BAB I PENDAHULUAN
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh cara baru dalam pendeteksian blur pada citra
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengolahan Citra
Pengolahan Citra Digital adalah teknologi menerapkan sejumlah algoritma komputer untuk memproses gambar digital. Hasil dari proses ini dapat berupa gambar atau suatu set perwakilan karakteristik atau properti dari gambar asli. Tujuan utama dari pengolahan citra digital adalah untuk memungkinkan manusia untuk mendapatkan gambar berkualitas tinggi atau karakteristik deskriptif dari gambar asli (Zhou et al. 2010).
2.2 Distribusi pixel (Histogram)
Sebuah histogram citra adalah alur dari frekuensi relatif dari peristiwa masing-masing nilai pixel yang diizinkan pada citra terhadap nilai-nilai itu sendiri (Salomon & Breckon, 2011).
Jika kita menormalkan sebuah alur frekuensi, sehingga total jumlah semua entri frekuensi selama rentang yang diperbolehkan adalah satu, kita dapat memperlakukan histogram citra sebagai fungsi probabilitas diskrit kepadatan yang mendefinisikan kemungkinan nilai pixel yang terjadi di dalam citra.
Histogram memberikan deskripsi global utama dalam citra (Acharya & Ray, 2005).
Sebagai contoh histogram citra greyscale, jika histogram citra sempit, maka dapat diartikan bahwa citra terlihat kurang baik (secara visual) karena perbedaan level grey yang ada pada citra umumnya rendah. Sedangkan jika histogram citra lebar, maka dapat diartikan hampir semua level grey, kontras dan visibilitas citra meningkat.
2.3 Deteksi Tepi (Edge detection)
Tepi atau edge dapat didefinisikan sebagai batas antara dua wilayah pada citra yang memiliki karakteristik berbeda berdasarkan beberapa fitur (misalnya tingkat abu-abu,
warna dan tekstur) (Marques, 2011). Seperti pada citra greyscale , yang biasanya berhubungan dengan variasi yang tajam dari intensitas di bagian citra. Gambar 2.1 mengilustrasikan konsep ini dan menunjukkan perbedaan antara tepi ideal (transisi tajam) dan tepi lereng (transisi bertahap antara daerah gelap dan terang pada citra).
Deteksi tepi biasanya bergantung pada perhitungan turunan pertama atau kedua sepanjang tampilan intensitas citra (Marques, 2011). Turunan pertama memiliki sifat berbanding lurus dengan perbedaan intensitas di tepi, sehingga turunan pertama dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan tepi pada titik tertentu dalam citra. Turunan kedua dapat digunakan untuk menentukan apakah pixel terletak pada sisi gelap atau terang pada tepi. Selain itu persimpangan nol antara puncak positif dan negatif dapat digunakan untuk menemukan pusat pada tepi yang tebal. Berikut adalah ilustrasi tepi :
Gambar 2.1 Ilustrasi tepi ideal dan tepi lereng pada citra (Marques, 2011).
2.3.1 Turunan Pertama deteksi tepi (First-order derivative)
Pada dasarnya, batas suatu objek adalah langkah perubahan dalam tingkat intensitas. Untuk mendeteksi posisi tepi dapat digunakan diferensiasi ordo pertama, diferensiasi ordo pertama tidak memberikan respon ketika diterapkan pada perubahan intensitas yang tidak berubah, sebuah perubahan intensitas dapat diungkapkan oleh perbedaan titik yang berdekatan (Nixon & Aguado, 2008).
Perbedaan perhitungan titik horizontal yang berdekatan akan mendeteksi perubahan vertikal dalam intensitas dan sering disebut detektor-tepi horizontal berdasarkan perlakuannya. Sebuah operator horizontal tidak akan muncul pada perubahan intensitas
7
horizontal karena perbedaannya adalah nol. Ketika diterapkan pada citra π aksi detector-tepi horizontal membentuk perbedaan antara dua titik horizontal yang berdekatan, seperti mendeteksi tepi vertikal , πΈπ₯, seperti berikut: (Nixon & Aguado, 2008)
πΈπ₯π₯,π¦= |ππ₯,π¦β ππ₯+1,π¦| βπ₯ β 1, π β 1; π¦ β 1, π (2.1)
untuk mendeteksi tepi horizontal dibutuhkan detektor-tepi vertikal yang membedakan poin vertikal yang berdekatan. Hal ini akan menentukan perubahan intensitas horizontal, tetapi tidak yang vertikal, sehingga detektor-tepi vertikal mendeteksi tepi horisontal, πΈπ¦, seperti berikut:
πΈπ¦π₯,π¦ = |ππ₯,π¦β ππ₯,π¦+1| βπ₯ β 1, π; π¦ β 1, π β 1 (2.2)
gambar 2.2 (b) dan (c) menampilkan aplikasi operator vertikal dan horizontal pada citra persegi pada gambar 2.2 (a).
Gambar 2.2 Turunan pertama deteksi tepi (Nixon & Aguado, 2008).
tepi kiri vertikal pada gambar 2.2 (b) muncul pada samping persegi (citra asli) yang disebabkan oleh proses diferensiasi. Demikian juga dengan tepi atas pada gambar 2.2(c) muncul diatas persegi (citra asli).
Mengkombinasikan kedua operator E yang dapat mendeteksi tepi vertikal dan horizontal secara bersamaan, yaitu,
πΈπ₯,π¦= |ππ₯,π¦β ππ₯+1,π¦ + ππ₯,π¦β ππ₯,π¦+1| βπ₯, π¦ β 1, π β 1 (2.3)
menghasilkan
πΈπ₯,π¦= |2 π₯ ππ₯,π¦β ππ₯+1,π¦ β ππ₯,π¦+1| βπ₯, π¦ β 1, π β 1 (2.4)
persamaan 2.4 memberikan koefisien diferensiasi yang dapat konvolusikan dengan gambar untuk mendeteksi semua poin tepi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (d). Titik cerah di sudut kanan bawah dari tepi pada Gambar 2.2 (d) jauh lebih terang dari titik-titik lainnya. Hal ini karena itu adalah satu-satunya titik yang dideteksi sebagai tepi oleh kedua operator vertikal dan horizontal dan karena itu jauh lebih terang dari titik tepi lainnya.
Sebaliknya, titik sudut kiri atas tidak terdeteksi oleh kedua operator sehingga tidak muncul di gambar 2.2 (d).
2.3.2 Turunan kedua deteksi tepi (Second-order derivative)
Prinsip deteksi tepi berdasarkan turunan kedua adalah hanya untuk mendeteksi titik tepi yang memiliki maxima lokal dalam nilai-nilai gradien (Acharya & Ray, 2005). Dalam hal ini, kita mendapatkan puncak di turunan pertama dan persimpangan nol pada turunan kedua pada titik-titik tepi. Oleh karena itu titik di mana turunan kedua memiliki persimpangan nol diperlakukan sebagai titik tepi. Operator Laplacian adalah operator tepi yang paling umum digunakan turunan kedua deteksi tepi. Dimana laplacian dari sebuah citra π(π₯, π¦) dapat dirumuskan sebagai berikut : (Acharya & Ray, 2005)
9
β2(π₯, π¦) = π2(π₯,π¦)
ππ₯2 + π2(π₯,π¦)
ππ¦2 (2.5)
Dimana turunan kedua deteksi tepi :
π2(π₯,π¦)
ππ₯2 = π(π₯ + 1, π¦) + π(π₯ β 1, π¦) β 2π(π₯, π¦) (2.6) Dan
π2(π₯,π¦)
ππ¦2 = π(π₯, π¦ + 1) + π(π₯, π¦ β 1) β 2π(π₯, π¦) (2.7)
yang menghasilkan ekspresi laplacian yang dinyatakan sebagai jumlah produk :
β2(π₯, π¦) = π(π₯ + 1, π¦) + π(π₯ β 1, π¦) + π(π₯, π¦ β 1) β 4π(π₯, π¦) (2.8)
2.4 Bag of visual words
Bag of words merupakan suatu skema yang digunakan untuk kategorisasi teks dan pencarian teks. Dalam penelitian ini bag of words digunakan untuk pembangunan codebook, yaitu kosakata visual dimana pola yang paling representative (codified) di dalam codebook sebagai kosakata visual. Kemudian representasi gambar yang dihasilkan melalui analisis frekuensi sederhana setiap codeword dalam citra. Representasi ini telah digunakan dalam berbagai jenis klassifikasi citra diantaranya dalam penelitian Cruz-Roa et al. (2009) menganalisis pola visual histopathology menggunakan bag of word. Penelitian tersebut mengidentifikasi koleksi citra menggunakan bag of word yang berhubungan dengan konsep semantik gambar histopatologi. Raza et al. (2011) menganalisis pengaruh skala dan rotasi invariant descriptor dalam skema bag of word.
Terdapat tiga langkah utama dalam skema bag of word, diantaranya adalah deteksi fitur dan deskrispi citra, cluster fitur, dan pembangunan kantong fitur (bag of feature). Gambar 2.3 akan menunjukkan langkah-langkah bag of visual words:
Citra Keabuan (Grayscale) Deteksi Interest Point Menggunakan Speed-Up Robust Feature
Ekstraksi Interest Point meggunakan Speed-Up Robust Feature
Penentuan Cluster pada fitur dengan nilai k yang telah ditentukan Histogram Feature Vector
Citra Blur
Bag of Visual Words
Gambar 2.3 Tahapan Bag of visual words (diadoptasi dari Raza et al. (2011).
2.5 Deteksi skala (scale detection)
Representasi ruang skala adalah serangkaian citra yang diwakili pada tingkat resolusi yang berbeda (Mikolajczyk & Schmid, 2001). Resolusi yang berbeda dibentuk dengan konvolusi menggunakan kernel Gaussian (Mikolajczyk & Schmid, 2001):
πΏ(π₯, π ) = πΊ(π ) β πΌ(π₯) (2.9)
dimana I adalah citra dan x = (x,y). Dengan demikian dapat direpresentasikan fitur (seperti tepi atau sudut) pada resolusi yang berbeda dengan menerapkan fungsi yang sesuai (kombinasi turunan) pada skala yang berbeda.
Derivatif Amplitudo spasial, secara umum, menurun berdasarkan skala. Dalam kasus bentuk invarian skala, derivatif harus konstan atas skala. Untuk mempertahankan nilai invarian fungsi skala turunan harus dinormalisasi sehubungan dengan observasi skala.
Skala yang dinormalisasikan derivatif D atas orde m didefenisikan sebagai berikut (Mikolajczyk & Schmid, 2001):
π·π1β¦β¦.ππ = π π πΏπ1β¦β¦.ππ(π₯, π ) = π π πΊπ1β¦β¦.ππ(π ) β πΌ(π₯) (2.10)
Derivatif yang dinormalisasi berjalan baik pada skala pola intensitas. Pertimbangkan dua gambar dan dicitrakan pada skala yang berbeda. Hubungan antara dua gambar ini kemudian didefinisikan πΌ(π₯) = πΌβ²(π₯β²), dimana π₯β² = π‘π₯. Derivatif citra kemudian terkait sebagai berikut (Mikolajczyk & Schmid, 2001):
π π πΊπ1β¦β¦.ππ(π ) β πΌ(π₯) = π‘ππ ππΊπ1β¦β¦.ππ(π‘π ) β πΌ(π₯β²) (2.11)
kemudian untuk derivatif yang dinormalisasikan, didapatkan : (Mikolajczyk & Schmid, 2001)
π·π1β¦β¦π(π₯, π ) = π·β²π1β¦β¦π(π₯, π‘π ) (2.12)
Dengan nilai-nilai yang sama diperoleh pada skala relatif yang sesuai. Untuk menjaga perubahan informasi yang seragam antara tingkat resolusi yang berurut dan factor skala harus didistribusikan secara eksponensial.
Gambar 2.4 menampilkan titik-titik pada citra yang menampilkan seleksi skala yang memungkinkan (citra hitam putih). Titik-titik hitam adalah point untuk fungsi laplacian
11
yang tidak mempunyai nilai maximum. Titik-titik ini terletak pada daerah yang homogen dan tidak mempunyai nilai maximum dalam jangkauan jarak yang dianggap dalam skala.
Skala yang dipilih untuk titik adalah benar jika rasio antara skala karakteristik dalam poin yang sesuai adalah sama dengan faktor skala dalam citra. Titik yang sesuai ditentukan oleh proyeksi dengan perkiraan transformasi matrik. Dalam beberapa kasus skala maxima, titik dianggap benar, jika salah satu dari maxima sesuai dengan rasio yang benar. Titik dengan skala yang benar ditampilkan dalam titik putih.
Gambar 2.4 Titik karakteristik pada citra (Mikolajczyk & Schmid, 2001).
2.6 Deteksi fitur Speed-up Robust Feature (SURF)
Untuk mendeteksi fitur pada citra, digunakan SURF dalam bag of visual words. SURF mengambil interest point pada citra, dimana interest point ini adalah deskripsi pada setiap bagian citra.
Penentuan interest point SURF feature menggunakan matrix hessian, dimana matrix hessian didefenisikan sebagai berikut: (Bay et al. 2006).
π»(π, π) = [πΏπ₯π₯(π, π) πΏπ₯π¦(π, π)
πΏπ₯π¦(π, π) πΏπ¦π¦(π, π) ] (2.13)
dimana πΏπ₯π₯(π, π) = π2π(π)/ π2π₯ adalah konvolusi dari orde kedua derivatif Gaussian dengan input citra pada point π = (π₯, π¦), dan serupa untuk πΏπ¦π¦(π, π) (Bay et al. 2006).
Dengan menggunakan perkiraan orde kedua derivative Gaussian dapat dievaluasi dengan
sangat cepat menggunakan citra yang dintegralkan. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 dengan menggunakan filter kotak 9x9 memperkirakan orde kedua derivative Gaussian dengan skala (π=1.2) .
Gambar 2.5 Orde kedua gaussian yang terdiskrit dan dikelompokkan secara derivatif parsial dalam arah y dan arah xy, (diambil dari Bay et al. 2006).
Dengan pendekatan perkiraan adalah π·π₯π₯, π·π¦π¦, dan π·π₯π¦, dimana determinan hessian (diambil dari Bay et al. 2006)
|πΏπ₯π¦(1,2)|πΉ||π·π₯π₯(9)|πΉ
|πΏπ₯π₯(1,2)|πΉ||π·π₯π¦(9)|πΉ=0.912..β 0.9, (2.14)
dimana ||π₯|πΉ adalah norma frobenius yang menghasilkan (diambil dari Bay et al. 2006)
π·ππ‘(π»ππππππ₯) = π·π₯π₯π·π¦π¦ β (0.9)π·π₯π¦)2 (2.15)
Penentuan skala deteksi SURF ditentukan dengan filter yang digunakan, skala dasar SURF menggunakan filter 9x9 dengan π=1.2 . Dengan menggunakan kotak filter dan citra integral, SURF tidak harus menggunakan filter yang sama ke output secara iteratif, SURF dapat menggunakan filter dengan ukuran berapapun dengan kecepatan yang sama terhadap citra asli dan bahkan secara parallel (Bay et al. 2006). Dengan itu SURF merupakan multiscale detector, dimana menggunakan 4 skala terhadap deteksi interest point pada citra dengan skala yang digunakan adalah 1.6, 3.2, 4.8 dan 6.4. Penentuan interest point diwakilkan dalam bentuk lingkaran kecil (blob), seperti berikut :
13
Gambar 2.6 100 Interest point tertinggi yang diwakilkan dengan bulatan (blob) pada citra.
Pada gambar 2.6 memperlihatkan deteksi dengan menggunakan 4 skala, dimana bulatan terkecil menunjukkan pendeteksian pada skala yang terkecil yaitu 1.6. pendeteksian ini merupakan pendeteksian fitur pada citra dengan menggunakan skala invarian, seperti yang dijelaskan pada bagian 2.5.
2.7 Histogram of Oriented Gradient (HOG)
Metode histogram of oriented gradient didasarkan pada evaluasi histogram lokal yang dinormalisasi dari orientasi gradien gambar dalam grid (Dalal & Triggs, 2005).Tahapan histogram of orientated gradient dapat digambarkan seperti berikut:
Hitung Kuantisasi Orientasi Gradien Dengan Skala 9 Biner
Gabungkan Histogram Konversi ke Citra Grayscale
Hitung Gradien Pixel Citra Blur
Fitur Histogram of Oriented Gradient
Gambar 2.7 Tahapan Histogram of oriented gradient
2.7.1. Konversi Citra Warna ke Citra Greyscale
Konversi greyscale merupakan tahap pertama dalam banyak algoritma analisis citra.
Walaupun citra greyscale memuat informasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan citra warna, mayoritas penting pada citra tetap terjaga. Seperti tepi, region, dan gumpalan citra tetap ada.
Citra RGB dikonversikan ke citra greyscale menggunakan transformasi berikut:
(Salomon & Breckon. 2011)
πΌππππ¦βπ ππππ(π, π) = πΌ πΌπππππ’π(π, π, π) + π½πΌπππππ’π(π, π, π) + πΎπΌπππππ’π(π, π, π) (2.16)
dimana (n,m) individual index pixel dari citra greyscale dan (n,m,c) adalah individual chanel pada lokasi pixel (n,m) pada citra warna untuk chanel c, merah untuk chanel r, biru chanel b, dan hijau chanel g. dengan koefisien standar NTSC πΌ=0.2989, π½=0.587 dan πΎ=0.1140.
2.7.2. Menghitung Gradien Pixel
Setelah citra blur dikonversikan menjadi citra greyscale, maka akan dihitung gradien secara vertical dan horizontal (memusatkan). Lalu akan dihitung arah sudut dengan membagi citra menjadi region yang lebih kecil (βcells"). Pada gambar 2.8 akan ditunjukkan tahap penentuan nilai gradien, dimana gradien dihitung secara vertikal dan horizontal dengan penentuan arah yang ditunjukkan pada gambar 2.9. Kemudian gradien akan dihitung satu-persatu dengan menggunakan cell block (grid) dengan memindahkan grid secara overlapping seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.10. Tahap perhitungannya adalah seperti berikut (diadoptasi dari Dalal & Triggs, 2005):
ο· Gradien vertical dan horizontal :
-1 0 1
-1 0 1
Gambar 2.8 Gradien terpusat pada angka 0
15
ο· Derajat : π = βπ π₯2+ π π¦2
ο· Orientasi: π = ππππ‘ππ (π π¦
π π₯)
Gambar 2.9 Arah orientasi gradien
Untuk menentukan pixel mana yang harus dihitung, HOG menggunakan cells block dan overlapping terhadap citra, tahapannya dapat digambarkan sebagai berikut:
A11 A12 A13 A14
Gambar 2.10 Block grid dengan ukuran 2x2 dan overlapping sebesar 50% dari block sebelumnya.
2.7.3. Menghitung Kuantisasi Orientasi Biner dengan skala 9 bin (0-180)
Tahap selanjutnya dalam Histogram of oriented gradient adalah mengkuantisasi orientasi gradient dalam skala 9 bin (0-180) dengan menggunakan interpolasi trilinear (lihat Gambar 2.11). Metode interpolasi trilinear diterapkan untuk memilih sel spasial dan orientasi yang menemukan perbedaan bin tetangga terdekat dan menghasilkan rasio sesuai dengan bin terdekat, sehingga 9 bin digunakan dengan benar. Jadi jika dimisalkan π=85 maka jarak ke bin terpusat adalah bin 70 dan bin 90 maka derajat 5 dan 15 menghasilkan rasio 5
20=1
4, 15
20
= 3
4, maka π=85 digolongkan kepada π=90, dapat diilustrasikan sebagai berikut (diadoptasi dari Dalal & Triggs, 2005):
10 30 50 70 90 110 130 150 170
85
1/4 3/4
Gambar 2.11 Contoh tahap kuantisasi orientasi biner dengan skala 9 bin (0-180)
2.7.4. Menggabungkan Histogram
Hasil perhitungan kuantisasi pada tiap blok yang dibentuk, akan digabungkan untuk menghasilkan histogram setiap cell pada blok. Tahap penggabungan histogram dapat digambarkan sebagai berikut (diadoptasi dari Dalal & Triggs, 2005):
A17 A18 A27 A28
Blok 1 Blok 2 ... Blok N
H(a16) H(a26) H(a17) H(a27) A16
A26
H(a16) H(a26) H(a17) H(a27) H(a17) H(a27) H(a18) H(a28)
Blok 1 Blok 2
HOG Blok 2x2 cell
Gambar 2.12 Penggabungan histogram dari setiap blok.
Pada Gambar 2.12, nilai histogram akan dihitung berdasarkan letak grid (block cells).
Blok 1 merupakan block cells yang berisikan cell A16, A17, A26 dan A27, blok 2
17
merupakan block cells yang berisikan cell A17,A18,A27 dan A28. A17 dan A18 dihitung pada blok 1 dan blok 1, hal ini dikarenakan oleh overlapping block sebesar 50%, yang artinya setengah nilai cell blok pada blok sebelumnya tetap digunakan untuk menghitung setengah nilai cell blok di depannya. Maka masing-masing blok tersebut dihitung nilai histogramnya dan digabungkan berdasarkan blok yang telah dibentuk.
2.8. K-means Clustering
K-means bertujuan meminimalkan fungsi tujuan kuadrat kesalahan sederhana secara iteratif dalam bentuk (Salomon & Breckon, 2011):
π = βππ=1βπππ π |π₯ππβ ππ|2, in class j (2.17)
Dimana ππ menyatakan koordinat vektor dari jth kluster dan {π₯ππ} adalah point yang ditetapkan kepada jth kluster. Tahapan algoritma k-means clustering dapat dilihat pada Gambar 2.13 (diadoptasi dari Salomon & Breckon, 2011):
Secara acak menempatkan k poin dalam ruang fitur. Ini adalah lokasi pusat (centroid) awal
kelas k
Menetapkan setiap titik untuk kelas yang letak centroidnya paling dekat
Hitung ulang centroid dari masing-masing kelas Apakah ada point yang berubah
kelasnya sejak iterasi sebelumnya? Tidak
Ya
Start
End
Gambar 2.13 Tahapan k-means clustering
Gambar 2.14 Algoritma k-means (diadoptasi dari Salomon & Breckon, 2011).
Penjelasan k-means clustering dapat di lihat pada gambar 2.14, dimana secara konseptual untuk mempartisi sebuah data set ke dalam beberapa jumlah kluster k. pada gambar tersebut ditetapkan k=2. Yang berarti menetapkan 2 centroid sebagai pusat pembedaan antara 2 kelas pada gambar tersebut. Penetapan data atau titik vector pada gambar 2.14 disekitar centroid, menggunakan fungsi jarak. Fungsi jarak yang digunakan pada umumnya adalah menggunakan jarak euclidean.
2.9. Support Vector Machine (SVM)
Support vector machine menggunakan pemetaan nonlinear untuk mengubah data pelatihan asli ke dimensi yang lebih tinggi. Dalam dimensi baru ini, akan mencari hyperplane pemisah optimal linear (yaitu, "batas keputusan" memisahkan data dari satu kelas dengan kelas yang lain). Dengan pemetaan nonlinear yang tepat untuk dimensi yang cukup tinggi, data dari dua kelas dipisahkan dengan hyperplane. SVM menemukan hyperplane ini menggunakan vektor dukungan (batas kelas) dan margin (didefinisikan oleh vektor dukungan) (Han & Kamber, 2006).
19
Support vector machine mencari jarak margin maximum dari hyperplane, untuk memisahkan 2 kelas yang berbeda. Support vector machine dapat dilustrasikan sebagai berikut :
Gambar 2.15 Support vector machine dan hyperplane (diadoptasi dari Han & Kamber, 2006).
bobot dapat disesuaikan sehingga hyperplane mendefinisikan sisi margin dari data training yang ada, formulasinya dapat ditulis sebagai berikut (Han & Kamber, 2006):
π»1: π€0+ π€1π₯1+ π€2π₯2 β₯ +1 πππ π¦π = +1 , dan π»2: π€0 + π€1π₯1 + π€2π₯2 β€ β1 πππ π¦π = β1
maka dari itu, data manapun yang setara atau diatas π»1 tergolong ke dalam kelas +1, dan data manapun yang setara atau dibawah π»2tergolong ke dalam kelas -1.
2.10 Klasifikasi
Klasifikasi merupakan tahapan analisa data untuk menentukan label atau kelas data dengan menggunakan suatu model atau klasifier (Han & Kamber, 2006). Klasifikasi data dilakukan dengan 2 tahapan. Tahapan pertama menggunakan klasifier untuk suatu set kelas atau konsep data atau yang disebut learning step (training phase). Dimana algoritma klasifikasi membangun klasifier dengan manganalisis atau βbelajar dariβ satu set pelatihan yang terdiri
dari tupel database dan label kelas terkait. Tahap pertama klassifikasi digambarkan pada Gambar 2.16.
Aturan Klasifikasi
Algoritma Klasifikasi
Input Data Training Output (Klasifier yang
telah di training)
Gambar 2.16 Tahap pertama klasifikasi.
Tahap kedua model digunakan untuk klasifikasi. pertama keakuratan prediksi dari classifier diperkirakan. jika kita menggunakan training set untuk mengukur keakuratan classifier, perkiraan ini kemungkinan akan optimis, karena classifier cenderung overfit data (dalam βpembelajaran dataβ memungkinkan untuk menggabungkan beberapa anomali tertentu dari training data yang tidak ada dalam data set secara keseluruhan). Oleh karena itu, satu set tes digunakan, terdiri dari tupel tes dan label kelas. Tupel tersebut dipilih secara acak dari kumpulan data umum. Tupel tersebut independen dari tupel pelatihan, yang berarti bahwa tidak digunakan untuk membangun classifier. Keakuratan classifier pada set tes yang diberikan adalah persentase dari uji set tupel yang diklasifikasikan dengan benar oleh classifier. Tahap kedua klassifikasi dapat digambarkan pada Gambar 2.17.
Klasifier yang telah di training Input Data Training
Output (Hasil Klasifikasi)
Input Data Baru (selain data testing)
Gambar 2.17 Tahap kedua klasifikasi
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alur Kerja Penelitian
Alur Kerja Penelitian ini di ilustrasikan pada gambar 3.1 :
Mengidentifikasi Masalah Melakukan Studi Pustaka Menentukan Tujuan Penelitian Mengumpulkan Data
Merancang dan Mengimplementasi Metode
Menguji Coba Metode Menganalisa dan Mengevaluasi Metode
Menyimpulkan Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Alur Kerja Penelitian
Berdasarkan gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa alur kerja penelitian ini dimulai dengan tahapan mengidentifikasi sebuah masalah yang akan diteliti, kemudian dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dilanjutkan dengan menentukan tujuan penelitian agar penelitian tidak menyebar ke ruang lingkup yang lain, selanjutnya dilakukan pengumpulan data atau sampel yang akan diteliti khususnya citra blur berdasarkan jenisnya dilanjutkan dengan merancang dan mengimplementasi motode menggunakan sampel yang telah dikumpulkan dimana perancangan dan pengimplementasian sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap metode yang telah dirancang dan diimplementasikan dan pada tahapan akhir dilakukan analisa dan evaluasi metode sehingga dapat diambil kesimpulan terhadap penelitian.
22
3.2. Data dan Peralatan Penelitian Yang Digunakan
Data yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 392 citra dengan ukuran 640x480 pixel yang diklassifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu average blur, motion blur, gaussian blur dan citra non blur. Data yang digunakan sebagai training set adalah 60 % dari total imageset yang digunakan dan 40 % imageset sebagai testing set dimana pembagiannya ditentukan secara acak. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah matlab versi 2016b, dan file citra yang digunakan yaitu file yang berformat .jpg . Alasan pemilihan file citra .jpg adalah untuk menjaga keaslian citra yang diperoleh, dimana citra diperoleh menggunakan kamera.
3.3. Tahapan Modikifkasi Speed-up Robust Feature Dengan Histogram of Oriented Gradient
Penelitian ini memodifikasi speed-up robust feature sebagai pendeteksi interest point dengan histogram of oriented gradient sebagai interest deskriptor. Dengan speed-up robust feature sebagai interest point detector, mendeteksi interest point pada citra yang blur dengan skala yang berbeda-beda (multiscale). Setelah interest point diperoleh, maka akan diextract dengan menggunakan histogram of oriented gradient (HOG). Dengan mendapatkan intesitas histogram pada deskriptor akan diperoleh pola degradasi pada tiap interest point. Tahapan modifikasi speed-up robust feature dengan histogram of oriented gradient dalam skema bag of visual word dapat digambarkan seperti berikut:
23
Input Citra Citra Keabuan (Grayscale) Deteksi Interest Point Speed-Up Robust Feature
Menyimpan Pola Bag of Visual Words pada Support Vector Machine Deteksi Interest Point Speed-Up Robust
Feature
Ekstraksi Interest Point meggunakan Histogram of Oriented Gradients
Pencocokan Model Pola Pada Support
Vector Machine Output (Klasifikasi Citra Blur)
Gambar 3.2 Tahapan Modifikasi speed-up robust feature dengan histogram of oriented gradient pada skema bag of visual word untuk klassifikasi citra blur.
3.4. Modifikasi Speed-up Robust Feature (SURF) Dengan Histogram of Oriented Gradient (HOG)
Skala pendeteksian interest point pada speed-up robust feature mempengaruhi klassifikasi citra blur jika dimodifikasikan dengan histogram of oriented gradien sebagai ekstraksi fiturnya. Hal ini disebabkan oleh proses ekraksi fitur yang berbeda pada kedua metode ini. Speed-up robust feature mengintegralkan citra dalam proses pendeteksian keypoint, sedangkan histogram menggunakan cell blok pada citra secara satu per satu atau single detector. Seperti pada Gambar 3.3, speed-up robust feature sebagai deteksi fitur menggunakan pengintegralan citra, dengan menggunakan skala invarian pada citra. Proses ini mendeteksi fitur pada citra dengan membentuk bulatan-bulatan sebagai deteksi fitur dalam citra.
24
Gambar 3.3 Pendeteksian interest point dengan speed-up robust feature
Bulatan pada citra pada Gambar 3.3 dihasilkan dari integral grid speed-up robust feature dengan menggunakan fast hessian matrix. Gambar 3.4 akan menunjukkan grid yang telah dibentuk oleh speed-up robust feature. Pengintegralan grid tersebut dapat mengurangi waktu komputasi dalam pendeteksian fitur yang diperoleh pada citra. Sedangkan Histogram of oriented gradient, membentuk Cell block yang menghasilkan gradient sebagai fitur citra. Gambar 3.5, menunjukkan penggunakan grid oleh Histogram of oriented gradient yang berbeda dengan speed-up robust feature dalam proses pendeteksian fitur.
Proses pendeteksian Hitogram of oriented gradient, lebih lama waktu komputasinya dibandingkan dengan speed-up robust feature, hal ini dikarenakan Histogram of oriented gradient membentuk cell blok terhadap keseluruhan citra dan menghitung gradien sebagai pendeteksian fitur terhadap cell blok yang telah dibentuk (lihat Gambar 3.5).
25
Gambar 3.4 Grid x dan y pada speed-up robust feature mendeteksi fitur dengan
Gambar 3.4 Grid x dan y pada speed-up robust feature mendeteksi fitur dengan