• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 26-0)

Bab I. Pendahuluan

D. Manfaat Penelitian

Memberikan manfaat bagi psikologi pendidikan luar biasa, yaitu diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan khususnya dalam hal penyesuaian diri guru pengajar siswa tunarungu di SLB. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana mengenai konsep penyesuaian diri sebagai salah satu bagian penting dalam proses belajar mengajar para guru SLB.

2. Manfaat praktis

a. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi sekolah luar biasa mengenai penyesuaian diri guru, khususnya guru yang non-plb. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan tambahan informasi apabila akan mengadakan pelatihan guna mengembangkan kualitas para guru pengajar non-plb yang bekerja di instasi mereka.

b. Bagi guru non-plb pengajar siswa di SLB-B

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi mengenai gambaran penyesuaian diri di masa awal mengajar bagi guru non-plb yang akan mengajar siswa tunarungu di SLB-B.

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Haber dan Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri seringkali dihubungkan dengan suatu kondisi yang seimbang antara organisme dengan lingkungannya, juga sering dihubungkan dengan proses perubahan seseorang dan atau lingkungan untuk mencapai dan mengatur hubungan yang optimal diantara keduanya. Berdasarkan konsep dari proses penyesuaian, keefektifan penyesuaian diri dapat dihitung dari bagaimana seseorang mengatasi keadaan yang selalu berubah. Oleh karena itu, proses penyesuaian diri akan terjadi terus-menerus dan berlanjut dalam hidup seseorang.

Schneiders (1964) menjelaskan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.

Penyesuaian diri dijelaskan oleh Lazarus (1961) sebagai sebuah proses yang di dalamnya terdapat interaksi yang kompleks (rumit) antara perilaku, pemikiran dan sistem emosional. Di dalamnya terdapat dinamika komponen kepribadian yang secara berkesinambungan memiliki interaksi dengan perubahan situasi dalam suatu kehidupan.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyeimbangkan berbagai komponen dari dalam dirinya sendiri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan sekitar sehingga bisa menciptakan kondisi yang seimbang di antara keduanya.

2. Aspek-aspek dalam Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), aspek penyesuaian diri meliputi:

a. Aspek self knowledge dan self insight, yaitu kemampuan mengenal kelebihan dan kelemahan diri b. Aspek self objective dan self acceptance, lebih

mengarah pada objektivitas dan penerimaan diri

c. Aspek self developmental dan self control, yang mendasari pengembangan diri dengan mengarah pada

pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku yang sesuai

d. Aspek satisfaction in work, menunjukkan aktivitas kerja merupakan pengalaman yang memuaskan.

Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009) ada empat aspek dalam penyesuaian diri antara lain :

a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemantapan suasana kehidupan emosional

2) Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain

3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan

4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri

b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri

2) Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya

3) Kemampuan mengambil keputusan 4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek :

1) Keterlibatan dalam partisipasi sosial 2) Kesediaan kerjasama

3) Kemampuan kepemimpinan

4) Sikap toleransi

d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek : 1) Sikap produktif dalam mengembangkan diri

2) Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel

3) Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal

4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur

Berdasarkan uraian mengenai aspek penyesuaian diri dari tokoh diatas, maka disimpulkan bahwa aspek dalam penyesuaian diri terdiri dari aspek pribadi dan sosial. Aspek pribadi lebih ditekankan pada kemampuan individu untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, aspek yang dimaksud seperti mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, penerimaan diri, memiliki wawasan diri dan mampu mengambil keputusan sendiri.

Aspek sosial dalam hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungannya dengan tetap memperhatikan kenyamanan diri. Adanya keseimbangan diantara keduanya memunculkan kenyamanan dalam bekerja, kemantapan, kesediaan untuk bekerjasama, munculnya sikap toleransi, empati, kerjasama dan adanya keterbukaan dalam mengenal lingkungan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:

a. Keadaan fisik

Faktor fisik tidak dapat dipisahkan dengan proses penyesuaian diri seseorang. Sistem tubuh ini berkaitan langsung dengan individu, seperti syaraf , kelenjar, otot dan lain-lain. Keadaan fisik secara umum seperti kesehatan dan penyakit juga memiliki kaitan erat dengan proses penyesuaian diri yang terjadi.

b. Perkembangan dan kematangan

Perkembangan dan kematangan setiap individu berbeda-beda. Kematangan disini adalah kematangan secara intelektual, sosial dan emosi. Pola-pola penyesuaian diri individu juga mengalami perubahan seiring dengan tingkat perkembangan dan kematangannya.

c. Faktor psikologis

Faktor psikologis tersebut meliputi pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik. Pengalaman bisa mempengaruhi penyesuaian diri seseorang, ketika pengalaman tersebut bermanfaat

maka bisa memberikan pengaruh yang positif terhadap proses penyesuaian diri dan begitu pula sebaliknya.

Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada penyesuaian diri. Seseorang bisa mempelajari berbagai pola atau cara untuk menyesuaikan diri dari lingkungannya. Kemampuan penyesuaian diri juga diperoleh dari pelatihan dan pendidikan.

Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau ketrampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian yang efektif. Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang menyediakan nilai, prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap kehidupan yang sehat.

d. Keadaan lingkungan

Manusia tidak dapat dilepaskan dari keterikatan dengan sesamanya. Hal ini juga banyak mempengaruhi proses penyesuaian diri seseorang. Relasi antar manusia membantu terciptanya penyesuaian diri. Lingkungan adalah tempat terpenting bagi perkembangan diri individu.

e. Faktor kebudayaan

Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan perilaku mereka sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki. Agama juga tidak dapat dipisahkan dari bagian budaya tersebut. Adat dan agama menjadi salah satu bagian penting pada proses penyesuaian diri individu.

Calhoun dan Acocella (dalam Ratna, 2007) menyatakan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh:

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah segala hal yang menyangkut diri individu itu sendiri (pikiran, perasaan, sikap, kondisi fisiologis, nilai, ideologi, pengalaman, determinasi diri, serta kecemasan pribadi) yang dapat mempengaruhi individu dalam menyesuaikan diri.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan segala hal yang berasal dari luar individu yang mampu mempengaruhi proses penyesuaian dirinya. Faktor eksternal ini bisa berupa faktor eksternal-fisik (keadaan fisik di luar individu, seperti cuaca, lingkungan alam, iklim dan sebagainya)

dan faktor eksternal-sosial (kondisi sosial di lingkungan, seperti norma sosial, budaya dan sebagainya).

Berdasarkan pendapat tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:

a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti faktor kondisi fisiologis, kematangan diri, kondisi psikologis, nilai yang dianut dan berbagai sikap yang muncul.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, baik dari lingkungan tempat bekerja maupun keluarga, seperti budaya lingkungan, norma-norma yang ada dan kondisi sosial yang muncul.

4. Kriteria Penyesuaian Diri

Dalam melakukan proses penyesuaian diri, individu akan berhadapan dengan berbagai hal, baik yang muncul dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan. Tidak hanya hal-hal yang menunjang tercapainya proses penyesuaian diri, tetapi juga hal-hal yang dianggap oleh individu menghambat. Kutev (dalam Ducheva, 2005) menggambarkan bahwa penyesuaian diri guru secara professional meliputi kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan kerja, kemampuan diri secara

menyeluruh dan penyesuaian terhadap rekan kerja (kerjasama dan komunikasi).

Kriteria penyesuaian diri yang bisa digunakan untuk melihat proses yang terjadi pada individu adalah sebagai berikut:

a. Penyesuaian Diri Positif (Tepat)

Haber dan Runyon (1984) memberikan kriteria penyesuaian diri yang baik dan efektif adalah:

1) Persepsi terhadap realitas yang akurat

Biasanya individu yang mampu mempersepsikan realitas memiliki tujuan hidup realistis yaitu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada di lingkungannya.

Individu ini juga mampu memodifikasi tujuan tersebut dan bersedia menerima konsekuensi dari setiap tindakannya.

2) Mampu mengatasi stress dan kecemasan

Penyesuaian diri yang efektif adalah apabila seseorang mampu mengatasi kecemasan dan stress ini dengan cara membuat tujuan hidup.

3) Gambaran diri yang positif

Apabila individu mempersepsikan kelemahan dan kelebihan dirinya sesuai dengan kenyataan dan persepsi orang lain terhadap

dirinya, maka individu tersebut dapat menerima diri apa adanya. Dengan demikian gambaran dirinya positif. Individu seperti ini dapat menyesuaiakn diri di lingkungan secara lebih efektif.

4) Kemampuan mengekspresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional adalah individu yang mampu merasakan dan mengekspresikan emosinya secara nyata. Selain itu, pelampiasan emosinya tetap dilakukan di bawah kontrol atau dengan kata lain individu tersebut mampu mengendalikan diri ketika sedang mengalami masalah.

5) Hubungan interpersonal yang baik

Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik memiliki tingkat keakraban yang cocok dalam berhubungan sosialnya. Dalam hubungan ini diharapkan kedua belah pihak bisa menjadi produktif sehingga memberikan keuntungan satu sama lain.

Lazarus (1961) mengungkapkan bahwa ada 4 kriteria untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu penyesuaian diri, antara lain:

1) Nyaman secara psikologis

Seseorang dikatakan mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila secara psikologis sudah merasa nyaman, tidak lagi merasa depresi, cemas berlebihan, ketakutan atau bahkan kematian.

2) Efisiensi kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu tempat dimana individu menerapkan proses penyesuaian diri. Kemampuan bekerja dengan efisien juga menjadi penentu berhasil atau tidaknya seseorang di tempat tersebut menyesuaikan diri. Individu yang berhasil menyesuaikan diri tentu akan memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

3) Gejala fisik

Tubuh manusia juga bisa menjadi salah satu pertanda bagi perkembangan diri. Hal ini juga terjadi pada proses penyesuaian diri, dimana ketika penyesuaian diri seseorang itu baik, maka secara fisik juga sehat.

4) Penerimaan masyarakat

Penerimaan masyarakat menjadi penting karena individu tinggal di dalam masyarakat itu sendiri. Penyesuaian yang baik akan mendukung terciptanya suasana kemasyarakatan yang baik pula. Individu yang mampu menjadi bagian dari keberhasilan tersebut akan diterima dengan baik oleh lingkungan dan masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Berdasarkan uraian para tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang positif, antara lain:

1) Gejala fisik

Individu bebas dari gejala penyakit tertentu atau dinyatakan sehat. Dalam hal ini, individu tidak mengalami gangguan kesehatan seperti penyakit yang bisa mengancam keselamatan dan mengganggu proses penyesuaian diri.

2) Penerimaan sosial

a) Hubungan interpersonal yang baik

Adanya relasi yang akrab dan saling menguntungkan diantara individu dengan lingkungan tempatnya berada.

b) Penerimaan masyarakat

Individu yang mampu menjalin relasi dengan baik dan turut serta dalam bagian dari lingkungannya, maka akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat.

3) Kepuasan psikis

Individu merasakan nyaman secara psikologis dengan kemampuannya mengatasi kecemasan dan ketakutan serta mampu mengekspresikan emosinya secara nyata.

4) Pengetahuan diri

a) Memiliki persepsi terhadap realitas yang akurat

Individu mempersepsikan realitas tersebut dengan memiliki tujuan hidup yang disesuaikan dengan kemampuan serta kesempatan yang ada.

b) Memiliki gambaran diri yang positif

Individu yang menyesuaikan diri dengan baik mengetahui kelebihan dan kelemahan

dirinya sesuai dengan kenyataan dan persepsi orang lain terhadap dirinya.

b. Penyesuaian Diri Negatif (Tidak Tepat)

Ketika seseorang tidak berhasil melakukan penyesuaian diri, maka biasanya individu tersebut akan terdorong untuk melakukan penyesuaian diri secara negatif (tidak tepat).

Menurut Schneiders (1964) ciri-ciri individu yang penyesuaian dirinya terhambat yaitu :

1) Tidak dapat menahan diri dari emosi yang berlebihan, cenderung kaku dan tidak fleksibel dalam berhubungan dengan orang lain

2) Mengalami kesulitan untuk bangkit kembali setelah mengalami masalah yang berat

3) Tidak mampu mengatur dan menentukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan yang sesuai dengan lingkungan, baik di dalam pikiran maupun sikapnya

4) Individu lebih terpaku pada aturan yang diterapkan oleh orang lain yang belum tentu cocok dengan dirinya

5) Kurang realitas dalam memandang dan menerima dirinya, serta memiliki tuntutan yang melebihi kemampuan dirinya.

Menurut Lazarus (1961), penyesuaian diri yang buruk atau tidak sehat terjadi ketika seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Dari uraian Schneider dan Lazarus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang tidak sehat antara lain:

1) Ketika individu tidak bisa menerima realitas atau kenyataan yang terjadi dalam hidupnya 2) Mengalami kesulitan untuk bisa mengatasi

hambatan yang muncul

3) Tidak berusaha menyelesaikan masalahnya 4) Individu tidak mampu menahan emosinya 5) Kaku dan tidak fleksibel ketika melakukan relasi

dengan lingkungan.

B. Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB)

Guru non-pendidikan luar biasa (non-plb) adalah guru pengajar di Sekolah Luar Biasa yang tidak menempuh pendidikan secara formal di

jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa. Latar belakang pendidikan guru tersebut biasanya di luar program studi Pendidikan Luar Biasa, seperti lulusan jenjang SMA/SMK, Diploma dan Sarjana dengan jurusan di luar PLB (seperti Psikologi, Sejarah, PGSD, dan lain-lain).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, pasal 20 menyatakan bahwa tenaga pendidik di lingkungan pendidikan luar biasa merupakan tenaga pendidik yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pendidikan luar biasa (Universitas Sam Ratulangi, 2009). Hal ini tentu menjadi pertimbangan tersediri mengingat data yang ada menunjukkan bahwa tenaga pendidik atau guru SLB masih kurang. Oleh karena itu, sekolah menerima tenaga pendidik yang secara khusus tidak memiliki kualifikasi yang dimaksud. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dr. Dadang Rahman, bahwa masih ada banyak kekurangan tenaga guru slb di wilayahnya dan akhirnya menutup kekurangan tersebut dengan menerima guru sukarelawan yang berijazah SMA, bukan dari PLB (Radjiman, 2013).

Peran guru di SLB menjadi berbeda karena mereka melayani anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam hal ini, termasuk para guru yang berstatus non-plb tersebut. Prinsip yang harus dikembangkan dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus antara kasih sayang, layanan secara individual, motivasi, kesiapan, keperagaan, belajar dan bekerja kelompok, ketrampilan, penanaman dan penyempurnaan sikap (Efendi, 2006). Selain

prinsip tersebut, dibutuhkan kemauan yang keras pada diri guru dalam menjalani pekerjaannya (Herawaty & Budiharto, 2008). Hal ini juga berlaku bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan non-plb.

C. Siswa Tunarungu (Siswa SLB-B) 1. Pengertian Tunarungu

Jika dalam proses mendengar, terdapat satu atau lebih organ telinga yang mengalami gangguan atau kerusakan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik maka keadaan tersebut dikenal dengan berkelainan pendengaran atau tunarungu. Kerusakan pada organ telinga tersebut bisa disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau sebab lain yang tidak diketahui (Efendi, 2006).

Menurut Slavin (2003), anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan berat, dan 91 ke atas dikatakan tuli.

Sudjadi (dalam Ismayasari, 2005), menyatakan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan fungsi pendengaran yang terjadi sebelum atau setelah individu tersebut dilahirkan, bisa bersifat ringan maupun berat sehingga perkembangan bahasanya terlambat dan memerlukan pembinaan, bimbingan, pelayanan secara khusus untuk mencapai suatu kehidupan yang layak

Berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu kondisi atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi tingkatan ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan, bimbingan dan pendidikan khsusus.

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Menurut kriteria International Standard Organization (ISO) klasifikasi ketunarunguan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

b. seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar (Kirk dan Moores, dalam Effendi, 2006).

Ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

a. Tunarungu konduktif

Ketunarunguan tipe ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga begian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan.

b. Tunarungu perseptif

Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telingan bagian dalam. Sebagaimana diketahui organ telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belahan telinga bagian luar dan tengah.

c. Tunarungu campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima ransangan suara mengalami gangguan, jadi yang nampak pada telinga tersbut adalah campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perseptif.

3. Anak Tunarungu sebagai Siswa Sekolah Luar Biasa

Anak tunarungu di Indonesia biasanya terdaftar di sekolah-sekolah khusus yaitu Sekolah Luar Biasa bagian B. Namun, dalam menjalankan aktivitasnya sebagai siswa atau pelajar, mereka mengalami beberapa hambatan. Seperti diungkapkan Efendi (2006), pertama adalah konsekuensi akibat kelainan pendengaran berdampak pada kesulitan dalam menerima ransang bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada siswa tunarungu, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran bahasa dan bicaranya.

D. Sekolah Luar Biasa Bagian B (Tunarungu)

Secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dalam Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus. Salah satu poin penting dari Permendiknas tersebut adalah pengaturan mengenai pembagian sekolah berdasarkan jenis kebutuhan khusus yang dialami oleh anak. Salah satu kelompok anak yang mendapatkan fasilitas pendidikan luar biasa ini adalah anak tunarungu. Anak-anak dengan kebutuhan khusus ini ditempatkan di Sekolah Luar Biasa bagian B. Karateristik dari siswa ini dinilai oleh pemerintah memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki (Ihsan, 2012).

E. Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa SLB-B (Tunarungu) Penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa SLB-B merupakan kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan internal dari dalam diri dan menyeimbangkannya dengan tuntutan eksternal yang berasal dari lingkungannya.

Kemampuan ini ditinjau dari aspek pribadi dan sosial yang ada dalam penyesuaian diri dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut ditinjau dari periode masa mengajar, yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja).

F. Pertanyaan Penelitian

Berikut ini beberapa pertanyaan yang muncul berdasarkan teori awal yang dikaji oleh peneliti.

1. Berdasarkan aspek pribadi dan sosial yang ada di dalam proses penyesuaian diri, hal-hal apa saja yang muncul terkait aspek tersebut di masa awal mengajar dan di masa mengajar saat ini pada guru non-plb?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri guru non-plb di masa awal dan di masa mengajar saat ini?

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif deskriptif. Dimana peneliti mengumpulkan data berupa hasil wawancara dengan subjek. Menurut Moleong (2007), laporan penelitian kualitatif deskriptif akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Jadi, peneliti tidak melakukan pengukuran dengan angka-angka melainkan berdasarkan pemahaman terhadap gambaran yang apa adanya mengenai penyesuaian diri guru non-plb dalam mengajar siswa penyandang tunarungu.

Gambaran ini akan diperoleh berdasarkan aspek pribadi dan sosial dalam penyesuaian diri guru non-plb dan faktor-faktor yang mempengaruhinya proses penyesuaian diri tersebut. Proses penyesuaian diri guru non-plb disini berdasarkan periode waktunya, yaitu pada proses penyesuaian diri di awal masa mengajar dan di masa mengajar saat ini.

Masa awal mengajar adalah masa mengajar awal selama 3 bulan pertama, sedangkan masa mengajar saat ini adalah periode waktu mengajar subjek setelah masa observasi hingga sekarang, yaitu 8 tahun masa kerja.

B. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah guru Sekolah Luar Biasa yang mengajar khusus siswa tunarungu (SLB-B) tetapi tidak pernah menempuh pendidikan formal program studi pendidikan luar biasa (non-plb). Latar belakang pendidikan para guru tersebut biasanya di luar program studi

Subjek dalam penelitian ini adalah guru Sekolah Luar Biasa yang mengajar khusus siswa tunarungu (SLB-B) tetapi tidak pernah menempuh pendidikan formal program studi pendidikan luar biasa (non-plb). Latar belakang pendidikan para guru tersebut biasanya di luar program studi

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 26-0)

Dokumen terkait