• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian…

1. Manfaat praktis :

Secara umum penelitian ini dapat digunakan untuk membantu proses

penerimaan orang tua yang anaknya hamil di luar nikah khususnya pada

daerah konflik sehingga diharapkan melalui hasil penelitian ini orang tua

dapat memberikan reaksi yang positif terhadap kehamilan yang terjadi pada

anak.

2. Manfaat teoretis :

Memberikan sumbangan kepada ilmu psikologi khususnya Psikologi

Perkembangan dan Psikologi Remaja.

Gambar 1. Skema Terjadinya kehamilan di luar nikah di kab. Poso

Konflik

Masalah pengungsian

Masalah ekonomi

Buruknya kondisi di

tempat

pengungsiaan

Menimbulkan masalah yang

terkait dengan kesehatan

reproduksi perempuan antara

lain terjadinya kehamilan di

luar nikah

Meningkatnya angka

putus sekolah,

sehingga anak tidak

memiliki aktivitas

dan melakukan

hal-hal yang negatif

Masalah hubungan

orang tua dan anak

Kurangnya

pengawasan dan

kontrol orang tua

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.KEHAMILAN DI LUAR NIKAH

1. Pengertian Kehamilan di Luar Nikah

Kehamilan merupakan suatu proses yang diakibatkan oleh bersatunya sel

seks pria dan sel seks wanita (Hurlock, 1995). Menurut Gilarso (2004), ciri-ciri

dari kehamilan yaitu:

a. Pada permulaan hanya ada tanda-tanda yang belum pasti yaitu: Tidak

haid, buah dada menjadi bertambah besar, sering mual pada pagi hari

sampai mau muntah, sulit tidur, dan sering sakit kepala.

b. Pada umur kehamilan selanjutnya (3 bulan ke atas), rahim mulai

membesar dan mulai ada hiperpigmentasi wajah (topeng kehamilan).

c. Pada kehamilan 5 bulan, denyut jantung anak bisa di dengar oleh

pemeriksa dan gerakan anak di rasakan.

Namun, tidak semua wanita menginginkan terjadinya kehamilan. Hal ini

di tandai dengan meningkatnya aborsi sebagai akibat dari kehamilan di luar

nikah (Santrock, 2002). Kehamilan di luar nikah ini lebih banyak terjadi

karena ketidaktahuan remaja tentang proses reproduksi atau terjadinya

kehamilan. Banyak yang beranggapan bahwa melakukan hubungan seksual

hanya satu kali tidak akan menyebabkan kehamilan (“kehamilan yang tidak

dikehendaki”, 2001). Selain itu, banyak orang tua yang sebenarnya merasa

ragu dan bingung menjawab pertanyaan remaja mengenai seksualitas serta

masalah fungsi dan proses reproduksi mereka. Akibatnya, remaja tidak

mendapatkan informasi yang benar dan jujur yang sebenarnya mereka

perlukan (“seputar seks oral”, 2001 ).

Jadi, kehamilan di luar nikah adalah kehamilan yang terjadi karena

kurangnya pengetahuan mengenai proses reproduksi atau terjadinya kehamilan.

2. Penyebab Kehamilan di Luar Nikah

Indrasari (2004) mengungkapkan bahwa kehamilan di luar nikah bukan

disebabkan karena mereka tidak tahu bahwa seks pranikah dilarang oleh agama

serta melanggar nilai- nilai di dalam masyarakat, akan tetapi, disebabkan oleh

beberapa hal, yaitu:

a. Mereka tidak memahami mengenai apa itu hubungan seksual;

bagaimana dua orang yang tadinya sekedar merasa dekat dan saling

percaya, kemudian bisa terlibat dalam hubungan fisik seperti berpelukan,

berciuman, dan berhubungan seksual. Semua dialami seperti sesuatu

yang baru dan mereka tidak bisa mengendalikan dirinya untuk

menghentikan di saat yang tepat

b. Mereka tidak mengetahui konsekuensi dari berciuman dan berhubungan

seksual. Seringkali mereka melakukannya karena insting, dan logikanya

selama beberapa saat tak terpakai. Mereka tidak mengetahui bahwa

berciuman akan menimbulkan dorongan seksual yang begitu besar, yang

sukar untuk dihentikan. Mereka sering berpikiran bahwa hanya dengan

satu kali berhubungan seksual tidak akan membuat hamil. Akan tetapi,

pada kenyataannya, jika hal itu dilakukan pada saat masa subur, hanya

9

dengan sekali berhubungan dapat menyebabkan kehamilan.

c. Sebenarnya mereka tahu bahwa hubungan seksual bisa menyebabkan

kehamilan, tetapi mereka tidak kuasa untuk menolak karena mereka

takut pacarnya akan marah dan meninggalkan dirinya. Mereka berpikir

bahwa hubungan seks adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa

cinta kepada pasangannya.

Dari penelitian juga ditemukan jawaban bahwa baik remaja putra atau

putri ternyata mereka menyadari akan kesalahan itu. Mereka kemudian

dianjurkan untuk menggunakan obat-obatan atau alat-alat pencegah kehamilan,

tetapi mereka menolak dan merasa yakin bahwa mereka tidak akan

mengulanginya lagi. Ternyata, mereka tetap melakukannya dan akibatnya

mereka keluar masuk klinik gelap untuk menggugurkannya. Hal serupa inilah

yang disebut sebagai ketidakdewasaan sikap yang menimpa bukan saja pemuda

atau pemudi tetapi juga orang dewasa (La Rose, 1996).

Jadi, penyebab terjadinya kehamilan di luar nikah adalah kurangnya

pemahaman mengenai hubungan seksual, tidak mengetahui konsekuensi dari

berciuman dan berhubungan seksual, tidak dapat menolak untuk tidak

melakuakan hubungan seksual karena adanya ketakutan ditinggalkan oleh

pacar, dan ketidakdewasaan sikap.

3. Akibat Kehamilan di Luar Nikah

Menurut Mc Dowell & Stewart (2002), kehamilan di luar nikah secara

emosional mengakibatkan:

a. Penyangkalan

Remaja yang hamil di luar nikah biasanya memungkiri kehamilannya

dengan cara menunda tes kehamilan, tidak memberitahu seseorang, atau

tidak pergi ke dokter meskipun gejala- gejala awalnya tampak jelas.

b. Rasa Takut

Reaksi umum yang terjadi menghadapi kehamilan di luar nikah

adalah timbulnya rasa takut terutama perasaan takut menghadapi tanggapan

orang tua serta merasa takut akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam

tubuh atau takut menghadapi sakit persalinan dan melahirkan anak.

c. Rasa Bersalah

Remaja yang hamil di luar nikah biasanya diliputi oleh perasaan

bersalah sehingga mengabaikan hal-hal lain.

d. Rasa Malu

Karena kehamilan menunjukkan kepada setiap orang bahwa mereka

telah melakukan hubungan seks, maka hal itu sering menimbulkan rasa

malu yang mendalam.

e. Penyesalan

Adanya harapan agar dapat memutar waktu kembali dan mengubah

situasi yang telah mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Kenyataannya

bahwa waktu tidak dapat di rubah kembali dan hal ini menyebabkan rasa

penyesalan terutama karena telah mengecewakan orang tua.

Sedangkan menurut Santrock (2002), kehamilan di luar nikah secara

sosial menyebabkan berbagai keprihatinan yaitu :

11

a. Kehamilan pada remaja meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan

anaknya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat

badan yang lebih rendah.

b. Ibu remaja sering berhenti dan keluar dari sekolah, tidak memperoleh

pekerjaan serta tergantung pada orang tua. Walaupun banyak ibu remaja

yang melanjutkan pendidikannya kemudian, namun biasanya mereka

tidak dapat mengejar ketertinggalannya.

c. Kekurangan bekal pendidikan. Orang tua remaja cenderung memperoleh

gaji yang rendah, memiliki pekerjaan dengan status yang rendah atau

bahkan tidak memiliki pekerjaan.

Jadi, kehamilan di luar nikah secara emosional dapat menyebabkan

penyangkalan, rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan penyesalan. Sedangkan

secara sosial dapat menyebabkan meningkatnya resiko kesehatan bagi ibu dan

anak, putus sekolah, dan kurangnya bekal pendidikan.

B.PENERIMAAN ORANG TUA

1. Pengertian Penerimaan

Menurut Sulastrini (2002), yang di maksud dengan penerimaan orang

tua adalah perasaan senang terhadap statusnya sebagai orang tua yang ditandai

oleh perhatian dan kasih sayang, memberikan waktu untuk berperan serta

dalam kegiatan anak, tidak mengharapkan terlalu banyak pada anak,

memperlakukan anak seperti anak yang lain serta tidak menjauhkan anak dari

pergaulan masyarakat luas. Selain itu, penerimaan juga dapat berupa dukungan

yang tulus dan apa adanya, serta keterlibatan yang tidak dibuat-buat agar anak

merasa nyaman dan di dukung (Indrasari, 2004).

Menurut Johnson (seperti dikutip dalam Supratiknya, 1995), ada 2

macam penerimaan terhadap orang lain:

a. Penerimaan Anteseden, yaitu mendorong orang lain agar mau ambil

resiko membuka diri atau membangun hubungan yang lebih erat dengan

menunjukkan kehangatan dan rasa senang atau suka tanpa syarat

terhadap orang yang bersangkutan.

b. Penerimaan Konsekuen, adalah penerimaan terhadap orang lain sesudah

orang yang bersangkutan mau ambil resiko mengungkapkan diri atau

mencoba membangun hubungan yang lebih erat. Penerimaan ini penting

untuk menjaga agar hubungan terus terjalin dan tumbuh.

Jadi, penerimaan adalah perasaan senang yang ditandai perhatian dan

kasih sayang, dukungan yang tulus dan apa adanya, serta keterlibatan dan

berperan serta dalam kegiatan anak agar anak merasa nyaman dan di dukung.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penerimaan Orang tua

a. Jenis Kelamin

Menurut Sahran (seperti dikut ip dalam Basti, & Dewi, P. M. E.,

1996), karakteristik peran gender maskulin dapat di bagi dalam tiga

komponen yaitu:

1. Kemampuan memimpin yang dijabarkan dalam sifat aktif,

berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistik

pemberani, dan sportif.

13

2. Sifat maskulin yang dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, matang

atau dewasa, dan percaya diri.

3. Rasionalitas yang dijabarkan dalam sifat suka mencari pengalaman

baru, rasional, dan tenang saat menghadapi krisis.

Raven dan Rubin (seperti dikutip dalam Basti, & Dewi, P. M. E.,

1996) juga menyebutkan lebih detail mengenai karakteristik peran gender

maskulin yaitu agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif,

kompetitif, ambisi, rasional, percaya diri, rasa ingin tahu tentang berbagai

perasaan dan objek-objek non sosial, impulsif, kurang dapat

mengekspresikan kehangatan dan rasa santai serta kurang responsif terhadap

hal- hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan).

Sedangkan karakteristik peran gender feminim juga di bagi dalam tiga

komponen yaitu:

1. Kasih sayang yang mencakup memperhatikan keserasian, penyayang,

suka merasa kasihan, tabah, dan tulus hati

2. Kelembutan perilaku yang mencakup berbudi halus, hangat, hemat,

kalem dan suka hati- hati.

3. Sifat feminim yang mencakup ramah, membutuhkan rasa aman,

memperhatikan etika, dan rapi

Selain itu, Kartono (2005) mengungkapkan bahwa wanita lebih

praktis, sangat bergairah, lebih menonjol sifat kesosialannya, melindungi,

memelihara dan mempertahankan, lebih berorientasi pada perasaan

dibandingkan bidang intelek, lebih aktif dalam berbagai macam kegiatan

serta lebih memandang kehidupan ini sebagaimana adanya.

b. Tipe Kepribadian

Eysenck mengelompokkan manusia berdasarkan dua tipe kepribadian

yaitu tipe kepribadian introvert dan tipe kepribadian ekstrovert (seperti

dikutip dalam Rusli, R., 2008). Tipe kepribadian introvert cenderung mudah

tersinggung, rendah diri, pendiam, penyendiri, menjaga jarak dengan orang

lain, cenderung berpikir ke depan, menjalani hidup dengan serius, kaku,

sukar tidur, senang akan keteraturan, mengontrol perasaan, dan dapat

diandalkan. Sebaliknya, tipe kepribadian ekstrovert memperlihatkan

kecendrungan perhatian yang sempit, tidak puas, cenderung tidak tetap pada

pendiriannya, tidak teliti, tidak kaku, sociable, senang pesta, punya banyak

teman, selalu membutuhkan orang lain untuk di ajak berbicara, optimis,

kendali perasaan longgar, dan tidak selalu dapat diandalkan.

Sejalan dengan penggolongan yang dikemukakan oleh Eysenck, Jung

(seperti dikutip dalam Hall & Lindzey, 1993), menggolongkan manusia

berdasarkan sikap jiwanya menjadi dua tipe, yaitu manusia yang bertipe

introvert yang lebih berorientasi kedalam, yakni pada pikiran dan

perasaannya, tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh faktor

subjektif, penyesuaian dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup,

sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, kurang dapat menarik

hati orang lain tetapi penyesuaian dengan batinnya sendiri baik. Sedangkan

tipe ekstrovert yaitu terutama lebih dipengaruhi oleh dunia objektif yaitu di

luar dirinya.

15

Costa dan McCrae (seperti dikutip dalam Mastuti, E., 2005), juga

mengungkapkan bahwa tipe introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka

dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan

orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian. Sedangkan tipe

ekstrovert cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan waktunya

untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan.

c. Pola Asuh

1. Pola Asuh Otoriter

Menurut Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H.,

2008), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

a) Kaku

b) Tegas

c) Suka menghukum

d) Kurang ada kasih sayang serta simpatik

e) Orang tua memaksa anak untuk patuh pada nilai- nilai mereka serta

mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah laku

orang tua dan cenderung mengekang keinginan anak

f) Orang tua tidak mendorong serta memberikan kesempatan kepada

anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian.

g) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak

dewasa.

H., 2008), orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk

mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya.

2. Pola Asuh Demokratis

Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008 ),

menyatakan ciri-cirinya adalah:

a) Orang tua menganggap sama kewajiban dan hak antara orang tua

dan anak

b) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi

anak-anaknya mengenai segala sesuatu yang diperbuatnya sampai

mereka menjadi dewasa

c) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi

dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluahan dan

pendapat anak-anaknya

d) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada

anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara

obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh perhatian

Sedangkan menurut Barnadib (seperti dikutip dalam Muazar, H.,

2008), orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan

anak dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran, tetapi

juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan

persoalan-persoalannya.

3. Pola asuh Permisif

17

menyatakan bahwa orang tua yang mempunyai pola asuh permisif

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a) Cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa

memberikan kontrol sama sekali

b) Anak sedikit sekali di tuntut untuk tanggung jawab, tetapi memiliki

hak yang sama seperti orang dewasa

c) Anak di beri kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang

tua tidak banyak mengatur anaknya

d. Karakteristik Masyarakat

Masyarakat Poso menggunakan istilah “SINTUWU” sebaga i landasan

kepribadian masyarakatnya (Tahir, L.S., 2007), yang dapat dipahami dalam

beberapa pengertian:

1. Dota pasanggan atau kemauan bersama untuk melakukan pekerjaan.

Kegiatan kerjasama yang di dorong oleh rasa kekeluargaan, rasa

kebersamaan satu komuniti untuk kepentingan seseorang, keluarga,

kerabat, dan masyarakat pada umumnya.

2. Kegiatan yang dilakukan dalam berbagai bidang dan lapangan

kehidupan yang di pandang baik dan terpuji di mana menghendaki

kerjasama dan bantuan orang lain.

Secara keseluruhan arti dari istilah SINTUWU adalah kebersamaan yang

dalam konteks sosial dan agama termanifestasi dalam bentuk:

1. Mesale atau social responsibility, yaitu, rasa tanggung jawab sosial

yang dilakukan oleh para petani dalam satu lingkungan desa di mana

mereka saling membantu mengerjakan sawah atau kebun

masing-masing secara bergiliran dan teratur sampai seluruh anggota kelompok

itu mendapatkan giliran

2. Nosialapale atau transparancy, yaitu, adanya keterbukaan masyarakat

dalam menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda,

rasa solodaritas dan kekeluargaan diantara sesama warga serta rasa

simpatik dan penghargaan antar sesamanya.

3. Membutulungi atau social awarenes, yaitu, suatu semangat yang

membahu, saling membantu dalam hal pembangunan rumah. Bantu

membantu tersebut di mulai pada saat seseorang mendirikan rumah,

mengatap rumah, dan sebagainya. Bagi masyarakat Poso, dianggap

tabu meninggalkan desanya sebelum sempat membantu, walaupun

hanya sekedar memegang tiang atau sekedar menaikkan selembar

atap, mereka percaya bahwa meninggalkan desa pada saat kegiatan

saling membantu mendirikan rumah pasti mengalami kegagalan.

Selain itu, sistem kekerabatan masyarakat poso terbagi menjadi dua

yaitu inti dan keluarga luas di mana keluarga luas lebih dominan

dibandingkan dengan keluarga inti sehingga membuat kekerabatan di

Kabupaten Poso masih sangat kuat khususnya pada daerah pedesaan (Hasan

dkk, 1994). Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh

Gangster dkk (seperti dikutip dalam Andarika, 2004), bahwa setiap individu

membutuhkan dukungan yang berasal dari teman maupun keluarga.

19

nikah di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, tipe kepribadian,

pola asuh, dan karakteristik masyarakat.

3. Akibat Penerimaan Orang Tua Pada Anaknya

Tracy (1996), mengungkapkan, bahwa akibat dari penerimaan yaitu

meningkatnya harga diri, citra diri, membuat merasa rileks, dan aman bersama.

Frankl (seperti dikutip dalam Schultz. D, 1991), juga mengungkapkan bahwa

ketika kita sudah dapat menerima situasi-situasi yang tidak dapat diubah, maka

kehidupan manusia meskipun dalam keadaan-keadaan gawat dapat bercirikan

arti dan maksud. Jika orang-orang yang mencintai kita mau menerima keadaan

kita yang sedang dalam suatu proses, maka penerimaan mereka merupakan

hadiah terbesar dari cinta mereka terhadap diri kita (Powell & Brady, 1991).

Jadi, akibat dari penerimaan yaitu dapat meningkatkan harga diri, citra

diri, membuat merasa rileks dan aman, serta dapat memberikan makna di

dalam kehidupan.

4. Proses Penerimaan Orang Tua Terhadap Anaknya Yang Hamil di

Luar Nikah

Ada beberapa teori yang mengungkapkan proses penerimaan orang tua

terhadap anaknya yang mengalami masalah. Atmodiwiryo (seperti dikutip

dalam Nediastri, 1997) mengemukakan 3 tahap yang umum dialami orang tua

sebelum mereka benar-benar menerima anaknya yang mengalami masalah:

a. Tahap Pengingkaran

Tahapan ini merupakan tahapan di mana pertama kali orang tua

mengetahui akan permasalahan anaknya yang ditandai dengan perasaan

tidak percaya dan adanya rasionalisasi.

b. Tahap Penerimaan Secara Intelektual, namun secara emosional terdapat

rasa marah, rasa bersalah serta depresi

Pada tahapan ini orang tua lebih sibuk terhadap perasaannya sendiri

daripada melakukan usaha-usaha yang dapat membantu anak. Tahapan ini

ditunjukkan dengan sikap membatasi kegiatan anak sehingga anak tidak

dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.

c. Tahap Penerimaan Secara Intelektual dan Emosional

Pada tahapan ini orang tua bersikap realistis bahkan konstruktif dan

memiliki keinginan untuk mencari solusi dari permasalahan.

Menurut Powell & Brady (1991), dalam bukunya yang berjudul

“Tampilkan Jati Dirimu“, bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan

manusia sangat mirip dengan proses menghadapi ajal yang diungkapkan oleh

Kubler Ross (seperti dikutip dalam Powell. J, & Brady. L, 1991). Kita bergerak

sesuai dengan irama langkah kita sendiri, dan dalam semua proses ini kita perlu

di terima dalam tahap manapun kita berada. Tahap-tahap penerimaan itu adalah

sebagai berikut :

a. Pengingkaran

Tahapan ini merupakan reaksi yang utama ketika orang tua pertama

kali mengetahui kehamilan anaknya. Tahapan ini merupakan tahapan di

mana orang tua menyangkal atau menolak akan permasalahan yang sedang

dihadapinya. Biasanya pada tahap ini orang tua belum mau mengakui

kehamilan anaknya dan disertai dengan alasan yang dapat di terima.

21

b. Kemarahan

Merupakan tahapan di mana orang tua menyadari bahwa penolakan

tidak dapat lagi dipertahankan, orang tua menyadari adanya penolakan yang

kemudian memunculkan rasa marah. Biasanya, pada tahapan ini orang tua

sudah mengakui kehamilan anaknya, namun, secara psikologis belum dapat

menerimanya.

c. Tawar Menawar

Merupakan tahapan di mana orang tua mengembangkan harapan

bahwa kehamilan itu tidak benar adanya dan tidak mungkin terjadi pada

anaknya. Pada tahapan ini biasanya orang tua selalu berusaha membuat

kesepakatan-kesepakatan yang dapat menyena ngkan hatinya.

d. Pasrah Dengan Perasaan Tertekan

Merupakan tahapan di mana orang tua sudah mulai dapat menerima

keadaan anaknya. Pada tahapan ini, orang tua biasanya sudah dapat

menerima, namun belum sepenuhnya.

e. Penerimaan

Merupakan tahapan di mana orang tua mengembangkan rasa damai

dan menerima takdir. Pada tahapan ini orang tua sudah dapat menerima

keadaan anaknya dengan sepenuhnya.

Menurut Sulastrini (2002), bahwa proses penerimaan orang tua terhadap

anaknya yang mengalami masalah adalah merasa terkejut, shock, marah, dan

hal ini merupakan reaksi yang pertama kali muncul. Perasaan ini menjadikan

orang tua menolak kehadiran sang anak, merasa bersalah dan menyalahkan

pasangannya.

Jadi, proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang hamil di luar

nikah melalui beberapa tahapan yaitu pengingkaran, kemarahan, tawar- menawar,

pasrah dengan perasaan tertekan, dan penerimaan.

Penelitian ini akan melihat bagaimana proses penerimaan orang tua

terhadap anaknya yang ha mil di luar nikah setelah terjadinya konflik. Dalam

proses penerimaan tersebut subjek melalui tahap-tahap penerimaan yang dimulai

dari tahapan pengingkaran, tahapan kemarahan, tahapan tawar- menawar, tahapan

penerimaan dengan perasaan tertekan, dan tahapan penerimaan, di mana,

tahap-tahap penerimaan yang dilalui oleh subjek sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu :

a. Jenis Kelamin :

Seperti yang diungkapkan oleh Sahran (seperti dikutip dalam Basti, &

Dewi, P. M. E., 1996) tentang karakteristik peran gender maskulin yang salah

satunya adalah rasionalitas dan peran gender feminim yang salah satu

komponennya adalah sifat feminim yang membutuhkan rasa aman. Maka,

perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap bagaimana subjek berada dalam

tahap-tahap penerimaannya.

b. Tipe Kepribadian :

Eysenck mengelompokkan manusia berdasarkan dua tipe kepribadian

yaitu tipe kepribadian introvert dan tipe kepribadian ekstrovert (seperti dikutip

dalam Rusli, R., 2008). Adanya perbedaan tipe kepribadian mempengaruhi

proses penerimaan orang tua terhadap anaknya yang hamil di luar nikah baik itu

23

lamanya mencapai tahapan penerimaan dan tahapan yang paling intens dialami

oleh subjek..

c. Pola asuh :

Menurut Stewart dan Koch (seperti dikutip dalam Muazar, H., 2008), Pola

asuh orang tua terbagi atas tiga bentuk yaitu pola asuh otoriter, pola asuh

demokratis, dan pola asuh permisif. Orang tua yang menerapkan pola asuh

otoriter cenderung kaku dan tidak memberikan hak anaknya untuk

mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya sedangkan

orang tua yang demokratis selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling

memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluahan dan pendapat

anak-anaknya. Selain itu, orang tua yang permisif lebih memberikan kebebasan

kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak

mengatur anaknya. Adanya perbedaan orang tua dalam mengasuh anaknya

sangat menetukan bagaimana orang tua memberikan sikap terhadap kehamilan

yang terjadi pada anak.

d. Karakteristik Masyarakat :

Adanya keterbukaan masyarakat dalam menerima keyakinan agama,

bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solodaritas dan kekeluargaan diantara

sesama warga serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesamanya (Tahir,

L.S., 2007) sangat berpenga ruh terhadap proses penerimaan orang tua karena

Dokumen terkait