BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi peneliti, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai bidang yang diteliti. Dalam hal ini yaitu yang berhubungan dengan pengungkapan corporate social responsibility perusahaan secara luas.
2. Bagi manajemen, investor, stakeholder, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dalam membuat atau mengambil keputusan, khususnya yang berhubungan dengan pengungkapan corporate social responsibility perusahaan.
3. Bagi akademisi dan peneliti selanjutnya, sebagai penambah wawasan serta sebagai bahan literature dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Legitimasi
Legitimasi dapat dianggap sebagai persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, tindakan yang pantas ataupun sesuai dengan sistem nilai, norma, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995). Legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat, pemerintah, individu dan kelompok masyarakat (Gray et al., 1996).
Sebagai suatu sistem yang mengutamakan keberpihakan atau kepentingan masyarakat, legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat kepada perusahaan dapat menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan. O’Donovan (2000) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi dapat mendukung keberlangsungan hidup suatu perusahaan.
Dalam mendukung keberlangsungan hidup perusahaan maka operasi perusahaan harus sesuai dengan harapan dari masyarakat. Deegan et al., (2002) menyatakan legitimasi dapat diperoleh apabila terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan yang tidak mengganggu dan sesuai dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam.
Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat.
2.2 Teori Stakeholder
Teori stakeholder mengungkapkan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri akan tetapi harus memperhatikan kontribusi bagi stakeholder perusahaan seperti pemegang saham, masyarakat, konsumen, analisis, pemerintah, kreditor, supplier dan sebagainya (Ghozali dan Chariri, 2014). Dengan demikian keberadaan perusahaan sangat penting jika dipengaruhi oleh adanya dukungan stakeholder pada perusahaan yang terkait. Gray et al., (1996) mengungkapkan bahwa dukungan stakeholder merupakan hal yang harus diutamakan dan dicari agar keberlangsungan hidup perusahaan tetap terus berjalan dengan baik. Semakin kuat stakeholder maka semakin besar juga peluang usaha bagi perusahaan untuk terus mengambangkan operasinya karena itu pengungkapan CSR menjadi alat berkomunikasi antara perusahaan dan stakeholder.
2.3 Corporate Social Responsibility
2.1.1 Definisi Corporate Social Responsibility
Pada awal perkembangannya, program corporate social responsibility yang paling umum dilaksanakan oleh perusahaan adalah pemberian bantuan sosial (charity) terhadap masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan. Program corporate social responsibility pada tataran ini hanya sekedar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik guna meningkatkan citra positif perusahaan. Kegiatan charity ini tidak mampu menciptakan keberdayaan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan charity, karena pendekatan ini tidak mampu menciptakan dan meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal. Perusahaan mulai melakukan bentuk kepedulian sosial kearah pendekatan community development dan kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development.
Pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH) didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Pembangunan memiliki tiga lingkup kebijakan yang mencakup pembangunan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga kebijakan ini kemudian disebut sebagi Pilar Pembangunan Keberlanjutan. Program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) merupakan alat efektif untuk membuat perusahaan bertanggung jawab pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu berkontribusi pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Saat ini diharapkan
setiap perusahaan di Indonesia wajib melakukan program CSR. Terdapat dua Undang-Undang yang mempertegas bahwa program CSR merupakan kewajiban bagi perseroan terbatas, yakni UU No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (PT) pasal 74 dan UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman Modal dalam pasal 15, 17, dan 34.
UU PT No. 40 tahun 2007 pasal 74 berisi; ayat (1) perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal pasal 15,17, dan 34 berisi; pasal 15 (b) setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dan pasal 17 penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan alokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaanya diatur sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 34 berisi sanksi-sanksi apabila tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 15.
Bowen (1953) memberikan definisi tentang corporate social responsibility, yaitu kewajiban pengusaha untuk merumuskan kebijakan dan membuat keputusan yang sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan corporate social responsibility sebagai komitmen bisnis berperan mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas guna meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan. World Bussiness Council for Sustainable Development (2008) mendefinisikan corporate social responsibility sebagai komitmen perusahaan dalam pemenuhan norma moral secara
kontinuitas, dengan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan dan keluarganya, serta seluruh komunitas lokal dan masyarakat.
Defenisi corporate social responsibility tersebut mengandung konsep yang sama dan disempurnakan melalui ISO 26000 tahun 2010, corporate social responsibility adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari setiap keputusan dan kegiatan perusahaan pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang memberikan kontribusi untuk pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan dan sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (Committee Draft ISO 26000, Guidance on Social Responsibility, 2010).
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa corporate social responsibility adalah bentuk tanggung jawab dan komitmen perusahaan atas setiap keputusan atau tindakan bisnisnya kepada masyarakat lokal dan masyarakat luas, karyawan dan keluarganya, serta lingkungan alam, yang ditunjukkan melalui perilaku yang transparan dan sikap etis yaitu sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat, yang dapat mendukung kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan dengan memperhitungkan harapan pemangku kepentingan.
2.1.2 Prinsip Corporate Social Responsibility
Crowther (2008) menyatakan bahwa terdapat tiga prinsip dasar dalam aktivitas Corporate Social Responsibility, yaitu:
1. Sustainabilitas
Sustainabilitas atau keberlanjutan adalah memperhatikan dampak dari tindakan yang dilakukan sekarang terhadap masa depan. Sumber daya yang terbatas harus digunakan secara bertanggungjawab demi keberlanjutan dan keberlansungan di masa mendatang. Hal yang dapat dilakukan demi keberlanjutan adalah mencari alternatif yang dapat mengantikan sumber daya yang terbatas. Keberlanjutan berarti masyarakat tidak boleh mengunakan sumber daya terbatas secara berlebihan. Salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan dalam upaya keberlanjutan adalah meningkatkan efisiensi dari sumber daya yang digunakan.
2. Akuntabilitas
Implikasi dari akuntabilitas adalah sebuah pelaporan kuantifikasi atas dampak dari tindakan yang diambil perusahaan kepada pihak internal dan pihak ekternal.
Akuntabilitas penting untuk membangun dan melaporkan pengukuran yang tepat dan berguna dalam pengambilan keputusan. Laporan yang memiliki akuntabilitas didasarkan pada:
a. Pemahaman oleh seluruh pihak
b. Relevansi terhadap penguna informasi
c. Dapat diandalkan, yang mencakup akurasi pengukuran, representasi dampak dan bebas dari bias
d. Dapat dibandingkan yaitu konsistensi dalam waktu dan dalam organisasi yang berbeda
3. Transparansi
Transparansi berarti dampak dari tindakan tidak dibedakan dari fakta dan pelaporan atas tindakan tersebut, dapat diketahui oleh pihak internal maupun ekternal.
Transparansi merupakan hal yang penting sehingga seluruh dampak atas aktivitas yang telah dilakukan organisasi harus dapat terlihat secara jelas dari informasi yang disajikan.
2.1.3 Defenisi Corporate Social Responsibility Disclosure
Menurut Sembiring (2005) pengungkapan corporate social responsibility perusahaan atau disebut juga sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting yaitu proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Hackston dan Milne (1996) pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility disclosure) adalah proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Dalam rangka memenuhi prinsip transparansi, banyak perusahaan melakukan pengungkapan atas pelaksanaan corporate social responsibility perusahaan.
Pengungkapan ini menjadi sumber informasi atas pelaksanaan program corporate social responsibility. Pengungkapan corporate social responsibility ini dipandang memiliki banyak manfaat yang dapat menguntungkan perusahaan. Menurut Carroll dan Shabana (2010) bahwa manfaat pengungkapan ini akan membawa pengaruh positif bagi kinerja keuangan, keunggulan kompetitif, kepuasan dan retensi karyawan, serta meningkatkan image perusahaan. Selain itu manfaat jangka panjang dari pengungkapan corporate social responsibility meliputi penciptaan dan peningkatan merek dagang, menambah reputasi dan kepercayaan dari masyarakat, serta memperbesar kapasitas untuk melakukan inovasi (Hery, 2017).
ISO 26000 terkait panduan corporate social responsibility (Guidance on social responsibility) merupakan suatu standar yang memuat panduan perilaku bertanggung jawab sosial bagi organisasi guna berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan yang mengunakan standar The Global Reporting Initiative (GRI) yaitu jaringan organisasi non-pemerintah yang bertujuan mendorong keberlanjutan dan pelaporan lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG).
The Global Reporting Initiative (GRI) mengeluarkan kerangka kerja pelaporan keberlanjutan yang paling banyak digunakan di dunia dan berstandar internasional dalam rangka mendorong transparansi yang lebih besar. Standar GRI menetapkan prinsip pelaporan dan indikator yang dapat digunakan oraganisasi untuk mengukur dan melaporkan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Saat ini standar GRI versi tebaru
yaitu G4, yang terdiri dari 91 item dan dapat mendukung transparansi yang lebih besar serta mendorong tercapainya sustainable development dan sustainable comunity.
Indikator-indikator dalam GRI Standard Disclosure G4 terdiri dari tiga komponen:
1. Indikator kinerja ekonomi (Economic Performance Indicator)
2. Indikator kinerja lingkungan (Environmental Performance Indicator)
3. Indikator kinerja sosial (Social performance indicator) yang terdiri dari 4 aspek, yaitu:
a. Indikator kinerja praktek kerja & kelayakan kerja (Labor Practices & Decent Work Performance Indicator)
b. Indikator Kinerja Hak asasi Manusia (Human Rights Performance Indicator) c. Indikator kinerja masyarakat (Society Performance Indicator)
d. Indikator Kinerja Tanggung jawab Produk (Product Responsibility Performance Indicator).
Ada 91 item yang merupakan bagian dari indikator pengungkapan corporate social responsibility berdasarkan GRI versi 4.0 tertera dalam lampiran No.1 pada halaman 83.
2.4 Karakteristik Perusahaan
Karakteristik perusahaan merupakan sesuatu yang melekat pada perusahaan tersebut sehingga perusahaan dapat dikenali dari sesuatu yang melekat tersebut.
Menurut Jogiyanto (2000) karakteristik perusahaan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi internal perusahaan, yang meliputi kondisi manajemen, organisasi, sumber daya manusia dan keuangan perusahaan yang tercermin dalam kinerja perusahaan. Setiap perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini karakteristik perusahaan yang akan dijelaskan adalah ukuran perusahaan, profil perusahaan, dan leverage perusahaan.
2.2.1 Ukuran Perusahaan
Secara umum ukuran dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu objek. Ukuran perusahaan dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya usaha dari suatu perusahaan atau organisasi (Sholichah, 2015).
Besar kecil ukuran suatu perusahaan dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara dilihat dari total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Dalam penelitian ini ukuran perusahaan diukur dengan mengunakan logaritma natural dari total aktiva atau aset.
Total aktiva dihitung dari nilai aktiva yang dimiliki perusahaan seperti aktiva lancar, aktiva tetap, aktiva tidak berwujud dan aktiva lain.
Secara umum perusahaan besar mendapat banyak perhatian karena melakukan kegiatan yang lebih banyak, membuat dampak yang lebih besar kepada masyarakat dan memiliki banyak pemegang saham sehingga, perusahaan besar akan meningkatkan
pengungkapan informasi corporate social responsibility yang lebih luas dan lengkap dari pada perusahaan kecil karena pengungkapan informasi ini akan meningkatkan kinerja dan image perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Cowen et al., (1987) bahwa perusahaan yang lebih besar mungkin memiliki pemegang saham yang lebih banyak dan beragam serta mendapat perhatian dari masyarakat sehingga lebih memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan dalam laporan tahunan (annual report). Selain itu perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar sehingga membuat perusahaan mampu untuk membiayai penyajian informasi terkait perusahaan seperti penyajian informasi tanggung jawab sosial perusahaan.
2.2.2 Profil Perusahaan
Profil perusahaan (tipe industri) dapat dibedakan menjadi industri high profile dan low profile. Roberts (1992) mengambarkan industri low profile yaitu perusahaan dengan tingkat sensitivitas yang rendah terhadap lingkungan (visibility consumer), tingkat resiko politik yang rendah dan daya saing yang rendah. Industri high profile adalah perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan (visibility consumer), tingkat resiko politik yang tinggi, tingkat daya saing yang ketat. Selain itu perusahaan yang tergolong high profile pada umumnya memiliki karakteristik seperti jumlah tenaga kerja yang banyak dan dalam proses produksi mengeluarkan limbah atau polusi yang tinggi (Zuhroh dan Sukmawati, 2003).
Menurut Roberts dalam Hackston & Milne (1996) kriteria untuk menentukan perusahaan high profile pada perusahaan manufaktur termasuk dalam kategori high profile adalah perusahaan yang bergerak di bidang bahan kimia, semen, plastik, kertas,
otomotif, makanan dan minuman, rokok, farmasi, kosmetik. Perusahaan manufaktur yang termasuk dalam kategori low profile adalah perusahaan yang bergerak di bidang berkeramik, logam, pakan hewan, kayu, mesin dan alat berat, tekstil, alas kaki, kabel, elektronik, dan perkakas/perabotan (keperluan rumah tangga).
Dierkes dan Preston dalam Hackston dan Milne (1996) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan lebih mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan industri yang lain. Cowen et al., (1987) mengatakan bahwa perusahaan yang berorientasi pada konsumen diperkirakan akan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban sosial karena hal ini akan meningkatkan image perusahaan.
2.2.3 Leverage
Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan utang atau sejauh mana aset perusahaan dibiayai dengan utang. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh kewajibannya, baik kewajiban jangka panjang atau pendek (Hery, 2017). Adapun dalam penelitian ini rasio leverage diukur dengan mengunakan total debt to equity ratio. Debt to equity ratio diukur dengan membandingkan total utang dengan total modal.
Pengunaan utang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam extreme leverage (utang ektrem). Utang ektrem adalah suatu kondisi dimana perusahaan terjebak dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit
untuk melepaskan beban utang tersebut. Sebaiknya perusahaan harus mempertimbangkan dan menyeimbangkan berapa utang yang layak diambil dan dari mana sumber-sumber yang dapat dipakai untuk utang. Andrikopoulus dan Kriklani (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan mengurangi luas pengungkapan corporate social responsibility. Hal ini disebabkan biaya pengungkapan yang mahal sehingga perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi cenderung lebih sedikit melakukan pengungkapan corporate social responsibility sebaliknya perusahaan yang memiliki leverage yang rendah akan lebih leluasa dalam membagi informasi corporate social responsibility.
2.5 Agresivitas pajak
Pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik guna pembangunan suatu negara. Secara administratif pungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung dilihat dari aliran sumber daya pajak dapat dipungut dari aliran masuk atau keluarnya sumber daya (James dan Nobes, 1997).
Pajak langsung dikenakan atas masuknya aliran sumber daya yaitu penghasilan, sedangkan pajak tidak langsung dikenakan terhadap keluar masuknya sumber daya seperti pengeluran untuk konsumsi atas barang maupun jasa. Beban pajak langsung (tax incidence) umumnya ditanggung oleh orang atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan beban pajak tidak langsung ditanggung oleh masyarakat. Bagi perusahaan pajak langsung dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dan dianggap sebagai biaya (cost) atau beban.
Lanis dan Richardson (2013) menyatakan bagi perusahaan pajak merupakan faktor pendorong dalam keputusan perusahaan. Dalam praktik usaha pada umumnya perusahaan berusaha meminimalkan pembayaran pajak (beban pajak) guna mengoptimalkan laba. Selain itu manajer cenderung menekan biaya seoptimal mungkin termasuk biaya pajak guna meningkatkan efisiensi dan daya saing karena, biaya pajak akan menurunkan laba setelah pajak (after tax profit), tingkat pengembalian (rate of return) dan arus kas (cash flow). Tindakan manajerial yang dirancang untuk meminimalkan beban pajak perusahaan sering disebut dengan agresivitas pajak.
Menurut Slemrod (2004) agresivitas pajak merupakan aktivitas yang spesifik, yang mencakup transaksi-transaksi dimana tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Khuruna dan Moser (2009) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai tax planning perusahaan melalui aktivitas tax avoidance atau tax sheltering. Perencanaan pajak (tax planning) dapat berupa tindakan sesuai hukum (tax avoidance), berada diketidakjelasan hukum (area abu-abu), ataupun yang sifatnya melanggar hukum (tax evidence), sedangkan menurut Frank et al., (2009) mengungkapkan agresivitas pajak dirancang sedemikian rupa yang bertujuan untuk meminimalisir tingginya pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pada suatu perusahaan dengan melakukan agresivitas pajak dalam artian penghindaran pajak.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan tindakan ini dapat menurunkan pendapatan pajak yang diterima pemerintah. Penerimaan atas pajak ini memiliki peranan penting karena menyediakan barang dan jasa publik seperti pendidikan, pertahanan nasional, perawatan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum (Sikka,
2010). Penerimaan ini akan membantu pembangunan bagi suatu negara. Sehingga kekurangan pendapatan pajak yang diterima pemerintah dapat memperburuk reputasi perusahaan dipandangan stakeholder terutama masyarakat.
Teori legitimasi menyatakan apabila terdapat perbedaan antara kegiatan perusahaan dan harapan masyarakat, maka manajemen mengunakan media pengungkapan seperti laporan tahunan untuk membantu meringankan perhatian masyarakat (Gray et al., 1995). Semakin tinggi tindakan agresivitas pajak, diharapkan perusahaan dapat memaksimumkan pengungkapan corporate social responsibility perusahaan. Pengungkapan ini sebagai salah satu sarana yang menunjukkan bahwa perusahaan dapat memenuhi harapan masyarakat (Deegan et al., 2002).
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder seperti pemegang saham, pemerintah, kreditur, konsumer, supplier, masyarakat dan pihak lain (Chariri, 2008). Untuk itu dalam melakukan kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dalam aktivitas operasi perusahaan.
2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pengungkapan corporate social responsibility perusahaan telah dilakukan oleh Sari (2012) yang melakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh antara karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Karakteristik-karakteristik yang digunakan terdiri dari profil perusahaan, ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan pertumbuhan perusahaan. Profil perusahaan di
ukur mengunakan variabel dummy. Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural dari total aktiva. Leverage diukur dengan mengunakan Debt to Equity Ratio (DER) yaitu rasio yang mengukur total kewajiban terhadap modal sendiri (shareholders equity). Penelitian ini menunjukkan ukuran perusahaan dan profitabilitas memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial, sementara profil perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Leverage dan pertumbuhan perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penelitian kedua dilakukan oleh Aggraini (2006). Penelitian ini menguji tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Faktor-faktor yang diuji pengaruhnya yaitu persentase kepemilikan manajemen, tingkat leverage, biaya politis dan profitabilitas. Presentase kepemilikan saham diukur dengan membandingkan presentase kepemilikan saham dalam perusahaan. Leverage diukur dengan presentase rasio debt to equity ratio. Biaya politis seperti ukuran perusahaan diukur dengan kapitalisasi pasar dan tipe industri mengunakan variabel dummy. Penelitian ini menunjukkan variabel presentase kepemilikan manajemen dan tipe industri yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan perusahaan dalam mengungkapkan tanggung jawab sosial. Penelitian ini tidak berhasil menunjukkan pengaruh ukuran perusahaan, leverage dan profitabilitas terhadap kebijakan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Wardhani (2017). Penelitian ini menguji pengaruh agresivitas pajak, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Sampel dalam perusahaan ini adalah
perusahaan manufaktur. Agresivitas pajak diukur dengan mengunakan variabel dummy yang dapat dilihat dari presentase nilai Effective Tax Rates. Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma total aset dan profitabilitas diukur dengan rasio ROA. Variabel kontrol dalam penelitian ini meliputi ukuran perusahaan, leverage perusahaan, intensitas modal dan market to book ratio. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan yang melakukan agresivitas pajak akan mengungkapkan informasi CSR lebih banyak dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan. Semakin besar ukuran perusahaan semakin banyak pengungkapan informasi CSR yang dilakukan dan profitabiitas berpengaruh negatif terhadap pengungkapan informasi CSR.
Penelitian keempat dilakukan oleh Octaviana dan Rohman (2014). Penelitian ini
Penelitian keempat dilakukan oleh Octaviana dan Rohman (2014). Penelitian ini