• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

4.5. Aplikasi Model

5.1.3. Manfaat air waduk

Dimana y adalah produksi per hektar; a, b1 danR merupakan estimasi statistik dari parameter fungsi respon produksi-soil depth; SD ialah ketebalan lapisan tanah. Besaran parametera dan b ≥ 0; serta 0< R< 1.

Penerimaan bersih komoditas dan paket pola tanam per hektar dalam satu tahun didasarkan pada formulasi berikut:

(5.2)

dimana PCi adalah harga komoditas dari masing-masing tanaman yang mem- bentuk paket pola tanam dalam satu tahun menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i; dan CFij adalah biaya usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i.

5.1.3. Manfaat air waduk

Manfaat air baku dari waduk yang dipertimbangkan dalam model terdiri atas nilai dari outflow waduk yang dioraperasikan untuk: (1) PLTA, (2) irigasi atau pengairan, dan (3) industri. Manfaat air untuk PLTA didasarkan pada pendekatan manfaat langsung (direct benefit) air sebagai input utama, yakni melalui pengukuran manfaat kotor (gross benefit) dari produsen (Unit Pembangkitan Brantas). Pertimbangan pemilihan pendekatan tersebut pertama, dalam praktek perhitungan manfaat langsung dapat dianggap sama dengan manfaat kotor, biaya alternatif dan manfaat bersih (PERUM Jasa Tirta I, 2002e). Kedua, harga daya listrik di tingkat produsen mencerminkan beberapa komponen biaya, yaitu mulai dari biaya investasi hingga biaya operasi dan pemeliharaan daerah tangkapan air. Dalam Lampiran G pada Amandemen II Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT Pembangkitan Jawa Bali dan PT PLN

) 1 ( 1 SD R b a y = + −

(

)

(

)

[

PC(t)a b1 (1 R CFij(t)

]

ij SD ij ij i + − −

(Persero) dimuat bahwa struktur pembayaran meliputi nilai komponen A hingga komponen F.

Komponen A merupakan pembayaran atas biaya investasi pembangunan Unit Pembangkit (UP) yang terdiri dari biaya penyusutan, pembayaran pokok pinjaman ditambah bunga. Komponen B adalah pembayaran atas biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan dan pemeliharaan untuk menjamin

ketersediaan daya listrik yang dihasilkan UP. Komponen C-EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA dan pemeliharaan DAS yang hak pengelolaannya dipegang oleh suatu organisasi usaha.

Komponen C-Non EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA yang hak pengelolaannya tidak dipegang oleh suatu organisasi usaha.

Secara teknis kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan berdasarkan rumus berikut:

D = g ∗η∗ Wo ∗ Hef (5.3a) Dimana D merupakan daya yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu detik (Watt); Wo adalah debit pembangkitan (m3/det); H

ef ialah tinggi jatuh efektif (m); g adalah gravitasi (9,8 m2/det); dan η ialah efisiensi turbin dan generator.

Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin dipergunakan tinggi jatuh efektif (Hef) dan efisiensi (η) pada tingkat tertentu (given). Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh efektif sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dihasilkan pada setiap periode selama horizon waktu; sedangkan horizon waktu yang diterapkan pada penelitian ini adalah selama 17 tahun (2003 hingga 2020). Tinggi jatuh efektif PLTA Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi (292.5 m) dan elevasi dasar sungai (264 m); sedangkan pada PLTA Sutami adalah selisih antara rata-

rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 (sebesar 267.305 m) dan menggunakan

tail race (TWL) yang diterapkan oleh PERUM Jasa Tirta I sebagaimana telah diuraikan pada anak Sub-bab 2.3.1.

Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian (lihat pada anak sub-bab 2.3.1), maka pendugaan produksi daya listrik dalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya yang dibangkitkan (persamaan 5.3a) dan waktu yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu operasi sepuluhharian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003 (Lampiran 6). Adapun rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari (jam/hr). Dengan mengaplikasikan persamaan (5.3a) pada efisiensi turbin dan generator sebesar 0.9, maka didapatkan produksi daya listrik setiap turbin pada PLTA Sengguruh selama satu hari sebesar:

q1 = (9.80∗ 0.90∗ Wo1∗ Hef1∗ 13.31) (KWh) (5.3b) Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit turbin serta tinggi jatuh efektif PLTA Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi daya listrik dari Waduk Sengguruh dalam periode satu tahun adalah:

TE1 = (365 ∗ 2 ∗ 3,345.73 ∗ Wo1) (KWh)

= 2 ∗ (1.22 ∗ Wo1) (GWh) (5.3c) Sementara itu, pola operasi Waduk Sutami bersifat tahunan (lihat pada anak sub-bab 2.3.1). Oleh karena itu, pada pendugaan produksi daya listrik mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak (Ppeak) maupun beban dasar (Poff). Berdasarkan data produksi beban puncak dan beban dasar pada musim kemarau (MK) tahun 2002 dan musim penghujan (MP) tahun 2003 dapat diperoleh informasi bahwa:

1. Rata-rata produksi beban puncak (operasi 5 jam/hr) sebesar 84% bila dibandingkan dengan beban puncak potensial (105 MW/det).

2. Rata-rata produksi beban dasar (operasi 19 jam/hr) sebesar 25% beban puncak potensial (105 MW /det).

Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sutami yang mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak maupun beban dasar.

Berdasarkan persamaan (5.3a) dan η = 0.9, maka didapatkan pendugaan total daya dari setiap turbin dalam satu hari sebesar:

q2 = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗ 0.84 ∗ Wo2∗ Hef2) + (9.8 ∗ 0.9 ∗ 19 ∗ 0.25 ∗ Wo2∗ Hef2) = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo2 ∗ Hef2)

= (78.94 ∗ Wo2∗ Hef2) (KWh) (5.3d) Pada PLTA Sutami terdapat tiga (3) unit turbin. Rata-rata MAW selama musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003 sebesar 267.31 m. Dengan menggunakan tail race (TWL) setinggi 181.90 m, maka tinggi jatuh efektif PLTA Sutami sebesar 85.41 m. Dengan demikian Produk Nilai Total (Total Value Product atau TVP) daya listrik Waduk Sutami dalam satu tahun sebesar:

TE2 = 3 ∗365 ∗ (78.94 ∗ Wo2 ∗ 85.41) (KWh)

= 3 ∗ (2.46 ∗ Wo2) (GWh) (5.3e)

Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan industri. Oleh karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR) yang ditetapkan pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi, maka penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income method (FIM) sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim (2001). Metode tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input dari produksi, sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan

(incremental income earned). Dengan demikian harga air baku untuk pengairan dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut:

(5.4)

Dimana PI adalah harga air air baku untuk pengairan (Rp/m3); P

k ialah harga komoditas padi (ribu Rp/ton); Ytp/Yp merupakan proporsi perbedaan produk-tivitas antara pengairan dan tanpa pengairan (ton/ha); dan Ap adalah volume kebutuhan air irigasi tanaman padi (m3/ha). Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan.

Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal. Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan.

Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume air untuk pengairan didekati besarnya sumbangan outflow Sutami terhadap air baku untuk pengairan. Hasil pendugaan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk pengairan maupun industri secara rinci disajikan pada Lampiran 7 (baris kedua).

Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk industri sebesar hasil kali antara harga air industri dan sumbangan outflow Waduk Sutami terhadap alokasi air baku untuk industri. Harga air baku yang didistribusi- kan untuk industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara pihak otorita dengan pengguna, yakni sebesar Rp 60/m3 (PERUM Jasa Tirta I, 2003). Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya operasional dan pemeliraharaan sarana dan prasarana, sehingga belum

p p tp A Y Y Pk PI = ( / )

mempertimbangkan biaya investasi. Namum oleh karena keterbatasan peneliti dalam pengumpulan data dan kesulitan perhitungan nilai satuan air untuk industri, maka manfaat air untuk penggunaan industri didasarkan pada tarif tersebut.