BAB I PENDAHULUAN
1.4. Manfaat Penelitian
6. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Leverage Ratio dengan indikator Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio terhadap manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
7. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh good corporate governance dengan indikator proporsi dewan komisaris independen, dewan direksi, komite audit dan kepemilikan institusional terhadap kinerja keuangan melalui manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
8. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Firm Size dengan indikator total aktiva dan total penjualan terhadap kinerja keuangan melalui manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
9. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Leverage Ratio dengan indikator Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio terhadap kinerja keuangan melalui manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain:
1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam bidang ekonomi khususnya tentang pengaruh good corporate governance dengan indikator proporsi dewan komisaris independen, dewan direksi, komite audit dan kepemilikan institusional, Firm Size dengan indikator
Universitas Sumatera Utara
total aktiva dan total penjualan serta Leverage ratio dengan indikator Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio terhadap kinerja keuangan, serta pengaruh good corporate governance dengan indikator proporsi dewan komisaris independen, dewan direksi, komite audit dan kepemilikan institusional, Firm Size dengan indikator total aktiva dan total penjualan serta Leverage ratio dengan indikator Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio terhadap manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
2. Bagi perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk kajian perusahaan tentang pengaruh pengaruh good corporate governance dengan indikator proporsi dewan komisaris independen, dewan direksi, komite audit dan kepemilikan institusional, Firm Size dengan indikator total aktiva dan total penjualan serta Leverage ratio dengan indikator Debt to Asset Ratio dan Debt to Equity Ratio terhadap kinerja keuangan dengan manajemen laba sebagai intervening variable pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2012 sampai 2015.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi penelitian lain yang meneliti hal yang sama.
4. Bagi manajemen perusahaan dapat digunakan sebagai bahan masukkan dan sumbangan informasi untuk memperbaiki kinerja perusahaannya. Sedangkan bagi investor, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi di pasar modal
19
1.5. Originalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang pernah dilakukan oleh Agustia, (2013) yang meneliti ukuran komite audit, proporsi komite audit independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, leverage dan free cash flow terhadap manajemen laba (studi pada sektor tekstil di bursa efek indonesia). Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada indikator pada variabel dependen, yaitu untuk indikator good corporate governance, yaitu dewan direksi. Dewan direksi juga merupakan penanggung jawab utama pada keberhasilan perusahaan secara jangka panjang. Terkait dalam teori agensi fungsi dewan direksi berpengaruh dalam proses pengaturan kinerja perusahaan sehingga dewan direksi mengetahui seluruh informasi baik dan buruknya yang ada dalam perusahaan. Informasi tersebut disebut asimetri informasi dimana terdapat informasi yang sangat berharga di dalamnya yang apabila tidak digunakan dengan baik akan merugikan perusahaan informasi tersebut biasanya telah diketahui atau di dapat terlebih dahulu oleh para dewan direksi untuk menjalankan kegiatan perusahaan. Apabila jumlah dewan direksi di dalam suatu perusahaan banyak, maka yang terjadi adalah kurangnya komunikasi dan koordinasi dengan pihak manajemen sehingga menyebabkan corporate governance yang buruk, dan hal tersebut akan mempengaruhi kinerja keuangan yang berakibat manajemen laba akan semakin meningkat.
Berikutnya adalah ukuran perusahaan dan leverage ratio. Alasan peneliti menambahkan indikator tersebut dikarenakan hasil penelitian yang lain menyatakan bahwa indikator tersebut mempengaruhi kinerja keuangan dan
Universitas Sumatera Utara
praktik manajemen laba. Ukuran perusahaan menjadi perhatian bagi masyarakat dan investor dikarenakan perusahaan yang ukurannya besar lebih di perhatikan daripada perusahaan kecil, yang mana perusahaan besar menjadi lebih berhati-hati dalam melaporkan laporan keuangan, sehingga laporan keuangannya lebih akurat. Manajer yang memimpin perusahaan yang lebih besar memiliki kesempatan yang lebih kecil dalam memanipulasi laba dibandingkan dengan manajer di perusahaan kecil.
Tingkat hutang yang dimiliki oleh perusahaan juga mempunyai hubungan dengan kineraja keuangan perusahaan, dimana tingkat hutang yang tinggi atau leverage ratio yang tinggi membebani perusahaan dalam pembayaran bunga, sehingga mengurangi laba perusahaan yang mempengaruhi kinerja perusahaan yang dilihat dari laba perusahaan. Perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk earnings management sehingga perusahaan yang leveragenya tinggi cenderung mengatur laba yang dilaporkan dengan menaikkan atau menurunkan laba periode masa datang ke perioda saat ini.
Kinerja perusahaan di monitoring dan di kontrol melalui good corporate governance. Good corporate governance memiliki kemampuan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, khususnya laporan keuangan yang memberikan informasi mengenai laba. Tetapi angka laba yang dihasilkan di dalam laporan laba rugi dapat di atur dengan metode akuntansi yang ingin di gunakan manajemen menurut kepentingannya, sehingga laba yang tinggi belum tentu mencerminkan kinerja suatu perusahaan tersebut bagus. Dengan
21
adanya good corporate governance mampu mengurangi tindakan manipulasi laba oleh pihak manajer, sehingga kinerja yang di laporkan menunjukkan keadaan ekonomi yang sebenarnya suatu perusahaan (Jensen, 1993), oleh karena itu peneliti menambahkan indikator tersebut.
Berbeda dengan objek penelitian sebelumnya, objek pada penelitian ini dilakukan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2012-2015, adapun alasan peneliti memilih perusahaan pertambangan dikarenakan fenomena yang terjadi sepanjang tahun 2012 hingga tahun 2015 dimana laba sektor pertambangan menunjukkan kinerja yang buruk dengan penurunan laba yang signifikan padahal pada tahun 2009 dan 2010 indeks harga saham sektor pertambangan menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, dikarenakan perubahan indeks saham yang sangat drastis. Apakah Good corporate governance, Firm size dan lerverage ratio mempengaruhi kinerja keuangan suatu perusahaan tersebut atau tidak, maka dengan gambaran tersebut peneliti ingin meneliti apa saja variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan dan manajemen laba di dalam perusahaan sehingga menyebabkan laba perusahaan sektor pertambangan terus mengalami penurunan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1
Perbedaan Penelitian Replikasi dan Penelitian Sekarang
NO KETERANGAN PENELITIAN
5. Model Penelitian Analisis Regresis Berganda
Analisis Regresis Berganda dan Analisis Jalur
6. Tahun Penelitian 2007 - 2011 2012 – 2015
7. Objek Penelitian Perusahaan Tekstil Perusahaan Pertambangan 8. Teknik
Sumber : Perbedaan Penelitian Replikasi dan Penelitian Sekarang oleh Peneliti
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menggambarkan suatu titik temu antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen (agent) yang ada di dalam suatu perusahaan. Jensen dan Meckling (1976:308) menyatakan “hubungan keagenan sebagai kontrak di mana satu orang atau lebih (prinsipal (s)) terlibat orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian sebagian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Sementara Scott (2012:340) mendefinisikan teori agensi “Teori keagenan adalah cabang dari teori permainan yang mempelajari desain kontrak untuk memotivasi agen rasional untuk bertindak atas nama prinsipal ketika bunga agen akan dinyatakan bertentangan dengan orang-orang dari prinsipal”.
Pemisahan dalam teori keagenan menandakan principal tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agent.
Wewenang dan tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Pihak principal hanya bertindak mempekerjakan agent untuk melakukan tugas demi kepentingan principal termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada agent dan juga mengawasi dengan memonitor kinerja perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agent. Dengan adanya pemisahan antara
Universitas Sumatera Utara
principal dan agent cenderung menimbulkan konflik keagenan yang didasarkan pada adanya perbedaan kepentingan.
Pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat sedangkan agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Sehingga perilaku oportunistik dari agent yaitu perilaku untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal akan muncul. Perilaku oportunistik didasari atas pengetahuan informasi yang lebih banyak seputar perusahaan dibandingkan principal sebagai dampak dari pengalihan pengelolan perusahaan kepada agent.
Hal tersebut memberikan keluasan bagi agent untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal. Penguasaan informasi yang lebih banyak oleh agent sering disalahgunakan untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimumkan utilitasnya dengan menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent.
Ketidakseimbangan penguasaan informasi yang diketahui antara principal dengan agent ini disebut asimetri informasi (information asymmetry).
25
2.2 Kinerja Keuangan
Jumingan (2006:240) mendefinisikan kinerja keuangan sebagai proses pengkajian secara kritis terhadap keuangan perusahaan yaitu review data, menghitung, mengukur, menginterpretasi, dan memberi solusi terhadap keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu. Pengukuran kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan. Semua ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien (Mulyadi, 2001:420).
Oleh karena itu dengan melihat kinerja perusahaan dapat diketahui apakah perusahaan telah mencapai target yang sudah ditentukan sebelumnya. Pengukuran atas kinerja perusahaan diukur dengan kinerja keuangan. (Paramita, 2012)
Kinerja keuangan merupakan suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis dengan alat-alat analisis keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai baik buruknya keadaan keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja dalam periode tertentu. Penilaian kinerja keuangan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap para penyandang dana dan juga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat beberapa pengukuran yang dapat digunakan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan yaitu ROA (Return on Assets ) dan ROE ( Return on Equity).
Universitas Sumatera Utara
Prasinta (2012) menggunakan ROA, ROE dan Tobin‟s Q untuk menentukan ukuran kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba.
Pengaruh good corporate governance terhadap kinerja keuangan dengan 31 sampel perusahaan memberikan hasil bahwa GCG berpengaruh terhadap ukuran kinerja keuangan yang diukur dengan ROE. Hal ini disebabkan karena indeks skor GCG yang tinggi membuat iklim kepercayaan stakeholders meningkat, dengan demikian modal menjadi tidak terlalu tinggi sehingga ROE cenderung meningkat. Semakin tinggi skor GCG maka akan semakin pula tingkat ketaatan sehingga menarik investor yang berakibat meningkatnya kinerja keuangan.
Return on Assets (ROA) adalah rasio profitabilitas perusahaan yang diukur dengan membandingkan laba bersih dengan total aset perusahaan, untuk mengukur efektifitas penggunaan aset perusahaan. (Brigham dan Houston, 2006:115).
2.3 Manajemen Laba
2.3.1. Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba bisa di acukan pada berbagai cara untuk mengutak-atik laba agar tampak hasil yang baik. Scott (2012:423) menerangkan manajemen laba
“Pilihan oleh manajer kebijakan akuntansi, atau tindakan yang mempengaruhi laba, sehingga mencapai beberapa spesifik tujuan laba”.
Sementara Schipper (1989:92) “Manajemen laba adalah manajemen pengungkapan dalam arti intervensi tujuan dalam proses pelaporan keuangan eksternal, dengan luasnya memperoleh beberapa keuntungan pribadi, sebagai
27
lawan hanya memfasilitasi operasi netral dari proses”. Manajemen laba akan membuat laba tidak sesuai dengan realitas ekonomi yang ada, sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi rendah. Laba yang disajikan mungkin tidak mencerminkan realitas ekonomi, tetapi lebih karena keinginan manajemen untuk memperlihatkan sedemikian rupa sehingga kinerjanya dapat terlihat baik.
Menurut Belkaoui (2007:74) manajemen laba yaitu suatu kemampuan untuk memanipulasi pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil pilihan yang tepat untuk mendapatkan tingkat laba yang diinginkan. Definisi lain dinyatakan oleh Sulistyanto (2008:6) bahwa manajemen laba sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan suatu tujuan untuk mengelabuhi stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka disimpulkan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan oleh manajer yang mempunyai perilaku opportunistic dalam mengelola perusahaan dengan memanipulasi laba diperoleh selama periode berjalan.
2.3.2 Motivasi Manejemen Laba
Terdapat berbagai motivasi yang dapat melatarbelakangi manajer dalam melakukan praktik manajemen laba. Scott (2012:426-427) menemukan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Motivasi Program Bonus
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
b. Motivasi Politik (Political Motivations)
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan yang lebih ketat.
c. Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations)
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
d. Motivasi Perubahan CEO (Changes of CEO Motivations)
CEO (Chief Executive Officer) yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk menaikkan bonus mereka, dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
e. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
29
f. Motivasi Perjanjian Utang (Debt Covenants Motivations)
Perjanjian utang timbul karena adanya kontrak jangka panjang yang dilakukan oleh manajemen laba. pelanggaran terhadap hal tersebut akan mengakibatkan biaya yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap covenant.
Sedangkan menurut Sulistyanto (2008:44) merumuskan tiga hipotesis teori akuntansi positif (Positive Accounting Theory) yang dapat dijadikan dasar pemahaman dalam tindakan manajemen laba adalah :
a. Bonus Plan Hypothesis
Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode mendatang ke peeriode berjalan. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai pemberian upah yang lebih tinggi untuk masa kini.
b. Debt Covenant Hypothesis
Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang menangguhkan pelaporan laba pada periode mendatang ke periode sekarang. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.
Universitas Sumatera Utara
c. Political Cost Hypothesis
Perusahaan yang besar maka memiliki biaya politik yang dimiliki, maka manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghindari regulasi atas keputusan pemerintah, misalkan menaikkan pajak penghasilan perusahaan.dan mengenakan peraturan anti trust.
2.3.3 Pola Manajemen Laba
Menurut Scott (2012:425), mengidentifikasikan adanya empat pola yang dilakukan manajemen untuk melakukan pengelolaan atas laba sebagai berikut:
a. Taking a Bath,
Dalam bentuk jika manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan dalam jumlah besar. Dengan tindakan ini manajemen berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang dan kesalahan kerugian piutang perusahaan dapat dilimpahkan ke manajemen lama, jika terjadi pergantian manajer.
b. Income Minimization,
Dalam bentuk ini manajer akan menurunkan laba untuk tujuan tertentu, misalnya: untuk tujuan penghematan kewajiban pajak yang harus dibayar perusahaan kepada pemerintah. Karena semakin rendah laba yang dilaporkan perusahaan semakin rendah pula pajak yang harus dibayarkan.
31
c. Income Maximization
Dalam bentuk ini manajer akan berusaha menaikkan laba untuk tujuan tertentu, misalnya: menjelang IPO manajer akan meningkatkan laba dengan harapan mendapatkan reaksi yang positif dari pasar.
d. Income Smoothing,
Income smoothing dilakukan dengan meratakan laba yang dilaporkan, dengan tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor, karena umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.
Manajemen laba mempunyai dampak pada kebermanfaatan informasi laba dalam pengambilan keputusan. Perusahaan yang menggunakan kebijakan akuntansi agresif (positive discretionary accruals) mempunyai biaya modal lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang menerapkan kebijakan akuntansi konservatif (negative discretionary accruals).
2.4 Good Corporate Governance
Good Corporate Governance mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan (Sutedi, 2012).
Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan konsep GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan. Sutedi (2012) juga mencatat prinsip GCG yang diterapkan dengan konsisten dapat menjadi
Universitas Sumatera Utara
penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang menyebabkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
2.4.1 Prinsip-prinsip GCG
Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut :
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
33
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.4.2 Tujuan Good Corporate Governance
Tujuan Good Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Prinsip-prinsip internasional mengenai corporate governance mulai muncul dan berkembang baru-baru ini. Prinsip-prinsip tersebut mencakup :
a. Hak-hak pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
b. Perlakuan sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
c. Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
d. Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan (stakeholders).
e. Tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham.
2.4.3 Mekanisme Good Corporate Governance 2.4.3.1 Proporsi Dewan Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui peraturan BEJ Tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di bursa harus mempunyai komisaris independen yang secara profesional sama dengan
35
jumlah saham yang dimiliki pemegang saham minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Ardiansyah (2014) dan Widyati (2013), menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara dewan komisaris independen dengan kinerja keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2010), menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dewan komisaris independen dengan kinerja keuangan. Menunjukkan bahwa berdasarkan data di lapangan masih banyak pemegang saham yang merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Pertimbangan bahwa dengan adanya salah satu anggota pemegang saham yang merangkap sebagai dewan komisaris maka akan mempermudah pengawasan kinerja manajemen. Selain itu juga menimbulkan
jumlah saham yang dimiliki pemegang saham minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Ardiansyah (2014) dan Widyati (2013), menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara dewan komisaris independen dengan kinerja keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2010), menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dewan komisaris independen dengan kinerja keuangan. Menunjukkan bahwa berdasarkan data di lapangan masih banyak pemegang saham yang merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Pertimbangan bahwa dengan adanya salah satu anggota pemegang saham yang merangkap sebagai dewan komisaris maka akan mempermudah pengawasan kinerja manajemen. Selain itu juga menimbulkan