu dibatasi. Partisipasi perempuan dianggap tidak diperlukan. Kaum laki-laki selalu mendominasi dalam ranah apa pun. Kaum perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan. Karena kaum perempuan dianggap hanya perlu mengurus keluarga, jadi tidak perlu berpendidikan tinggi.

Dalam hal perekonomian pun perempuan tidak diperbolehkan memainkan perannya seperti yang dilakukan kaum laki-laki. Hal ini tentunya menimbulkan kecemburuan sosial terhadap kaum laki-laki.

Perempuan dianggap makhluk yang selalu bergantung pada laki-lakI dan tidak bisa mandiri.

Selanjutnya, Sofia mengatakan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh perempuan untuk melepaskan diri dari dominasi patriarki adalah dengan cara memberikan pemahaman dan mengutarakan pendapat.

(23)

Menangis, bukan hal yang mutlak pada perempuan dan bukan merupakan gambaran bahwa perempuan itu emosional. Dengan demikian, tangisan merupakan suatu bentuk penyadaran dan bukan bentuk kesedihan atas kekalahan karena terekspresikan dalam sikap yang tegas. Tangisan sebagai bentuk penyadaran awal dapat dilakukan oleh perempuan dengan memberikan pemahaman terhadap laki-laki. Ini merupakan langkah feminisme kekuasaan yang memandang aksinya dapat mengubah dunia dengan memengaruhi pandangan laki-laki.

Dengan mencoba memberikan pemahaman, laki-laki menjadi memiliki rasa saling berpartisipasi, saling menerima, dan saling berkorban.

Konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang konstruksi secara sosial maupun kultural. Bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap, kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah, lembut, dan keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. (Sofia, 2009: 52-59).

Ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur karena baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.

(24)

Proses marginalisasi, yang menyebabkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan Negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan Negara.

Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh bias gender.

Feminisme menyangkut bagaimana memosisikan subjek perempuan di dalam masyarakat. Selama ini perempuan telah diposisikan inferior di dalam masyarakat. Perempuan dianggap sebagai the other yang relasinya selalu menunggu untuk didefinisikan dan dimaknai.

Identitas, perempuan selalu dilekatkan oleh konstruksi sosial. Begitu dalam konsep modern, perempuan selalu menjadi subjek yang berlawanan dengan subjek laki-laki.Di dalam pencerahan subjek berada di dalam etika promethean di mana individu tunduk pada alam. Sehingga subjek dapat berubah dari dalam dirinya dan pengaruh lingkungannya.

Subjek promethean dianggap dapat menguasai alam dan memiliki posisi yang vital.

(25)

Asumsi perempuan sebagai the other ditunjukkan ketika perempuan dianggap tidak berasio dan dibatasi aksesnya terhadap hak politik di ruang publik. Hal ini yang menyebabkan dibentuknya gerakan perempuan untuk kesetaraan hak politik, pendidikan, dan ekonomi. Di sini pula dimulainya penyebaran kesadaran pembebasan perempuan.

Ketika modernisasi terjadi di dunia Barat melalui revolusi industri pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, berbagai perubahan muncul dalam kehidupan sosial. Seperti bertambahnya variasi kebutuhan, jenis pekerjaan maupun cara pemenuhan kebutuhannya. Kekuatan otot laki-laki telah tergantikan oleh mesin-mesin pabrik. Sementara kecemerlangan otak, ketekunan, dan kemampuan manajemen menjadi kekuatan baru yang dibutuhkan dalam industrilisasi sebagai awal modernisasi. Dengan perkembangan ini, kebetuhan keluarga kemudian tidak bisa lagi ditopang oleh satu kaki (yaitu laki-laki). Para perempuan di Barat pun terpancing untuk mulai keluar ke sektor publik sebagai alat produksi, sementara sektor domestik masih tanggungjawabnya. Seiring dengan terbuka kesempatan kerja dan juga pendidikan bagi perempuan, menyebabkan mereka mampu untuk melihat dunia lama mereka (yaitu sektor domestik) dengan sudut pandang yang berbeda, sehingga membawa pada munculnya kesadaran baru, betapa selama ini posisi perempuan sangat tertinggal jauh dari laki-laki. Hal ini memicu dan menyuburkan isu-isu penindasan dan pelecehan hak asasi, termasuk hak-hak perempuan.

Muncullah kemudian gerakan perempuan sebagai reaksi terhadap

(26)

perubahan sosial yang terjadi. Gerakan inilah yang melahirkan paham keperempuanan yang kemudian dikenal dengan feminisme.

Berkaitan dengan hal tersebut, karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi. Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulis sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap realitas kehidupan.

Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita, cerpen atau novel, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat.

Dengan harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.

Karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, akan tetapi karya sastra juga berfungsi sebagai kritik sosial. Dalam karya sastra kritik-kritik sosial sering ditemukan pada topik yang diangkat sering berkaitan dengan peristiwa yang hangat dan faktual dalam lingkungan sehari-hari. Karya sastra yang dimaksud mencakup novel, cerita pendek, puisi, maupun drama. Membaca karya sastra bukanlah pekerjaan yang mudah karena memerlukan persiapan, strategi agar karya seni dapat dipahami. Baik pengarang maupun pembaca harus memahami model

(27)

bahasa, bentuk sastra dan dengan sendirinya isi karya, yang secara keseluruhan memerlukan cara-cara tertentu (Ratna, 2009: 33-34).

Karya sastra sebagai seni yang berlandaskan cerita secara langsung maupun tidak langsung membawakan pesan dan moral. Dengan kata lain, karya sastra memunyai nilai-nilai diperoleh pembaca lewat sastra. Apalagi karya sastra merupakan cerminan dari masyarakat. Sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kehidupan masyarakat serta hubungan antara karya sastra dengan pembaca dan pengarang.

Persoalan perempuan tidak luput dari pandangan karya sastra, karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat sehari- hari. Karya sastra yang berspektif feminis adalah upaya pengarang mengutarakan penglihatannya akan peran dan kedudukan perempuan yang mendominasi oleh kekuasaan lelaki. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 15-16), adanya resepsi pembaca karya sastra Indonesia yang menunjukkan antara hubungan laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan hubungan yang didasarkan pada pertimbangan biologis dan sosialekonomis semata-mata. Pandangan seperti itu tidak sejalan dengan pandangan yang berspektif feminis bahwa perempuan memunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.

(28)

Kritik sastra feminisme merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembangnya feminisme diberbagai penjuru dunia.

Novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini memunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan dan eksistensi perempuan yang dikenal dengan istilah women issues. Permasalahan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang aktual, yang sering dibicarakan dan dibahas dalam berbagai seminar, baik oleh pakar sastra maupun oleh mereka yang termasuk dalam pergerakan perempuan. Oleh karena itu, permasalahan perempuan (women issues) dianggap berkaitan dengan pandangan masyarakat yang secara tidak langsung dirasakan merugikan kaum perempuan. Pandangan tersebut berasal dari paham kekuasaan patriarki atau patriarchal power yang menganggap kekuasaan dan seksualitas berada di tangan kaum laki-laki.

Sebagai karya sastra seorang feminis, maka novel “Jalan Bandungan” menceritakan sosok perempuan perkasa yang ruang dan waktunya dibatasi oleh gejolak pergerakan dan perlawanan merebut serta mengisi kemerdekaan. Gejolak batinnya terbawa arus dengan lingkungan yang membesarkannya yang dihantui dengan kunkungan di balik persembunyian, pengintaian, dan pengungsian. Waktu demi waktu yang dilalui senangtiasa dibungkus dengan penderitaan, kepahitan, kegelapan, dan keterpurukan. Keprihatinan, rasa tanggung jawab, kesabaran,

(29)

kegigihan, keyakinan, dan prinsip hidup yang kokoh membungkus jiwanya dalam mengarungi kehidupan ini.

Berangkat dari masa yang suram, semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan lingkungan yang senangtiasa mengucilkannya mencoba mengasah hidupnya dengan menopang keluarganya sendiri dari terpaan badai yang menimpa suaminya yang berakhir dengan kurungan penjara sebagai akibat dari paham yang dianutnya. Ketegaran Ibu, si pedagang kecil inilah yang mengilhami kegigihan perjuangan Muryati untuk berjuang, mencari selinapan peluang di sana-sini, demi harga diri sebagai perempuan dan kemampuan orang tua tunggal yang membesarkan anaknya. Muryati (tokoh utama dalam novel Jalan Bandungan) melanjutkan dan menekuni dunia pendidikan merupakan pilihan yang bijak walau di sisi lain, ada tuntutan keluarga yang harus dipertimbangkan.

Muryati menyadari dengan pendidikan seorang perempuan dapat menaikkan mobilitas vertikal untuk memperbaiki status sosial dan ekonominya. Latar novel ini diabadikan dalam judul Jalan Bandungan yang berada di Semarang Jawa tengah.Gambaran kehidupan terhadap penindasan dan ketidakadilan pada perempuan dalam novel tersebut bagian dari potret kehidupan nyata yang terjadi di sekitar kita. Ini merupakan sebuah kritikan sosial yang keras dan pedas. Hingga tak mengherankan jika banyak kalangan yang angkat bicara mengomentari novel tersebut. Gerakan-gerakannya mampu melahirkan pemikiran-

(30)

pemikiran tentang perempuan yang pada akhirnya mampu mengubah kedudukan dan citra perempuan dalam masyarakat.

Nh. Dini merupakan seorang perempuan yang aktif menyuarakan segala pemikirannya yang kritis mengenai berbagai hak khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Nh. Dini sering menyuarakan beragam pemikirannya melalui media sastra khususnya novel, telah banyak novel yang dia tulis dan mendapatkan penghargaan. Nh. Dini dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh perempuan yang memberontak karena hendak memperjuangkan harga diri sebagai manusia dari perilaku laki-laki yang tidak menghargai kaum perempuan.

Karya dari Nh. Dini hadir sejak tahun 1950-an tidak dapat dianggap sepi karena karya-karya tersebut cukup berbicara, isi menggugat ketimpangan dalam bidang sosial, cinta, rumah tangga, kesenian, dan pendidikan. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal yang berkaitan perempuan dalam sebuah budaya patriarki adalah novel yang berjudul Jalan Bandungan.

Sebagai sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, maka novel ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang terstruktur (dalam hal unsur intrinsik), sehingga membentuk sebuah totalitas yang bersifat estetik. Salah satu unsur intrinsik yang paling menonjol untuk menciptakan estetika dalam sebuah novel adalah gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.

(31)

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai pemikiran dan gagasan Nh. Dini mengenai penindasan terhadap perempuan yang disuarakan melalui karya sastranya yang berjudul Jalan Bandungan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, beberapa permasalahan yang akan di bahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakter tokoh perempuan dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini?

2. Bagaimana bentuk gaya bahasa dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini?

3. Bagaimanakah korelasi feminisme dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini dengan fenomena sosial di masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas, maka peneliti menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan pandangan, gagasan, dan upaya perempuan yang tertuang dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini.

(32)

2. Memberikan informasi tentang gagasan-gagasan feminisme yang terdapat dalam novel Jalan Bandungan karya Nh. Dini serta hasil analisisnya dari tinjauan kritik sastra feminisme.

3. Memberikan kontribusi sebagai pengembangan diskursus jender dan feminisme yang berkaitan dengan kritik sastra feminisme.

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian selalu di harapkan memberikan manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan perluasan wawasan, serta pemahaman terhadap satu disiplin keilmuan.

1. Manfaat Teoretis

a. Untuk mengembangkan ilmu pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kususnya dalam bidang kesastraan.

b. Mampu memberikan pandangan pemikiran berupa konsep atau teori di bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya mengenai kajian sastra terhadap novel-novel Indonesia.

(33)

2. Manfaat Praktis

a. Untuk penigkatan apresiasi sastra Indonesia bagi masyarakat yaitu dalam hal mengeritik karya sastra, khususnya dalam kritik sastra feminisme.

b. Untuk menambah perbendaharaan kajian-kajian tentang sastra khusus dalam permasalahan sastra dan sebagai bahan kajian terhadap masalah ketidakadilan gender perempuan dalam karya sastra.

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Keberhasilan sebuah penelitian bergantung pada teori yang mendasarinya. Teori sesungguhnya merupakan landasan suatu penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini tersebar diberbagai pustaka yang erat kaitannya dengan masalahnya yang dibahas. Di dalam usaha menunjang pelaksanaan dan penggarapan penelitian ini, perlu mempelajari pustaka yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Sehubungan dengan uraian di atas, aspek teoretis yang akan dibicarakan pada tinjauan pustaka ini meliputi: (1) analisis feminisme dan gerakan feminisme, (2) novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, (3) gaya bahasa, (4) novel sebagai sarana pencitraan perlawanan simbolis, (5) sosiologi sastra dan realitas kultural, (6) peranan perempuan dalam pembangunan berwawasan gender, (7) pendekatan kritik sastra feminisme, (8) teori hermeneutik.

Sehubungan dengan masalah yang ingin diteliti, maka kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

(35)

1. Analisis Feminisme dan Gerakan Feminisme

Istilah “feminisme” pertama kali digunakan dalam literatur barat baru pada tahun 1780, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan laki-laki; istilah ini masih terus diperdebatkan, namun secara umum bisa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan penindasan perempuan ( Hakeem, 2005: 27).

Gerakan feminisme (perempuan) merupakan gerakan yang muncul di kalangan perempuan sebagai reaksi terhadap pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat (Hakeem, 2005: 26).

Terjadi ketidakadilan gender dalam struktur sosial yang timpang, mengakibatkan tindakan kekerasan terhadap perempuan muncul kepermukaan realitas sehingga melahirkan perlawanan keras dari kaum laki-laki maupun perempuan yang dinamakan gerakan feminisme.

Feminisme menurut Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti dan Suharto (2005:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan disegala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang memertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Perempuan juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.

Menurut Wolf (dalam Sofia, 2009: 13) mengartikan feminize sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga

(36)

diri semua perempuan. Istilah “menjadi feminis” , bagi Wolf, harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Sementara itu, Budianti, (dalam Sofia, 2009:13) mengartikan feminisme sebagai suatu kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

Kajian feminisme menurut Hollows (dalam Sofia, 2009: 28) dianggap sebagai bentuk politik yang bertujuan untuk mengintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara lelaki dan perempuan.

Dalam spektrum sosial, gerakan feminisme menampilkan beberapa ide, nilai, dan perspektif. Secara umum, gerakan feminisme dipandang sebagai gerakan pembebasan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Gerakan ini telah mengalami diverifikasi, berkaitan dengan perbedaan-perbedaan konteks budaya dan ideologi.

Gerakan feminisme ini pada awalnya berkembang di Negara Barat seperti di Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada perkembangannya Tong (dalam Arivia, 2003: 84) mengungkapkan tiga gelombang feminisme, yaitu gelombang pertama dimulai pada tahun 1880-an dan merupakan dasar bagi gerakan-gerakan perempuan berikutnya. Pada fase ini para perempuan sibuk sebagai aktivis gerakan-gerakan perempuan.

Gelombang kedua berkembang di tahun 1960-an yang ditandai dengan

(37)

pencarian refresentasi citra perempuan dan kedudukan perempuan oleh kaum feminisme. Pada masa inilah teori-teori mengenai kesetaraan perempuan mulai tumbuh. Gelombang ketiga teori-teori yang muncul ini mengikuti pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari sana kemudian lahir teori-teori feminisme yang lebih plural misalnya feminisme postmodernisme, postkolonial, multikultural dan global.

Pergerakan perempuan ditahun 1960-an merupakan pembaharuan tradisi pemikiran dan tindakan lama yang telah memiliki buku-buku klasik sendiri yang mendiagnosis masalah ketidaksetaraan posisi perempuan dalam masyarakat serta solusi yang diusulkan. Kritik sastra feminis merupakan akibat langsung dari pergerakan perempuan pada tahun 1960- an. Pergerakan tersebut bersifat sastrawi sejak awal, artinya itu menyadari cerita perempuan yang disebarluaskan sastra dan memandang bahwa penting sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya. Kritik feminis sebagai salah satu cara yang paling praktis untuk memengaruhi perilaku dan sikap sehari-hari.

Barry mengungkapkan, refresentasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasi terpenting karena membiarkan model peranan yang mengondisikan perempuan dan laki-laki versi feminim yang sasarannya dapat diterima dan aspirasi feminim yang sah (Barry, 2010: 143-144).

Sastra feminis merupakan refresentasi perempuan yang ada dimasyarakat. Sastra feminis juga mampu memengaruhi para

(38)

pembacanya sekaligus menawarkan solusi melalui pemikiran pengarang.

Maka melalui sastra, tujuan gerakan feminis dapat dicapai. Sementara kritik sastra feminis digunakan untuk melihat citra perempuan dan usahanya meraih eksistensi dalam perspektif sastra. Kritik sastra feminis juga merupakan pendekatan pada studi sastra yang mengaplikasikan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra.

Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (Woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak- hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female ( sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male- female mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden, 1989: 132).

Selama seribu tahun terakhir, banyak muncul bentuk feminisme,.

Namun feminisme dalam terminologi umum dapat didefenisikan sebagai advokasi hak-hak bagi perempuan kepada kesetaraan dengan laki-laki dalam kehidupan (Giddens, 1989:72-132).

Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk yang penulis himpun dari berbagai sumber:

a. Feminisme Barat

Feminisme Barat merupakan kelanjutan dari sebuah proses sejarah dan merupakan produk dominasi ekslusifitas gender oleh

(39)

gereja dan diskriminasi yang fulgar laki-laki dan perempuan serta pengingkaran terhadap perempuan dalam konteks hal-hal sosial barat (Hakeem, 2005: 27). Feminisme Barat bertolak dari asumsi bahwa laki-laki dari kelas tertentu memerintah serta mendominasi kekuasaan secara eksklusif dan kepemilikan dalam semua aspek kehidupan sosial-ekonomi. Sedangkan perempuan dipandang sebagai kelas rendahan dan tercabut dari segala jenis hak, mulai dari mengekspresikan pendapatnya, hingga seluruh bentuk partisipasinya.

b. Feminisme Amazon

Feminisme Amazon peduli terhadap “kesetaraan fisik gender”. Menolak ide bahwa karakteristik atau perhatian tertentu secara inheren adalah maskulin, seraya meyakini dan mengembangkan sebuah imajinasi epik (kisah kepahlawanan) keperempuanan. Mary, menjadikan feminisme Amazon sebagai metafora yang melukiskan perempuan yang berjuang untuk menentukan identitas sejak dari nenek moyang kita (Hakeem, 2005: 29).

c. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal adalah feminisme yang memandang adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan. Faqih, (dalam Sofia, 2009: 14). Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan memunyai hak yang

(40)

sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antar laki-laki dan perempuan.

d. Feminisme Sosialis

Dikalangan feminisme sosialis, baik patriarki maupun kelas dianggap merupakan penindasan utama. Feminisme sosialis berpandangan bahwa perlu melakukan transformasi, bukan hanya kepemilikan alat-alat terletak dalam sistem ekonomi kapitalisme (Hakeem, 2005:30).

e. Feminisme Radikal

Feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laki atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki- laki atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik psikologis kepada laki-laki Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2005 : 97).

f. Feminisme Marxis

Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologis sebagai dasar perbedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Fakih, 2007: 86). Persoalan

(41)

perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme.

g. Feminisme Kultural

Feminisme kultural adalah pandangan bahwa feminitas merupakan bentuk perilaku manusia yang paling diperlukan. Untuk memperoleh pandangan ideal melalui maskulinitas dan cap-cap yang diberikan pada feminisme oleh dunia patriarkis, kaum feminisme kultural mendefenisikan kembali feminisme dalam suatu kerangka positif feminisme kultural meyakini untuk mempertajam feminisasi atas maskulinitas, harus dibangun basis pengetahuan yang dikonstruksikan oleh kaum perempuan dan terpisah dari perspektif laki-laki. Karena itu lebih otentik bagi perempuan dan bagi masyarakat memandang perempuan.

h. Feminisme Pascastrukturalisme

Kaum feminis pascastrukturalisme memfokuskan pada cara- cara pemecahan secara individual, seperti diskriminasi ekonomi.

Tidak ada jalan keluar dari “keperempuanan seseorang dan pembatasan-pembatasan yang telah dibuat masyarakat patriarkis bagi perempuan. Apabila seorang perempuan menginginkan untuk berhenti menjadi jenis kelamin kedua (the second sex), yakni sebagai orang lain” ia harus mengatasi kekuatan-kekuatan keadaan strukturnya. Dalam hal ini, (De Beauvoir, 1974: 32), menganjurkan tiga strategi, pertama, perempuan meski bekerja,

(42)

meskipun pekerjaan di dalam sistem kapitalis bersifat eksploitatif dan menindas, hanya melakukan pekerjaan perempuan mampu mengontrol nasib mereka sendiri. Kedua, perempuan mampu menjadi intelektual; sebab aktifitas intelektual meliputi berfikir, mencari dan mendefinisikan. Ketiga, perempuan harus berusaha menjadi sosialis yang mentransformasikan masyarakat, yang akan membantu menanggapi konflik-konflik subjek/objek dan diri sendiri/orang lain.

i. Feminisme Apolegetik

Feminisme apolegetik pada dasarnya merupakan liberal perempuan muslim.perspektif liberal dan sekuler intelektual muslim telah membawa mereka kearah sebuah reaksi apolegetik.

Kelompok ini mencoba mengadopsi agama agar cocok dengan prinsip-prinsip feminis atau menerima feminisme sebagai sebuah jalan kehidupan yang tidak terbantahkan bagi perempuan muslim;

apakah prinsip-prinsip agama dapat disesuaikan dengannya ataukah tidak. Kelompok feminis ini membaca ulang teks-teks syariat dengan tujuan memperkenalkan hak-hak perempuan berdasarkan nilai-nilai islam.

j. Feminisme Strukturalis

Merujuk pada strukturalis, masyarakat sebagai keseluruhan termasuk laki-laki dan perempuan dihubungkan oleh tanggung jawab sosial dan individual tanpa adanya tendensi monoseksual.

(43)

Strukturalisme melihat suatu posisi yang komprehensif bagi perempuan dan laki-laki dalam ruang publik dan privat, di tengah masyarakat dan ranah politik. Perbedaan utama antara feminisme Barat dan para strukturalis muslim dapat dilihat pada metodologi pemehaman dan penetapan atas hak-hak dan tanggung jawab.

Feminisme barat, tidak melihat ajaran religius memertahankan perempuan dan peran mereka di masyarakat, sementara strukturalis muslim melihat itu sebagai kesinambungan tolak ukur.

k. Feminisme Eksistensialis

Beranggapan bahwa manusia adalah esensi yang mengmbangkan eksistensi. Eksistensi melampaui esensi. Di dalam feminisme ini, laki-laki makhluk bebas yang mendefinisikan diri sebagai subjek dan mendefenisikan pihak lain atau perempuan.

Lahirnya feminisme ini kemudian menjadikan perempuan membuka mitos-mitos yang menetapkan posisinya sebagai “yang lain”.

Perempuan keluar bertendensi dari kungkungan tubuh.

l. Feminisme Moderat

Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo (1994) memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan dan perlakuan. Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kemitra-sejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender.

(44)

2. Novel sebagai Salah Satu Ragam Sastra

Novel berasal dari bahasa Italia, novella, secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa, Abrams (dalam Nurgiantoro, 2000: 9).

Novel sebagai suatu jenis kesastraan yang merupakan karya panjang yang sifatnya kompleks dalam unsur-unsur utamanya seperti tema , plot , latar, perwatakan, amanat, dan sudut pandang. Novel menceritakan suatu fase dari kehidupan tokohnya.

Novel menurut Stanton (dalam Sumardjo, 1994: 43) mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter dan berbagai peristiwa yang rumit yang terjadi beberapa waktu silam secara lebih mendetail. Dengan demikian dalam novel, pelukisan tentang perkembangan watak tokoh digambarkan secara lebih lengkap. Novel menawarkan sebuah dunia, dunia imajinatif yang menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan dan penonjolan watak setiap tokohnya.

Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi modal kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melelui berbagai unsur. Novel dapat juga memberikan ide atau wawasan yang luas dari sekedar fakta yang bersifat pengetahuan. Dari novel

(45)

mungkin manusia akan mendapatkan nilai-nilai dari sesuatu yang mungkin diluar perhatian manusia. Nilai-nilai yang dimaksudkan dalam novel adalah persepsi dan beberapa pengertian yang diperoleh pembaca lewat sastra seperti nilai pendidikan, agama, budaya dan lain-lain.

Dalam sebuah novel dapat muncul berbagai aspek kehidupan yang di dalamnya terdapat amanah yang ingin disampaikan oleh pengarang pada pembaca. Oleh karena itu, sebuah novel pada dasarnya merupakan cerita atau laporan mengenai kejadian atau suatu pengalaman. Artinya novel adalah cerita yang menggambarkan sebagian dari kehidupan seorang atau beberapa orang yang memunyai arti yang sangat penting.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012: 968) dikatakan bahwa novel adalah karangan yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Penciptaan karya sastra digunakan untuk mengekspresikan kepribadian pengarang melalui imajinasi pengarang sehingga menjadi media jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang yang ditunjukkan untuk pembaca. Selain itu, karya sastra diciptakan pengarang untuk dimaknai oleh pembaca dan diciptakan secara kreatif oleh pengarangnya.

Penciptaan karya sastra merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang terjadi disekitar lingkungannya. Sastra

(46)

merekam penderitaan dan harapan suatu masyarakat sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra (Sumardjo, 1994:15). Dengan demikian, karya sastra menjadi hubungan sistem kehidupan dengan realitas sejarah dan realitas sosial suatu masyarakat.

Realitas sosial itu dutuangkan pengarang kedalam sebuah teks. Teks-teks itulah merupakan gambaran fenomena sosial yang akan dibaca dan dimaknai oleh pembaca.

Sebuah karya sastra mampu memilki daya gugah terhadap batin dan jiwa seseorang. Daya gugah itu sering tampil dalam karya sastra dengan menyimpan misteri yang berhubungan dengan manusia dan kehidupannya serta berbagai kemungkinan dengan konfliknya (Sumardjo, 1994 : 20). Jadi karya sastra merupakan media untuk mengutarakan sisi- sisi kehidupan manusia. Karya sastra sering memuat kebenaran- kebenaran kehidupan manusia yang kadang-kadang kebenaran itu bersifat sejarah. Karya sastra juga dipandang sebagai dunia imajiner.

Dunia yang dijadikan oleh pengarang sifatnya imajinatif, namun sastra sama sekali tidak lepas dari kenyataan konkret. Sastra merupakan hasil pengekspresian antara kesadaran dan realitas. Semi (1988: 21), menyebutkan sastra adalah hasil konfrontasi manusia dengan masalah- masalah nyata kehidupan. Sedangkan pada Wellek dan Werren (1989:

22), menyatakan karya sastra sebagai seni bukanlah objek yang sederhana, tetapi mendekati suatu organisasi yang berlapis-lapis dan rumit susunannya dengan banyak kemungkinan makna hubungannya.

(47)

3. Gaya Bahasa

Berbahasa pada dasarnya merupakan pencetusan pikiran, gagasan, dan maksud. Pencetusan ini dijelmakan secara konkret kedalam bentuk ucapan atau tulisan. Seperti dikatakan Nieuwenhuis (dalam Nafiah, 1981: 4) “Bahasa itu kadang-kadang berupa bunyi, kadang-kadang berupa tanda, akan tetapi senantiasa berupa pikiran”.

Kedua bentuk ini memunyai kedudukan sejajar dan merupakan aspek produktif. Pada saat tertentu digunakan bentuk lisan; pada saat lain memunyai kedudukan sejajar, namun efektifitas dan efesiensi masing- masing bersifat situasional.

Pikiran, gagasan, dan maksud yang dikemukakan dalam bentuk tulisan memerlukan waktu berpikir sehingga pembahasannya lebih diperhatikan. Sehingga karya tulis dapat ditata lebih rapi dan lebih sistematis, ia dapat dibaca ulang dan dikaji secara lebih teliti, sampai waktu yang cukup lama.

Istilah gaya bahasa diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa stilus dan mengandung arti leksikal ”alat untuk menulis”. Dalam karya sastra istilah gaya bahasa mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

(48)

Penggunaan gaya bahasa dalam wacana tidak dapat dilepaskan dari fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan atau ide.

Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata- kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau memengaruhi penyimak dan pembaca. Sarana retorik klasik ini telah digunakan oleh novelis Romawi Cicero dan Suetanius yang memakai figura dalam pengertian “bayangan, gambar, sindiran, kiasan” ( Tarigan, 2009: 4).

Gaya bahasa menurut Kridalaksana (2008: 70) yang mengatakan bahwa pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, atau pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu dan keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra, jadi dapat dipahami bahwa gaya bahasa adalah ciri khusus yang dilakukan oleh seseorang penutur atau penulis dalam memilih kata-kata yang akan diungkapkannya atau dalam menyampaikan maksud- maksudnya.

Secara leksiologis yang dimaksud gaya bahasa, yakni : (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra, (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan.

Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan

(49)

suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.

Keindahan sebuah karya sastra sebagian besar disebabkan oleh kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasanya sehingga menimbulkan kekuatan bahasa dan keindahan seni.

Masalah gaya bahasa banyak dibicarakan dalam sastra, karena sastra lebih bertujuan untuk menggugah perasaan pembacanya agar menimbulkan efek-efek tertentu seperti yang diharapkan penulisnya. Agar tujuan itu tercapai, maka penulis karya sastra berusaha memilih kata/ungkapan yang bukan hanya tepat, tetapi kata tersebut harus dalam maknanya, sehingga pembaca memiliki perasaan-perasaan tertentu.

4. Novel Sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis

Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan manusi, sebuah novel sastra diciptakan bukan untuk tujuan estetis semata, seperti diyakini oleh teori struktural objektif atau sebagai refleksi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, seperti yang diyakini oleh teori Marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan novel memiliki posisi yang cukup penting, yaitu mengemban fungsi sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu mengonstruksi masyarakat yang diidealkan sering kali harus

(50)

melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dan dominan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.

Menurut Ollenburger dan Moore (1996: 139) struktur pendidikan menentukan pola kehidupan perempuan, dengan pendidikan tinggi seorang perempuan dapat memiliki mobilitas vertikal untuk memerbaiki status sosial ekonomi. Tidak hanya itu saja, perempuan juga harus berperan sebagai identitas diri serta ilmu akan tumbuh dan berkembang.

Kemudian sempurnalah ketika ilmu tersebut dijiwai oleh empunya dalam menjalankan hidup dan mampu meleburkan diri dengan masyarakat.

sehingga membuat ilmu menjadi mulia.

Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra (novel) merupakan perlawanan yang bersifat sombolis. Hal ini karena perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata dan gagasan yang diungkapkan dalam novel.. Sebagai mana dikemukakan oleh Damono bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang tinggi, karya sastra yang dihasilkan juga mencerminkan kritik sosial yang (barangkali tersembunyi) ada dalam masyarakat.

5. Sosiologi Sastra dan Realitas Kultural

Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius,

(51)

kemudian dengan elegannya mencipta suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi dan rekaman budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri dan masyarakat.

Hubungan sastra dan kehidupan sebagaimana realitas kultural, memberikan pemahaman bahwa setiap karya sastra adalah perwujudan realitas kehidupan yang diimajinasikan oleh pengarang melalui penggunaan bahasa sebagai medium. Hubungan sastra dan kehidupan lebih lanjut dijelaskan oleh Warren dan Wellek (dalam Sofia 2009: 31) bahwa sastra adalah intuisi sosial yang memaknai medium bahasa.

Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konversi dan norma masyarakat. Lagi pula, sastra “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia. Dalam masyarakat primitif kita tidak dapat membedakan puisi dan ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra memunyai fungsi sosial atau “manfaat” yang sepenuhnya tidak bersifat pribadi. Jadi permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial, masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre) simbol dan mitos.

Berdasarkan uaraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra dan realitas kultural merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan manusia yang saling berhubungan. Kehadiran karya sastra dapat dianggap sebagai replika kehidupan, bahkan dalam kehidupan tradisional,

(52)

antara sastra dan realitas kehidupan secara kultural, kadang-kadang sulit dibedakan. Sebaliknya, pada abad yang modern ini terbuka kelonggaran bahwa setiap studi sastra dapat diarahkan pada segenap unsur yang membangun karya sastra secara totalitas baik yang berada didalam maupun yang berada diluar setiap karya sastra.

Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari barbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat, logia tau logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat atau

(53)

sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang baik. Dengan demikian , sosiologi sastra berarti pemahaman totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2009: 42).

Menurut Damono (1979: 11) sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial karena tujuan sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antar sastrawan, karya sastra dan masyarakat (Jabrohim, 2012:

169).

Sesuai pandangan Ali Lukman (dalam Ratna, 2009: 58) mengemukakan bahwa sosial adalah hal yang berkenaan dengan masyarakat. Masalah sosial mencakup beberapa aspek seperti keadaan masyarakat, moral, ekonomi, pendidikan, agama, bahasa, kekeluargaan, hukum, politik dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang memelajari tentang sosial disebut sosiologi. Dalam sosiologi banyak hal yang menjadi kajian, hal ini karena objek penelitian sosiologi adalah manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh waktu dan tempat manusia hidup.

(54)

Sosiologi menurut pandangan Soekanto (1985: 33) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memelajari hidup manusia (masyarakat) beserta gejala-gejalanya sebagaimana adanya. Semi dalam bukunya “Kritik Sastra” mengemukakan sosiologi adalah suatu telaah ilmiah tentang manusia dalam masyarakat sosial dan proses sosial.

Sosiologi menelaah bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.

Dengan memelajari sosial dan masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan sebagainya. Kita juga mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan, seperti proses pembudayaan.

Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencermunan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengalaman masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan sering kali masyarakat tidak mampu mengelak dari adanya pengaruh yang diterima dari lingkungan yang membesarkan dan sekaligus membentuknya. (Semi, 1988: 73).

Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang memertimbangkan segi kemasyarakatan. Karya sastra merupakan ciptaan imajinatif dan kreatif yang menggambarkan lingkungan masyarakat sebagai titik tolaknya.

(55)

Sosiologi sastra adalah telaah sosiologi terhadap karya sastra.

Telaah sosiologi memunyai tiga klasifikasi menurut Wellek dan Werren (1989: 111), pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang social, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan serta hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah sosial. Yang ketiga dalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Persoalan yang terjadi dalam masyarakat merupakan bahan bagi pengarang. Semakin tinggi kepekaan pengarang, semakin tercermin persoalan yang muncul atau terjadi dalam masyarakat. Apabila ada pengarang yang kurang memperhatikan aspek-aspek sosial dalam sastranya bukan berarti ia tidak mengangkat persoalan masyarakat, melainkan keberangkatan pengarang menciptakan yang berbeda. Ini terjadi karena pengarang mementingkan konsumen yang sifatnya menghibur. Lain halnya dengan pengarang literer “pengarang yang mementingkan hakikat sastra atau kehidupan” akan lebih menampilkan permasalahan hakikat kehidupan manusia, seperti kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangnya. Hal ini berarti apa yang dilihat oleh

(56)

pengarang akan diendapkan, diseleksi dan akhirnya dituangkan dalam sebuah karya sastra.

Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca memeroleh hal-hal yang baru yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Penafsiran tersebut melalui suatu pendekatan. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah memelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Memang ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya sastra (Wellek dan Austin Werren, 1989 :122). Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu gambaran atau cerminan dari sekian kisah kehidupan sosial yang diendapkan melalui pengalaman batin dan diolah oleh pengarang melalui daya imajinasi hingga menghasilkan sebuah karya sastra yang menarik.

6. Peranan Perempuan dalam Pembangunan Berwawasan Gender

Dalam hal persamaan kedudukan, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berkedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan,

(57)

melaksanakan, memantau, dan menikmati hasil pembangunan. Hak yang sama dibidang pendidikan misalnya, anak laki-laki dan perempuan memunyai hak yang sama untuk mengikuti pendidikan sampai kejenjang pendidikan formal tertentu.

Tentu tidaklah adil jika dalam era global ini menomorduakan pendidikan bagi perempuan, apalagi jika anak perempuan mempunyai kecerdasan atau kemampuan. Selanjutnya, kewajiban yang sama umpamanya seorang istri sama-sama berkewajiban mencari nafkah dengan suaminya dalam upaya memenuhi beragam kebutuhan rumah tangga. Mencari nafkah tidak lagi hanya menjadi kewajiban suami (lelaki), begitu juga kewajiban melakukan pekerjaan urusan rumah tangga tidak semata-mata menjadi tugas istri (perempuan). Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan dapat diambil contoh, apabila ada dua orang Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi, yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama memenuhi syarat dan memunyai kemampuan yang sama, keduanya memunyai kesempatan yang samau untuk mengisi lowongan sebagai Kepala Biro. Perempuan tidak dapat dinomorduakan semata-mata karena dia seorang perempuan. Pandangan bahwa pemimpin itu harus seorang laki-laki merupakan pandangan yang keliru dan perlu ditinggalkan. Berdasarkan pemikiran tersebut, kiranya menarik untuk dibahas, bagaimana peranan (hak dan kewajiban) perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender, dalam upaya

(58)

mewujudkan kemitrasejajarnya yang harmonis antara laki-laki dengan perempuan dalam bagian bidang kehidupan dan pembangunan?

a. Status dan Peranan Perempuan

Menurut kondisi normatif, laki-laki dan perempuan memunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma sosial dan nilai budaya tersebut, diantaranya disatu pihak, menciptakan status dan peranan perempuan disektor domestik, yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan dilain pihak, menciptakan status dan peranan laki-laki disektor publik yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah. Dikemukakan oleh White dan Hastuti (1980), dalam sistem kekerabatan patrilineal, ada adat dalam perkawinan (pernikahan) yang biasanya perempuan (istri) mengikuti laki-laki (suami) atau tinggal dipihak kerabat suami, merupakan salah satu faktor yang secara relatif cenderung memengaruhi status dan peranan perempuan, yakni status dan peranan perempuan menjadi lebih rendah dari pada laki-laki.

Gambar

Tabel Frekuensi Pemakaian Gaya Bahasa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterlibatan masyarakat setempat terhadap pariwisata di pantai iboih yang berbasis masyarakat agar wisata bahari di pantai iboih ini

Guru yang memiliki kinerja yang baik dan profesional memiliki beberapa kemampuan antara lain : (1) Guru harus memiliki ketrampilan untuk mendiagnosis siswanya dalam hal

Planning (Perencanaan) ... Prinsip-prinsip Manajemen Sekolah ... Memprioritaskan tujuan di atas kepentingan pribadi dan kepentingan mekanisme kerja ... Mengkoordinasi wewenang

Faktor-faktor yang dimasukan dalam model penelitian, yang diduga akan berpengaruh terhadap intensitas penggunaan modal ventura, adalah (1) pengalaman usaha, (2) tingkat

Informasi secara rinci dapat dilihat di website www.jakarta.go.id 2.. Untuk pengaduan dapat

Berdasarkan analisis data dengan bantuan program SPSS for windows 18.0 untuk menentukan apakah terdapat kontribusi status gizi terhadap kemampuan motorik kasar

Sedangkan pandangan fiqih siyasah terhadap peran kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Kampar dalam pemenangan calon Bupati dan wakil Bupati Pilkada

Warga sekitar dibawah naungan pemerintahan desa Jambangan telah membuat strategi agar obyek wisata air sumber bantal dapat dikenal, sebagai tempat tujuan wisata