• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURAT PERNYATAAN KEASLIAN"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, Maret 2017 Yang menyatakan,

Anak Agung Ayu Nadia Andina Putri 1303005252

(2)

ii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRACT ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 11

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 12 1.5 Tujuan Penelitian ... 13 1.5.1. Tujuan Umum ... 13 1.5.2. Tujuan Khusus ... 13 1.6 Manfaat Penelitian ... 14 1.6.1. Manfaat Teoritis ... 14

(3)

iii 1.6.2. Manfaat Praktis ... 14 1.7 Landasan Teoritis ... 14 1.8 Metode Penelitian... 26 1.8.1. Jenis Penelitian ... 26 1.8.2. Jenis Pendekatan ... 27

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ... 28

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 30

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 30

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, KELUARGA KORBAN, TINDAK PIDANA TERORISME ... 31 2.1. Perlindungan Hukum ... 31

2.1.1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 31

2.1.2. Perlindungan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana ... 32

2.1.3. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana ... 34

2.2. Keluarga Korban ... 36

2.2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keluarga ... 36

2.2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Korban ... 38

2.2.3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keluarga Korban ... 45

2.3. Tindak Pidana Terorisme ... 45

(4)

iv

2.4.2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme ... 48 2.4.3. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terorisme ... 50

BAB III. PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KELUARGA KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME

MENURUT HUKUM POSITIF

INDONESIA... 53

3.1. Pengaturan Perlindungan Hukum terhadap Keluarga Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Peraturan Perundangan-undangan Indonesia ... 53

3.2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Keluarga Korban Tindak Pidana

Terorisme ... 58

BAB IV. PENGATURAN PEMBERIAN KOMPENSASI BAGI

KELUARGA KORBAN TINDAK PIDANA INDONESIA DI MASA

MENDATANG... 68

(5)

v

4.1. Perbandingan Hukum terhadap Beberapa Negara Mengenai Pengaturan Pemberian Kompensasi bagi Keluarga Korban Tindak Pidana

Terorisme ... 68

4.2. Kebijakan Hukum Pidana Terkait Pemberian Kompensasi bagi Keluarga Korban Tindak Pidana Terorisme di Masa Mendatang ... 71 ... BAB V PENUTUP ... 77 5.1. Kesimpulan ... 77 5.2. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN SKRIPSI

(6)

vi ABSTRAK

Tindak pidana terorisme sudah menjadi bagian dari extraordinary crimes yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya Tindak pidana terorisme tidak hanya berdampak bagi korban tetapi juga keluarganya. Keluarga korban tindak pidana secara umum mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bentuk perlindungan hukum yang diperoleh berupa pemberian kompensasi, restitusi serta rehabilitasi. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa pemberian kompensasi bagi keluarga korban tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun hingga saat ini Undang-Undang Terorisme belum memilki peraturan pelaksana yang mengatur mengenai pemberian kompensasi kepada korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme. Penelitian ini akan membahas mengenai perlindungan hukum keluarga korban tindak pidana terorisme dan pengaturan pemberian kompensasi kepada keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia ke depannya (Ius Constituendum).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan faktual dan pendekatan perbandingan hukum.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa keluarga korban tindak pidana terorisme termasuk sebagai korban tidak langsung dan diakui keberadaannya serta diberikan perlindungan hukum dalam Undang Perlindungan Saksi Korban dan Undang Terorisme, berupa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undang-Undang Terorisme belum memiliki peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pemberian kompensasi kepada keluarga korban tindak pidana terorisme sehingga diperlukan kebijakan hukum pidana terkait pengaturan pemberian kompensasi kepada korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme.

(7)

vii ABSTRACT

Terrorism is classified as extraordinary crime due which means it’s a special dimension crime which make terrorism is different to any other crimes. Terrorism doesn’t only affect those who directly injured or killed as the victims of terrorism but also their families. Family of crime victims generally are protected with Act No. 13 of 2006 jo. Act Number 31 of 2014 concerning Protection of Victims and Witnesses. The protection consist of compensation, restitution and rehabilitation. Furthermore on Article 7 section 4 stated that compensation for terrorism victims are taken off based on Act No. 15 of 2003 concerning Anti-Terrorism. However, the Anti-Terrorism Act still have no implementing regulation concerning the distribution mechanism on compensation to victim’s family. This research will discuss about legal protection of terrorism victim’s family and the regulation of distribution mechanism on compensation for terrorism victim’s family in the future (Ius Constituendum).

The method used on this research is normative legal research, with conceptual, statute and comparative approach.

The results conducted from this research are terrorism victim’s family are classified as indirect victims and protected in form of compensation, restitution, and rehabilitation regulated by the Protection of Victims and Witnesses Act and the Anti-Terrorism Act. The Anti-Anti-Terrorism Act still have no implementing regulation concerning distribution mechanism on compensation to terrorism victims and their family therefore it is needed to have one in the future.

(8)

viii BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi sekarang ini, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi tidak dapat dibendung lagi. Modernisasi jaman di dalam segala aspek kehidupan manusia, terutama kemajuan dan pemanfaatan di bidang tersebut di atas memang memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan manusia. Bagai uang koin yang memiliki dua buah sisi, kemajuan tersebut selain memberikan dampak yang positif juga memiliki dampak negatif bagi kehidupan manusia. Modernisasi telah cukup banyak berkontribusi dalam melahirkan berbagai bentuk, jenis dan modus operandi kejahatan baru.

Kejahatan yang timbul dewasa ini telah mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan jaman. Melalui perkembangan jaman tersebut, kejahatan yang timbul tidak hanya dilakukan oleh seseorang, melainkan secara terorganisir, dapat dilakukan di luar yurisdiksi suatu negara yang menimbulkan korban yang sedemikian besar, baik dari segi materil maupun non materil. Salah satunya adalah tindak pidana terorisme. Fauzan Al-Anshari mendefinisikan terorisme sebagai

(9)

ix

tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara.1

Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun, dimana pun dan menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi terorisme sangat besar. Indriyanto Seno Adjie menyatakan bahwa terorisme sudah menjadi bagian dari extraordinary crimes yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia/orang-orang yang tidak berdosa.2 Maraknya aksi terorisme yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Terorisme telah menunjukkan gerakan nyata sebagai tragedi atas hak asasi manusia.

Tindak pidana terorisme bukan merupakan hal baru di Indonesia. Beberapa aksi terorisme pernah terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia, diantaranya adalah bom Bali pertama pada tanggal 12 Oktober 2002, bom Bali kedua pada tanggal 1 Oktober 2005, bom Hotel JW Marriot di Jakarta pada 17 Juli 2009, bom di Plaza Sarinah Jakarta pada 14 Januari 2016, serta yang paling baru terjadi yaitu aksi bom bunuh diri di halaman Mapolresta Solo pada tanggal 5 Juli 2016 kemarin.

1 Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika

Aditama, Bandung, h.31.

2 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban

(10)

x

Aksi terorisme yang terjadi di Bali pada tahun 2002 yang dikenal dengan Bom Bali I telah merenggut korban jiwa sebanyak 202 orang. Sebanyak 164 orang diantaranya adalah warga negara asing dari 24 negara dan 38 orang lainnya adalah warga negara Indonesia. Selain itu, bom yang meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club di Legian tersebut juga menimbulkan korban luka-luka sebanyak 209 orang. Belum lagi kerugian harta benda yang harus dialami korban, serta kerugian lainnya yang bersifat psikologis seperti trauma, kehilangan pekerjaan, kehilangan masa depan, dan sebagainya. Kejadian tersebut dianggap sebagai aksi terorisme terparah yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.3 Atas kejadian tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut Perppu Terorisme), yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Terorisme).

Sebelum kejadian Bom Bali I, aksi terorisme telah cukup banyak terjadi di Indonesia seperti misalnya pengeboman pada Desember 2000 di sejumlah gereja yang tengah merayakan hari raya Natal di kawasan Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru.

3 Anonim, 2002, “Bom Bali I Renggut 202 Nyawa” http://news.liputan6.com/read/2117622/

(11)

xi

Kejadian Bom Bali I merupakan kejadian terorisme yang paling banyak menyedot perhatian tidak hanya di dalam negeri melainkan juga hingga dunia internasional, mengingat korban-korban yang berjatuhan tidak hanya berasal dari Indonesia melainkan juga dari beberapa negara lain di dunia. Tidak berselang lama, pada tanggal 5 Agustus 2003 kembali terjadi aksi terorisme meledaknya bom di Hotel J.W. Marriot yang menjatuhkan korban sebanyak 14 orang meninggal dunia dan 156 lainnya luka-luka. Dua tahun kemudian, aksi terorisme kembali terjadi Bali berupa peledakan bom di beberapa kafe di daerah Kuta dan Jimbaran pada 1 Oktober 2005 yang dikenal dengan Bom Bali II yang menewaskan sebanyak 22 orang dan melukai 196 orang lainnya. Tidak hanya sampai disana, kembali terjadi peristiwa peledakan bom bunuh diri di kawasan Hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta pada 17 Juli 2009 yang menjatuhkan korban sebanyak sembilan orang meninggal dan lima pulu lainnya luka-luka. Hingga pada tahun 2016 kemarin terjadi peledakan bom dan baku tembak di kawasan Plaza Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta pada 14 Januari 2016 yang lalu. Sedikitnya delapan orang, empat dari pelaku penyerangan teror dan empat warga sipil dilaporkan tewas dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini.4

Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi negara wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh

4 Ade P. Marboen, 2016, “Ringkasan Teror Bom di Indonesia”, http://www.antaranews.com/b

(12)

xii

negara untuk memberikan rasa aman kepada warga negaranya, salah satunya kepada korban tindak pidana terorisme.

Secara umum, korban merupakan individu atau kelompok yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan kejahatan.5 Korban tindak pidana dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu korban langsung (direct victims) dan korban tidak langsung (indirect victims). Korban langsung (direct victims) adalah korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan, sedangkan korban tidak langsung (indirect victims) adalah korban dari turut campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak kejahatan, dalam hal ini pihak ketiga, dan/atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti istri/suami, anak, dan keluarga terdekat.6 Maka yang termasuk korban tidak hanya mereka yang mengalami kerugian atau penderitaan secara langsung akibat dari tindak pidana namun juga keluarga dari korban langsung itu sendiri yang secara tidak langsung turut mengalami kerugian atau penderitaan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, pria hingga wanita, warga sipil hingga aparat

5 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit, h.27.

6 C. Maya Indah S., 2014, Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan

(13)

xiii

keamanan. Oleh karena itu diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para korban dari tindak pidana terorisme, baik bagi korban langsung (direct victims) maupun korban tidak langsung (indirect victims) yaitu keluarganya. Guna mengurangi dan/atau memulihkan keadaan korban maupun keluarganya, perlu diupayakan bentuk-bentuk perlindungan yang sifatnya komprehensif.

Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana terorisme tidak hanya ditujukan bagi korban yang secara langsung mengalami kerugian melainkan juga bagi keluarganya, mengingat mereka juga mengalami penderitaan berupa kerugian, baik kerugian psikologis maupun kerugian ekonomi. Kondisi keluarga korban tindak pidana terorisme tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan sekitar seribu korban bom di Indonesia belum mendapatkan kompensasi dari negara karena terkendala prosedur mengingat tidak adanya proses peradilan yang baru. Terdapat sekitar seribu korban bom yang belum mendapat ganti rugi atau kompensasi tersebut terjadi pada peristiwa sekitar tahun 2001 dari kasus bom di Jakarta, Bom Bali I dan II, Bom Kedubes Australia, Bom JW Marriot dan peristiwa bom yang sudah selesai masa peradilannya.7 Sebelumnya, korban tindak pidana terorisme Bom Bali juga telah melaporkan ke LPSK terkait adanya hak-hak mereka selama ini yang belum diperhatikan oleh pemerintah

7 Dewa Wiguna, 2016, “LPSK Ungkap Seribu Korban Bom Belum dapat Kompensasi”.

http://www.antaranews.com/berita/596481/lpsk-ungkap-seribu-korban-bom-belum-dapat-kompensasi diakses tanggal 4 Maret 2017.

(14)

xiv

sebagai korban tindak kejahatan terorisme. Kondisi kehidupan keluarga korban Bom Bali cukup rentan dan mengalami kesulitan baik dalam mengakses ekonomi, pendidikan hingga kesehatan.8 Salah satu korban dari tindak pidana terorisme yang pernah terjadi di Indonesia tepatnya di Bali pada kejadian Bom Bali I adalah Ibu Tiolina Marpaung yang pada saat kejadian sedang berada di dalam mobil bersama kedua rekannya. Beliau mengalami luka pada bagian matanya yaitu masuknya beberapa pecahan beling yang mengenai lensa matanya. Menurut beliau, semenjak tahun 2002 hingga saat ini beliau belum mendapatkan bantuan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah, bantuan yang beliau dapat berasal dari pihak swasta negara Australia berupa pembiayaan biaya perawatan medis. Adapun yang menjadi penyebab belum adanya perlindungan hukum dari negara salah satunya ialah para korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme tersebut sebagian besar tidak tahu bagaimana cara mengajukan permohonan perlindungan hukum terhadapnya dikarenakan belum adanya aturan yang jelas dan lengkap mengenai pengajuan permohonan perlindungan hukum baik berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi maupun bantuan lainnya.

Mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana secara umum, pemerintah melalui lembaga legislatif telah membentuk peraturan khusus mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian

8 Anonim, 2015, “Tuntut Hak, Keluarga Korban Bom Bali Mengadu ke LPSK”, http://www.

(15)

xv

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi Korban), mengingat pentingnya keberadaan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan bagi korban tindak pidana terorisme secara khusus telah diatur dalam UU Terorisme.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi Korban, korban dan saksi memperoleh hak antara lain: (a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; (b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; (c) memberikan keterangan tanpa tekanan; (d) mendapat penerjemah; (e) bebas dari pertanyaan yang menjerat; (f) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; (g) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; (h) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; (i) dirahasiakan identitasnya; (j) mendapat identitas baru; (k) mendapat tempat kediaman sementara; (l) mendapat tempat kediaman baru; (m) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; (n) mendapat nasihat hukum; (o) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; (p) mendapat pendampingan. Tidak hanya hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi Korban, dalam Pasal 6 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa korban tindak pidana terorisme juga berhak mendapatkan: (a) bantuan medis; (b) bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Lebih lanjut, di dalam Pasal 7 UU Perlindungan Saksi

(16)

xvi

Korban juga memberikan hak kepada korban atau ahli warisnya dari tindak pidana terorisme selain hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Perlindungan Saksi Korban, yaitu hak atas kompensasi, dan hak atas restitusi yang diatur dalam Pasal 7A Perlindungan Saksi Korban. Mengenai pemberian kompensasi kepada korban atau keluarganya tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

Mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Terorisme diatur dalam Pasal 36 yang menyebutkan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Adapun Pasal 38 UU Terorisme mengatur mengenai pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, Pasal 39 UU Terorisme mengatur mengenai rentang waktu pengajuan kompensasi dan restitusi, Pasal 40 UU Terorisme mengatur mengenai pelaksanaan kompensasi dan restitusi tersebut.

Pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana yang diatur dalam UU Perlindungan Saksi Korban, mengenai tata cara pengajuan permohonannya diatur secara khusus dalam suatu peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban (selanjutnya disebut PP 44/2008). Berbeda dengan UU Terorisme, mengenai prosedur pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi maupun prosedur pemberiannya belum secara khusus diatur, sehingga diperlukan suatu peraturan pelaksana khusus yang mengatur mengenai prosedur atau tata cara pengajuan permohonan dan pemberian

(17)

xvii

kompensasi dan restitusi tersebut. Oleh karena UU Perlindungan Saksi Korban telah mengamanatkan mengenai pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme pada UU Terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (4) UU Perlindungan Saksi Korban yang berbunyi sebagai berikut: “Pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.” Hal tersebut berarti mengenai pemberian kompensasi terhadap korban dan keluarganya yang disebabkan oleh tindak pidana terorisme tidak lagi diatur dalam UU Perlindungan Saksi Korban, sehingga PP 44/2008 sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Saksi dan Korban juga tidak bisa dijadikan acuan bagi UU Terorisme untuk memberikan kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana terorisme.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka UU Terorisme hingga saat ini belum memiliki peraturan pelaksana untuk memberikan kompensasi dan restitusi kepada korban tindak pidana terorisme dan keluarganya berupa peraturan pemerintah, sehingga terjadi kekosongan norma (leemien van normen). Beranjak dari paparan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan berusaha menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP KELUARGA KORBAN TINDAK PIDANA

TERORISME”.

(18)

xviii

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme dalam hukum positif Indonesia (Ius Constitutum)?

2. Bagaimana pengaturan pemberian kompensasi kepada keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia ke depannya (Ius Constituendum)?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Menghindari penyimpangan yang tidak diperlukan karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang lingkup bahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.3.1. Membahas mengenai kedudukan hukum dari keluarga korban tindak pidana terorisme dalam hukum pidana Indonesia saat ini, apakah mereka mendapat perlindungan hukum serta dijelaskan mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukumnya.

1.3.2. Membahas mengenai perbandingan hukum terhadap beberapa negara mengenai perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme, serta mengenai pengaturan pemberian kompensasi terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia di masa mendatang.

(19)

xix 1.4 Orisinalitas Penelitian

Menunjukan orisinalitas penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan perpustakaan, dari pemeriksaan tersebut disampaikan bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis namun berbeda dari segi substansinya.

Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

No. Peneliti Judul Penelitian Rumusan Masalah

1. Wahyudi Iswanto

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Korban Terorisme.

E-Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Tahun 2015 1. Bagaimana pengaturan terhadap korban tindak pidana terorisme? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak korban tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2003?

(20)

xx

2. A.A. Ayu Winda Sandra Devi Pengaturan dan Mekanisme Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi dalam Tindak Pidana Terorisme E-Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2014. 1. Bagaimana pengaturan dan mekanisme pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dalam tindak pidana terorisme? 1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.5.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia.

(21)

xxi

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme menurut hukum positif Indonesia (Ius Constitutum).

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pemberian kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme di Indonesia ke depannya (Ius Constituendum).

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam pembaharuan hukum pidana khususnya di bidang perlindungan saksi dan korban serta sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pidana, khususnya terhadap perlindungan hukum bagi keluarga korban tindak pidana terorisme.

1.6.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan perlindungan terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme.

(22)

xxii 1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis diperlukan dalam rangka memberikan landasan terhadap pembahasan terkait dengan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme agar lebih terfokus pada tujuan yang hendak dicapai dalam rumusan masalah, maka diperlukan teori, konsep, asas-asas hukum maupun pendapat sarjana yang dijadikan dasar acuan dalam penelitian ini yaitu, Teori Negara Hukum, Asas Perlindungan Saksi dan Korban, Teori Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum Pidana dan Teori Hak Asasi Manusia.

1.7.1. Teori Negara Hukum

Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Menurut Abdul Aziz Hakim, negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya.9 Konsekuensi dari dianutnya negara hukum ialah segala

kewenangan dan tindakan alat-alat kelengkapan negara atau penguasa semata-mata berdasarkan hukum.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtstaat”.

9 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar,

(23)

xxiii

Menurut Wirjono Projadikoro dalam Abudl Aziz Hakim, penggabungan kata-kata Negara dan Hukum, yaitu istilah “Negara Hukum” berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya meliputi:

a. Semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan

b. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 10

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dipelopori oleh A.V. Dicey dengan istilah The Rule of Law”.11 A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu:

a. Supremacy of law. b. Equality before the law. c. Due process of law.12

Sedangkan Julius Stahl dalam bukunya Ridwan H.R., mengemukakan unsur-unsur dari negara hukum (rechstaat) antara lain:

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan;

10 Ibid., h.9.

11 Jimly Asshiddique, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://www.jimly.com/makalah/

namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses tanggal 24 September 2016.

(24)

xxiv

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.13

Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak diskriminatif.

1.7.2. Asas Perlindungan Saksi dan Korban

Keberadaan saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana rentan mendapatkan ancaman yang dapat membahayakan diri mereka sendiri, keluarga maupun harta bendanya. Oleh karena itu sudah sepantasnya baik saksi maupun korban mendapatkan perlindungan dari hal tersebut.

Mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di dalam Pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, perlindungan saksi dan korban berasaskan pada:

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia. b. Rasa aman.

c. Keadilan.

d. Tidak diskriminatif, dan

13 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada,

(25)

xxv

e. Kepastian hukum.

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur tentang perlindungan hukum yang lebih menekankan pada hak-hak tersangka atau terdakwa. Namun demikian, terdapat beberapa asas dalam KUHAP yang dapat dijadikan landasan perlindungan korban, misalnya:

a. Perlakuan yang sama di depan hukum b. Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan c. Peradilan yang bebas

d. Peradilan terbuka untuk umum e. Ganti kerugian

f. Keadilan dan kepastian hukum.14 1.7.3. Teori Penemuan Hukum

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “...proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk peristiwa hukum yang konkret”.15

Menurut Paul Scholten “...yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus

14 Bambang Waluyo, 2014, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta,

h.36.

15 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

(26)

xxvi

ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi maupun rechsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum)”.16

Kesimpulan yang didapat dari pendapat para ahli diatas, penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu. Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.17 Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.18 Sedangkan dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu

16 Achmad Ali, 2011, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor,

h.106.

17 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.10.

18 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra

(27)

xxvii

akan hukumnya.19 Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.20 Hakim wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu metode interpretasi atau penafsiran dan metode konstruksi hukum.21

a. Metode Interpretasi atau Penafsiran

Arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:

1) Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;

19 Ahmad Rifai, op.cit, h.74.

20 Sudikno Mertokusumo, op.cit, h.161. 21 Achmad Ali, op.cit, h.121.

(28)

xxviii

2) Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;

3) Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;

4) Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;

5) Interpertasi komparatif, merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;

6) Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);

7) Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;

8) Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;

9) Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;

10) Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;

11) Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.22

b. Metode Konstruksi Hukum

(29)

xxix

Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. Nilai adil itu menghendaki terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sama, sedangkan nilai kemanfaatan itu ukurannya terletak pada kegunaan hukum baik bagi diri pencari keadilan, para penegak hukum, pembuat undang-undang, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat luas.23

Metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:

1) Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;

2) Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;

3) Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu

(30)

xxx

abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;

4) Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.24

1.7.4. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Istilah kebijakan berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Istilah politik hukum pidana ini, dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”.25

Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.26

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum

24 Ahmad Rifai, loc.cit.

25 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakam Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), h.22.

(31)

xxxi

pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).27

Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi suatu saat;

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.28

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif), yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana;

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial), yaitu tahap penerapan hukum pidana;

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif), yaitu pelaksanaan hukum pidana.29

Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat

27 Ibid, h.24.

28 Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, h.20. 29 Barda Nawawi Arief I, op.cit, h.24.

(32)

xxxii

dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 30

1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaaanya diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.31 HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah kehidupan yang layak pada tarafnya yang paling minimum.32

Secara etimologis, hak asasi manusia terbentuk dari tiga suku kata: hak, asasi dan manusia. Hak dan asasi berasal dari Bahasa Arab, sedangkan manusia adalah kata dalam Bahasa Indonesia. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq. Kata haqq diambil dari akar kata haqqa, yahiqqu, haqqaan artinya benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Berdasarkan pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan artinya membangun, mendirikan, dan

30 Barda Nawawi Arif, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Barda

Nawawi Arief II), h.80.

31 Majda El Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945

Sampai Dengan Amandemen UUD 1945, Cetakan ke 4, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Majda

El Muhtaj II), h. 6.

32 Marianus Kleden, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera,

(33)

xxxiii

meletakkan. Kata asas adalah bentu tunggal dari kata usus yang berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu, dengan demikian kata asasi diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia yang berarti bersifat dasar atau pokok.33

Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM, yaitu pertama, hak-hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusa. Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi. Ketiga, teori relativis kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu bentuk antitesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural lain, yang disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism). Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin Marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian seluruh hak (repositiory of all rights).34

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

33 Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM: Mengenal Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya, Cetakan ke 3, Rajawali Pers, Jakarta (selanjutnya disebut Majda El Muhtaj II), h.17.

(34)

xxxiv

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.35 Penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto merupakan penelitian hukum kepustakaan yang mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistemik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum serta sejarah hukum.36

Digunakannya penelitian hukum normatif dalam penulisan skripsi ini karena ditemukan adanya suatu kekosongan norma yaitu belum adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Terorisme berupa peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pengaturan pemberian kompensasi bagi korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia.

b. Jenis Pendekatan

Terdapat beberapa jenis pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian hukum, antara lain pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan frasa

35 Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h.34.

36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

(35)

xxxv

(words and phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).37

Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini ialah pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan konseptual (analytical and conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan dengan menelaah segala jenis peraturan perundang-undangan dan regulasi yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme, yaitu Undan-Undang Perlindungan Saksi Korban, Undang-Undang Terorisme, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan suatu pendekatan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam hukum yang kemudian melahirkan pengertian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum terkait dengan perlindungan hukum terahadap keluarga korban tindak pidana terorisme. Pendekatan perbandingan (comparative approach) dilakukan dengan membandingkan pengaturan mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme di Indonesia dengan negara Australia dan Amerika yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.

37 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(36)

xxxvi

c. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat umum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan dan perjanjian internasional. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;

(37)

xxxvii

- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum dan pandangan ahli hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu teknik studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap keluarga korban tindak pidana terorisme dengan cara membaca dan mencatat bahan-bahan hukum tersebut yang kemudian diinventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

(38)

xxxviii

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik deskripsi yaitu menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan evaluasi, kemudian dilanjutkan dengan teknik konstruksi. Terhadap evaluasi dan konstruksi tersebut nantinya diajukan argumentasi, yang kemudian akan ditarik kesimpulan secara sistematis.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum dengan abstraksi melalui proses deduksi dari norma hukum positif yang berupa

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian dengan melihat ketentuan hukum dan peraturan undang-undang

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) diajukan pada Jurusan Hukum Keluarga

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) dan diajukan pada Jurusan Hukum Ekonomi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dan di ajukan pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Dalam penulisan hukum ini, Penulis menggunakan pendekatan yuridis- normatif, dimana Penulis menganalisis peraturan Perundangan yakni antara lain Kitab Undang-Undang Hukum

Shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Efektifitas Metode Wafa dalam kemampuan

Rumusan masalah pada penelitian ini ada 2 yakni : 1 bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang terhadap perawat perempuan di ruang rawat