• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

Dalam dokumen SURAT PERNYATAAN KEASLIAN (Halaman 21-33)

1.6.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam pembaharuan hukum pidana khususnya di bidang perlindungan saksi dan korban serta sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pidana, khususnya terhadap perlindungan hukum bagi keluarga korban tindak pidana terorisme.

1.6.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan perlindungan terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme.

xxii 1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis diperlukan dalam rangka memberikan landasan terhadap pembahasan terkait dengan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme agar lebih terfokus pada tujuan yang hendak dicapai dalam rumusan masalah, maka diperlukan teori, konsep, asas-asas hukum maupun pendapat sarjana yang dijadikan dasar acuan dalam penelitian ini yaitu, Teori Negara Hukum, Asas Perlindungan Saksi dan Korban, Teori Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum Pidana dan Teori Hak Asasi Manusia.

1.7.1. Teori Negara Hukum

Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Menurut Abdul Aziz Hakim, negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya.9 Konsekuensi dari dianutnya negara hukum ialah segala kewenangan dan tindakan alat-alat kelengkapan negara atau penguasa semata-mata berdasarkan hukum.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtstaat”.

9 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogakarta, h.8.

xxiii

Menurut Wirjono Projadikoro dalam Abudl Aziz Hakim, penggabungan kata-kata Negara dan Hukum, yaitu istilah “Negara Hukum” berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya meliputi:

a. Semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan

b. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 10

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dipelopori oleh A.V. Dicey dengan istilah The Rule of Law”.11 A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu:

a. Supremacy of law. b. Equality before the law. c. Due process of law.12

Sedangkan Julius Stahl dalam bukunya Ridwan H.R., mengemukakan unsur-unsur dari negara hukum (rechstaat) antara lain:

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan;

10 Ibid., h.9.

11 Jimly Asshiddique, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://www.jimly.com/makalah/ namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses tanggal 24 September 2016.

xxiv

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.13

Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak diskriminatif.

1.7.2. Asas Perlindungan Saksi dan Korban

Keberadaan saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana rentan mendapatkan ancaman yang dapat membahayakan diri mereka sendiri, keluarga maupun harta bendanya. Oleh karena itu sudah sepantasnya baik saksi maupun korban mendapatkan perlindungan dari hal tersebut.

Mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di dalam Pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, perlindungan saksi dan korban berasaskan pada:

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia. b. Rasa aman.

c. Keadilan.

d. Tidak diskriminatif, dan

13 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.4.

xxv

e. Kepastian hukum.

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur tentang perlindungan hukum yang lebih menekankan pada hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian, terdapat beberapa asas dalam KUHAP yang dapat dijadikan landasan perlindungan korban, misalnya:

a. Perlakuan yang sama di depan hukum b. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan c. Peradilan yang bebas

d. Peradilan terbuka untuk umum e. Ganti kerugian

f. Keadilan dan kepastian hukum.14 1.7.3. Teori Penemuan Hukum

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “...proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk peristiwa hukum yang konkret”.15

Menurut Paul Scholten “...yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus

14 Bambang Waluyo, 2014, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, h.36.

15 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.37.

xxvi

ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi maupun rechsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum)”.16

Kesimpulan yang didapat dari pendapat para ahli diatas, penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu. Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.17 Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.18 Sedangkan dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu

16 Achmad Ali, 2011, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, h.106.

17 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.10.

18 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, h. 13.

xxvii

akan hukumnya.19 Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.20 Hakim wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu metode interpretasi atau penafsiran dan metode konstruksi hukum.21

a. Metode Interpretasi atau Penafsiran

Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:

1) Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;

19 Ahmad Rifai, op.cit, h.74.

20 Sudikno Mertokusumo, op.cit, h.161.

xxviii

2) Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;

3) Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;

4) Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;

5) Interpertasi komparatif, merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;

6) Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);

7) Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;

8) Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;

9) Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;

10) Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;

11) Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.22

b. Metode Konstruksi Hukum

xxix

Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas.23

Metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:

1) Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;

2) Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;

3) Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu

xxx

abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;

4) Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.24

1.7.4. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Istilah kebijakan berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Istilah politik hukum pidana ini, dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”.25

Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.26

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum

24 Ahmad Rifai, loc.cit.

25 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakam Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h.22.

xxxi

pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).27

Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi suatu saat;

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.28

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif), yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana;

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial), yaitu tahap penerapan hukum pidana;

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif), yaitu pelaksanaan hukum pidana.29

Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat

27 Ibid, h.24.

28 Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, h.20.

xxxii

dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 30

1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaaanya diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.31 HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah kehidupan yang layak pada tarafnya yang paling minimum.32

Secara etimologis, hak asasi manusia terbentuk dari tiga suku kata: hak, asasi dan manusia. Hak dan asasi berasal dari Bahasa Arab, sedangkan manusia adalah kata dalam Bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq. Kata haqq diambil dari akar kata haqqa, yahiqqu, haqqaan artinya benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Berdasarkan pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, dan

30 Barda Nawawi Arif, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Barda

Nawawi Arief II), h.80.

31 Majda El Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945

Sampai Dengan Amandemen UUD 1945, Cetakan ke 4, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Majda

El Muhtaj II), h. 6.

32 Marianus Kleden, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera, Yogyakarta, h.69.

xxxiii

meletakkan. Kata asas adalah bentu tunggal dari kata usus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu, dengan demikian kata asasi diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia yang berarti bersifat dasar atau pokok.33

Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusa. Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi. Ketiga, teori relativis kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu bentuk antitesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural lain, yang disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism). Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak (repositiory of all rights).34

Dalam dokumen SURAT PERNYATAAN KEASLIAN (Halaman 21-33)

Dokumen terkait