BAB I PENDAHULUAN D. Manfaat Penelitian… 1. Manfaat praktis : Secara umum penelitian ini dapat digunakan untuk membantu proses penerimaan orang tua yang anaknya hamil di luar nikah khususnya pada daerah konflik sehingga diharapkan melalui hasil penelitian ini orang tua dapat memberikan reaksi yang positif terhadap kehamilan yang terjadi pada anak. 2. Manfaat teoretis : Memberikan sumbangan kepada ilmu psikologi khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi Remaja. Gambar 1. Skema Terjadinya kehamilan di luar nikah di kab. Poso Konflik Masalah pengungsian Masalah ekonomi Buruknya kondisi di tempat pengungsiaan Menimbulkan masalah yang terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan antara lain terjadinya kehamilan di luar nikah Meningkatnya angka putus sekolah, sehingga anak tidak memiliki aktivitas dan melakukan hal-hal yang negatif Masalah hubungan orang tua dan anak Kurangnya pengawasan dan kontrol orang tua 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.KEHAMILAN DI LUAR NIKAH 1. Pengertian Kehamilan di Luar Nikah Kehamilan merupakan suatu proses yang diakibatkan oleh bersatunya sel seks pria dan sel seks wanita (Hurlock, 1995). Menurut Gilarso (2004), ciri-ciri dari kehamilan yaitu: a. Pada permulaan hanya ada tanda-tanda yang belum pasti yaitu: Tidak haid, buah dada menjadi bertambah besar, sering mual pada pagi hari sampai mau muntah, sulit tidur, dan sering sakit kepala. b. Pada umur kehamilan selanjutnya (3 bulan ke atas), rahim mulai membesar dan mulai ada hiperpigmentasi wajah (topeng kehamilan). c. Pada kehamilan 5 bulan, denyut jantung anak bisa di dengar oleh pemeriksa dan gerakan anak di rasakan. Namun, tidak semua wanita menginginkan terjadinya kehamilan. Hal ini di tandai dengan meningkatnya aborsi sebagai akibat dari kehamilan di luar nikah (Santrock, 2002). Kehamilan di luar nikah ini lebih banyak terjadi karena ketidaktahuan remaja tentang proses reproduksi atau terjadinya kehamilan. Banyak yang beranggapan bahwa melakukan hubungan seksual hanya satu kali tidak akan menyebabkan kehamilan (“kehamilan yang tidak dikehendaki”, 2001). Selain itu, banyak orang tua yang sebenarnya merasa ragu dan bingung menjawab pertanyaan remaja mengenai seksualitas serta masalah fungsi dan proses reproduksi mereka. Akibatnya, remaja tidak mendapatkan informasi yang benar dan jujur yang sebenarnya mereka perlukan (“seputar seks oral”, 2001 ). Jadi, kehamilan di luar nikah adalah kehamilan yang terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai proses reproduksi atau terjadinya kehamilan. 2. Penyebab Kehamilan di Luar Nikah Indrasari (2004) mengungkapkan bahwa kehamilan di luar nikah bukan disebabkan karena mereka tidak tahu bahwa seks pranikah dilarang oleh agama serta melanggar nilai- nilai di dalam masyarakat, akan tetapi, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Mereka tidak memahami mengenai apa itu hubungan seksual; bagaimana dua orang yang tadinya sekedar merasa dekat dan saling percaya, kemudian bisa terlibat dalam hubungan fisik seperti berpelukan, berciuman, dan berhubungan seksual. Semua dialami seperti sesuatu yang baru dan mereka tidak bisa mengendalikan dirinya untuk menghentikan di saat yang tepat b. Mereka tidak mengetahui konsekuensi dari berciuman dan berhubungan seksual. Seringkali mereka melakukannya karena insting, dan logikanya selama beberapa saat tak terpakai. Mereka tidak mengetahui bahwa berciuman akan menimbulkan dorongan seksual yang begitu besar, yang sukar untuk dihentikan. Mereka sering berpikiran bahwa hanya dengan satu kali berhubungan seksual tidak akan membuat hamil. Akan tetapi, pada kenyataannya, jika hal itu dilakukan pada saat masa subur, hanya 9 dengan sekali berhubungan dapat menyebabkan kehamilan. c. Sebenarnya mereka tahu bahwa hubungan seksual bisa menyebabkan kehamilan, tetapi mereka tidak kuasa untuk menolak karena mereka takut pacarnya akan marah dan meninggalkan dirinya. Mereka berpikir bahwa hubungan seks adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa cinta kepada pasangannya. Dari penelitian juga ditemukan jawaban bahwa baik remaja putra atau putri ternyata mereka menyadari akan kesalahan itu. Mereka kemudian dianjurkan untuk menggunakan obat-obatan atau alat-alat pencegah kehamilan, tetapi mereka menolak dan merasa yakin bahwa mereka tidak akan mengulanginya lagi. Ternyata, mereka tetap melakukannya dan akibatnya mereka keluar masuk klinik gelap untuk menggugurkannya. Hal serupa inilah yang disebut sebagai ketidakdewasaan sikap yang menimpa bukan saja pemuda atau pemudi tetapi juga orang dewasa (La Rose, 1996). Jadi, penyebab terjadinya kehamilan di luar nikah adalah kurangnya pemahaman mengenai hubungan seksual, tidak mengetahui konsekuensi dari berciuman dan berhubungan seksual, tidak dapat menolak untuk tidak melakuakan hubungan seksual karena adanya ketakutan ditinggalkan oleh pacar, dan ketidakdewasaan sikap. 3. Akibat Kehamilan di Luar Nikah Menurut Mc Dowell & Stewart (2002), kehamilan di luar nikah secara emosional mengakibatkan: a. Penyangkalan Remaja yang hamil di luar nikah biasanya memungkiri kehamilannya dengan cara menunda tes kehamilan, tidak memberitahu seseorang, atau tidak pergi ke dokter meskipun gejala- gejala awalnya tampak jelas. b. Rasa Takut Reaksi umum yang terjadi menghadapi kehamilan di luar nikah adalah timbulnya rasa takut terutama perasaan takut menghadapi tanggapan orang tua serta merasa takut akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh atau takut menghadapi sakit persalinan dan melahirkan anak. c. Rasa Bersalah Remaja yang hamil di luar nikah biasanya diliputi oleh perasaan bersalah sehingga mengabaikan hal-hal lain. d. Rasa Malu Karena kehamilan menunjukkan kepada setiap orang bahwa mereka telah melakukan hubungan seks, maka hal itu sering menimbulkan rasa malu yang mendalam. e. Penyesalan Adanya harapan agar dapat memutar waktu kembali dan mengubah situasi yang telah mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Kenyataannya bahwa waktu tidak dapat di rubah kembali dan hal ini menyebabkan rasa penyesalan terutama karena telah mengecewakan orang tua. Sedangkan menurut Santrock (2002), kehamilan di luar nikah secara sosial menyebabkan berbagai keprihatinan yaitu : 11 a. Kehamilan pada remaja meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan yang lebih rendah. b. Ibu remaja sering berhenti dan keluar dari sekolah, tidak memperoleh pekerjaan serta tergantung pada orang tua. Walaupun banyak ibu remaja yang melanjutkan pendidikannya kemudian, namun biasanya mereka tidak dapat mengejar ketertinggalannya. c. Kekurangan bekal pendidikan. Orang tua remaja cenderung memperoleh gaji yang rendah, memiliki pekerjaan dengan status yang rendah atau bahkan tidak memiliki pekerjaan. Jadi, kehamilan di luar nikah secara emosional dapat menyebabkan penyangkalan, rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan penyesalan. Sedangkan secara sosial dapat menyebabkan meningkatnya resiko kesehatan bagi ibu dan anak, putus sekolah, dan kurangnya bekal pendidikan. B.PENERIMAAN ORANG TUA 1. Pengertian Penerimaan Menurut Sulastrini (2002), yang di maksud dengan penerimaan orang tua adalah perasaan senang terhadap statusnya sebagai orang tua yang ditandai oleh perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu untuk berperan serta dalam kegiatan anak, tidak mengharapkan terlalu banyak pada anak, memperlakukan anak seperti anak yang lain serta tidak menjauhkan anak dari pergaulan masyarakat luas. Selain itu, penerimaan juga dapat berupa dukungan yang tulus dan apa adanya, serta keterlibatan yang tidak dibuat-buat agar anak merasa nyaman dan di dukung (Indrasari, 2004). Menurut Johnson (seperti dikutip dalam Supratiknya, 1995), ada 2 macam penerimaan terhadap orang lain: a. Penerimaan Anteseden, yaitu mendorong orang lain agar mau ambil resiko membuka diri atau membangun hubungan yang lebih erat dengan menunjukkan kehangatan dan rasa senang atau suka tanpa syarat terhadap orang yang bersangkutan. b. Penerimaan Konsekuen, adalah penerimaan terhadap orang lain sesudah orang yang bersangkutan mau ambil resiko mengungkapkan diri atau mencoba membangun hubungan yang lebih erat. Penerimaan ini penting untuk menjaga agar hubungan terus terjalin dan tumbuh. Jadi, penerimaan adalah perasaan senang yang ditandai perhatian dan kasih sayang, dukungan yang tulus dan apa adanya, serta keterlibatan dan berperan serta dalam kegiatan anak agar anak merasa nyaman dan di dukung. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penerimaan Orang tua a. Jenis Kelamin Menurut Sahran (seperti dikut ip dalam Basti, & Dewi, P. M. E., 1996), karakteristik peran gender maskulin dapat di bagi dalam tiga komponen yaitu: 1. Kemampuan memimpin yang dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistik pemberani, dan sportif. 13 2. Sifat maskulin yang dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, matang atau dewasa, dan percaya diri. 3. Rasionalitas yang dijabarkan dalam sifat suka mencari pengalaman baru, rasional, dan tenang saat menghadapi krisis. Raven dan Rubin (seperti dikutip dalam Basti, & Dewi, P. M. E., 1996) juga menyebutkan lebih detail mengenai karakteristik peran gender maskulin yaitu agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, percaya diri, rasa ingin tahu tentang berbagai perasaan dan objek-objek non sosial, impulsif, kurang dapat mengekspresikan kehangatan dan rasa santai serta kurang responsif terhadap hal- hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan). Sedangkan karakteristik peran gender feminim juga di bagi dalam tiga komponen yaitu: 1. Kasih sayang yang mencakup memperhatikan keserasian, penyayang, suka merasa kasihan, tabah, dan tulus hati 2. Kelembutan perilaku yang mencakup berbudi halus, hangat, hemat, kalem dan suka hati- hati. 3. Sifat feminim yang mencakup ramah, membutuhkan rasa aman, memperhatikan etika, dan rapi Selain itu, Kartono (2005) mengungkapkan bahwa wanita lebih praktis, sangat bergairah, lebih menonjol sifat kesosialannya, melindungi, memelihara dan mempertahankan, lebih berorientasi pada perasaan dibandingkan bidang intelek, lebih aktif dalam berbagai macam kegiatan serta lebih memandang kehidupan ini sebagaimana adanya. b. Tipe Kepribadian Eysenck mengelompokkan manusia berdasarkan dua tipe kepribadian yaitu tipe kepribadian introvert dan tipe kepribadian ekstrovert (seperti dikutip dalam Rusli, R., 2008). Tipe kepribadian introvert cenderung mudah tersinggung, rendah diri, pendiam, penyendiri, menjaga jarak dengan orang lain, cenderung berpikir ke depan, menjalani hidup dengan serius, kaku, sukar tidur, senang akan keteraturan, mengontrol perasaan, dan dapat diandalkan. Sebaliknya, tipe kepribadian ekstrovert memperlihatkan kecendrungan perhatian yang sempit, tidak puas, cenderung tidak tetap pada pendiriannya, tidak teliti, tidak kaku, sociable, senang pesta, punya banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk di ajak berbicara, optimis, kendali perasaan longgar, dan tidak selalu dapat diandalkan. Sejalan dengan penggolongan yang dikemukakan oleh Eysenck, Jung (seperti dikutip dalam Hall & Lindzey, 1993), menggolongkan manusia berdasarkan sikap jiwanya menjadi dua tipe, yaitu manusia yang bertipe introvert yang lebih berorientasi kedalam, yakni pada pikiran dan perasaannya, tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh faktor subjektif, penyesuaian dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, kurang dapat menarik hati orang lain tetapi penyesuaian dengan batinnya sendiri baik. Sedangkan tipe ekstrovert yaitu terutama lebih dipengaruhi oleh dunia objektif yaitu di luar dirinya. 15 Costa dan McCrae (seperti dikutip dalam Mastuti, E., 2005), juga mengungkapkan bahwa tipe introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian. Sedangkan tipe ekstrovert cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan waktunya untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan. c. Pola Asuh 1. Pola Asuh Otoriter Menurut Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Kaku b) Tegas c) Suka menghukum d) Kurang ada kasih sayang serta simpatik e) Orang tua memaksa anak untuk patuh pada nilai- nilai mereka serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah laku orang tua dan cenderung mengekang keinginan anak f) Orang tua tidak mendorong serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. g) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. H., 2008), orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. 2. Pola Asuh Demokratis Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008 ), menyatakan ciri-cirinya adalah: a) Orang tua menganggap sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak b) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya mengenai segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa c) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluahan dan pendapat anak-anaknya d) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh perhatian Sedangkan menurut Barnadib (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008), orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran, tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya. 3. Pola asuh Permisif 17 menyatakan bahwa orang tua yang mempunyai pola asuh permisif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali b) Anak sedikit sekali di tuntut untuk tanggung jawab, tetapi memiliki hak yang sama seperti orang dewasa c) Anak di beri kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya d. Karakteristik Masyarakat Masyarakat Poso menggunakan istilah “SINTUWU” sebaga i landasan kepribadian masyarakatnya (Tahir, L.S., 2007), yang dapat dipahami dalam beberapa pengertian: 1. Dota pasanggan atau kemauan bersama untuk melakukan pekerjaan. Kegiatan kerjasama yang di dorong oleh rasa kekeluargaan, rasa kebersamaan satu komuniti untuk kepentingan seseorang, keluarga, kerabat, dan masyarakat pada umumnya. 2. Kegiatan yang dilakukan dalam berbagai bidang dan lapangan kehidupan yang di pandang baik dan terpuji di mana menghendaki kerjasama dan bantuan orang lain. Secara keseluruhan arti dari istilah SINTUWU adalah kebersamaan yang dalam konteks sosial dan agama termanifestasi dalam bentuk: 1. Mesale atau social responsibility, yaitu, rasa tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh para petani dalam satu lingkungan desa di mana mereka saling membantu mengerjakan sawah atau kebun masing-masing secara bergiliran dan teratur sampai seluruh anggota kelompok itu mendapatkan giliran 2. Nosialapale atau transparancy, yaitu, adanya keterbukaan masyarakat dalam menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solodaritas dan kekeluargaan diantara sesama warga serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesamanya. 3. Membutulungi atau social awarenes, yaitu, suatu semangat yang membahu, saling membantu dalam hal pembangunan rumah. Bantu membantu tersebut di mulai pada saat seseorang mendirikan rumah, mengatap rumah, dan sebagainya. Bagi masyarakat Poso, dianggap tabu meninggalkan desanya sebelum sempat membantu, walaupun hanya sekedar memegang tiang atau sekedar menaikkan selembar atap, mereka percaya bahwa meninggalkan desa pada saat kegiatan saling membantu mendirikan rumah pasti mengalami kegagalan. Selain itu, sistem kekerabatan masyarakat poso terbagi menjadi dua yaitu inti dan keluarga luas di mana keluarga luas lebih dominan dibandingkan dengan keluarga inti sehingga membuat kekerabatan di Kabupaten Poso masih sangat kuat khususnya pada daerah pedesaan (Hasan dkk, 1994). Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Gangster dkk (seperti dikutip dalam Andarika, 2004), bahwa setiap individu membutuhkan dukungan yang berasal dari teman maupun keluarga. 19 nikah di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, tipe kepribadian, pola asuh, dan karakteristik masyarakat. 3. Akibat Penerimaan Orang Tua Pada Anaknya Tracy (1996), mengungkapkan, bahwa akibat dari penerimaan yaitu meningkatnya harga diri, citra diri, membuat merasa rileks, dan aman bersama. Frankl (seperti dikutip dalam Schultz. D, 1991), juga mengungkapkan bahwa ketika kita sudah dapat menerima situasi-situasi yang tidak dapat diubah, maka kehidupan manusia meskipun dalam keadaan-keadaan gawat dapat bercirikan arti dan maksud. Jika orang-orang yang mencintai kita mau menerima keadaan kita yang sedang dalam suatu proses, maka penerimaan mereka merupakan hadiah terbesar dari cinta mereka terhadap diri kita (Powell & Brady, 1991). Jadi, akibat dari penerimaan yaitu dapat meningkatkan harga diri, citra diri, membuat merasa rileks dan aman, serta dapat memberikan makna di dalam kehidupan. 4. Proses Penerimaan Orang Tua Terhadap Anaknya Yang Hamil di Luar Nikah Ada beberapa teori yang mengungkapkan proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang mengalami masalah. Atmodiwiryo (seperti dikutip dalam Nediastri, 1997) mengemukakan 3 tahap yang umum dialami orang tua sebelum mereka benar-benar menerima anaknya yang mengalami masalah: a. Tahap Pengingkaran Tahapan ini merupakan tahapan di mana pertama kali orang tua mengetahui akan permasalahan anaknya yang ditandai dengan perasaan tidak percaya dan adanya rasionalisasi. b. Tahap Penerimaan Secara Intelektual, namun secara emosional terdapat rasa marah, rasa bersalah serta depresi Pada tahapan ini orang tua lebih sibuk terhadap perasaannya sendiri daripada melakukan usaha-usaha yang dapat membantu anak. Tahapan ini ditunjukkan dengan sikap membatasi kegiatan anak sehingga anak tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. c. Tahap Penerimaan Secara Intelektual dan Emosional Pada tahapan ini orang tua bersikap realistis bahkan konstruktif dan memiliki keinginan untuk mencari solusi dari permasalahan. Menurut Powell & Brady (1991), dalam bukunya yang berjudul “Tampilkan Jati Dirimu“, bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat mirip dengan proses menghadapi ajal yang diungkapkan oleh Kubler Ross (seperti dikutip dalam Powell. J, & Brady. L, 1991). Kita bergerak sesuai dengan irama langkah kita sendiri, dan dalam semua proses ini kita perlu di terima dalam tahap manapun kita berada. Tahap-tahap penerimaan itu adalah sebagai berikut : a. Pengingkaran Tahapan ini merupakan reaksi yang utama ketika orang tua pertama kali mengetahui kehamilan anaknya. Tahapan ini merupakan tahapan di mana orang tua menyangkal atau menolak akan permasalahan yang sedang dihadapinya. Biasanya pada tahap ini orang tua belum mau mengakui kehamilan anaknya dan disertai dengan alasan yang dapat di terima. 21 b. Kemarahan Merupakan tahapan di mana orang tua menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan, orang tua menyadari adanya penolakan yang kemudian memunculkan rasa marah. Biasanya, pada tahapan ini orang tua sudah mengakui kehamilan anaknya, namun, secara psikologis belum dapat menerimanya. c. Tawar Menawar Merupakan tahapan di mana orang tua mengembangkan harapan bahwa kehamilan itu tidak benar adanya dan tidak mungkin terjadi pada anaknya. Pada tahapan ini biasanya orang tua selalu berusaha membuat kesepakatan-kesepakatan yang dapat menyena ngkan hatinya. d. Pasrah Dengan Perasaan Tertekan Merupakan tahapan di mana orang tua sudah mulai dapat menerima keadaan anaknya. Pada tahapan ini, orang tua biasanya sudah dapat menerima, namun belum sepenuhnya. e. Penerimaan Merupakan tahapan di mana orang tua mengembangkan rasa damai dan menerima takdir. Pada tahapan ini orang tua sudah dapat menerima keadaan anaknya dengan sepenuhnya. Menurut Sulastrini (2002), bahwa proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang mengalami masalah adalah merasa terkejut, shock, marah, dan hal ini merupakan reaksi yang pertama kali muncul. Perasaan ini menjadikan orang tua menolak kehadiran sang anak, merasa bersalah dan menyalahkan pasangannya. Jadi, proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang hamil di luar nikah melalui beberapa tahapan yaitu pengingkaran, kemarahan, tawar- menawar, pasrah dengan perasaan tertekan, dan penerimaan. Penelitian ini akan melihat bagaimana proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang ha mil di luar nikah setelah terjadinya konflik. Dalam proses penerimaan tersebut subjek melalui tahap-tahap penerimaan yang dimulai dari tahapan pengingkaran, tahapan kemarahan, tahapan tawar- menawar, tahapan penerimaan dengan perasaan tertekan, dan tahapan penerimaan, di mana, tahap-tahap penerimaan yang dilalui oleh subjek sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : a. Jenis Kelamin : Seperti yang diungkapkan oleh Sahran (seperti dikutip dalam Basti, & Dewi, P. M. E., 1996) tentang karakteristik peran gender maskulin yang salah satunya adalah rasionalitas dan peran gender feminim yang salah satu komponennya adalah sifat feminim yang membutuhkan rasa aman. Maka, perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap bagaimana subjek berada dalam tahap-tahap penerimaannya. b. Tipe Kepribadian : Eysenck mengelompokkan manusia berdasarkan dua tipe kepribadian yaitu tipe kepribadian introvert dan tipe kepribadian ekstrovert (seperti dikutip dalam Rusli, R., 2008). Adanya perbedaan tipe kepribadian mempengaruhi proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang hamil di luar nikah baik itu 23 lamanya mencapai tahapan penerimaan dan tahapan yang paling intens dialami oleh subjek.. c. Pola asuh : Menurut Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008), Pola asuh orang tua terbagi atas tiga bentuk yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung kaku dan tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya sedangkan orang tua yang demokratis selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluahan dan pendapat anak-anaknya. Selain itu, orang tua yang permisif lebih memberikan kebebasan kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Adanya perbedaan orang tua dalam mengasuh anaknya sangat menetukan bagaimana orang tua memberikan sikap terhadap kehamilan yang terjadi pada anak. d. Karakteristik Masyarakat : Adanya keterbukaan masyarakat dalam menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solodaritas dan kekeluargaan diantara sesama warga serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesamanya (Tahir, L.S., 2007) sangat berpenga ruh terhadap proses penerimaan orang tua karena Dalam dokumen Proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang hamil di luar nikah : sebuah studi kasus di Kabupaten Poso - USD Repository (Halaman 23-200)