• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Manfaat Teoritis

1) Bagi institusi (Balai Bahasa Sumatera Utara, Dinas Pendidikan dan Pengajaran dan sebagainya) sebagai teori dan bahan masukan untuk mengembangkan metode terbaru dalam penanggulangan dan pendekatan yang aplikatif untuk meningkatkan sumber data dan kemajuan umum.

2) Bagi Universitas Sumatera Utara, sebagai literatur kepustakaan di bidang penelitian mengenai kekerabatan bahasa Jawa dengan Melayu Langkat.

3) Bagi Fakultas Ilmu Budaya, sebagai materi dan literatur dalam bidang bahasa dan kajian Linguistik Historis Komparatif atau Linguistik Bandingan Historis.

4) Bagi peneliti lain, agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan referensi bagi penelitian dengan objek yang sama di masa mendatang.

2). Manfaat Praktis

1) Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis sendiri dan peneliti lainnya yang melakukan penelitian kajian Linguistik Historis Komparatif mengenai kekerabatan bahasa antar daerah.

2) Hasil penelitian sangat diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih mengenal dan menghargai bahasa yang digunakan, khususnya masyarakat di Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dan Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

3) Melestarikan hubungan kebudayaan kedua masyarakat antara bahasa Jawa di Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dengan bahasa Melayu Langkat di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara melalui kontribusi hasil kajian perbandingan kedua bahasa tersebut.

4) Memberikan gambaran secara garis besar hubungan kebudayaan yang tersirat dalam hubungan kekerabatan bahasa secara tersurat atau kearsipan.

5) Memperkenalkan kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa Melayu Langkat di luar dari bahasa-bahasa yang diangkat sebagai bahan penelitian.

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2005). Dalam pengertian lain, konsep merupakan satuan-satuan arti yang mementingkan objek yang memiliki ciri yang sama dalam sebuah kajian. Dengan adanya konsep, objek-objek yang abstraksi akan ditempatkan pada golongan tertentu sehingga mendapatkan gambaran mental dari objek untuk melakukan proses yang ingin dicapai, baik untuk penelitian, laporan dan lain sebagainya.

Konsep yang menjadi dasar dari penelitian ini adalah Kekerabatan, Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu Langkat.

2.1.1 Kekerabatan

Kekerabatan ialah hubungan antara dua bahasa atau lebih yang diturunkan dari sumber yang sama (KBBI, 2005). Secara garis besar, kekerabatan merupakan pertalian atau hubungan antar dua bahasa atau lebih yang diturunkan dari sumber yang sama dengan melihat persamaan-persamaan yang terdapat dalam bahasa-bahasa tertentu.

2.1.2 Bahasa Jawa

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Indonesia.

Persebaran bahasa Jawa ke daerah lain di luar pulau Jawa ialah melalui transmigrasi atau perpindahan penduduk sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga masa

orde baru, juga melalui perantauan dan lain sebagainya sehingga persebaran penduduk tersebut membuat masyarakatnya berada di berbagai daerah. Salah satu daerah menggunakan bahasa Jawa ialah masyarakat di Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara sebagai alat interaksi dan komunikasi sehari-hari di luar dari bahasa Indonesia.

Bahasa Jawa, sejak lama adalah bahasa pengantar suatu peradaban yang besar.

Walaupun perubahan yang baik sistem fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun ortografinya cukup tampak jelas, kodifikasi bahasa Jawa pada setiap masanya tampak mantap. Standardisasi dalam berbagai register serta dalam sistem strukturnya tampak kelas dan stabil (Poedjasoedarma, 1979: 1).

Bahasa Jawa adalah bahasa daerah yang besar jumlah penuturnya, yaitu sekitar 50% dari seluruh penduduk Indonesia (Sudaryono, dkk, 1990: 1). Bahasa Jawa memiliki daerah pemakai yang termasuk luas, yang meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogjakarta, Cirebon, Banten, dan beberapa daerah lain yang menjadi wilayah sasaran transmigrasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai orde baru, juga seperti yang dinyatakan Purwadi (2012: 24, dalam Surip & Widayati 2019:

5) bahwa masyarakat Jawa memiliki kultur migrasi dari satu daerah ke daerah lain untuk berusaha mengubah ekonomi keluarga.

Bahasa kelas bawah, yang merupakan mayoritas, merupakan kelompok masyarakat yang kurang berpendidikan dan lemah secara sosial-ekonomi sehingga disebut oleh Koentjaraningrat sebagai tiyang alit (orang kecil) atau, sering dikatakan pula sebagai rakyat kebanyakan (Purwoko, 2008: 8). Oleh karena itu, bahasa-bahasa Jawa yang sekarang ini sudah menyebar luas pada beberapa kalangan merupakan

bahasa Jawa ngoko, yang umum digunakan masyarakat Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa dipakai sebagai bahasa sehari-hari di Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Adapun diagram vokal bahasa Jawa yakni sebagai berikut;

Gambar 1. Diagram Vokal Bahasa Jawa 2.1.3 Bahasa Melayu Langkat

Bahasa Melayu Langkat adalah salah satu dialek dari bahasa Melayu di Indonesia. Bahasa Melayu Langkat mendapat ciri khas tersendiri karena selain disebut bahasa Melayu Langkat, bahasa tersebut juga disebut bahasa Melayu Maya-Maya (baca: maye-maye). Tuturan masyarakat dalam penggunaan bahasa itu sendiri yakni pelafalan vokal /a/ berubah menjadi /ə/. Bahasa Melayu Langkat dipakai sebagai bahasa sehari-hari di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Adapun diagram vokal dalam bahasa Melayu Langkat yakni sebagai berikut;

Gambar 2. Diagram Vokal Bahasa Melayu Langkat 2.2 Landasan Teori

2.2.1 Linguistik Historis Komparatif

Penelitian mengenai kekerabatan bahasa Jawa dengan bahasa Melayu Langkat ini menggunakan teori dan kajian Linguistik Historis Komparatif atau Linguistik Bandingan Historis. Keraf (1984: 22) mengatakan bahwa linguistik bandingan historis (linguistik historis komparatif) adalah suatu cabang dari Ilmu Bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut. Adapun salah satu tujuan dan kepentingan linguistik historis komparatif adalah mengadakan pengelompokkan (sub-grouping) bahasa-bahasa dalam suatu rumpun bahasa. Bahasa-bahasa dalam suatu rumpun yang sama belum tentu sama tingkat kekerabatannya atau sama tingkat kemiripannya satu sama lain.

Lingustik Historis Komparatif diawali adanya berbagai kegiatan pembandingan di antara bahasa kuno di Eropa dan di India sekitar dua abad yang lalu. Hal ini disebabkan kajian linguistik di India dan Yunani banyak memengaruhi kajian linguistik pada masa itu dan bahkan sampai dewasa ini. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada

linguis bangsa-bangsa zaman dahulu yang dapat menyamai lingus bahasa India dalam kajian ilmu bahasa. Tradisi linguistik di India yang difokuskan pada bahasa Sanskerta merupakan tradisi yang sangat penting. Pengaruhnya terhadap linguistik Barat sejak akhir abad ke-18 masih terasa sampai saat ini (Widayati, 2014: 1-2, lihat Mahsun, 1995:

2).

Tujuan dan kepentingan Linguistik Historis Komparatif adalah mempersoalkan bahasa-bahasa yang serumpun dengan mengadakan perbandingan mengenai unsur-unsur yang menunjukkan kekerabatannya, mengadakan rekonstruksi bahasa-bahasa yang ada dewasa ini kepada bahasa-bahasa purba (proto), mengadakan pengelompokan (sub-grouping) bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa dan menemukan pusat-pusat penyebaran bahasa-bahasa proto (Keraf, 1984: 23).

Keraf (1984: 34) mengatakan bahwa bahasa-bahasa kerabat yang berasal dari proto yang sama selalu akan memperlihatkan kesamaan-kesamaan berikut:

1. Kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologis);

2. Kesamaan morfologis, yaitu kesamaan dalam bentuk kata dan kesamaan dalam bentuk gramatikal;

3. Kesamaan sintaksis, yaitu kesamaan relasinya antara kata-kata dalam sebuah kalimat.

2.2.2 Kekerabatan Bahasa

Kekerabatan bahasa adalah pertalian atau hubungan bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebuah bahasa dapat dikatakan berkerabat dengan bahasa lainnya apabila kosakata di dalam bahasa tersebut memiliki kesamaan kosakata yang identik, memiliki

korespondensi fonemis dan fonetis yang hampir sama, serta memiliki kesamaan meskipun satu fonemnya berbeda. Hock (1988, dalam Fitrah & Afria, 2017: 208) mengatakan bahwa kekerabatan bahasa adalah hubungan keseasalan suatu bahasa yang dibuktikan dengan pengelompokan dan rekonstruksi proto bahasanya

Dalam menentukan kata kerabat (cognates) dari bahasa yang diteliti, maka hendaknya diikuti prosedur-prosedur berikut ini:

1. Gloss yang tidak diperhitungkan

Gloss yang tidak diperhitungkan adalah glos yang tidak ada kosakatanya baik dalam salah satu bahasa maupun dalam kedua bahasa. Kedua, semua kata pinjaman, baik dari bahasa-bahasa kerabat maupun bahasa-bahasa non-kerabat. Ketiga, kata-kata jadian pada sebuah kata benda atau mengenai sebuat kata benda memperlihatkan bahwa itu bukan kata dasar. Keempat, bila dalam glos ada dua kata yang sama, yang satu merupakan kata dasar dan lain kata jadian dengan kata yang sama, maka glos untuk kata dasar yang diperhitungkan, sedangkan kata jadiannya tidak diperhitungkan.

2. Pengisolasian morfem terikat

Bila dalam kata-kata yang telah disimpulkan itu terdapat morfem-morfem terikat, maka sebelum mengadakan perbandingan untuk mendapatkan kata kerabat atau non-kerabat, semua morfem terikat itu harus diisolir terlebih dahulu.

3. Penetapan kata kerabat

Bila kedua prosedur di atas telah dikerjakan, baru dimulai perbandingan antara pasangan-pasangan kata dalam bahasa-bahasa tersebut untuk menetapkan pasangan itu berkerabat atau tidak. Sebuah pasangan dinyatakan berkerabat bila memenuhi salah satu ketentuan berikut:

a. Pasangan itu identik

Pasangan kata yang identik adalah kata yang semua fonemnya sama betul.

b. Pasangan itu memiliki korespondensi fonemis

Bila perubahan fonemis antara kedua bahasa itu terjadi secara timbal balik dan teratur, secara tinggi frekuensinya, maka bentuk yang berimbang antara kedua bahasa tersebut dianggap berkerabat. Dalam hubungan ini okurensi fonem-fonem yang menunjukkan korespondensi itu dapat diikutsertakan gejala-gejala kebahasaan yang lain yang disebut ko-okurensi. Dalam kedua hal itu, harus menangkap hal-hal itu dengan cermat, agar dapat sampai ada kata kerabat yang dimasukkan dalam kelompok kata tidak berkerabat.

c. Kemiripan secara fonetis

Bila tidak dapat dibuktikan bahwa sebuah pasangan kata dalam kedua bahasa itu mengandung korespondensi fonemis, tetapi pasangan kata itu ternyata mengandung kemiripan secara fonetis dalam posisi artikulatoris yang sama, maka pasangan itu dapat dianggap berkerabat. Yang dimaksud dengan mirip secara fonetis adalah bahwa ciri-ciri fonetisnya harus cukup serupa sehingga dapat dianggap sebagai alofon.

d. Satu fonem berbeda

Bila dalam satu pasangan kata terdapat perbedaan satu fonem, tetapi dapat dijelaskan bahwa perbedaan itu terjadi karena pengaruh lingkungan yang dimasukinya, sedangkan dalam bahasa lain pengaruh lingkungan itu tidak mengubah fonemnya, maka pasangan itu dapat ditetapkan sebagai kata kerabat, asal segmennya cukup panjang.

Setelah menetapkan kata-kata kerabat dengan prosedur seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat ditetapkan besarnya persentase dari kedua bahasa yang dibandingkan. Kemudian jika sudah didapatkan persentase kekerabatan tersebut, dapat dihitung waktu pisah kedua bahasa yang dibandingkan dari bahasa proto yang sama dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑊 = 𝑙𝑜𝑔. 𝐶 2 𝑙𝑜𝑔. 𝑟 Keterangan:

W = waktu perpisahan dalam ribuan tahun yang lalu

r = retensi atau persentase konstan dalam 1.000 tahun (indeks) C = persentase kerabat

Log = logaritma dari ..

Untuk menghindari kesalahan dalam statistik, maka dilakukan suatu perkiraan bahwa suatu hal terjadi bukan dalam waktu tertentu, tetapi dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menghitung jangka kesalahan biasanya dipergunakan kesalahan standar, yaitu 70% dari kebenaran yang diperkirakan. Kesalahan standar yang diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut:

S = √𝑐(1−𝑐)

𝑛

Keterangan rumus:

S = kesalahan standar dalam persentase kata kerabat C = persentase kata kerabat

n = jumlah kata yang diperbandingkan (baik kerabat maupun non-kerabat) Keraf (1984:

127-132).

2.2.3 Teknik Leksikostatistik

Linguistik historis komparatif biasanya mengadakan studi perbandingan antara bahasa-bahasa yang serumpun yang ditujukan pada rekonstruksi bahasa induk atau dapat juga ditujukan untuk mengetahui daerah-daerah bahasa itu dahulu digunakan (Busri & Badrih, 2018: 40). Linguistik ini juga digunakan untuk mengetahui umur suatu bahasa dengan menggunakan teknik leksikostatistik.

Leksikostatistik adalah suatu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk kemudian berusaha menetapkan perngelompokan itu berdasarkan persentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain (Keraf, 1984: 121). Hal serupa sejalan dengan Widayati (2014: 72) yang mengatakan bahwa leksikostatistik adalah suatu teknik untuk menentukan tingkat hubungan di antara dua bahasa dengan menggunakan cara yang sederhana yaitu membandingkan kosakata yang terdapat pada bahasa yang diperbandingkan kemudian melihat dan menentukan tingkat kesamaan kosakata dari kedua bahasa tersebut.

Untuk menggunakan teknik tersebut, dalam aturan leksikostatistik biasanya lebih mengacu pada beberapa bahasa yang berasal dari bahasa proto (asal) bahasa yang sama tanpa pertimbangan lain meskipun dalam keadaan geografis bahasa-bahasa yang dibandingkan itu tidaklah berdekatan. Keadaan geografis tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai penentu untuk menggunakan teknik leksikostatistik.

Adapun teknik leksikostatistik dapat digunakan untuk mengetahui umur bahasa antara lain sebagai berikut:

(1) Mengumpulkan kosakata dasar bahasa kerabat;

(2) Menetapkan pasangan-pasangan mana dari kedua bahasa tadi adalah kata kerabat (cognate)

(3) Menghitung usia atau waktu pisah kedua bahasa

(4) Menghitung jangka kesalahan untuk menetapkan kemungkinan waktu pisah yang lebih tepat (Keraf, 1984: 126).

2.3 Tinjauan Pustaka

Rismanto (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Kekerabatan Kosakata Bahasa Sunda dengan Bahasa Melayu Betawi di Kota Tangerang Selatan: Kajian Linguistik Historis Komparatif”. Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan mencari kekerabatan pada bahasa Sunda dengan bahasa Melayu Betawi di Kota Tangerang Selatan, serta juga mencari waktu pisah kedua bahasa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode kualitatif. Metode dan teknik analisis data yang digunakan masing-masing adalah metode kuantitatif dan kualitatif dengan teknik leksikostatistik. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya kekerabatan antara bahasa Sunda dengan bahasa Melayu Betawi di Tangerang Selatan. Terdapat sebanyak 82 pasangan berkerabat, yaitu terdapat 42 pasangan kata kerabat yang identik, 32 pasangan kata yang memiliki korespondensi fonemis dan 8 pasangan kata yang memiliki perbedaan satu fonem. Penelitian itu merujuk pada kekerabatan ke dalam keluarga bahasa dengan tingkat persentase 43%. Waktu pisah yang terjadi antara kedua

bahasa tersebut dari bahasa proto yang sama yaitu antara 212 SM sampai 216 Masehi.

Penelitian ini memberikan kontribusi berupa tata cara menetapkan kata kerabat dan kata non-kerabat.

Surbakti (2014) dalam jurnal berjudul “Kekerabatan Bahasa Karo, Minang dan Melayu: Kajian Linguistik Historis Komparatif”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kekerabatan antara bahasa Karo, bahasa Minang dan bahasa Melayu.

Pendalaman dalam penelitian digunakan metode kuantitatif dengan teknik leksikostatistik. Setelah mengaplikasinya metode kuantitatif tersebut maka dicari persentase kognat dari sejumlah kosakata dasar Swadesh. Metode tersebut juga menghasilkan pohon diagram kekerabatan bahasa. Dari hasil perhitungan leksikostatistik pada tataran bahwa; (1) Bahasa Karo dengan Bahasa Minang merupakan bahasa yang berbeda karena dalam kelompok rumpun (stock) dengan hasil 30%. (2) Bahasa Karo dengan bahasa Melayu juga merupakan bahasa yang berbeda dalam kelompok rumpun (stock) dengan hasil 26%, dan (3) Bahasa Minang dengan bahasa Melayu merupakan bahasa yang masuk dalam keluarga (family) dengan hasil 66%. Penelitian yang dilakukan Surbakti (2014) tersebut memberi konribusi dalam kajian metode leksikostatistik yang dapat digunakan untuk mengetahui kekerabatan antar dua bahasa atau lebih. Dalam hal ini, penelitian tersebut memberikan kontribusi berupa penghitungan kosakata kerabat dan tidak kerabat.

Dardanila (2016) dalam disertasinya yang berjudul “Kekerabatan Bahasa Karo, Bahasa Alas dan Bahasa Gayo”. Metode yang digunakan dalam disertasi tersebut yaitu metode komparatif dengan cara membandingkan data Swadesh dan data Holle, kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Karo (BK), Bahasa Alas (BA) dan Bahasa

Gayo (BG). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan secara kuantitatif diperlihatkan relasi kekerabatan erat memiliki persentase kognat sebesar 73% tingkat kekerabatan antara BK dengan BA, 43,5% tingkat kekerabatan antara BK dengan BG, 52,5% tingkat kekerabatan antara BA dengan BG. Perhitungan waktu pisah BK dan BA adalah 0,729 ribuan tahun yang lalu. Perhitungan waktu pisah BK dan BA dapat dinyatakan satu bahasa tunggal sekitar 0,729 ribuan tahun yang lalu. Perhitungan waktu pisah BK dan BG ialah 1,926 ribuan tahun yang lalu, perhitungan waktu pisah BK dan BG dapat dinyatakan satu bahasa tunggal sekitar 1,926 ribuan tahun yang lalu. Waktu pisah BA dan BG adalah 1,484 ribuan tahun yang lalu. Perhitungan waktu pisah BA dan BG dapat dinyatakan satu bahasa tunggal sekitar 1,484 ribuan tahun yang lalu.

Penelitian tersebut memberikan kontribusi berupa tata cara untuk menghitung waktu pisah dari bahasa proto yang sama antar bahasa yang dibandingkan.

Fatimah (2017) dalam jurnal berjudul “Kekerabatan Bahasa Kulawi dan Bahasa Kaili di Sulawesi Tengah”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan persentase hubungan kekerabatan bahasa Kaili dengan bahasa Kulawi dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Instrumen data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik angket dan wawancara yang berupa kuisioner memuat daftar tanyaan 200 kosakata Swadesh dan 873 kosakata budaya. Dalam penelitiannya menggonakan metode komparatif melalui teknik leksikostatistik dan rekonstruksi.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara kuantitatif bahasa Kaili dan bahasa Kulawi memiliki hubungan kekerabatan pada tingkat keluarga (family) dengan persentase kerabat 62%. Dapat dibuktikan bahwa bahasa Kaili dan bahasa Kulawi berasal dari rumpun yang sama. Hal itu juga dibuktikan juga dengan data kualitatif

yang ditemukan sejumlah perangkat korespondensi bunyi antara kedua bahasa tersebut.

Dalam hal ini, penelitian tersebut memberikan kontribusi berupa korespondensi bunyi dalam penetapan kata kerabat.

Ruriana (2018) dalam jurnal berjudul “Hubungan Kekerabatan Bahasa Jawa dan Madura”. Penelitian tersebut menggunakan metode komparatif dan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Peneliti menggunakan 200 kosakata dasar Swadesh sebagai piranti kajian kuantitatif. Hasil penelitian tersebut mengambil membuktikan bahwa persentase kekerabatan bahasa Jawa dan bahasa Madura memiliki persentase kekerabatan yang termasuk dalam kelompok rumpun (stock). Dalam penelitian tersebut juga ditemukan pembuktian bahwa bahasa Jawa Osing (JO) jika dibandingkan dengan kelompok bahasa Jawa yang lain seperti bahasa Jawa Solo Yogya (JSY), bahasa Jawa Suroboyoan (JS), bahasa Jawa Pantura (JP) yaitu masuk ke dalam kelompok keluarga (family). Hal itu berarti bahwa tingkat kekerabatan bahasa di antara bahasa Jawa Osing (JO) dengan bahasa Jawa lainnya (bahasa Jawa Solo Yogya, bahasa Jawa Suroboyoan dan bahasa Jawa Pantura) masih dekat. Penelitian ini memberikan kontribusi berupa tata cara pengklasifikasian kelompok bahasa antar bahasa yang dibandingkan.

Surip dan Widayati (2019) dalam jurnal berjudul “Kekerabatan Bahasa Jawa dan Bahasa Gayo: Kajian Linguistik Historis Komparatif”. Dalam penelitian tersebut, digunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk merekonstruksi perangkat kognat yang membuktikan adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Jawa dan bahasa Gayo. Metode kuantitatif digunakan untuk mengaplikasikan teknik perhitungan leksikostatistik dan grotoknologi untuk melihat

kekerabatan kedua bahasa, waktu pisah bahasa dan memperkirakan usia bahasa Jawa dan bahasa Gayo dengan menggunakan teknik simak dan wawancara. Hasil dari penelitian tersebut terdapat pasangan identik yaitu kata yang semua fonemnya sama betul yaitu 16 pasangan kerabat; 12 pasangan kerabat yang memiliki korespondensi fonemis; 9 pasangan kerabat yang memiliki kemiripan fonetis; dan 13 pasangan kerabat yang memiliki satu fonem berbeda. Waktu pisah dari bahasa Jawa dan bahasa Gayo adalah 3,393 ribuan tahun lalu. Kedua bahasa tersebut diperkirakan mulai berpisah dari bahasa proto kira-kira abad V SM. Dalam penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa bahasa Jawa dan bahasa Gayo merupakan bahasa tunggal pada 4.712+335 tahun lalu dan merupakan bahasa tunggal pada 5.047-335 tahun yang lalu. Adapun kontribusi yang diberikan penelitian tersebut yaitu penghitungan waktu pisah dan teknik dasar leksikostatistik.

Fauzi dan Widayati (2019) dalam jurnal berjudul “Hubungan Kekerabatan Bahasa Melayu Riau dan Dialek Akit: Sebuah Pendekatan Historis”. Teori yang digunakan dalam penelitian untuk mendeskripsikan hubungan kekerabatan bahasa Melayu Riau (MR) dan bahasa Melayu Dialek Akit (BMDA) yaitu Linguistik Historis Komparatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, membuat gambaran secara sistematis data yang ada, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian tersebut akhirnya mengumpulkan bahwa pada umumnya kosakata Bahasa Melayu Dialek Akit (BMDA) memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu Riau. Perbedaan dari kedua bahasa tersebut yaitu pada pengucapan denasalisasinya. Dalam bahasa Melayu Dialek Akit (BMDA), hampir setiap kata diakhiri dengan bunyi sengau. Dalam penelitian tersebut juga

didapatkan penemuan kosakata di antara kedua bahasa Melayu Dialek Akit (BMDA) tidak sama dengan bahasa Melayu Riau (BMR) dan dikhawatirkan kosakata tersebut (Dialek Akit) akan hilang perlahan karena kemajuan teknologi yang membuat penduduk orang-orang pengguna Dialek Akit tidak merasa risau dengan hilangnya perbendaharaan kosakata yang mereka miliki. Penelitian ini menambah acuan dan referensi umum dalam penelitian kekerabatan bahasa melalui pendekatan historis.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian untuk mencari data bahasa Jawa dilakukan di Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dan penelitian bahasa Melayu Dialek Langkat dilakukan di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dalam penelitian ini hal paling penting dalam pertimbangan lokasi penelitian mengenai kekerabatan bahasa disebabkan karena faktor geografis dan faktor lain seperti pemakaian isolek. Kedua tempat ini menjadi sampel dalam penelitian mengenai kekerabatan antar dua bahasa karena desa ini memiliki pemakaian isolek yang homogen.

Gambar 3. Desa Karang Gading, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara

Gambar 4. Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

3.2 Data dan Sumber Data

Data merupakan sumber pokok dari pengumpulan bahan penulisan sehingga dapat menjadi sebuah penelitian. Data ialah komponen penulisan yang dapat berupa contoh, rincian, sejarah, angka, gagasan dan lain sebagainya.

Data merupakan sumber pokok dari pengumpulan bahan penulisan sehingga dapat menjadi sebuah penelitian. Data ialah komponen penulisan yang dapat berupa contoh, rincian, sejarah, angka, gagasan dan lain sebagainya.

Dokumen terkait